• Tidak ada hasil yang ditemukan

BENAR-BENAR DIA MEMBANTU KAMI

Dalam dokumen Asmara Nababan: Oase Bagi Setiap Kegelisahan (Halaman 195-199)

ADE ROSTINA SITOMPUL

S

aya mengenal Asmara pada pertengahan tahun 1980-an, ketika saya bekerja di Yayasan Hidup Baru. Bersama Jopie Lasut, kami mengurus narapidana politik di seluruh Indonesia. Waktu itu saya sering diundang ke pertemuan Yakoma dan bertemu Asmara di situ. Perjumpaan demi perjumpaan dalam berbagai pertemuan atau acara Natal bersama narapidana politik, semakin mendekatkan kami.

Namun ada satu peristiwa yang kemudian membuat kami menjadi lebih kenal, yaitu Peristiwa Santa Cruz, tanggal 12 November 1991. Setelah peristiwa yang menggegerkan dunia internasional itu terjadi aksi unjuk rasa mahasiswa Timor Timur di Jakarta dan di seluruh Indonesia. Di Jakarta, unjuk rasa itu berlangsung di depan Kedutaan Jepang dan Kantor PBB.

Waktu kami mengadakan perayaan Natal di Sekolah Tinggi Teologia, Jakarta, Asmara datang bersama Pendeta Sumurung Samosir. Saat itu saya sudah mendengar bahwa setelah kejadian di depan Bundaran Hotel Indonesia itu, gerak-gerik saya sudah dipantau aparat. Karena itulah saya kemudian meminta Pendeta Betan untuk berkhotbah atau memimpin ibadah. Beliau itu adalah pendeta tentara dari Nusa Tenggara Timur.

Waktu itu kawan-kawan panitia memberitahu saya bahwa di luar ada orang yang terus bertanya tentang saya. Lalu saya berbisik kepada Pendeta Betan, meminta dia mengatakan ketika khotbah, bahwa ini ibadah Natal, tolong intel jangan mengganggu. Kami memang tidak diganggu waktu itu, tetapi kemudian Yayasan Hidup Baru yang diganggu. Mereka terus mencari saya, sementara Jopie

Lasut sedang berada di Belanda.

Saya mengeluhkan keadaan itu kepada Pendeta Arie Brouwer. Dia mengatakan, “Sudah, ke luar saja dari Yayasan Hidup Baru. Saya tidak mau kamu di situ terus,” katanya.

Lalu bagaimana dengan narapidana politik yang kami layani? “Saya akan bicara dengan PGI,” ucapnya.

Beliau lalu bicara dengan PGI. Maksudnya supaya saya ditarik PGI untuk mengurusi narapidana politik. Di PGI sudah tidak ada lagi program itu. Sebelumnya ada Badan Koordinasi Pembukaan Hidup Baru (BKPHB) Dewan Gereja-gereja di Indonesia, tetapi sudah berhenti. Program itu lalu dihidupkan lagi pada 1992. Saya dan Asmara ditarik ke situ.

Nama lembaganya menjadi Kelompok Kerja Pelayanan Lem-baga Permasyarakatan (Pokja PLP) Persekutuan Gereja gereja di Indonesia (PGI). Selain saya dan Asmara Nababan, yang dilibatkan termasuk FW Raintung, Gustaf Dupe, Sutomo, Karel Erari, Deetje Tiwa, dan Luhut Pangaribuan. Kantor kami berada di seberang PGI. Pokja ini di bawah naungan Jaringan Kerja-Lembaga Pelayanan Kristen atau JK-LPK. Bidang kerjanya adalah pelayanan narapidana politik; bukan pelayanan rohani, tapi pelayanan kemanusiaan, tanpa membedakan kasus dan agamanya.

Kerja kami mengupayakan beasiswa untuk anak-anak nara-pidana. Untuk narapidana sendiri, kami mengusahakan makanan sehat. Kami menyumbang kacang hijau dan gula ke rumah sakit di Cipinang, tentu itu bukan hanya untuk narapidana politik karena di rumah sakit itu orangnya campur. Kami memberikan tabung oksigen juga. Untuk menyalurkan bantuan, saya mendatangi penjara Nusakambangan, Sumatera Utara, Jawa Barat, dan awa Timur.

Sepengetahuan saya, setelah selesai urusan narapidana ‘65, PGI tidak pernah lagi melakukan pelayanan rohani di penjara. Jadi ini menjadi titik awal lagi bagi PGI untuk melakukan pelayanan untuk narapidana politik. Posisi saya di Pokja PLP adalah koordinator program. Asmara menjadi bos saya. Jabatannya adalah sebagai Ketua Pelayanan PLP. Kami satu ruangan, sehingga banyak cerita lucu. Kami juga banyak bercanda. Kalau marah tak lebih dari lima

menit. Dia sangat baik dan penuh perhatian.

Waktu itu uang transport saya kecil sekali. Mungkin karena rumah saya dekat dengan PGI. Asmara membuat rapat, supaya uang transport saya naik. Berhasil, uang transpor saya ditambah.

Saya juga ingat, suatu waktu sepulang saya dari Belanda, saya memeriksa keuangan kami, dan menemukan, ada uang yang tidak bisa dipertanggungjawabkan seorang staf. Tidak besar sih jumlahnya. Tapi itu tanggungjawab saya, dan harus saya laporkan ke PGI. Saya membicarakan hal ini dengan Asmara.

Jawaban Asmara waktu itu, kira-kira, “Kau jangan tanya dia di depan orang banyak. Kau panggil bicara berdua di ruangan. Kau jangan menuduh dulu. Kau tanya, apa anak ini punya kesulitan. Biarkan dia cerita terus terang. Kau jangan marah. Kalau sudah cerita jangan kau laporkan ke PGI supaya dia tidak dikeluarkan.”

Anak itu mengaku. Uangnya untuk bayar kuliah. Lalu saya ceritakan hal itu kepada Asmara.

“Ya sudah. Apalagi untuk bayar kuliah,” katanya.

Kebebasan

Sebagai atasan, Asmara memberi saya kebebasan, tetapi harus bilang terus terang sebelumnya agar kalau ada apa-apa dia tahu. Program kami bisa berbelok, tergantung situasi. Di bawah panji layanan penjara itulah saya bebas berkomunikasi dengan narapidana politik. Kerjasama dengan Jopie Lasut berlanjut. Kami terus melayani narapidana politik, terutama dari Timor-Timur.

Di PGI itu saya memberi laporan sebulan sekali kepada Asmara. Kalau menerima laporan saya gaya Asmara lucu. “Apa ini?” Saya bilang, laporan keuangan.

“Kau kasih aku pekerjaan tambahan ya. Aku ini lagi sibuk. Ini kau periksalah. Kau langsung saja lapor ke PGI.”

Menurut saya, Asmara sangat memperhatikan aktivis muda. Dalam rapat, dengan sabar ia mendengarkan mereka satu persatu, sampai selesai. Kadang-kadang kan ada senior yang kalau didebat marah. Asmara tidak. Dia sangat demokratis. Dia selalu minta pendapat kami .

mati. Tidak banyak lagi orang yang datang. Tadinya kan orang seperti Gus Dur dan Aritides Katoppo sering berkumpul di Salemba. Orang datang dari mana-mana, juga dari daerah.

Kira-kira sebulan setelah dia di Komnas HAM, saya tanya sama dia. “Gimana sih ini?”

“Kenapa?”

“Ini kok kantor seperti mati. Bang As-nya saja tidak datang lagi.”

“Kau jangan bikin aku lemah....aku jadi ingin kembali balik lagi,” katanya.

Saya bilang, begitulah kenyataannya.

Dia itu orang yang fair. Ketika akan masuk Komnas HAM dia kumpulkan teman-teman. Dia tanya satu per satu, setuju atau tidak. Ketika itu saya setuju. Dia tanya kenapa saya setuju. Saya bilang, selama ini kita hanya di luar. Kita tidak tahu isi Komnas HAM seperti apa. Kita kan hanya dengar cerita-cerita burungnya. Sekarang kalau Anda di dalam kita akan bisa dengar sendiri. Tapi dengan satu catatan: Anda di Komnas untuk mewakili kami.

“Ya, kalau itu aku janji dan kalian harus percaya itu,” katanya. Memang kami menjadi bisa mendapat banyak informasi ketika dia di Komnas HAM. Dia benar-benar membantu kami.

Pada 1994 kami kembali bersentuhan saat di ELSAM. Di sana ada divisi yang namanya Komite Bersama untuk Masyarakat Timor-Timur. PGI, KWI, dan ELSAM tergabung di situ. Sekretariatnya di Elsam. Wilayah kerjanya advokasi. Jadi ada pengacaranya. Saya bagian bantuan kemanusiaannya; yang wilayah kerjanya antara lain, mengurus beasiswa. Saya mengurusi mereka yang beasiswanya dihentikan karena dianggap mendukung kemerdekaan. Saya juga mengurusi narapidana politik di Timtim. Jadi saya mondar-mandir ke Timtim.

Saya dekat sekali dengan Asmara waktu itu. Saya itu ‘bandel’. Untung dia tidak pernah marah ke saya. Kalaupun marah, cuma sebentar. Misalnya, kalau ada anak Timtim atau mahasiswa Timtim yang dikejar dan melarikan diri, bagaimanapun saya harus menyediakan uang untuk transport mereka. Selama bersembunyi mereka juga harus makan. Saya berpikir tidak ada di program

Komite Bersama untuk mengurus hal seperti itu. Terus bagaimana? Saya tidak sampai hati. Saya keluarkan saja uang untuk mereka. Pernah sampai 10 orang yang bersembunyi.

Lalu saya katakan ke Asmara. “Bang As, aku mengeluarkan uang untuk ini-ini. Nanti aku bilang ya ke Hakim (Abdul Hakim Garuda Nusantara), Abang yang ambil uangnya....”

Terus dia bilang, “Kau enak saja ya jual-jual nama aku.” “Ya, habis bagaimana lagi dong. Kan aku tidak sampai hati.” “Ya, sudah...bilang sama Hakim, aku yang nanti mengambil.” Waktu laporan keuangan, Hakim bertanya, “Bu Ade ini uang untuk apa?”

“Tidak tahu Asmara yang ngambil,” itu jawab saya. “Untuk apa? Bu Ade tidak tanya?”

“Tidak,” jawab saya.

Hakim diam. Dia paling segan sama Asmara. Bukan hanya sekali itu saya jual nama Asmara. Berkali-kali. Tapi dia tidak pernah marah karena tahu tujuan saya baik.

Dalam dokumen Asmara Nababan: Oase Bagi Setiap Kegelisahan (Halaman 195-199)