• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membangun Kemandirian dalam Pengelolaan DAS Terpadu

Dari berbagai konsep dan uraian diatas maka pengelolaan DAS dapat dipandang sebagai satuan pengaturan tata ruang wilayah, suatu sistem sumberdaya, satuan pengembangan ekonomi dan sosial/kelembagaan dalam mencapai tujuan pengelolaan DAS yang berkelanjutan. Dengan demikian diperlukan kerangka konsep pengelolaan DAS terpadu baik secara fisik, ekonomi, sosial dan kelembagaan karena pengelolaan DAS terpadu menjadi kata kunci pengelolaan DAS yang mandiri dan berkelanjutan. Keberlanjutan pembangunan satu DAS tidak dapat lagi dilepaskan dari aktivitas pembangunan di wilayah lain dari DAS yang sama. Keberlanjutan pemanfaatan SDA di daerah tengah dan hilir suatu DAS tidak bisa lepas dari pengelolaan lingkungan atau SDA di daerah hulu. Fungsi DAS sebagai pengatur tata air, akan dapat berjalan dengan baik apabila wilayah hulu, yang umumnya didominasi hutan, mampu menyerap air hujan dan mengalirkannya di musim kemarau, sehingga dapat mengendalikan fluktuasi debit air sungai

Pengelolaan DAS terpadu adalah rangkaian upaya perumusan tujuan, sinkronisasi program, pelaksanaan dan pengendalian pengelolaan sumber daya DAS lintas para pemangku kepentingan secara partisipatif berdasarkan kajian kondisi biofisik, ekonomi, sosial, politik dan kelembagaan guna mewujudkan tujuan Pengelolaan DAS (Dephut 2009). Pengelolaan DAS terpadu akan melibatkan banyak lembaga. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya, masing-masing lembaga cenderung bersifat sektoral, sehingga seringkali terjadi tabrakan kepentingan antar lembaga yang terlibat dalam pengelolaan DAS. Pengaturan kelembagaan dan regulasi yang akan mengatur mekanisme kerja antar lembaga harus disiapkan dengan matang sehingga dapat menghasilkan kerjasama dan koordinasi yang optimal. Pengaturan ini penting untuk memastikan bahwa pengelolaan DAS dapat diterima oleh berbagai pihak terkait dengan tujuan dan kepentingannya masing-masing. Ada

tiga faktor yang dapat diidentifikasi dari pengaturan institusi ini, yaitu : (a) koherensi kepentingan dan aktivitas antar para pihak (stakeholders); (b) kekuatan institusi lokal; dan (c) manfaat untuk masyarakat lokal di dalam

kepentingan di antara para pihak dan adanya kejelasan identitas serta ukuran se-tiap kelompok para pihak terkait.

Pengelolaan ekosistem DAS yang elegan adalah pengelolaan yang menempatkan masyarakat sebagai aktor utama, pengelolaan yang menganut prinsip keadilan dan kelestarian, serta menguntungkan secara ekonomis. Peranan pemerintah diharapkan masih relatif besar. Namun institusi lokal perlu diberikan peranan penting dalam pengelolaan DAS, terutama yang menyangkut berbagai hal yang menjadi kepentingan penduduk lokal. Pengelolaan DAS akan lebih efisien dan berkelanjutan apabila dapat memanfaatkan bakat dan keterampilan masyarakat lokal. Institusi lokal membantu berfungsinya pengelolaan DAS melalui perlindungan terhadap hak, penguatan norma-norma yang berlaku, mengatasi konflik dan distribusi manfaat. Pengaruh institusi sangat tergantung pada kekuatan yang dimilikinya atas berbagai aktor yang terlibat dalam pengelolaan DAS. Dalam aspek ekonomi dan politik sering komunitas di dalam DAS merupakan kesatuan yang lemah. Pengaruh institusi lokal ini sering sulit

menjangkau kawasan „di luar‟ lokal. Oleh sebab itu, perlu penguatan oleh institusi eksternal yang memiliki kekuatan pengaruh yang memadai, seperti lembaga swa-daya masyarakat (LSM), perguruan tinggi (PT), media massa, instansi pemerintah, sangsi, aturan, atau berbagai kebijakan yang ada. Institusi dan aktor eksternal DAS dapat saja melakukan intervensi terhadap pengelolaan DAS dalam bentuk penguatan institusi DAS yang ada atau melalui perubahan konteks ekonomi dan politik dalam pengambilan keputusan pengelolaan DAS.

Kemandirian dalam pengelolaan DAS terpadu adalah pengelolaan DAS yang berhasil mencapai tujuan pengelolaan yang ditetapkan, yaitu terciptanya keseimbangan dalam konservasi lingkungan (ekologi), pengurangan kemiskinan (ekonomi) dan menguatnya kapasitas kelembagaan dalam pengelolaan DAS, yang dilakukan oleh para pihak dalam DAS tersebut secara partisipatif dengan memanfaatkan segenap potensi yang ada dalam DAS tersebut serta pembiayaan yang berasal dari dalam DAS tersebut. Kemandirian pembiayaan pengelolaan DAS merupakan prasyarat untuk mewujudkan pengelolaan DAS yang berkelan-jutan. Pembiayaan pengelolaan DAS yang bergantung pada dana dari luar sistem DAS akan cenderung : (a) Tidak menjamin keberlanjutan program-program yang

dibutuhkan dalam pengelolaan DAS; dan (b) Terikat kepentingan donor, yang mungkin tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan kepentingan para pihak dalam DAS. Bahkan pembiayaan yang berasal dari dana pemerintah pun harus dijustifikasi sumbernya.

Menurut Kartodihardjo et al. (2004), keberhasilan pengelolaan DAS akan lebih mudah dicapai jika : (a) Sumberdaya di dalam DAS menghasilkan manfaat yang besar; (b) Peluang pendapatan masyarakat lokal sejalan dengan aktivitas konservasi dan RHL DAS; (c) Hak atas lahan jelas, terjamin dan terdistribusi secara adil; (d) Ada insentif bagi mereka yang bersedia mengorbankan manfaat jangka pendeknya (manfaat individu) untuk memperoleh manfaat jangka panjang (manfaat sosial); dan (e) Ada kerjasama antar para pihak (stakeholders) dalam pengelolaan DAS. Oleh karena itu untuk membangun kemandirian dalam pengelolaan DAS, ada empat faktor yang dapat digunakan sebagai pegangan untuk memprediksi hasil pengelolaan DAS, yaitu: (a) tujuan pengelolaan DAS,

(b) potensi ekologis dari sumberdaya, (c) pengaturan institusi lokal, dan (d) berbagai kekuatan eksternal (politik dan ekonomi). Faktor-faktor tersebut

berpengaruh terhadap perilaku para pihak dalam suatu DAS yang menentukan kinerjanya.

Pengelolaan DAS dikatakan telah efektif jika tujuan manajemen dapat dicapai bersamaan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. DAS dapat dikelola dengan baik jika potensi sumberdayanya tinggi dan pengaturan sosial serta faktor-faktor eksternal dapat menciptakan keseimbangan yang baik antara insentif dan kontrol. Masyarakat akan mau bertindak dalam rangka konservasi dan RHL jika mereka dapat ikut merasakan manfaat tindakannya itu.

Kegiatan pengelolaan DAS memerlukan biaya yang kontinyu. Agar mandiri, seyogyanya biaya ini ditanggung oleh pihak-pihak yang ada dalam DAS melalui pengembangan jasa-jasa yang disediakan DAS tersebut, karena ketergan-tungan pada pembiayaan dari luar DAS akan rentan konflik kepentingan dan kon-tinyuitasnya tidak terjamin. Misalnya pemanfaatan dana yang berasal dari pembayaran jasa lingkungan untuk membiayai kegiatan konservasi dan RHL serta peningkatan kesejahteraan masyarakat penyedia jasa. Model yang mulai banyak diterapkan di berbagai negara adalah model PES, yang digunakan untuk

mendorong perilaku konservatif di lahan pribadi guna memaksimalkan jasa lingkungan penggunaan lahannya. Diharapkan model ini dapat mengatasi ketidakseimbangan dan mengurangi konflik antara masyarakat di hulu DAS yang dituduh menjadi penyebab mahalnya biaya eksternalitas dan masyarakat di hilir yang memikul biaya.

Bagian hulu DAS umumnya merupakan daerah resapan air yang mengalirkan airnya ke daerah hilir. Daerah hilir tidak mungkin mendapatkan kesinambungan pasokan air dengan kuantitas dan kualitas yang memadai apabila kondisi ekosistem daerah hulu yang menjadi resapan airnya terganggu. Apabila terjadi gangguan ekosistem hulu yang menjadi resapan air, maka tanggung-jawab tidak hanya dipikul oleh masyarakat hulu akan tetapi juga merupakan tanggung-jawab masyarakat hilirnya. Oleh karena itu tanggung-tanggung-jawab memelihara kondisi DAS seharusnya menjadi tanggung-jawab bersama daerah hulu sampai dengan daerah hilirnya atau tanggung jawab diantara para penyedia dan pengguna java DAS. Konsep PES ini dapat dipandang sebagai bentuk implementasi insentif hulu-hilir atau penyedia-pengguna jasa (cost and benefit sharing) dalam pengelolaan DAS.

Dengan demikian, berbagai faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan pengelolaan DAS secara berkelanjutan sehingga dapat dibangun kemandirian harus selalu diperhitungkan dalam penyusunan program rehabilitasi dan konservasi DAS, seperti faktor potensi sumberdaya DAS, insentif yang disertai dengan aturan dan kontrol serta pengaturan kelembangaannya.

Penggunaan Lahan dan Peran Vegetasi Dalam DAS

Ekosistem suatu DAS, biasanya dibagi menjadi daerah hulu, tengah dan hi-lir. DAS yang besar pada umumnya terdiri dari banyak bagian daerah aliran yang masing-masing terdiri dari berbagai penggunaan lahan dan penutupan vegetasi. Ekosistem DAS bagian hulu, yang pada umumnya dapat dipandang sebagai ekosistem pedesaan dengan komponen utama hutan, sawah/ladang/kebun, sungai dan desa (Soemarwoto 1988), merupakan bagian yang terpenting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem DAS, antara lain, dari fungsi dan stabilitas tata air. Oleh karenanya perencanaan DAS hulu

seringkali menjadi fokus mengingat dalam suatu DAS, daerah hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biogeofisik melalui daur hidrologi (Asdak 1995, 2003).

Dalam sistem hidrologi peranan vegetasi sangat penting artinya karena ke-mungkinan intervensi manusia terhadap unsur tersebut sangat besar. Vegetasi da-pat merubah sifat tanah dalam hubungannya dengan air, dada-pat mempengaruhi kondisi permukaan tanah, sehingga mempengaruhi besar kecilnya aliran permu-kaan dan debit yang terjadi. Dari hasil penelitian yang dilakukan secara intensif di banyak negara tentang pengaruh pengaturan jumlah dan komposisi vegetasi terhadap perilaku aliran air menunjukkan bahwa aliran air tahunan meningkat apabila vegetasi dikurangi dalam jumlah yang cukup besar atau dihilangkan (Hamilton dan King 1984; Rahim Nik 1989; Malmer 1992).

Di Indonesia, peranan hutan terhadap keberlanjutan DAS sangat besar karena hutan berperan mengatur tata air dan melindungi permukaan tanah dari erosi yang disebabkan oleh intensitas hujan yang tinggi. Selain itu, keberadaan hutan sangat menentukan produktifitas lahan melalui perannya dalam proses siklus hara (Ambar 1986). Perambahan hutan dan lahan marjinal untuk lahan pertanian yang diusahakan dengan cara-cara yang mengabaikan kaidah konservasi tanah dan air serta penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan daya dukungnya maka akan rentan terhadap erosi dan tanah longsor, yang akan meningkatkan koe-fisien limpasan, lalu akan meningkatkan jumlah air hujan yang menjadi aliran permukaan, sehingga meningkatkan debit sungai (Brooks et al. 1989; Nursidah 2001). Dalam skala besar, dampak kejadian tersebut adalah terjadinya gangguan perilaku aliran sungai, yaitu pada musim hujan debit air meningkat tajam, pada musim kemarau debit air sangat rendah, sehingga risiko banjir dan kekeringan meningkat (Asdak 1995). Perubahan penggunaan lahan (hutan) pada suatu DAS akan menyebabkan produksi air pada DAS tersebut ikut berubah. Kondisi DAS yang kritis dapat ditandai dengan perbandingan produksi air DAS yang dihasilkan pada musim hujan dan kemarau. Semakin besar perbedaan produksi air DAS pa-da ke dua musim maka semakin kritis kondisi DAS tersebut (Husnan 2010).

Degradasi dan transformasi tutupan vegetasi (hutan), baik pada hulu

maupun hilir DAS mempunyai bentuk dan pola yang beragam, yaitu : (1) Penurunan kerapatan dan jenis vegetasi hutan. Umumnya dilakukan

masyarakat sekitar kawasan hutan untuk kebutuhan subsisten (kayu bakar dan kebutuhan sehari-hari); (2) Perubahan tipe vegetasi penutup lahan hutan. Umumnya dilakukan oleh masyarakat yang lapar tanah akibat distribusi, alokasi dan pemilikan lahan yang timpang oleh masyarakat atau karena pemanfaatan masyarakat lokal oleh pemodal kuat untuk menguasai tanah negara (hutan lindung); (3) Perubahan lahan hutan atau lahan budidaya menjadi lahan industri atau pertambangan atau pemukiman yang permukaannya kedap air. Umumnya dilakukan oleh pemodal kuat, penguasa, penunggang gratis atau pencari rente. Umumnya pelaku mempunyai akses yang kuat terhadap pengambil kebijakan. Pola ketiga ini mempunyai dampak yang paling merusak terhadap siklus hidrologi, produksi air dan dalam jangka panjang dapat memicu terjadinya krisis air yang akut dan berkepanjangan (Husnan 2010).

Pengaruh dampak hidrologi akibat perubahan penggunaan lahan penting dipertimbangkan, tidak hanya intervensi awal, tapi juga pola penggunaan lahan dan bentuk pengelolaan yang dilakukan (Bosch dan Hewlett 1982; Hamilton and King 1983; Calder 1999). Aylward (2009) menyatakan keperluan investasi pada konservasi hutan dan RHL dan pengelolaan DTA serta pengembangan regulasi baru dan insentif pasar makin meningkat, sehingga perlu dipahami keterkaitan antara penggunaan lahan di hulu, kondisi hidrologi dan aktivitas ekonomi di hilir sebagai metode praktis untuk menghitung besarnya keterkaitan untuk acuan pembuatan kebijakan dan investasi kegiatan.

Neraca Air DAS

Daur hidrologi menunjukkan perjalanan air dari permukaan laut ke atmosfir kemudian ke permukaan tanah dan kembali lagi ke laut. Selama perjalanan tersebut, sebagian air akan tertahan di sungai, danau/waduk atau dalam tanah sehingga dapat dimanfaatkan oleh manusia dan makhluk lainnya. Daur hidrologi dapat digambarkan dalam bentuk bagan alir yang dimulai dengan masukan berupa curah hujan yang akan didistribusikan melalui beberapa jalan, yaitu air lolos (throughfall), aliran batang (stemflow), dan air hujan langsung sampai ke permukaan tanah untuk kemudian terbagi menjadi aliran permukaan, evaporasi dan air infiltrasi. Air evaporasi bersama-sama transpirasi vegetasi dan air

intersepsi kembali ke udara sebagai evapotranspirasi. Sedangkan aliran permukaan dan air infiltrasi akan mengalir ke sungai sebagai debit (discharge).

Proses siklus air pada suatu daerah untuk periode tertentu mempunyai hubungan keseimbangan antara aliran masuk (inflow) dan aliran keluar (outflow), yang disebut “neraca kebutuhan dan ketersediaan air” sering disebut juga dengan “Neraca Air” (water balance). Konsep neraca air pada dasarnya menunjukkan keseimbangan antara jumlah air yang masuk ke, yang tersedia di, dan yang keluar dari sistem tertentu, seperti ditunjukkan persamaan (1) (Limantara et al. 2008) :

I = O ± ΔS ……….………..,,,,,,,,,,,,,, (1)

dimana: I = masukan; O = keluaran; ΔS = perubahan tampungan, atau

Dalam rangka pemanfaatan sumber daya air perlu dipertimbangkan pemanfaatan yang seimbang untuk berbagai kebutuhan ditinjau secara keseluruhan dalam sistem sehingga didapatkan hasil yang optimal. Perumusan dari neraca air ketersediaan dan kebutuhan adalah (Asdak 1995) :

Qketersediaan– Qkebutuhan= ΔS………(2)

dimana : Qketersediaan = Total ketersediaan debit (m3/detik); Qkebutuhan = Total kebu-tuhan debit (m3/detik); ΔS = Perubahan kuantitas air ( m3

/detik).

Perubahan aliran air yang disebabkan oleh perubahan vegetasi penutup tanah, mempengaruhi besarnya evapotranspirasi pada suatu DAS dan ketersediaan air dalam suatu DAS. Untuk mencapai tujuan terjaminnya jumlah dan kualitas air yang baik sepanjang tahun, maka perlu diketahui ketersediaan air dan kebutuhan air pada DAS tersebut yang dapat dievaluasi dari neraca air pada DAS, sehingga dapat dipecahkan permasalahan distribusi air antar waktu yang tidak stabil.

Ketersediaan air dalam suatu DAS dipengaruhi oleh proses hidrologi dalam DAS tersebut, yang merupakan fenomena alam yang kompleks, sehingga tidak mungkin diukur secara langsung di lapangan. Untuk menyederhanakan suatu fe-nomena alam yang kompleks maka dapat digambarkan dalam suatu model. Mo-del abstrak merupakan suatu alat mendasar yang penting, memberikan gambaran abstrak sistem nyata di alam yang berperilaku seperti sistem nyata di alam dalam hal tertentu. Model digunakan dalam banyak cara didalam merancang bangun dan mengelola sistem sebagai fungsi analisis. Analisis itu sendiri dibatasi sebagai pe-nentuan input model, struktur model dan output model. Model yang dipakai dapat

berupa model analitik dan model simulasi (Gordon 1980). Pendekatan sistem menyediakan pemecahan masalah dengan metode dan alat-alat yang memungkin-kannya untuk mengidentifikasikan subsistem yang berinteraksi untuk menyelesai-kan masalah dan untuk melakumenyelesai-kan pilihan secara rasional.

DAS merupakan suatu sistem ekologi, maka setiap masukan ke dalam eko-sistem tersebut dapat dievalusi proses yang telah dan sedang terjadi dengan cara melihat keluaran dari ekosistem tersebut. Masukan curah hujan yang jatuh pada DAS akan mengalami interaksi dengan komponen-komponen ekosistem DAS (vegetasi, tanah dan sungai), dan akan menghasilkan keluaran berupa debit, muat-an sedimen dmuat-an material lain ymuat-ang terbawa alirmuat-an sungai. Dengmuat-an demikimuat-an neraca air DAS dapat dievaluasi melalui siklus hidrologi yang terjadi pada DAS.

P = Q + Et ± ∆ S………...………(3) dimana : P = curah hujan; Q = debit sungai; Et = Evapotranspirasi; dan ∆S = n e-raca air DAS

Ketersediaan air merupakan suatu keniscayaan sebagai kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia. Kebutuhan ini terus meningkat setiap tahun seiring dengan pertumbuhan penduduk dan aktivitas manusia, sementara itu ketersediaan sumber daya air yang dapat dimanfaatkan relatif konstan, bahkan cenderung semakin terbatas akibat perubahan fungsi hidrologis karena perubahan tata guna lahan hutan menjadi peruntukan lain di dalam DAS. Oleh karena itu sumberdaya air yang ada dan daerah tangkapannya yang pada umumnya adalah hutan di daerah hulu DAS harus dikelola dengan berkelanjutan sehingga tidak menimbulkan krisis air yang berujung konflik.

Adanya peningkatan kebutuhan air, menyebabkan berkembang pula perencanaan pengelolaan sumberdaya air sebuah DAS dengan penerapan model hidrologi. Seperti yang dilaporkan Lano et al. 2010, banyak model hidrologi yang sudah dikembangkan dan diterapkan di Indonesia seperti Haan (1972), Sudira (1989), Sahid S (1991), Model ANSWERS oleh Beasly (1981) dan model Mock (1973). Namun dalam kegiatan pengelolaan DAS, khususnya pengelolaan oleh instansi kehutanan, penerapan model hidrologi belum banyak dilakukan, padahal sangat membantu, oleh karena itu pada penelitian ini dicoba mengaplikasi model ketersediaan air DAS menggunakan neraca keseimbangan air.

Model hidrologi yang akan digunakan untuk menghitung ketersediaan air pada penelitian ini adalah model hujan aliran (Triatmodjo 1998a). Metode untuk membangkitkan data debit dari data hujan yang dipakai dalam penelitian ini menggunakan metode ekstrapolasi menggunakan regressi linear sederhana (Triatmodjo 1998b). Model ini digunakan karena ketersediaan data debit sering tidak kontinyu, sedangkan dalam suatu DAS, pada umumnya data hujan tersedia dalam jangka waktu panjang. Sedangkan untuk melihat pengaruh perubahan tu-tupan lahan terhadap kinerja DAS yang dapat dilihat melalui debit aliran diguna-kan model deterministik non linear. Model ini digunadiguna-kan karena fenomenanya lebih banyak terjadi di alam. Semua ahli mengakui bahwa hubungan tutupan lahan dengan debit aliran yang dihasilkan curah hujan yang benar-benar linear tidak pernah ada. Sumber terbesar non linearitas ini terletak pada prosedur pengurangan kehilangan (losses) dan pengisian (recharge) daerah pengaliran serta dalam mem-peroleh curah hujan netto yang akan menjadi debit aliran di atas daratan (overland flow), yang akan meninggalkan daerah pengaliran sebagai aliran permukaan di pelepasannya (Soemarto 1995). Model deterministik non linear yang dipilih ada-lah model dinamis menggunakan program Stella 9.0.2.

Konsep Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan DAS

Dari perspektif teori Ekonomi Sumber Daya Hutan, nilai hutan bisa diklasi-fikasikan menurut manfaatnya bagi kesejahteraan manusia (Davis et al. 2001; Darusman dan Widada 2004) yaitu :

1. Manfaat yang dihasilkan berupa barang dan jasa komersial (yang bisa diper-jual belikan dipasar), misalnya : hasil hutan kayu, hasil hutan non-kayu, pe-nyedia pakan ternak, pepe-nyedia pangan dan pariwisata

2. Manfaat barang terutama jasa yang tidak laku atau tidak diperjual belikan di pasar komersial, misalnya : kemampuan pohon untuk absorbsi CO2 dan meng-hasilkan O2, tempat berlindung dan berkembang biak (habitat) satwa liar, per-lindungan tanah dan air, pemandangan, perper-lindungan keaneka ragaman hayati, sumber plasma nutfah, sekat bakar, pemecah angin, budaya, pendidikan / pe-nelitian, nilai keberadaan hutan, dan nilai spiritual.

Manfaat hutan bagi manusia dalam hal jasa yang tidak langsung menda-tangkan manfaat komersial, misalnya dalam fungsinya sebagai pengatur tata air dan keseimbangan ekosistem pada suatu DAS sebagai jasa lingkungan DAS, sa-ngat sulit diukur kemanfaatannya bagi manusia. Manfaat hutan sebagai pesa-ngatur tata air dan keseimbangan ekosistem akan sangat jelas terlihat apabila seluruh hu-tan terutama di daerah hulu DAS dirusak. Dampak kerusakan huhu-tan tersebut pada sistem perekonomian akan lebih besar daripada nilai komersial barang apapun yang bisa diperoleh dari hutan. Nilai kerugian yang ditimbulkannya dapat dikatakan sebagai nilai jasa lingkungan hutan (Davis et al. 2001). Nilai manfaat ini belum banyak diapresiasi masyarakat, karena tidak mudah meyakinkan masya-rakat untuk menghargai benda-benda yang merupakan kepentingan bersama, yang kalau rusak akan mendatangkan kesulitan bersama.

Metode penilaian sumberdaya hutan, termasuk jasa lingkungan hutan dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu berdasarkan harga pasar dan kesediaan untuk membayar (Willingness to Pay, WTP) (Pearce dan Turner 1990; Davis et al. 2001). Kesediaan untuk membayar merupakan konsep yang mendasari berbagai alternatif teknik penilaian ekonomi. Dalam kondisi pasar tidak mengalami penyimpangan, WTP akan sama dengan harga pasar. Namun pada saat mekanisme pasar tidak bekerja secara sempurna atau terjadi distorsi, maka harga pasar tidak akan dapat memberikan perkiraan yang akurat mengenai WTP. Munasinghe (1993) menyatakan bahwa konsep WTP dipakai karena nilai atau harga pasar tidak selamanya mampu mencerminkan kepuasan yang sama bagi se-tiap orang. Oleh karena itu, sebenarnya nilai rupiah suatu barang dan jasa hanya merupakan pendekatan atau penaksiran (proksi) saja. Sebagai contoh, di musim hujan untuk memperoleh air tidak ada orang yang membayar, dan tidak demikian halnya di musim kemarau. Orang yang pernah merasakan dahsyatnya bahaya banjir atau yang pernah sengsara karena langkanya air, secara sadar mereka akan mampu menjawab pertanyaan: “berapa rupiahkah anda mau membayar agar kampung anda tidak terkena banjir atau agar air selalu tersedia”. WTP atau kesediaan membayar adalah salah satu proksi untuk menaksir nilai ekonomi ba-rang atau jasa yang “abstrak”. Namun, penaksiran nilai ini hanya sebagai alat bantu saja dalam proses pengambilan keputusan dan belum menunjukkan nilai

jasa lingkungan hutan yang sebenarnya (Warsito 2008). Oleh karena itu, nilai jasa lingkungan hutan akan sangat tergantung kepada preferensi konsumen dan pera-daban masyarakat. Semakin maju kebudayaan, semakin tinggi penghargaan yang diberikan guna kelestarian barang publik, dan nilai WTP akan semakin besar.

Dalam penilaian jasa lingkungan DAS, konsep WTP diaplikasikan untuk mengetahui kesediaan masyarakat di hilir atau penerima manfaat jasa lingkungan untuk membayar jasa lingkungan hulu DAS sebagai penyedia air dan Willingness to Accept (WTA) untuk mengetahui besarnya ganti rugi yang diharapkan oleh ma-syarakat di hulu untuk mengembalikan fungsi hutan dari tanaman pangan. Untuk menghitung nilai kesediaan membayar, dilakukan melalui metode survei dengan dua pendekatan, yaitu : (a) Metode Biaya Pengadaan, yaitu metode untuk mencari