• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jadi Penjaga Gawang

Ali Said meninggal dunia pada 5 Juli 1996. Pengganti Ketua Komnas HAM adalah mantan menteri agama Munawir Sjadzali, pada Oktober 1996. Sepeninggal Ali Said peran Lopa kian nyata. Ia menjadi penjaga gawang utama dalam bidang etik. Ia sangat me-nampik pemberian oleh pihak luar. Orang Komnas HAM tak boleh menerima pemberian dari orang luar, termasuk makanan pun.

Suatu ketika, misalnya, orang yang datang mengadu ternyata membawa serta pisang. Buah matang yang baru dipetik dari kebun itu mereka kasih ke orang Komnas HAM sebagai buah tangan. Lekas santapan ranum itu berpindah tangan ”Pak Lopa suruh kembalikan,” kata Roichatul.

Lopa tak hanya tegas pada orang lain; pada dirinya juga. Suatu ketika, saat bertugas di Kuala Lumpur, ia dan Asmara menginap di sebuah hotel. Saat hendak check-out petugas hotel mengatakan rekening mereka telah dibayar seseorang. Mereka mencari tahu siapa orang itu. Ternyata duta besar Indonesia untuk Malaysia. Sang Dubes adalah teman Lopa. Waktu dikontak Dubes itu tak mau uangnya dikembalikan. Setelah berdiksusi panjang, Lopa dan Asmara pun bersepakat: sesampai di Jakarta nanti uang hotel akan mereka kirim ke sang Dubes. Itu memang mereka lakukan.

Di Makassar, hal seperti itu juga terjadi. Waktu itu anggota Komnas HAM yang lain, BN Marbun, ikut. Rekening mereka ternyata telah dibayar teman BN Marbun. Lopa menyuruh Marbun mengem balikan uang kawannya tersebut.

Sejak awal Lopa dan Asmara memiliki sikap yang sama soal etik yang harus ditegakkan di lingkungan Komnas HAM. Mereka sama-sama jujur dan tegas dalam prinsip, itulah elemen yang utama yang merekatkan keduanya. Untuk seterusnya mereka akan menjadi pasangan tak terpisahkan yang paling bersemangat menjaga Komnas HAM tetap di rel atau senantiasa on-track.

Satu lagi unsur kesamaan mereka adalah serupa pekerja keras. ”Mereka sama gilanya.Terlebih Pak Lopa. Kalau kerja ya kerja. Tidak ada staf, tidak ada aturan, tapi dia jalan terus,” kenang Roichatul.

Kesepakatan lain komisioner yang berkaitan dengan etika adalah senantiasa tidak partisan ketika sedang menangani kasus. Untuk itu mereka yang punya kepentingan (vested interest) tak boleh ikut dalam pembahasan kasus; apalagi dalam voting.

Begitulah, Asmara misalnya tak ikut dalam sidang-sidang yang membahas kasus konflik Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Masalahnya, abang kandungnya, SAE Nababan, sebagai ephorus atau pimpinan tertinggi menjadi parapihak dalam sengketa itu. Miriam Budiardjo pun demikian dalam kasus Freeport. Suaminya, Boediardjo, merupakan pembesar di perusahaan tambang tersebut. BN Marbun juga tak ikut menangani kasus 27 Juli 1998. Sebab sebagai pendukung Soerjadi melawan kelompok Megawati ia terhitung sebagai para pihak.

Berani

Pleno menjadi arena bermain Lopa, Asmara dan kawan-kawan-nya yang segaris dalam memperjuangkan agar sebuah kasus pelanggaran HAM ditangani sepenuh hati. Ibarat pesepakbola, gaya bermain mereka cantik dan rampak.

Lopa, seperti kata Roichatul, akan membuka omongan. Menen-dang bola, tujuannya. Sebagai pemimpin siMenen-dang Marzuki akan menyambut bola dan membagikannya kepada para profesor. Memainkan bola dari kaki ke kaki, itulah yang akan dilakukan para guru besar. Karena bukan orang lapangan, mereka akan berkutat di ranah ilmiah saja dengan tujuan mencari dasar atau landasan ilmiah dari sebuah keputusan nanti.

Sesudah keputusan diambil, Lopa, dalam sidang pleno itu akan meminta Asmara menyiapkan statemen yang akan disampaikan ke mediamassa. Sebelum pernyataan dibuat biasanya Lopa, Marzuki, dan Asmara akan menggodok dulu. Begitulah Baharudin Lopa, Marzuki Darusman, Asmara Nababan, dan para profesor sejalan pikiran menjadi skuad yang kompak di sidang-sidang pleno. Merekalah yang gigih memperjuangkan agar pengungkapan demi pengungkapan dilakukan.

Pada 1994, tak lama setelah Komnas HAM dibentuk, misalnya, Asmara Nababan ditugasi ke Aceh. Di sana ia dan kawan-kawannya berhasil meyakinkan Kapolda setempat untuk membebaskan tahanan (orang GAM) yang tak pernah diadili. “Pak Asmara-lah yang pertama kali ke Aceh untuk mulai pembongkaran otoriterisme. Dalam hal ini penahanan warga negara Indonesia yang dikaitkan dengan GAM. Hasilnya, pelepasan 11 anggota GAM yang ditahan,” kata Marzuki Darusman.

Kelak, pada 1998, Lopa dan anggota timnya mendatangi Aceh. Di sana mereka membongkar kuburan massal. Setelah itu mereka mengumumkan lewat media hasil temuannya.

Pengungkapan jumlah korban selama Aceh berada dalam status daerah operasi militer (DOM, 1989-1998) membuat Menhankam/ Pangab Jenderal TNI Jenderal Wiranto jengkel. Kepada pers ia menyatakan dirinya meragukan hasil temuan tim Komnas HAM. Seperti hendak berkelit, dia menyebutkan yang dibongkar Komnas itu mungkin kuburan orang-orang PKI. Menanggapi Wiranto, Lopa menyatakan kuburan itu belum tua. Itu terlihat dari pakaian, ikat pinggang, atau alas kaki korban yang belum berumur betul. Ia mempersilakan siapa pun yang tak percaya—termasuk Wiranto— untuk melihat sendiri.

Komnas HAM kembali bersitegang dengan penguasa tak lama setelah Peristiwa 27 Juli 1996. Soeharto marah ketika Komnas HAM mengumumkan hasil temuannya tentang jumlah korban dalam peristiwa penyerbuan markas pendukung Megawati di Jl. Diponegoro, Jakarta, tersebut. Menkopolkam Soesilo Soedarman kemudian secara tak langsung menuding Komnas HAM telah ke luar dari jalur.

Saat itu Soesilo Soedarman menyatakan, “ada kesan bahwa Komnas HAM cenderung secara operasional menyelesaikan seng-keta hukum yang terjadi di masyarakat.”

Lewat mediamassa juga, Komnas HAM menepis tudingan itu. Dalam rapat koordinasi tiga bulanan pada Desember 1996 pihak Menkopolkam akhirnya bertemu dengan tim Komnas HAM. Soesilo Soedarman waktu itu didampingi antara lain oleh Pangab Jenderal TNI Feisal Tanjung, Menhankam Edi Sudradjat, Mensesneg Moerdiono, dan Kapuspen Syarwan Hamid. Sedangkan delegasi Komnas terdiri dari Ketua Munawir Sjadzali, Wakil Ketua Marzuki Darusman, Sesjen Baharudin Lopa, AA Baramuli, Sugiri, dan Miriam Budiardjo.

Moerdiono dan Feisal marah-marah kala itu. Kemungkinan karena bos mereka, Soeharto, juga marah. Di sisi lain, Lopa juga sempat melabrak Syarwan Hamid dalam pertemuan itu. Pasalnya sang Kapuspen menyatakan dirinya telah mengamati gerakan PRD sejak tujuh bulan sebelumnya. Lopa jengkel karena menurut jalan pikirannya, Syarwan telah menjebak anak-anak muda radikal tersebut. Seharusnya, tegas Lopa, kaum muda tersebut disadarkan dan dibina dalam arti yang sebenarnya.

Setelah bersitegang Menkopolkam dan rombongannya kemudian bersepakat dengan orang Komnas HAM bahwa mereka akan lebih saling menghormati di masa mendatang.