Pengelolaan Kawasan Lindung di Luar Kawasan Hutan Negara
Kawasan lindung di luar kawasan hutan negara pada umumnya adalah lahan milik masyarakat terdiri dari tutupan hutan dan pertanian lahan kering (parak dan ladang) atau pertanian lahan kering campur semak. Pemilikan lahan pada KL di luar kawasan hutan negara umumnya adalah lahan komunal Nagari, Suku dan Kaum, sehingga sebagian besar pengelolaannya dilakukan berdasar aturan adat.
Hutan bagi masyarakat ke tiga Nagari merupakan bagian dari ulayat yang dipandang tidak hanya sebagai kesatuan ekosistem yang bernilai ekonomis belaka, namun juga bernilai sosial dan kultural serta merupakan kawasan perlindungan terhadap bencana. Hutan merupakan warisan nenek moyang yang harus dijaga untuk keberlangsungan lingkungan dan pemenuhan kebutuhan hidup, keberlangsungan tali kekerabatan (generasi berikutnya) dan menjadi simbol pengikat hubungan kekerabatan masyarakat Nagari.
Secara adat istiadat Minangkabau, Nagari di sekitar hutan mempunyai hak kepemilikan terhadap hutan sebagai :
1) Ulayat hutan tinggi, yakni tanah terbuka yang tidak digarap, disebut tanah Na-gari atau Hutan NaNa-gari. Hutan ini yang disebut Hutan Larangan (Hutan Sim-panan). Hutan Larangan tidak boleh ditebang karena berfungsi sebagai daerah perlindungan dan sumber air (pengatur air). Hutan Larangan inilah yang dija-dikan Hutan Register atau sekarang merupakan HSAW (Hutan Konservasi); 2) Ulayat hutan rendah, yakni tanah yang digarap penduduk Nagari. Hutan ini
di-sebut juga sebagai Hutan Cadangan. Hutan Cadangan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Nagari, dengan demikian kawasan lindung yang berada di luar kawasan hutan konservasi merupakan hutan cadangan masyarakat Nagari. Sehingga terjadi tumpang tindih kawasan hutan Negara pada hutan lindung dan hutan ulayat nagari. Konflik terjadi karena hutan ulayat rendah nagari (hutan cadangan) berdasarkan aturan adat dapat dimanfaatkan masyarakat na-gari untuk memenuhi kebutuhan ekonominya, sedangkan pada aturan formal hutan lindung dilarang pemanfaatannya tanpa ijin resmi dari pemerintah. Pemanfaatan hutan cadangan oleh masyarakat Nagari diutamakan bagi perluasan lahan pertanian dengan mempertimbangkan keberlangsungan dan
keseimbangan alam dan pemanfaatan komplementernya yaitu pemanfaatan hutan sebagai sumber mata pencaharian sampingan. Hutan cadangan juga berfungsi bagi Nagari sebagai cadangan perluasan wilayah pemukiman. Dengan kondisi hutan di Nagari yang berada pada wilayah perbukitan (tanah keras = lahan kering ulayat kareh)) atau wilayah dengan topografi agak curam sampai curam pada lokasi kajian, maka perluasan lahan pertanian terhadap hutan atau pembukaan hutan untuk lahan pertanian hanya dibolehkan untuk perladangan atau parak. Parak sendiri merupakan bentuk perladangan rakyat yang ditanami dengan berbagai macam tanaman keras seperti kayu meranti, medang, bayur, karet, pinang, kulit manis, durian, manggis, pala dan lainnya. Pola parak ini lazim ditemui bagi semua Nagari dalam wilayah penelitian. Pemanfaatan hutan cadangan tidak hanya bagi anggota komunitas Kaum dan Suku, namun juga dapat dilakukan oleh pihak lain di luar Kaum dan Suku sesuai dengan kesepakatan adat, yang bertujuan untuk menghindari lahan-lahan kosong yang tidak produktif.
Penggunaan utama Hutan Cadangan oleh masyarakat Nagari dalam wilayah penelitian adalah sebagai hutan produksi (hutan yang boleh diambil hasil hutan-nya dengan memperhatikan kelestarianhutan-nya), parak dan ladang. Pemanfaatan hutan secara langsung baik itu hasil hutan kayu maupun non kayu sebagai sumber mata pencaharian bukanlah hal yang utama. Pemanfataan hasil hutan oleh masyarakat merupakan mata pencaharian komplementer, sedangkan mata pencaharian utama adalah pertanian (sawah) dan berladang (tanaman palawija, seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar, kedelai, kacang tanah dan kacang hijau dan sayuran seperti terung, mentimun dan kacang panjang, dan lainnya). Pemanfaatan lahan untuk pertanian, perladangan dan pemungutan hasil hutan yang berada di atas tanah ulayat Kaum, Suku dan Nagari sepanjang untuk kebutuhan sendiri (keluarga, subsisten) dan untuk kepentingan Nagari tidak dikenakan (bea)
bungo. Namun, jika pemanfaatan tersebut ditujukan untuk kepentingan komersial (diperdagangkan di luar komunitas adat atau Nagari) maka dikenakan bungo. Bungo dapat dikatakan sebagai semacam pajak atas pemanfaatan sumber daya alam di Nagari yang berdimensi kepentingan komersil (diperdagangkan), dan sebagai upaya masyarakat Nagari membatasi
eksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan. Selain itu bungo merupakan bentuk kompensasi kepada masyarakat Nagari atas pemanfaatan sumberdaya alam yang diperniagakan, dan sebagian dananya dipergunakan untuk memulihkan sumberdaya alam yang telah dimanfaatkan, sehingga bungo bukan saja kompensasi bagi masyarakat Nagari, tetapi juga kompensasi bagi alam itu sendiri. Dengan demikian bungo merupakan instrumen pengendali pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan. Bentuk-bentuk bungo yang pernah ada dalam pengelolaan hutan pada daerah penelitian meliputi: (1) bea tanaman pa-ngan atau tanaman keras (bungo ampiang) bagi penggarapan hutan untuk ladang atau parak; (2) bea kayu (bungo rimbo/kayu) bagi pemungutan hasil hutan kayu; (3) bea tambang/emas (bungo ameh) bagi pemungutan hasil tambang dalam kawasan hutan ulayat, misalnya sejumlah dana yang dibayarkan oleh PT Semen Padang kepada masyarakat Nagari Lubuk Kilangan melalui Kerapatan Adat Na-gari (KAN) NaNa-gari Lubuk Kilangan karena lokasi tambang batu kapurnya berada pada hutan ulayat Nagari Lubuk Kilangan.
Namun sejak penetapan fungsi kawasan hutan, sebagian besar hutan ca-dangan Nagari telah ditetapkan sebagai hutan lindung yang dikelola oleh pemerin-tah melalui Dinas terkait. Masyarakat dilarang melakukan kegiatan perladangan dan pengambilan hasil hutan tanpa ijin dalam kawasan hutan lindung, sehingga saat ini instrument bungo sudah hampir tidak ada lagi dalam ketiga Nagari. Insti-tusi adat tidak berperan lagi dalam pengelolaan hutan ulayat Nagari yang telah dijadikan hutan lindung. Kondisi ini menyebabkan tertutupnya akses masyarakat terhadap hutannya dan berpengaruh terhadap ekonomi masyarakat sekitar hutan.
Di sisi lain, karena tingkat pendapatan yang rendah, pengelolaan lahan ma-syarakat pada kawasan lindung SWP DAS Arau yang berada di luar kawasan hu-tan lindung, secara umum belum intensif karena banyak ladang atau parak yang tidak ditanami dengan baik karena kendala modal atau biaya untuk pengelolaan lahan, seperti untuk pembersihan lapangan, pembelian bibit, pemupukan dan pemeliharaan tanaman, sehingga hasil yang didapatkan dari pengelolaan lahan masih rendah. Bagi masyarakat yang cukup mampu, lahannya telah dikelola seca-ra intensif dalam bentuk perkebunan (seca-rakyat) yang ditanami dengan karet, kopi, coklat, kulit manis, pala, pinang dan lainnya.