• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upaya Menegakkan Benang Basah

Peristiwanya terjadi sekitar 1983 di Porsea. Waktu itu, Pemda Tapanuli Utara tengah menggebu-gebu memulai era in dus trialisasi. Inilah resep pembangunan yang dipercaya akan menghapus predikat 4 Lihat, Asmara Nababan dalam Membangun Gerakan Rakyat, Kumpulan

Tulisan 25 Tahun KSPPM (1983-2008 ), editor : Dimpos Manalu, dkk., 2008, Prapat, Penerbit KSSPM.

”tano Batak” sebagai peta kemiskinan. Disebut demikian karena banyak wilayah atau desa miskin, tertinggal dan terisolir di wilayah itu. Untuk mengatasi ketertinggalan Taput, selain lewat program industrialisasi, pemerintah Orde Baru juga mencanangkan operasi khusus terpadu ”Maduma”, istilah dalam bahasa Batak yang kalau diterjemahkan berarti ”makmur, sejahtera dan terhormat”.5

Proyek industri pertama di Taput adalah pembangunan Pusat Listrik Tenaga Air (PLTA) Inalum yang dirintis sejak 1978. Proyek itu merupakan patungan Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Jepang. PLTA Inalum dirancang untuk menghasilkan energi listrik berkapasitas 604 MW, untuk mengoperasionalkan pabrik peleburan bijih aluminium berkapasitas 215.000 ton per tahun.

Untuk membangun PLTA Inalum, Sungai Asahan harus dikeruk, agar aliran airnya dapat menggerojok deras dan memutar turbin-turbin raksasa PLTA di hulu Sungai Asahan. Di sinilah, rakyat dalam terminologi para teknokrat orde baru, menjadi ”pahlawan pembangunan”. Soalnya, kata Soeharto, arsitek utama orde baru, jer basuki itu mawa bea. Kalau mau makmur, ya harus ada pengorbanan. Begitulah filosofinya.

Cuma, yang jadi korban adalah rakyat kecil. Maka ratusan KK petani dari beberapa desa yang turun-temurun tinggal di sepanjang hulu sampai hilir Sungai Asahan di Kecamatan Porsea, dan meman-faatkan air sungai untuk lahan pertanian mereka, diminta untuk mau direlokasi ke wilayah lain. Soalnya, sawah dan desa mereka akan ditimbun dari tanah hasil kerukan Sungai Asahan.

Keseluruhan lahan yang terkena dampak berjumlah 175 hektar. Dari jumlah itu, sekitar 16 hektar atau sekitar 10 persen menolak ganti rugi karena harga yang ditentukan terlalu rendah, yakni hanya Rp 130,00 per meter persegi.6

Salah satu Desa yang direlokasi adalah Dolok Martali-Tali, Desa Siantar Tonga-Ronga I, Kecamatan Porsea. Nasib mereka mirip masyarakat Wonogiri yang harus melakukan bedol desa karena desa mereka digenangi air Waduk Gajah Mungkur. Bedanya, 5 Dimpos Manalu, Gerakan Sosial dan Perubahan Kebijakan Publik, 2009,

Yogyakarta, Gajah Mada University Press. 6 Ibid Dimpos hlm 87-88.

penduduk Dolok Martali-Tali yang berjumlah 28 KK itu harus meyerahkan lahan persawahan dan perkampungan mereka karena hendak ditimbun pasir dari Sungai Asahan untuk Proyek Inalum. Oleh Pemda Taput mereka kemudian dipindahkan ke Siomaoma, Kecamatan Pangaribuan, suatu daerah terisolasi yang terletak di perbatasan Tapanuli Utara dengan Tapanuli selatan.

Awalnya mereka menolak karena ganti rugi yang diberikan sangat rendah. Penduduk menuntut ganti rugi tanah Rp 90.000 per meter persegi. Namun karena dihadapi dengan cara-cara kekerasan khas orde baru, mereka terpaksa menurut, dan pindah ke Siomaoma. Pemda Taput waktu itu menjanjikan lahan sawah baru sebagai ganti lahan sawah mereka bagi warga yang mau pindah.

Namun ternyata tanah itu tak bisa diolah menjadi lahan persa-wahan meski warga telah berusaha keras selama dua tahun (1980-1982). Bukti tentang kondisi lahan di Siomaoma diperoleh dari hasil penelitian laboratorium, yang dilakukan sejumlah aktivis mahasiswa dan LSM. Mereka adalah Soekirman, Erwin Panjaitan dari Parintal FP USU, Siner Situngkir serta Asmara Nababan, dua yang terakhir berasal dari KSPH (Kelompok Studi dan Penyadaran Hukum), LSM yang berpusat di Siborong-borong.7

Saat itu KSPH bersama sejumlah aktivis mahasiswa dan Unit Bantuan Hukum (UBH) Universitas Nomensen, yang diketuai Muktar Pakpahan melakukan advokasi membela sebagian petani Dolok Martali-Tali yang menolak direlokasi ke Sioma-oma. Para petani didampingi UBH bahkan melakukan gugatan ke pengadilan. Hasil uji laboratorium tentang tanah Sioma dijadikan salah satu dasar gugatan KSPH.

Upaya mengambil sampel tanah di relokasi di Sioma-oma bukan perjuangan ringan. Karena merupakan daerah terisolasi, perjalanan menuju Sioma Oma waktu itu harus berputar dari Sipirok, ke Simangimbar, terus ke Silantom dan baru balik ke arah Taput. Medannya cukup berat. Tak ada angkutan umum menuju 7 Wawancara dengan Soekirman, via e-mail tanggal 11 Oktober 2010.

ke sana. Mereka lalu meminjam Toyota Kijang petak milik Camat Tarutung. Asmara kenal baik dengan si camat.

Warga Dolok Martali-tali di Sioma-oma menyambut antusias kedatangan mereka. Karena perjalanan tidak bisa ditempuh pulang-balik, mereka menginap di gubuk seorang warga, beralas tikar plastik. Mereka hanya makan mie instan yang dibawa dari Siborong-borong, dicampur nasi yang ditanak warga.

Sampel tanah yang mereka ambil dari Sioma-oma kemudian dianalisis di laboratorium tanah Fakultas Pertanian USU. Peng-ujian dilakukan secara diam-diam. Hasil uji laboratorium menun-jukkan bahwa tanah di Sioma-oma ternyata tidak cocok untuk budidaya tanaman lahan basah. Tanah di sana hanya cocok untuk budidaya tanaman keras seperti kopi, dan lain-lain. Atas dasar hasil penelitian itulah rakyat Dolok Martali-Tali melakukan unjuk rasa ke Bupati Taput yang dianggap telah menipu rakyat. Sebagai bentuk protes, warga menginap selama beberapa hari di pelataran Gedung DPRD. Sebagian warga yang telah pindah ke Sioma-oma akhirnya memutuskan kembali lagi ke Dolok Martali-tali, mengolah kembali sawah-sawah yang telah ditimbun pasir, dan sebagian pergi ke Porsea.

Pembelaan mereka terhadap warga Dolok Martali-tali, membuat aktivitas mereka kerap menjadi sasaran intel. Mereka berempat juga dituduh sebagai provakator, menghasut rakyat, dan dicap sebagai penghambat pembangunan. Namun semua itu tak menyurutkan keberpihakan mereka kepada rakyat kecil.

Ada suatu kejadian dramatis waktu itu. Saat itu,8 seorang petani marga Siahaan, yang tinggal di pinggiran Sungai Asahan dekat Kota Kecamatan Porsea tengah bersitegang dengan puluhan aparat keamanan disaksikan oleh rombongan Bupati Taput. Siahaan adalah petani terakhir di hulu Sungai Asahan yang menolak dipindahkan. Ketika aparat keamanan hendak melakukan eksekusi secara paksa, Siahaan melakukan tindakan nekad. Di depan aparat keamanan dan rombongan Bupati Taput, Siahaan nekad mengangkat anaknya yang masih kecil dengan tangan kirinya, sedang tangan kanannya 8 Wawancara dengan Nelson Siregar pada 2 Maret 2010.

memegang parang.

“Saya akan bunuh anak saya jika kalian memaksa saya terus,” teriak Siahaan histeris, sementara sang anak menangis ketakutan. Suasana mencekam. Orang tercekat menyaksikan peristiwa itu.

Seorang laki-laki bertubuh tinggi besar, berambut gondrong dan dagunya dipenuhi brewok mencoba menengahi keadaan. Laki-laki yang mengenakan celana pendek dan kaos oblong itu tiba-tiba mendekati bupati dan rombongannya.

”Kalau sudah begini ceritanya, dan kalian tidak menarik mundur aparat keamanan, kalian sama sekali tidak punya kehormatan lagi,” ujar laki-laki itu.

Nada suaranya terdengar mantap dan sangat meyakinkan. Ekspresi wajah laki-laki itu terlihat sangat tenang. Rupanya, rom-bongan bupati sadar tentang situasi genting yang tengah dihadapi. Bupati juga sadar siapa laki-laki yang tengah mereka hadapi. Akhirnya Bupati membuat keputusan, aparat keamanan ditarik mundur, penggusuran batal dilaksanakan.

Laki-laki tinggi besar berambut gondrong, berjenggot dan mengenakan kaos oblong serta bersandal jepit itu adalah Asmara Nababan, Sekretaris Pelaksana KSPH waktu itu.

“Memang begitulah gaya bicara Bang As, sangat tenang, teratur dan sistematis. Intonasi suaranya terjaga dan tipe suaranya agak bariton,” kenang Wahyudi, aktivis senior, tentang perjumpaan pertamanya dengan Asmara Nababan pada tahun 1983-an.

”Menegakkan benang basah,” demikian istilah yang pernah diucapkan Asmara Nababan ketika bungsu dari sebelas bersaudara itu pulang dan menetap di kampung halamannya Siborong-borong pada 1983

Peran Asmara dalam menumbuhkan kekuatan masyarakat sipil di Sumut diakui para aktivis senior LSM Sumut. Menurut Soekirman, Asmara juga ikut membidani lahirnya Wahana Informasi Masyarakat (WIM) bersama teman-teman pergerakan lainnya seperti Ned Purba, Johanna, Syafir Harahap, Eliakim Sitorus, Pungki, Irwansyah Hasibuan, Osmar Tanjung, Alamsyah Hamdani, dan lain-lain. Dialah yang menganjurkan agar LSM-LSM di Sumut membuat forum pemersatu LSM-LSM. Ide itu dilontarkan

Asmara dalam pertemuan dengan sejumlah aktivis di Lubuk Pakam, Desa Pagar Jati, tepatnya di kantor Bintarni.

Walau organisasi ini secara formal baru didirikan pada 29 Februari 1986 di Sei Rampah dalam sebuah pertemuan antar Ornop yang disebut Temu Karya, namun rintisannya telah dimulai oleh Asmara dan kawan-kawannya sejak 1983.

WIM lahir sebagai respon dari politik pembangunan peme-rintahan Orba yang telah meminggirkan sebagian warga negara karena akses yang tertutup oleh berbagai sebab. Koreksi terhadap politik pembangunan tersebut mulai dilakukan oleh Ornop melalui pendekatan yang populer disebut “penyadaran”. Seiring dengan fenomena kemunculan Ornop di Sumut pada pertengahan tahun 80-an, ada kebutuhan untuk memperluas spektrum gerakan per-ubahan secara lebih merata. WIM didirikan sebagai lembaga yang berfungsi mengembangkan jaringan kerjasama sekaligus memelopori tumbuhnya inisiatif untuk mendorong proses per-ubahan melalui Ornop. Dalam salah satu programnya, WIM mengembangkan kegiatan yang cukup populer pada masa itu yakni arisan LSM kecil; suatu upaya sistematis yang bertujuan melahirkan ornop-ornop baru di beberapa daerah.

Eliakim Sitorus, salah seorang aktivis KSPH, yang mengenal Asmara sejak 1983, melihat, peran Asmara ibarat bidan yang menolong proses persalinan. Yang melakukan persalinan adalah masyarakat, yang diharapkan mampu mereproduksi diri untuk generasi baru. KSPH karenanya ibarat bidan yang mendampingi masyarakat yang tengah hami agar melahirkan bayi-bayi yang sehat, lebih bergizi dan lebih baik dari generasi sebelunya.

Menjelang akhir masa pemerintahan Soeharto, Asmara juga aktif dalam forum ‘scenario building’ yang dilakukan dengan aktivis masyarakat sipil Sumut di Brastagi. Pertemuan itu mengesankan karena diikuti tidak hanya aktivis LSM, tetapi juga aktivis lintas generasi dan agama baik Hindu, Budha, Islam, Kristen, Katolik. Banyak aktivis muda yang kemudian terlibat aktif pada masa-masa gerakan reformasi seperti Dadang Darmawan dari HMI, dr Sofyan Tan, Taufan Damanik, Dina Lumbantobing dan lain lain. Kegiatan itu diselenggarakan dan difasilitasi Komnas HAM.