• Tidak ada hasil yang ditemukan

DIA ORANG YANG APA ADANYA

Dalam dokumen Asmara Nababan: Oase Bagi Setiap Kegelisahan (Halaman 185-192)

ARIEF BUDIMAN

“O

rangnya terus terang, enak diajak omong, nggak main politik, apa adanya,” kenang Arief Budiman tentang Asmara Nababan. Selebihnya tidak banyak. Arief merasa kekaribannya dengan Asmara lebih cenderung intelektual ketimbang personal.

Arief masih ingat pertemuan pertamanya dengan Asmara, sekitar 40 tahun lalu di Balai Budaya. Waktu itu Arief adalah direktur Yayasan Indonesia. Ia mendapat satu ruangan kecil di situ tersebut sebagai kantornya. “Balai Budaya itu menjadi tempat diskusi. Jadi, di samping demo kita diskusi. Diskusi tentang Taman Mini misalnya. Nah, si Asmara sering datang. Dia tahu kita ada pertemuan-pertemuan, ngumpul, datang pribadi maupun datang kelompok. Kelompok kita nggak resmi. Siapa aja yang datang diterima.”

Kelompok diskusi Balai Budaya inilah yang kemudian menjadi motor gerakan anti-TMII, golput, hingga protes terhadap pela-rangan becak di Jakarta. Arief menyebut gerakan-gerakan ini sebagai “gerakan moral” untuk membedakannya dari gerakan politik. “Kita menentang Soeharto, tapi tidak ikut partai politik dan tidak mau jadi anggota DPR. Hanya memprotes gagasannya,” kata Arief. Orang-orang gerakan moral membanggakan diri dengan mengatakan bahwa mereka tidak punya kepentingan apapun selain menyatakan kebenaran.

Karena sama-sama berada dalam gerakan moral, Arief merasa lebih akrab dengan Asmara ketimbang Panda Nababan, kakaknya, yang memilih masuk partai politik. “Panda dari Universitas Bung Karno kalau nggak salah. Jadi dia dulu bicara membela Bung Karno.

Tapi sesudah keadaan berbalik dia berbalik juga. Berbaliknya dia cukup pinter. Dia bilang ajaran Bung Karno ada yang nggak cocok lagi jaman sekarang. Jadi Panda saya kira dari dulu memang sudah berpolitik dari sekolahannya juga. Kalau Asmara memang akademis. Akademis yang menjadi aktivis.”

Berarti Asmara lebih idealis? “Lebih idealis,” jawab Arief. “Panda juga idealis, cuma dia memperjuangkan idealismenya mela-lui kekuasaan politik.”

Arief menyederhanakan pandangannya tentang gerakan politik dan gerakan moral. Bagi mereka yang berada di gerakan politik, kekuasaan harus diperjuangkan sebelum kebenaran. Kekuasaan menjadi nomor satu dan kebenaran bisa datang belakangan. Seba-liknya, bagi mereka yang bergelut dalam gerakan moral, kebenaran harus diperjuangkan dengan atau tanpa kekuasaan. Mereka percaya, kebenaran menaklukkan semuanya.

“Ini bukan berarti orang politik itu jahat, antikebenaran,” sambung Arief, “Tapi untuk melaksanakan kebenaran yang dia percaya, harus melalui kekuasaan negara. Kalau yang moral force, dia memperjuangkan kebenaran yang dia percaya melalui kekuatan kebe naran itu sendiri. Karena dia benar maka dia dipercaya akan menang, dan akan dipercaya oleh orang lain.”

Meski Arief adalah orang gerakan moral, ia tetap mengakui bahwa gerakan politik dan gerakan moral sama-sama dibutuhkan. Kalau semua orang cuma bicara moral, kata Arief, tujuan per-juangan tak dapat tercapai karena kekuasaan politik yang tidak memungkinkan. “Misalnya jaman Pak Harto gitu. Orang ada yang memperjuangkan supaya ada demokrasi. Kalau yang moral force, dia langsung minta Pak Harto mendemokratisasikan diri melalui sistem-sistem politiknya. Nah, nggak berhasil kan? Pak Harto bilang nggak mau. Dia punya ambisi yang lain. Orang yang political

force, kalau dia bukan oportunis, dia masuk Golkar dulu. Dia cari posisi di Golkar. Dalam posisi itu nanti dia bisa memperbaiki apa yang menjadi tujuannya, apa yang mau dia capai.”

“Jadi,” lanjut Arief, “Saya bisa menghargai, tetapi saya tidak bisa mengikuti tindakan itu. Kita bisa bertentangan dengan orang politik, tapi bukan berarti kita bermusuhan. Kita bisa mengerti,

posisi politiknya memang mengharuskan dia begitu. Karena dia sebenarnya idealis juga, cuma untuk mendapatkan hal itu dia harus memperjuangkannya melalui kekuasaan. Jadi harus taktis.”

Karena perbedaan itulah, menurut Arief, Panda dan Asmara cukup sering terlibat perdebatan. Asmara tidak segan-segan mengritik Panda di depan publik. Arief sudah lupa isunya. “Tapi saya kira secara pribadi mereka tetap kakak-adik.”

Semua orang tahu bahwa demonstrasi adalah hal terlarang pada masa Orde Baru. Menentang Soeharto dapat mengantar si pembangkang ke perut bui, bahkan “hilang dari peredaran”. Tapi gerakan moral Arief dan Asmara tidak surut. Meski jumlah mereka sedikit, gerakan mereka populer karena liputan media-mediamassa nasional.

“Jadi kita demonya demo media,” kata Arief. Ia berpendapat, media mau meliput gerakan mereka karena media butuh alasan untuk menyatakan pemerintahan Soeharto korup. “Akhirnya demo kita yang jadi alasannya.”

Bagi Arief Budiman, orang-orang yang terlibat dalam gerakan moral waktu itu adalah pemberani, dan Asmara Nababan adalah salah satunya. Kenapa bisa berani? “Ya, udah terlanjur berani aja,” jawab Arief sambil tertawa.

Ia juga mengatakan, “Sudah jadi hobi buat melawan arus.” Kini arus waktu sudah bergeser puluhan tahun. Sejak keper-giannya ke Australia sekitar 12 tahun lalu, Arief tak pernah lagi bertemu atau berkontak dengan Asmara. Saya tak tahu apakah dalam hati Arief ada terselip rindu; entah untuk teman karibnya itu, maupun hobinya yang dulu.

BANG AS

SOETANDYO WIGNJOSOEBROTO

W

alaupun sudah dikabari tentang sakitnya yang agak serius, dan walaupun telah pernah dikabari ia harus berobat ke sebuah rumah sakit di Guangzhou, China, tetapi aku terkejut juga ketika membaca sms yang dikirim Mbak Roichatul Aswidah, pagi Kamis, 28 Oktober 2010. Kondisi Bang As menurun, begitu isi pesannya. Aku langsung berdoa untuk kesembuhannya, dan ingin segera menulis di status akun di facebook untuk mengabarkan keadaan Bang As, berharap para sahabat yang pernah mengenal Bang As ikut memanjatkan doa.

Aku baru mau menulis ketika ada susulan berita dari Mbak Sandra Moniaga bahwa Bang As meninggal dunia di kamar ICU rumah sakit tempat ia dirawat. Allah telah menurunkan kehen-dakNya. Oleh tanganNya takdir manusia ditentukan. Aku berucap dalam bahasa dan ungkapan yang diajarkan kepadaku, innalillahi

wa inna ilaihi roji’un.

Mataku basah.

Siapakah Bang As? Bang As adalah panggilan akrab Asmara Nababan, yang diberikan oleh pekerja-pekerja HAM usia muda —seperti Roichatul Aswidah, Atikah Nur’aini, Sriyana, Roni Giandono, Anton Pradjasto—yang berkhidmat di Komnas HAM antara tahun 1993-2002. Aku mengenalnya sebagai sejawat dan sahabat sepanjang masa, termasuk pada masa kami berkhidmat di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, antara tahun1993 sampai ke tahun 2002. Terhanyut dalam pergaulanku dengan para staf Komnas HAM yang biasa ceria itu, aku ikut-ikutan memanggil dia Bang As, walau semula aku memanggil dia dengan sapaan formal

Pak Asmara, seperti dia selalu memanggilku dengan sapaan Pak Tandyo.

Bang As lahir sebagai anak bungsu di Siborong-borong Tapa-nuli Utara, pada tanggal 2 September 1946. Setamat studinya dalam ilmu hukum, dia terjun ke dalam berbagai kegiatan yang mentahbiskan dirinya sebagai aktivis hak-hak asasi manusia. Aku mengenal Bang As pertama kalinya ketika pada 1993, ketika sama-sama menerima tawaran Pak Ali Said untuk menjadi anggota Komnas HAM Indonesia.

Di pandangan mataku, Bang As adalah sosok yang tampan, yang wajah dan perawakannya mengecoh usianya yang sudah mencapai 47 tahun waktu itu. Nama ‘Asmara’ yang berkesan feminin telah melekat sepanjang umurnya, pun mengecoh segala sepak terjangnya yang tak sefeminin namanya. (Pernah dia bilang padaku, dia sendiri tak pernah tahu alasan apa yang membuat orangtuanya memberi nama ‘Asmara’ kepadanya)

Beraktivitas semula di Yayasan Komunikasi Masyarakat (Yako-ma), dia adalah satu-satunya anggota Komnas HAM angkatan 1993-1998 yang berasal dari NGO. Sepanjang perkenalanku dengan Bang As, sejak dia menjadi anggota biasa di Komnas HAM sampai saatnya dia menjadi Sekretaris Jenderal Komisi Nasional ini, aku terkesan dengan kepribadian dan ulah lakunya yang serba informal, terbuka dan populis, jauh dari watak elitis dan birokratik. Ini kepribadian yang aku suka, karena bisa selalu beriring jalan dalam setiap aktivitas kerja.

Dia seorang nasionalis, lebih dari itu dia seorang humanis dan populis. Dalam banyak dialog dan debat, tatkala suatu kebijakan dan sebuah sebuah keputusan harus diambil oleh sidang pleno, aku hampir selalu bisa menerima argumen Bang As dan bersedia mendukungnya. Ketika ada silang pendapat, aku (hampir) selalu berpihak kepadanya.

Aku banyak sependapat dengan dia. Misalnya, menjelang dibentuknya “Komnas baru” menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 (menggantikan dasar hukum Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993), terjadi silang pendapat tentang apakah Sekretariat Komnas HAM yang baru itu harus dipegang PNS karier

yang ditunjuk dan diangkat pemerintah, atau dipegang salah satu anggota Komnas yang dipilih oleh sidang pleno. Perbedaan pendapat ini merefleksikan kebijakan perkembangan Komnas di masa depan: apakah Komnas akan tetap bisa menjaga independensinya dari intervensi kebijakan pemerintah yang akan membirokratisasikan Komnas, ataukah tidak.

Mengapa silang selisih pendapat itu harus dianggap serius? Apa pasalnya?

Setelah ketua, sekretaris jenderal Komnas sebenarnya meme-gang peran penting dalam upaya menjaga independensi Komnas HAM dari kebijakan pemerintah, yang dalam banyak peristiwa acapkali dituduh sebagai state actor yang melanggar HAM. Sekretaris Jenderal dalam tubuh Komnas HAM tak hanya diharapkan kemampuannnya secara teknis sebatas membukukan dan mempertanggjungjawabkan keluar-masuknya dana. Lebih dari itu, seorang Sekretaris Jenderal diharapkan peka secara politik dalam persoalan budgeting.

Keluasan pemahaman dalam persoalan anggaran ini akan sangat menentukan keleluasaan Komnas HAM membuat rencana kerja yang tak terlalu dikontrol oleh kebijakan eksekutif atau legislatif melalui “permainan” anggaran. Dalam persoalan keleluasaan perencanaan dan mencari sumber pendanaan inilah Komisi Nasional —apabila menempatkan diri sebagai mekanisme HAM nasional yang bisa bekerjasama erat dengan International Commission of

Human Rights berikut mekanisme HAM internasionalnya—akan dapat lebih leluasa pula melaksanakan fungsinya.

Maka, perselisihan paham menyusul perdebatan pada waktu itu pada dasarnya mencerminkan perdebatan antara kelompok nasionalis yang etatis, sekaligus legal-formalis dengan kelompok humanis-populis yang nasionalis.

Sejak tahun 2002 Sekretaris Jenderal Komnas HAM dipegang seorang pegawai tinggi yang cakap memperlancar arus masuk-keluarnya dana yang berlebih dibanding masa-masa sebelumnya. Namun banyak orang tahu, bahwa pada banyak kasus, prakarsa inovatif Komnas HAM dalam perencanaan dan pelaksanaan implementasinya, sedikit banyak telah diperlambat.

Dalam dokumen Asmara Nababan: Oase Bagi Setiap Kegelisahan (Halaman 185-192)