• Tidak ada hasil yang ditemukan

Anti Taman Mini

Para pengritik pemerintah masih terus mengritik dan bersikap berkonfrontasi. Salah satunya adalah Asmara Nababan. Kali ini isu baru yang digelindingkan setelah korupsi dan Golput, adalah penolakan terhadap rencana proyek pembangunan Taman Mini.

Ide membangun semacam Disneyland di Jakarta sebenarnya berasal dari Gubernur DKI Ali Sadikin. Nama yang ditetapkan adalah Taman Miniatur Indonesia Indah (TMII). Lokasinya di bilangan Jakarta Timur. Entah mengapa Ny. Tien Soeharto kemu-dian yang bertindak sebagai eksekutor proyek yang di masa itu bernilai Rp 10,5 milyar.

Pada 1972 dananya mulai dihimpun. Nyonya Tien meminta uang dari para pengusaha, departemen, dan para gubernur. Mediamassa mengungkapnya. Kritik muncul dari pelbagai kalangan. Nama Ny.

Tien pun, oleh para mahasiswa, diplesetkan menjadi ’Madame Ten

Percent’.

Berbagai gerakan lantas muncul menolak proyek ini. Di antaranya Gerakan Penghemat, Gerakan Akal Sehat (GAS), dan Gerakan Penyelamat Uang Negara. Asmara Nababan kembali turun ke jalan bersama kawan-kawannya berkampanye menolak proyek Ny. Tien.

Namun seperti anjing mengonggong kafilah berlalu, Proyek Taman Mini jalan terus. Presiden Soeharto secara terang-terangan bahgkan memperlihatkan dukungan kepada sang isteri. Nanti, sehabis Peristiwa 15 Januari 1974 (Malari), proyek ini akan lebih mudah diteruskan karena kaum kritis yang menentangnya sudah dilibas.

Setelah beberapa tahun ’Disneyland Indonesia’ akhirnya ram-pung. Ada beberapa orang yang berpantang menginjakkan kaki di sana. Asmara termasuk salah seorang di antaranya. Seumur hidup untuk alasan apa pun ia konsisten tak sudi menjejakkan telapak nya di objek wisata favorit Jakarta tersebut.

”Suatu hari anak-anak kami ada kegiatan sekolah di Taman Mini. Orang tua harus mendampingi karena mereka masih kecil-kecil. Saya sedang capek sehingga minta Asmara yang nemanin. Eh, dia tetap nggak mau meski saya telah mencoba membujuknya. Akhirnya saya yang nyetir ke sana,” ungkap Magdalena Sitorus, ibu dari keempat anak Asmara.

Atmosfir politik pada 1972 terus memanas. Kelompok kritis yang berunsurkan cendekiawan, budayawan, dan mahasiswa terus mengecam pemerintah yang mereka anggap semakin korup dan otoriter. Mediamassa yang menempatkan diri sebagai watch

dog kekuasaan mengartikulasikan suara miring tersebut dengan bersemangat. Pada sisi lain pemerintah juga mengcounter lewat media yang menjadi corong mereka.

Ambisi Orde baru membangun kekuasaan yang hegemonik berlanjut. Pada 1973 pemerintah memaksa semua parpol peserta Pemilu 1971 berfusi. Parpol tunduk kendati sangat tak suka. Tak bisa apa-apa, mereka. Hasil kawin paksa itu adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia. Untuk

selanjutnya selama Soeharto menjadi kepala negara hanya kedua parpol inilah, bersama Golkar, kontestan Pemilu (tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997). Kawin paksa ini menimbulkan ekses berupa konflik tak berkesudahan di tubuh PPP dan PDI. Hal ini wajar mengingat unsur pembangunnya satu sama lain tak pernah akur. Selain itu penguasa juga rajin merecoki.

Masih di tahun 1973, pemerintah juga memberlakukan kebi-jakan massa mengambang (floating mass). Dalam hal ini PPP dan PDI dilarang berkegiatan di tingkat ranting (desa) dan anak cabang (kecamatan). Teritori terjauh mereka sebatas tingkat kabupaten/kotamadya saja. Jelas kebijakan yang kelak (pada 15 Agustus 1975) menjadi undang-undang ini dimaksudkan untuk membonsai kedua saingan Golkar. Fusi dan pembonsaian parpol di tahun 1973 ini juga menjadi pokok yang disoal oleh Asmara dan kawan-kawannya. Sejumlah mediamassa yang terkenal kritis bersuara mengenai hal ini.

Pada pertengahan Agustus 1973 pemerintah kembali menjadi sasaran kecaman keras. Waktu itu Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkawinan diumumkan. Penolakan keras kontan datang. Kali ini dari umat Islam. Saat Menteri Agama Mukti Ali membacakan jawaban pemerintah terhadap RUU ini pada 27 Septermber, massa Islam menyerbu dan merusuh di gedung DPR/MPR. Tentu saja pers juga mewartakan hal ini dengan gencar.

Memasuki 1974 kian kental atmosfir pertentangan antara penguasa Orde Baru dengan kelompok-kelompok kritis, termasuk mediamassa yang konsisten menempatkan diri sebagai watch dog. Di masa itu pula telah berkibar seorang jenderal progresif. Oleh para mahasiswa dan pers orang itu dielu-elukan sebagai calon pemimpin yang layak menggantikan Soeharto. Dia adalah Soemitro, Panglima Kopkamtib yang rajin berbicara di kampus-kampus.

Di masa itu Asmara sedang mempersiapkan perni kahannya dengan Magdalena Sitorus. Sesuai rencana, mereka akan menikah di gereja HKBP Hang Lekiu, Jakarta, pada 20 Februari 1974.

Pertengahan Januari 1974 PM Jepang Kakuei Tanaka akan berada di Jakarta. Kunjungan Tanaka dimanfaatkan oleh beberapa kalangan—terutama mahasiswa—untuk melangsungkan

demons-trasi besar-besaran untuk menolak hegemoni Jepang di pasar Indonesia. Banjir produk Jepang memang sudah keterlaluan, tak beda dari saat ini. Mulai dari kendaraan yang menyemut di jalanan hingga alat-alat rumah tangga yang berjejal di dapur atau ruang tamu.

Pada 15 Januari 1974 massa dari mana-mana bergerak menuju beberapa titik di Jakarta. Mereka bukan hanya mahasiswa, rupanya. Dalam waktu singkat aksi massa ini menjadi amuk massa yang luar biasa. Perusakan, pembakaran dan penjarahan terjadi di pusat perbelanjaan Senen, Jl. Sudirman, dan Jl. MH Thamrin, dan tempat lain. Segala yang berbau Jepang mereka sasar. Akibat kerusuhan ini 11 orang kehilangan nyawa, 17 orang luka berat, 120 orang luka ringan, 807 mobil dan 187 sepeda motor hangus. Tak kurang dari 144 bangunan yang terbakar atau porak-poranda. Di antaranya gedung Astra, Coca-Cola, dan Pertamina.

Tak lama setelah peristiwa ini 12 suratkabar dibredel, termasuk

Indonesia Raya-nya Mochtar Lubis dan Harian KAMI. Mereka yang oleh penguasa dianggap sebagai otak kerusuhan ditahan, termasuk Hariman Siregar, Sjahrir, Dorodjatun Kuncoro-Djakti, Adnan Buyung Nasution, Mochtar Lubis, Enggak Baharuddin, Princen, Imam Waluyo, Marsillam Simandjuntak, dan Jusuf AR. Hariman, ketua Dewan Mahasiswa UI, kemudian divonis 6 tahun penjara; Sjahrir 6,5 tahun. Mereka ini adalah sekutu Asmara dalam gerakan-gerakan sebelumnya yang mencoba melakukan koreksi terhadap Orde Baru.

Ketika Peristiwa Malari meledak pada 1974, Ucok alias Dimardi Abbas menyembunyikan Asmara Nababan, ketika menghindari kejaran aparat keamanan.

Sesuai rencana, kurang sebulan setelah Malari, Asmara meni-kah. Dunia gerakan sedang tiarap sehingga ia berkesempatan merampungkan studinya, kemudian. Beberapa kawan seper-juangan nya masih mendekam di bui. Tahun 1975 ia akhirnya lulus dari FH-UI. Satu anak ia sudah punya pula.

Asmara pada kurun ini lebih banyak bergiat di majalah Kawanku. Ia juga aktif di Yakoma. Sejak 1971 ia jadi pengurus Yakoma yang sekaligus harus mengurusi Sanggar Bahtera Yakoma.