• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komite Anti Korupsi

Menjelang 1970 harga minyak di pasar internasional melonjak. Penyebabnya adalah perang di Timur Tengah. Negara-negara Arab mulai enggan menjual minyak ke Barat yang menjadi pendukung Israel. Puncak boom minyak pertama adalah tahun 1973-1974.

Sebagai eksportir, Indonesia menikmati betul hasil boom atau bonanza minyak ini. Negara beroleh pajak minyak yang berlipat. Pertamina sebagai otoritas perminyakan nasional, pun menjadi kaya raya lalu meluaskan bisnisnya ke mana-mana. Hotel, resort, atau lapangan golf mereka bangun di banyak tempat.

Tapi berkah minyak ini juga sekaligus menjadi bencana: para pejabat mulai giat korupsi. Efek meniru bermunculan. Korupsi berjangkit di Pertamina, Bulog, Departemen Kehutanan, dan tempat lain. Pers secara kritis menyoroti fenomena ini secara intens.

Aksi protes menolak korupsi pun marak terutama di Jakarta dan Bandung, melibatkan para cendekiawan, budayawan, mahasiswa dan pelajar.

Di Jakarta Arief Budiman, Harry Victor, Sjahrir, dan Julis Usman melancarkan gerakan Mahasiswa Menggugat. Selain korupsi, yang mereka tentang adalah rencana pemerintah menaikkan harga minyak di dalam negeri.

Menanggapi aksi protes yang marak, para pejabat termasuk teknokrat yang duduk di kabinet antara lain Widjojo Nitisastro pun mencoba memberi penjelasan di pelbagai forum. Namun sia-sia saja, demo-demo tetap berlanjut.

Aksi protes baru sedikit mereda setelah Presiden Soeharto membentuk komisi khusus untuk memberantas korupsi pada 31 Januari 1970. Komisi ini dinamai Komisi Empat dengan melibatkan sejumlah tokoh terhormat. Ketuanya adalah Wilopo dengan para anggotanya antara lain adalah I.J. Kasimo, Herman Johannes, dan Anwar Tjokroaminoto. Sekretarisnya Mayjen Suto po Juwono. Sedangkan proklamator Mohammad Hatta menjadi penasehatnya. Namun, aktivis mahasiswa beranggapan gerak Komisi Empat terlalu lamban, di Jakarta kelompok Mahasiswa Menggugat bersama Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) mem-bentuk Komite Anti Korupsi (KAK). Arief Budiman, Marsillam Simanjuntak, dan Sjahrir termasuk pentolannya. Sedangkan Asma-ra Nababan, Akbar Tanjung, Thoby Mutis, dan yang lain menjadi pegiatnya.

Asmara dan Akbar yang berkawan sejak masih di SD Nasrani Medan bekerja bahu-membahui untuk membeprkuat gerakan ini. Sewaktu di SD, panggilan Asmara masih Victor sedangkan Akbar adalah Janji Akbar Tanjung.

Komite Anti Korupsi sempat mendatangi sejumlah kementerian di Jakarta untuk meminta laporan tentang korupsi dan peng-hamburan uang negara. Di Bandung, di masa yang sama, kelompok Bandung Bergerak juga giat memerangi korupsi.

Pada September 1970 parlemen membahas Rancangan Undang-Undang Anti-Korupsi. Merasa tuntutannya telah didengar, para pengunjuk rasa lantas cooling down. Tak terkecuali KAK. Ternyata

perasaan mereka terbukti tak berdasar. Praktik menilap uang negara berlanjut hingga sekarang, sekitar empat dasawarsa berselang.

Golput

Tak lama Asmara dan kawan-kawannya cooling down. Isu lain sudah siap untuk mereka gelindingkan kembali. Kali ini bukan isu korupsi lagi, melainkan kekuasaan yang semakin hegemonik.

Di masa konsolidasi kekuasaan yang pekat dengan warna de-Soekarnoisasi, Orde Baru bertumpu pada tiga pilar utama yakni militer-birokrasi-Sekretariat Bersama (Sekber) Golongan Karya (Golkar). Sekber Golkar merupakan organisasi ’kelompok fungsional’ bentukan Angkatan Darat.

Langkah pertama penguasa Orde Baru adalah menguasai parlemen. Tentara dan orang-orang Sekber Golkar dimasukkan ke MPRS untuk menggantikan mereka yang dianggap pro-Soekarno. Parlemen inilah yang kemudian, pada Maret 1967, mengangkat Soeharto sebagai pejabat presiden. Setahun berselang mereka pula yang menetapkan Panglima Kostrad itu sebagai kepala negara.

Setelah Soeharto menjadi orang nomor satu, ia menempatkan para perwira loyalis di posisi strategis birokrasi. Lalu, birokrasi pun di-Golkarkan. Agar golkarisasi mulus maka semua kekuatan lama di tengah masyarakat yang dianggap pendukung Soekarno dilum-puhkan secara sistematis. Kekuatan intelijen—Kopkamtib, BAKIN, dan Opsus, khususnya—dikerahkan untuk itu.

Setelah mendapatkan posisi aman, Orde Baru memutuskan untuk menggelar Pemilu. Pada 1971 dilaksanakan Pemilu pertama Orde Baru sekaligus Pemilu ke dua sejak Indonesia merdeka. Pemilu pertama di republik ini tahun 1955. Empat besar peraih suara kala itu adalah Partai Nasional Indonesia (PNI, 22, 3%), Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi, 20,9%), Nadhatul Ulama (NU, 18,4%) dan Partai Komunis Indonesia (PKI, 15,4%).

Menjelang pemilu 1971 konsolidasi Orde Baru berlangsung lebih intens. Keluar Peraturan Menteri Nomor 12 pada 4 Desember 1969 yang melarang wakil Sekber Golkar di parlemen pusat dan daerah ikut partai politik. Pilihannya adalah ikut Golkar atau ke luar dari parlemen. Golkar tak pernah disebut sebagai parpol kendati

dalam praktiknya merupakan partai murni.

Presiden Soeharto kemudian menugasi secara khusus Menteri Dalam Negeri Amir Machmud untuk mengenyahkan semua perintang jalan Golkar. Amir Machmud pun membentuk direktorat jenderal khusus di kementeriannya. Tugasnya? Melakukan ’pembinaan politik’. Menjelang pemilu jenderal yang oleh pers dijuluki ’buldoser’ ini membentuk Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia (Korpri) sebagai wadah tunggal seluruh pegawai negeri. Pada pemilu 1971 setiap anggota Korpri wajib memilih Golkar. Wajib Golkar juga berlaku untuk ABRI (yang mencakup Polri). Selama 32 tahun Orde Baru berkuasa pewajiban ini berlanjut.

Di saat yang sama operasi intelijen berlangsung di tengah masya-rakat. Tujuannya, melumpuhkan kekuatan apa saja yang potensil menjadi perintang bagi Golkar saat Pemilu nanti. Operasi Khusus (Opsus) yang dipimpin Jenderal Ali Moertopo dan satuan intelijen lain turun untuk menggembosi partai-partai Islam dan nasionalis yang berjaya waktu Pemilu 1955.

Kopkamtib yang langsung di bawah kendali Jenderal Soeharto memanfaatkan kekuatan teritorial (dari Kodam hingga Koramil-Babinsa) untuk melempangkan jalan Partai Kuning. Oleh penguasa, siapa saja yang tak mendukung Golkar dipersepsikan sebagai musuh negara.

Kelompok-kelompok kritis mengecam tindakan penguasa yang kian semena-semena. Menjelang Pemilu, pada 28 Mei 1971, kelompok Golongan Putih (Golput) mendeklarasikan kebera-daannya. Jurubicara utama mereka adalah Arief Budiman. Motor gerakannya di lapangan antara lain Imam Waluyo, Julius Usman, Jusuf AR, Marsillam Simanjuntak, Jopie Lasut, dan Asmara Nababan. Kendati secara resmi bukan pencetus atau pegiat, pengacara kawakan Adnan Buyung Nasution secara terbuka juga setia mendukung mereka.

Golput mengkampanyekan gerakan pemboikotan Pemilu. Alasan nya, karena ’pesta demokrasi’ itu manipulatif. Golkar dan kontestan lain tidak menghargai prinsip fair play.

Ali Moertopo yang saat itu merupakan asisten pribadi (aspri) presiden secara terang-terangan memperlihatkan ketaksukaannya.

Ia menyebut Golput itu seperti kentut: baunya terasa tapi tak kelihatan barangnya.

Golput telah berjuang keras berkampanye. Begitupun, tingkat partisipasi rakyat dalam Pemilu 1971 ternyata sangat tinggi. Hal ini berkat operasi yang sistematis yang melibatkan segenap aparatur kekuasaan. Golkar membukukan sukses yang tak tanggung-tanggung. Mereka merebut 62,8% suara. Sementara kekuatan lama yang diperkirakan akan menjadi saingannya—PNI dan NU— jatuh terpuruk.