• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berpikir Positif

Dalam dokumen Asmara Nababan: Oase Bagi Setiap Kegelisahan (Halaman 162-165)

As itu sangat asyik sebagai teman berdiskusi. Tapi kalau dianggap pembicaraan tidak ada mutunya dia tidak akan meneruskan. Dia lebih suka kalau diskusi itu ada manfaatnya. Pembicaran selalu diarahkan ke soal bagaimana ke depannya. Dan dia tidak pernah melibatkan saya ke pembicaraan soal pekerjaannya. Dia sangat memisahkan antara urusan pribadi dengan pekerjaan. Barangkali itu yang sering orang tidak tahu. Banyak orang mengira saya tahu persoalan, padahal tidak semua hal saya ketahui apalagi urusan kantor.

Saat berat-beratnya di Komnas HAM—kan banyak sekali masalah saat itu—dia cuma bilang, “aku lagi berat, tolong doakan ya.” Itu saja kalimatnya. Dia tidak pernah menceritakan ini-itu ke saya. Ia juga tak suka bergosip. Dia akan langsung cut. “Kamu tidak usah ikut-ikut,” katanya.

As itu suka bercanda. Kalau bercanda lepas sekali. Dia tahu betul, kalau dia bergaya Batak buat saya itu lucu sekali. Dia tahu betul itu. Biasanya saya akan tertawa terpingkal-pingkal. Dia sebenarnya suka banget melucu, bisa seperti teman, kadang sering juga kayak pacar. Kadang kayak bapak saya. Saya sama dia bisa bersikap manja sekali. Kadang minta ditotok atau dipijat, juga dikeramasi.

dalam rumah tangga tidak ada pertengkaran. Dia bukanlah tipe orang yang kalau bertengkar terus mendalami pertengkarannya. Kalau dia sudah marah sekali akhirnya saya memilih diam. Dan dia tahu, kalau saya sudah tidak bicara berarti lagi marah. Nah, biasanya dia akan bikin yang lucu-lucu.

Memang dia tidak memperdalam persoalan. Dia orangnya tidak suka dendam. Dia tahu, saya orang yang kalau dimarahi akan

shock. Dia jarang marah ke saya. Sekali marah akan serius. Tidak akan saya lawan. Saya akan memilih diam. Tapi kadang saya lawan kalau beralasan, misalnya, bahwa argumen saya tidak pas.

Dia juga tak pernah memaksakan kehendaknya. Tidak pernah ke saya. Sampai dia meninggal, itu tidak pernah terjadi. Justru karena dia tidak pernah memaksakan keinginannya, saya sangat berhati-hati. Saya tidak mau menyalahgunakan kepercayaannya. Bayangkan: dulu kalau saya latihan teater, kebanyakan teman teater yang jemput saya. Saya pergi dengan lawan main. As tidak gundah atau cemburu membabi-buta.

Artinya, saya dikasih kepercayaan, tidak dipaksa. Saya justru lebih berhati-hati. Mungkin akan berbeda kalau sikap dia mengatur-atur: kamu harus begini, begitu. Mungkin saya akan justru

meng-counter dia. Dan dia tahu persis kalau saya dipaksa, maka saya akan melawan. Ketika saya tidak dipaksa, saya jadi berpikir ulang. Hal itu yang saya dapatkan.

Saat di Komnas HAM dulu, misalnya harus pakai jas, pakai ini, itu, bagi dia ya tidak pergi juga tidak apa-apa. “Tidak penting itu,” katanya. Dan bagi dia tidak ada beban. Dia tidak sedih. Dia bukanlah orang yang... oh jadi harus rapi karena presiden yang mengundang. Hal itu tidak ada sedikit pun pada dirinya.

Kalau berada di satu organisasi dia bukan tipe orang yang ber-tahan walau misalnya dia suka. Kalau masih dibutuhkan, ya terus. Tapi ada waktunya. “Saya kan sudah selesai,” katanya. Dia bukan orang yang akan mempertahankan posisinya. Sewaktu di Komnas HAM, masih ada yang mengusulkan dia lagi. “Oh nggak, sudah selesai,” katanya.

Kadang-kadang saya berpikir benar kali ya, semua punya waktu. Dia selalu bilang: aku sudah selesai. Itu yang saya pelajari.

Saya juga banyak sekali belajar untuk tidak menghakimi orang. Mencoba positive thinking. Kadang-kadang saya juga tidak positif dalam menilai. Saya selalu di-warning. Kalau saya sampaikan kabar atau berita miring ke dia akan bilang, “jangan ikut gosip, kau kan tidak tahu yang sebenarnya.” Jadi saya dilatih begitu. Dia tidak akan terpaku ke situ atau membumbui. Tidak. Saya bisa langsung di-cut. “Jangan ikutan. Kau dapat kabar dari mana? Tidak tahu

kan?” Untuk yang satu itu dia memang ketat sekali.

Dia juga tidak pernah membawa cerita orang yang jelek ke saya. Ya, mungkin saja di kantornya ada banyak masalah. Ya, namanya bekerja. Pasti ada yang tidak suka, ada yang suka. Itu kalau dalam hidup biasa saja. Tapi dia tidak pernah membawa hal itu ke saya. Tidak pernah bilang, “saya tidak suka sama orang ini.”

Sama adat, bukannya dia tidak menghargai, tapi kalau sudah melenceng hal itu yang dia tidak suka. Abang-abangnya itu bilang As terlalu liberal.

Yang selalu diajarkan As pada anak-anak, “kamu tidak boleh tergantung sama orang lain. Tidak ada gunanya kamu pintar. Sepintar apa pun kalau hidupmu tidak berguna buat orang lain, buat apa.” Itu terus ia ajarkan. Bertanggung jawab, tangan mencencang bahu memikul.

Orang mungkin melihat anak saya sekolah ke luar negeri dan beranggapan pasti banyak uang. Salah lho. Saya tahu Asmara kurang waktunya untuk mengurusi ini-itu. Tapi untuk anak-anak, pasti dia membantu saya. Dia sibuk sekali. Anak saya kalau sekolah ke luar negeri dengan biaya sendiri, impossible. Dari mana. Itu adalah usaha saya.

Waktu anak saya nomor dua masih SMA, sebagai ibu, saya meng-apply sekolah SMA di luar. Saya melamar banyak sekolah atas nama saya. Dan yang menolak aplikasi ya banyak. Tapi saya tidak bosan-bosan mengirim. Akhirnya ada juga SMA di Australia yang membalas, dia ikut tes AFS. AFS itu kan kalau dia sudah setahun SMA di sana. Eh, dia diterima.

Terus saya kirim lagi surat kepada kepala sekolah SMA itu. Saya katakan bahwa anak saya dapat AFS tapi saya tidak mungkin membiayainya. Saya akhirnya dibantu oleh kepala sekolah itu.

Itu juga berkat Tuhan. Anak saya diterima, padahal saya tidak punya uang untuk membayar uang setiap bulannya. Akhirnya dia bersekolah dan mendapat orangtua angkat.

Kalau anak saya yang paling kecil di Australia dia sebetulnya menyambung apply kakaknya. Saya apply lagi. Karena saya tahu Asmara tidak mungkin membiayai. Jadi, kalaupun anak-anak saya dapat sekolah di luar negeri itu karena beasiswa.

Dalam dokumen Asmara Nababan: Oase Bagi Setiap Kegelisahan (Halaman 162-165)