• Tidak ada hasil yang ditemukan

Melahirkan dan Mengasuh Kawanku

Sejak 1970 Asmara memiliki kegiatan rutin. Setiap hari dengan mengendarai VW kodok hijau tua ia menyambangi dua kantor sekaligus. Pagi ia berkantor di majalah Kawanku di bilangan Setiabudi dan siang ia ke Yayasan Komunikasi Massa (Yakoma) di Cempaka Putih Timur. Dua lembaga ini harus ia urusi betul karena dia adalah pimpinan di sana.

Asmara Nababan memang bersentuhan dengan Kawanku. Majalah mingguan untuk kanak-kanak untuk usia SD hingga SMP itu terbit sejak 1970. Pendirinya, adalah Asmara bersama empat temannya: Julius Siyaranamual, Toha Mohtar, Fadli Rasyid, dan Trim Sutidja. Para penulis cerita anak, itu latar belakang mereka berlima.

Asmara dan Julius kawan karib sebaya. Kegandrungan pada seni dan dunia tulis-menulis mempertautkan mereka. Namun kelak, Julius (alm) lebih konsisten di jalur ini. Pilihan hidup sarjana muda dari Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta adalah sastrawan sekaligus wartawan. Di hari tuanya ia menjadi aktivis kemanusiaan, mengurusi orang-orang dengan HIV/AIDS, termasuk pekerja seks komersial. Ia memberdayakan mereka, antara lain, dengan melatih mereka berteater. Toha Mohtar dan Fadli Rasyid lebih senior. Selain satrawan serius, keduanya adalah perupa yang sketsa dan ilustrasinya menghiasi berbagai media, jauh sebelum tahun 1970.

Saat itu, bacaan anak di negeri ini, baik buku mau pun majalah, sangat sedikit. Apalagi yang berkonteks Indonesia dan bermutu. Bagi kanak-kanak yang tidak tinggal di kota utama Pulau Jawa,

kitab bacaan atau majalah seperti itu langka; berkesempatan mem bacanya merupakan kemewahan. Terlebih untuk kaum tak berpunya. Padahal bacaan merupakan rabuk bagi otak. Terutama bacaan berkualitas, yang memperluas jagat wawasan dan merang-sang kreativitas.

Apa jadinya nanti kanak-kanak Indonesia tanpa rabuk otak semacam itu? Pertanyaan ini mengusik pikiran Asmara dan kawan-kawan. Pada 1970 itu, sumber informasi yang bisa diakses anak-anak kita sungguh terbatas. Bacaan dalam bentuk cetakan itu yang paling mungkin diandalkan. Harap maklum, jangankan internet, sambungan telepon pun masih langka di rumah-rumah pribadi, termasuk di kota-kota utama.

Potret masa depan yang buram membayang sungguh, sebab dunia pendidikan kita tak bisa diharapkan. Saat itu—ternyata sampai sekarang pun demikian—anak-anak tidak dididik untuk kreatif di sekolah. Mereka cenderung membeo, karena dikondisikan lewat pengajaran satu arah. Belakangan pedagog asal Brazil Paulo Freire menamai pendekatan ini sebagai pendidikan gaya bank.

Asmara Nababan dan kawan-kawannya yang prihatin melihat realitas kelam ini berikhtiar melakukan sesuatu. Sebagai upaya mencairkan kebekuan dunia anak Indonesia, mereka lantas mener-bitkan bacaan yang bisa merangsang kreativitas anak, Kawanku. Impian mereka sebagai pendiri jelas tergurat dalam motto terbitan itu, yakni untuk meningkatkan akal budi dan pengembangan daya kreasi. Motto terjabar dalam sajian segar berupa cerita bergambar, cerita pendek, profil pelajar, TTS, test evaluasi belajar, dan yang lain.

Tatkala Kawanku terbit, belasan majalah anak-anak yang pernah beredar di Republik ini telah berkalang tanah. Praktis yang masih terbit hanya Si Kuntjung yang diasuh Soekanto SA dkk. Didirikan Sudjadi SA tahun 1959, terbitan ini kelak akan tercatat sebagai majalah penyaji sastra anak terbaik sepanjang sejarah Indonesia. Oplah Si Kuntjung menurut laporan majalah Tempo edisi 1971 mencapai 92 ribu.

Asmara dan kawan-kawan mengurusi Kawanku sepenuh hati sampai majalah yang mengusung sastra anak ini dapat bertahan

lama, bahkan setelah Si Kuntjung tidak terbit lagi. Secara finansial keadaannya terus membaik. Tak heran kalau Asmara menyuruh stafnya meminjam uang ke kantor majalah ini di Jl. Setiabudi, ketika lembaga yang dipimpinnya, Yakoma, krisis dana tunai. Hal ini diungkapkan Melati Rumahorbo, anak buahnya dulu di Yakoma.

“Biasanya Bang As akan telepon tangan kanannya di Kawanku. Suryo namanya. ‘Sur, dua puluh menit lagi Melati akan datang. Kasih uang satu juta. Ambil dulu di bank’. Suryo nanti akan teken cek atas nama Bang As,” kenang Melati. Sebagai pembesar di

Kawanku, Asmara punya otoritas, termasuk meminjamkan dana. Pada boks pengasuh Kawanku edisi 1976, misalnya, Asmara tercatat sebagai pemimpin umum. Toha Mohtar pemimpin redaksi. Adapun Julius R. Siyaranamual, Theresia S. Yansen (seorang penulis cerita anak, isteri Julius R. Siyaranamual), Susilomurti, Fadli Rasyid, dan Trim Sutidja ada di jajaran dewan redaksi. Mereka bermarkas di Asemka. Sedangkan bagian tata usaha berkantor di Setiabudi (kelak pindah ke Cengkareng).

Ketika kelak pada 1983 Asmara pulang kampung ke Sibo-rong-borong untuk menemani ibunya yang sudah sepuh dan sakit. Kawanku ia tinggalkan, seperti halnya Yakoma. Julius R. Siyaranamual melanjutkan perjalanan majalah ini bersama Toha Mohtar dan yang lain. Toha bertahan sampai tahun 1984. Sedang-kan Julius hingga 1989. Setahun berselang, cerpenis mantan redaktur Sinar Harapan itu menjual Kawanku ke Kelompok Kompas Gramedia (KKG). Alasannya, tak ada lagi kawannya untuk mengurusi Kawanku. Ia kemudian mengasuh koran Surya di Surabaya bersama Valens Doy (alm).

Ketika membeli Kawanku, KKG sebenarnya sudah punya majalah anak-anak Bobo, yang didirikan PK Ojong, Tineke Latumeten, Jakob Oetama, dan Adi Subrata pada 1973 dengan membeli lisensi dari Belanda. Oleh KKG majalah Kawanku dijadikan majalah remaja perempuan. Tampaknya agar tak berebut pangsa dengan Bobo. Sebagai catatan, KKG memiliki majalah untuk semua kelompok umur dari usia di bawah tiga tahun (batita) hingga manula. Saat ini di lingkungan KKG, majalah Kawanku dimasukkan dalam grup

wanita usia 13-17 tahun, dari tingkat ekonomi menengah ke atas, tinggal di wilayah perkotaan, aktif, dinamis, peduli tren (gaul), dan sadar mode”. Suatu peranjakan yang jauh dari masa pengasuhan oleh Asmara dan kawan-kawan, tentunya.

Jelas, seorang Asmara Nababan pernah belasan tahun intens mengurusi dunia anak-anak lewat Kawanku. Sejak kembali dari Siborong-borong hari-harinya tersita untuk mengurusi LSM ini-itu. Belakangan ia juga menjadi semacam lokomotif di Komnas HAM. Tak tersisa lagi waktunya untuk menyambangi kanak-kanak di seluruh negeri lewat bacaan kreatif macam Kawanku. Kehilangankah anak-anak Indonesia? Tentu ya, tetapi sesungguhnya tak terlalu. Sebab masih ada kekasih hati Asmara yang mengurusi anak-anak Indonesia dengan cara lain.

Orang itu adalah Magdalena Sitorus. Ibunda dari Juanita, Natasha, Aviva, dan Nathan ini adalah isteri Asmara. Magda sejak lama bergiat memperjuangkan hak anak. Wakil ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia periode 2004-2007, dan 2007-2010 berperan sentral di Jaringan Peduli Anak Bangsa dan di Solidaritas Aksi Korban Kekerasan terhadap Anak dan Perempuan. Kendati tak di Kawanku lagi, lewat Magda, Asmara sebenarnya tetap bersentuhan dengan dunia anak Indonesia.