• Tidak ada hasil yang ditemukan

Si Tongkar Dan Kawan-Kawan

Kota Medan tahun 1960-an. Jalanan aspal yang menghampar dari ujung Jalan Jogja (sekarang Jl. Diponegoro) yang di mulai dari Simpang rumah dinas Pangdam I/Bukit Barisan di Jalan Soedirman, sampai ke Kantor Gubernur Sumatera Utara, masih relatif sepi. Lalu-lalang mobil bisa dihitung dengan jari. Gedung-gedung perkantoran, apalagi yang bertingkat, belum banyak berdiri. Sisi kiri dan kanan sepanjang Jalan Jogja masih dipenuhi pohon-pohon mahoni dengan diameter lebih dari 25 cm serta rumah-rumah berbentuk vila peninggalan maskapai perkebunan Belanda, Inggris, dan Amerika. Vila-vila itu merupakan perpaduan arsitektur Eropa yang menyerap unsur lokal seperti arsitektur Melayu dan rumah tropis.

Sekitar 200 meter dari ujung Jalan Jogja, terdapat Jalan Cut Nyak Dien yang menghubungkan Jalan Jogja dengan Jalan Jakarta (sekarang Jalan Imam Bonjol). Dulunya Di ujung utara jalan Cut Nyak Dien yang mempertemukan dengan Jalan Jogja, waktu itu terdapat sebuah sebuah tembok setinggi kurang lebih 1,5 meter.

Di seberang tembok itu, berdiri gedung Kantor Keuangan RI Wilayah Sumut. Persis di sebelah kantor itu, terletak jalan Kartini, yang memisahkan gedung Kantor Keuangan RI Wilayah Sumut dengan Gedung Kantor Gubernur Sumatera Utara.

Di atas tembok ujung jalan Cut Nyak Dien itulah sekelompok remaja SMP dan SMA yang menyebut diri mereka Geng Simpang Cut Nyak Dien, duduk-duduk sembari kombur atau ngobrol-ngobrol membuang waktu sore hari selepas pulang sekolah.

Topiknya beragam. Mulai dari soal pelajaran sekolah, soal guru yang galak, sampai soal politik. Terkadang, obrolan mereka juga berkisar hal remeh temeh seperti soal pacar atau perlakuan orangtua di rumah.

Terkadang, satu dua orang di antara mereka dijumpai tengah asyik meluncur di atas Jalan Jogja di atas sepatu roda mereka. Sementara remaja lain yang duduk-duduk di atas tembok sembari menyoraki mereka yang tengah menari-nari di atas sepatu roda. Pada waktu itu, Jalan Jogja memang kerap dijadikan ajang untuk bermain sepatu roda para remaja. Tak terkecuali yang tergabung dalam Geng Simpang Cut Nyak Dien.

Mereka sebagian besar adalah anak-anak SMP, dan sebagian lagi anak-anak SMA yang rumahnya berada di seputaran Jalan Sudirman, jalan Jogja, Jalan Jakarta, dan jalan Padang Bulan. Kawasan itu merupakan kawasan perumahan elit, dan di era tahun 1990-an telah berubah menjadi kawasan perkantoran, hotel dan perumahan elit di Medan.

Di Medan waktu itu tengah bermunculan geng-geng remaja yang anggotanya berasal dari kalangan anak-anak sekolah setingkat SMP dan SMA. Geng-geng itu punya ciri khas, misalnya penggunaan embel-embel boys di belakang nama geng, yang terkenal di antaranya adalah Tarantula Boys, Jim Boys, dan sebagainya. Sedangkan di kalangan anak-anak muda yang tak bersekolah, dan mereka yang tak punya pekerjaan alias pengangguran, mengorganisir diri ke dalam organisasi kepemudaan. Geng-geng anak muda pengangguran ini sering dijuluki sebagai preman, dan umumnya masih eksis sampai sekarang.

Geng anak-anak sekolah kerap terlibat perkelahian dengan geng lain karena soal-soal sepele seperti karena saling ejek di antara mereka, atau karena iri tak diundang ke pesta ulang tahun anggota geng lain. Sedangkan di kalangan geng preman penyebabnya adalah faktor ekonomi, misalnya rebutan lahan untuk menjaga keamanan gedung bioskop atau pusat keramaian lainnnya.

Anggota Geng Simpang Cut Nyak Dien adalah anak-anak SMP Negeri I yang waktu itu terletak di Jalan Tunsri Lanang (sekarang di depan Hotel Tiara Medani). Ada juga anak-anak yang berasal

dari SMP Nasrani di Jalan Candi Biara, dan anak-anak SMA Nasrani di Jalan Padang Bulan. Selain beragam asal sekolahnya, sukunya juga beragam. Ada yang berasal dari suku Batak, Sunda, Tionghoa, dan Jawa.

Di antara anak muda itu, ada sosok yang paling mudah dikenali. Selain postur tubuhnya yang tinggi, rambut ikal, wajah ganteng, dan kulit lebih terang, sosok anak muda itu juga dikenal jago debat dan jago berkelahi. Ia juga dikenal jago bermain sepatu roda. Kakinya yang panjang, membuatnya mahir meluncur mundur.

Teman-temannya sering memanggilnya “Si Tongkar”. Tongkar adalah istilah dalam bahasa Batak, artinya kurang lebih keras kepala. Terkadang mereka juga memanggilnya Viktor. Julukan Si Tongkar diberikan karena Viktor memang tergolong anak muda berdarah panas. Jika berdebat dengan teman-temannya, ia dikenal teguh dan gigih dalam mempertahankan pendapatnya. Ia tak gampang mengalah. Bahkan jika perdebatan memuncak, dan tak ada titik temu, alias kedua belah pihak tak ada yang mau mengaku kalah, tidak jarang diselesaikan lewat adu jotos!

Suatu hari, si Tongkar, terlibat perdebatan dengan kawannya. Karena sama-sama ngotot dan tidak ada yang mau mengalah mereka menjadi bersitegang, bahkan sudah hampir siap berantem. Untung berhasil dicegah Ucok, anggota geng lain. Oleh Ucok, si Tongkar dan temannya kemudian dibawa ke rumahnya yang hanya berjarak sekitar 200 meter dari tempat mereka kongkow-kongkow. Rumah Ucok atau Dimardi Abas Harahap1 memang terletak di Jalan Cut Dien. Oleh Ucok, keduanya kemudian digiring ke garasi mobil rumahnya. Nah, di garasi mobil itulah pemenang adu debat ditentukan lewat adu jotos!

“Tapi usai berkelahi, mereka saling salaman, dan masalah selesai di situ,” tutur Ucok mengenang kejadian sekitar 40-an tahun lalu itu.

1 Ucok atau Dimardi Abas adalah putra dari pasangan Abas Hutasuhut Harahap dan Ani Abas Manopo. Lelaki kelahiran Padang Sidimpuan, 10 Desember 1947 ini, dikenal sebagai pemilik Radio Kiss Group, dimana tergabung 7 stasiun radio yang membuatnya dijuluki “Si Raja Radio” dari Medan.

Si Tongkar menurut Ucok memang dikenal sebagai remaja yang suka ribut. Pernah suatu hari mereka tengah berjalan bersama menikmati udara sore kota Medan. Waktu itu mereka tengah menyusuri jalan Abdul Rifai. Dari arah belakang mendadak sebuah Vespa tanpa sengaja menyenggol bahu si Tongkar. Hampir saja si Tongkar jatuh. Meledaklah amarahnya. Ia langsung berteriak sembari menggulung lengan bajunya.

“Ayo, buka baju!” tantang si Tongkar.

Kebetulan di sekitar lokasi kejadian ada sebidang tanah lapang. Karena, pengendara vespa juga anak muda, maka perkelahian pun tak terhindarkan. Cuma Ucok tak ingat siapa pemenang perkelahian itu.

Pernah juga waktu orang tua si Tongkar mendiami rumah di Jalan Sudirman yang bersebelahan dengan rumah dinas Gubernur Sumut, ia terlibat perkelahian dengan tetangganya. Waktu itu, Ucok dan Santoso, anggota geng lainnya, sudah janjian hendak menjemput si Tongkar untuk berlebaran ke rumah-rumah anggota geng lain yang merayakan lebaran. Mereka bertiga sudah siap berangkat dengan mobil milik temannya ketika si Tongkar men-dadak bilang, “Tunggu.... tunggu, ini ada yang kurang ajar ini,” kata si Tongkar dan langsung berantem dengan tetangganya.

Karena tetangga si Tongkar membawa anggota gengnya, maka Ucok dan Santoso pun akhirnya ikut membantu berantem. Rencana hendak melakukan “safari lebaran” pun jadi berantakan.

Banyak kenangan Ucok terhadap si Tongkar. Selain dikenal sebagai remaja yang suka ribut, Tongkar juga dikenangnya sebagai pemuda yang romantis.

“Bersama abangnya, ia suka dansa-dansa di pesta-pesta ulang tahun temannya,”ujar Ucok. Pesta dansa memang sangat digemari anak-anak muda waktu itu. Maklum, saat itu, sarana hiburan memang masih terbatas. Karena itulah, jika ada remaja yang mengadakan pesta dansa, dan si Tongkar dan abangnya tidak diundang, mereka akan mengajak remaja lain yang tak diundang untuk melempari rumah yang berpesta itu. Akibatnya terjadi keonaran dalam pesta. Polisi pun turun tangan. Sebagai hukumannya si Tongkar cs dinaikkan ke mobil polisi dan diturunkan di desa Sunggal. Di

tengah malam buta, mereka disuruh pulang jalan kaki sepanjang kurang lebih 10 Km.2

Selain gemar pesta dansa, sebagaimana remaja umumnya, si Tongkar juga dikenal gemar nonton film. Nah, anak-anak Geng Simpang Cut Nyak Dien ini kalau malam Minggu biasanya mengayuh sepeda mereka ramai-ramai ke gedung bioskop Metropol di Kampung Keling (sekarang Kampung Madras). Gedung bioskop Metropol terletak di ujung Jalan Kalkuta (sekarang Jalan Taruma), persis berseberangan dengan ujung Jalan Tjik Di Tiro. Selain film perang, koboi dan Indonesia, gedung bioskop itu juga kerap memutar film-film India dan Jepang. Selain di gedung bioskop Metropol, mereka juga kerap nonton di gedung bioskop Astoria di Jalan Iskandar Muda.

Karena waktu itu batas usia menonton film 17 tahun, mereka mengelabui penjaga bioskop dengan memakai celana panjang agar kelihatan sudah dewasa. Dengan cara begitu, mereka bisa menyaksikan film perang, atau cowboy kegemaran mereka.

Si Tongkar menurut Ucok juga suka membaca cerita silat karya Asmaraman S. Koo Ping Ho dan OKT (Oey Kim Tiang). Ia sangat karib dengan nama-nama aliran silat seperti Kun Lun Pay, Bu Tong Pay maupun Siaw Lim Pay. Biasanya buku cerita silat itu mereka pinjam ramai-ramai dari tempat persewaan buku. Bacanya secara bergiliran. Hobi lain si Tongkar adalah melukis komik, seperti Flash Gordon, Gatotkaca atau tokoh-tokoh wayang karya Sri Kosasih yang waktu itu populer di kalangan anak-anak sekolah setingkat SMP dan SMA. Salah satu teman karib si Tongkar waktu membuat komik adalah Boy Harjo, putra komikus Taguan Harjo yang terkenal dengan komik bersambungnya Mentjari Musang

Berdjanggut (1958) itu.

Hiburan lain jika hujan atau gerimis mengguyur Kota Medan adalah berenang dengan naik rakit menyusuri Sungai Babura. Mereka juga sering berenang ke Sungai Sunggal yang jernih 2 Pernah juga si Tongkar dan abangnya terlibat dalam keributan di sebuah pesta ulang tahun yang mengakibatkan mereka berdua direndam di dalam bak air bercampur oli pada tengah malam. Wawancara dengan Edith Dumasi Nababan pada 15 Mei 2010.

airnya. Karena hulu Sungai Sunggal cukup jauh, mereka ramai-ramai menggunakan sepeda melewati Jalan Darussalam dan Sei Serayu yang waktu itu masih berupa jalan setapak milik perusahaan perkebunan. Mereka juga harus melewati sawah-sawah penduduk. Nah, kenakalan khas anak remaja sering muncul waktu itu.

“Kami suka mencuri jambu klutuk,” ungkap Ucok. Karena kegiatan mandi dan berenang di Sungai Sunggal dilakukan dari pagi sampai sore hari, mereka biasanya membawa bontot (bekal nasi dari rumah). Lauknya ikan teri. Nah, setelah puas mandi dan berenang, mereka kemudian ramai-ramai memancing. Banyak ikan di situ. Biasanya jenis ikan yang didapat adalah ikan gabus.

“Begitu dapat, langsung dibersihkan dan dipanggang sebagai penambah lauk,” kenang Ucok.

Si Tongkar kebagian tugas membersihkan dan memanggang ikan gabus. Menurut Ucok si Tongkar memang jago memanggang ikan. Terkadang si Tongkar juga membawa pulang ikan “cencen” atau yang di Medan dikenal sebagai ikan aduan.

Jika tak mandi dan berenang ke Sungai Sunggal, Ucok, si Tongkar dan anggota geng lainnya, sering menyisir sungai Babura, mulai dari jembatan Titi Kuning dekat Gedung Johor, sampai ke Pulo Brayan. Jembatan Titi Kuning dipilih sebagai titik awal, karena dari sana si Tongkar dan anggota geng lainnya, dapat melompat bebas ke bawah setinggi 20 meter ke Sungai Babura. Nah, di bantaran sungai sudah tersedia rakit, terbuat dari beberapa batang pohon pisang yang ditusuk dengan kayu. Begitulah rakit batang pohon pisang itu membawa mereka sampai ke Pulo Brayan, sekitar 20 Km dari Titi Kuning menuju arah Pelabuhan Belawan.

Satu rakit dinaiki 6 orang. Di atas rakit mereka melompat-lompat. Kalau air sungai Babura tengah pasang, maka sepanjang perjalanan mereka bolak-balik terjatuh ke dalam air. Terkadang terminum juga air sungai yang warnanya kecoklatan. Nah, jika sudah sampai di Pulo Brayan, mereka kemudian pulang ke rumah masing-masing dengan naik hondi atau angkutan umum, yang di Medan dikenal dengan sebutan sudako. Rambut sudah kering, pun celana dan baju. Alhasil mereka sampai ke rumah dengan selamat tanpa omelan orangtua.

Tempat lain yang kerap disambangi anggota Geng Simpang Cut Nyak Dien adalah Taman Beringin, terletak di ujung Jalan Cik Di Tiro yang mempertemukan dengan Jalan Sudirman, persis di depan rumah dinas Gubernur. Taman itu juga berada di pinggir Sungai Babura. Menurut ingatan Ucok, di taman itu dulu banyak belalang. Dari si Tongkar, Ucok dan anggota geng lain belajar tentang nikmatnya menyantap sate belalang.

“Memang rasanya kayak ikan dibakar,” tutur Ucok. Sejak itu rupanya si Tongkar dan saudara-saudaranya kerap menyantap sate belalang.