• Tidak ada hasil yang ditemukan

Memperkuat Civil Society

Setelah lima tahun menjadi direktur Yakoma, pada 1983 Asmara mengundurkan diri dari Yakoma. Alasannya, mau pulang kampung ke Siborong-borong untuk menjaga ibunya yang sudah 75 tahun dan sakit. Setelah Jonathan Laban Nababan berpulang tahun 1983, kesehatan Erna Intan Dora Lumbantobing menurun, dan mulai sakit-sakitan. Asmara berkeinginan pulang kampung untuk merawat ibunya, dan disetujui isteri dan anaknya.Tahun itu juga ia memboyong isteri dan kedua anaknya (dua perempuan) pulang kampung.

Asmara menulis surat resmi kepada pengurus Yakoma pada 11 Mei 1983, menyatakan mundur sejak 16 Juni 1983. Alasannya, ia akan pulang ke Siborong-borong selama dua tahun untuk merawat ibunya yang sudah 75 tahun dan sedang sakit. Mengingat hubungan yang terjalin baik sejak 1975, ia bersedia membantu Yakoma sepulang dari kampung nanti.

Badan Pengurus Yakoma mengabulkan pengunduran diri itu. Dalam surat jawaban bertanggal 16 Juni 1983 yang ditandai HG Rorimpandey (ketua) dan Julius R. Syaranamual (sekretaris) pengurus mengucapkan terimakasih dan penghargaan karena Asmara telah bertugas sebagai direksi Yakoma sejak 5 Juni 1978

hingga 16 Juni 1983.

Pekerjaan Asmara Nababan sebagai pemimpin umum Majalah

Kawanku, di antara para saudaranya, dianggap lebih memiliki banyak waktu luang. Ada juga perjanjian, bahwa Asmara dan ke-luarga nya akan tinggal di Siborong-Borong selama 2 tahun, kemu-dian akan diganti abangnya, Leo Nababan dan keluarganya.

Selain untuk merawat ibunya, Asmara memang memiliki agenda untuk memfalitasi pergerakan masyarakat sipil. Mimpi Asmara adalah munculnya masyarakat yang kuat, secara individu maupun kelompok. Pada tahun 1980-an, di Sumatera Utara belum tumbuh kekuatan sosial alternatif untuk mendorong perubahan. Memang ada LSM dan lembaga diakonia sosial yang dikembangkan beberapa gereja, misalnya Rumah Sakit Bethesda dan unit pengembangan pertanian yang dikelola Gereja Kristen Protestan Simangulun (GKPS). Namun keberadaan lembaga sosial gereja dipandang belum maksimal.

Hal itu tak dapat dipisahkan dari hegemoni ideologi pembangunan ala rezim Orde Baru yang waktu itu sangat mengutamakan per-tum buhan ekonomi, stabilitas nasional dan pemerataan (yang sering disebut dengan Ideologi Trilogi Pembangunan). Oleh Rezim Soeharto, ketiga hal itu digunakan untuk mengesahkan dan melegalkan semua tindakan yang diambil sekalipun melanggar hak asasi manusia. Trilogi Pembangunan yang dijalin dengan represi militer juga dipakai sebagai perisai untuk mencegah dan menumpas kritik serta perlawanan dari penentang rezim.3 Untuk mengenjot pertumbuhan ekonomi, rezim Soeharto mengundang masuk modal asing, termasuk utang ke lembaga-lembaga keuangan multilateral. Ciri lain dari strategi pembangunan ala Orde Baru adalah sifatnya yang teknokratis dan birokratis. Pendekatan yang bersifat teknokratis tercermin lewat pelibatan sejumlah teknokrat UI (Universitas Indonesia) yang umumnya mengenyam pendidikan di Universitas Berkeley di AS, dikenal sebagai ‘Mafia Berkeley’. Tokoh-tokoh utamanya terdiri atas lima sekawan yaitu Widjojo Nitisastro, 3 Arief Budiman dan Olle Tornquist, Aktor Demokrasi, Catatan tentang

Gerakan Perlawanan di Indonesia, 2001, Jakarta, ISAI (Institut Studi Arus Informasi).

Ali Wardhana, Emil Salim, Soebroto dan Mohammad Sadli. Mafia Berkeley ini kemudian diperkuat Sumitro Djojohadikusumo, Radius Prawiro, dan Frans Seda. Para teknokrat utama rezim Orde Baru ini dikenal sebagai penganut dan penganjur pemikiran neo klasik.

Selain membutuhkan dukungan militer sebagai alat pemaksa, model pembangunan yang dirancang para teknokrat kita juga bersifat birokratis. Artinya segala prakarsa pembangunan diambil oleh para birokrat. Rakyat praktis tidak dilibatkan. Tidak heran jika jargon yang diperkenalkan adalah “pembangunan untuk rakyat”. Jargon tersebut memaknakan bahwa negara adalah aktor pembangunan, dan rakyat adalah penerima hasil-hasil pembangunan. Konsep pembangunan untuk rakyat juga mengasumsikan bahwa rakyat bodoh, tidak punya inisiatif dan kurang bisa diandalkan untuk meren canakan, melaksanakan dan mengevaluasi suatu proyek pembangunan. Rakyat perlu ditolong dan hanya dibutuhkan untuk dimobilisir sumber daya ekonominya.

Dengan kata lain, ideologi pembangunanisme rezim Orde Baru telah membungkam prakarsa dan suara-suara kritis-alternatif di dalam masyarakat. Mereka mengkooptasi seluruh kekuatan sosial-politik di bawah kendalinya.

Ketika itu, banyak tokoh, akademisi, cendekiawan, masyarakat Batak, yang larut dengan ideologi pembangunanisme ini. Bagi mereka, kemiskinan mesti dijawab dengan modernisasi, indus-trialisasi, intensifikasi dan diversi fikasi pertanian. Kemiskinan bahkan dipahami sebagai akibat dari kemalasan, kebodohan, dan persoalan mentalitas lainnya. Se cara sadar atau tidak, mereka semua menjadi agensi pemba ngunanisme, dan bukan menjadi kekuatan transformatif dan kritis terhadap jalannya pembangunan dan peinerintahan.

Gereja-gereja di Tanah Batak juga demikian. Seperti juga gereja-gereja dan kelompok agama lain di Indonesia, mereka— kecuali sekelompok kecil di dalamnya—bukan menjadi kekuatan kritis atau menempatkan diri sebagai penyeimbang ke kuasaan pemerintah yang menindas; sebaliknya justru menjadi kekuatan legitimasi. Mereka menganggap gereja tidak perlu mencampuri masalah sosial dan politik, termasuk pelanggaran- pelanggaran

hak asasi yang dialami masyarakat dan jemaatnya.

Situasi masyarakat sipil yang lemah sebenarnya disadari sejumlah aktivis mahasiswa serta pendeta muda dari berbagai gereja di Sumut. Karena itu kedatangan Asmara yang menyumbangkan banyak sekali ide dan gagasan kreatif untuk mentransformasikan model pelayanan gereja yang cenderung berdimensi ‘saleh keagamaan’ menjadi ‘saleh sosial’, disambut dengan tangan terbuka.

Bagi Asmara, transformasi pelayanan ‘saleh sosial’ dilakukan melalui perahu LSM. Dalam kancah orientasi gerakan sosial, Asmara memimpikan tumbuhnya lembaga-lembaga swadaya ma syarakat yang tak hanya mengembangkan pendekatan

com-mu nity development, tetapi juga community organization. Harus diakui, pendekatan keamanan yang diterapkan rezim Orde Baru, membuat banyak aktivis lebih memilih pendekatan commu nity

development karena community organization diang gap beroposisi dengan rezim Orde Baru.

Untuk menumbuhkan LSM transformatif, Asmara aktif mela-kukan diskusi di berbagai daerah, baik dengan kalangan aktivis mahasiswa maupun dengan para pendeta muda yang memiliki kegelisahan yang sama.

Karena dilandasi idealisme yang sama, pertemuan yang dilakukan kapan pun, bahkan tengah malam sekali pun, tak menyurutkan kehadiran para aktivis. Tempat diskusi diadakan berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain. Bisa di Pematang Siantar, Medan, Siborong-borong, Lubuk Pakam, Sondi Raya, Saribu Dolok, sampai Tanjung Balai. Untuk menuju tempat diskusi, mereka yang punya mobil memberi tumpangan bagi mereka yang tidak punya mobil. Asmara waktu itu sering membawa mobil volkwagen (VW kodok). Karena mobil itu sudah cukup tua, mesinnya sering rewel, akibatnya sempat mogok beberapa kali. Bahkan suatu saat mesinnya pernah hampir terbakar. Selain Asmara, yang kerap memberi tumpangan adalah SM Hutajulu, atau Mansen Purba.

Biasanya disepakati, tuan rumah yang tempatnya dijadikan tempat diskusi akan menyediakan makan siang bagi peserta. Usai diskusi, secara sukarela, peserta diskusi merogoh kocek mereka, dan mengumpulkan uang untuk membantu biaya makan siang.

Topik diskusi sangat beragam, mulai dari hukum tanah ditinjau dari hukum nasional, dari hukum adat, teologi Kristen, masalah industrialisasi dan sebagainya. Pemikiran-pemikiran Saul Alinsky, Paulo Freire serta ide-ide tentang teologi pembebasan pada waktu itu banyak digumuli peserta diskusi.

Tak sia-sia upaya Asmara memfasilitasi berbagai diskusi. Beberapa aktivis pergerakan “lahir” dan kemudian menjadi aktivis LSM senior di Sumut, misalnya Ned Purba, Johanna Pattiasina, Soekirman, Eliakim Sitorus, Nelson Siregar, Syafir Harahap, Pungki, Irwansyah Hasibuan, Wahyudi, Dina Lumbantobing, Osmar Tanjung, Alamsyah Hamdani.

LSM juga berhasil dilahirkan bersama sejumlah penggagas lainnya pada 23 Februari 1983, adalah Kelompok Studi Penyadaran Hukum (KSPH). KSPH4 didirikan untuk menumbuhkan prakarsa masyarakat —lebih tepat disebut mengembalikan kedaulatan rakyat. Hanya mereka yang ber daulat, dapat mengambiI prakarsa. Ber-daulat untuk menentukan masa depannya. Tentu saja prakarsa yang diambil sesuai dengan ruang politik yang ada dan di bidang yang langsung mempengaruhi hidup mereka, yakni pertanian dalam konteks penyadaran.

KSPH memakai istilah pendampingan untuk aksi pendampingan ditengah masyarakat. Dengan itu, KSPH menempatkan posisinya sejajar dengan masyarakat. Posisi ini bertolak belakang dengan posisi penguasa yang berada di posisi atas dan lebih unggul dari masyarakat, oleh karenanya, tindakannya dirumuskan sebagai pembinaan. Advokasi kasus yang dilakukan juga untuk menumbuhkan prakarsa masyarakat dan mempertahankan hak-haknya.