• Tidak ada hasil yang ditemukan

Soeharto Membentuk Komnas HAM

Dalam keterdesakan inilah pada 7 Juni 1993, Presiden Soeharto mengeluarkan Keppres No 50 tentang Pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Terbentuknya Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) antara lain dapat ditelusuri dari wacana hak asasi manusia yang hangat dibicarakan pada awal tahun 1990-an baik di tingkat nasional maupun internasional. Hal itu kemudian mendorong berbagai kalangan baik pemerintah maupun non-pemerintah untuk memberi perhatian yang lebih

serius terhadap penegakan dan perlindungan hak asasi manusia di banyak negara termasuk di Indonesia.

Salah satu inspirasi pembentukan Komnas HAM muncul dari sebuah Lokakarya pada tahun 1991 tentang Lembaga-Lembaga Nasional HAM yang diselenggarakan oleh Komisi HAM PBB. Hasil-hasil lokakarya itu dikenal sebagai Prinsip-prinsip Paris (Paris

Principles), yang menegaskan tentang tanggungjawab lembaga nasional HAM.

Lahirnya Kepres No 50 terkait erat dengan beberapa rekomendasi dari Lokakarya Hak Asasi Manusia 21-22 Januari 1991 yang diselenggarakan oleh Departemen Luar Negeri RI dan disponsori oleh Perserikatan Bangsa Bangsa.10 Momentum itu disusul oleh Lokakarya hak asasi manusia se Asia Pasifik yang kemudian dilanjutkan oleh pembentukan Tim kecil oleh Departemen Luar Negeri RI untuk menyusun naskah Keppres pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Namun, sejarah terbentuknya Komnas HAM juga bisa ditelusuri dari pertarungan dalam konstelasi kekuatan sosial politik yang berlangsung pada era 1990-an di satu pihak, dan tuntutan masyarakat untuk penanganan korban pelanggaran HAM dan perbaikan sistem perlindungan HAM di Indonesia. Rejim militer yang berkuasa pada era itu diakui telah mendorong banyak terjadinya pelanggaran HAM di dalam masyarakat.

Bahkan dalam hubungan ekonomi politik internasional, masalah hak asasi manusia seringkali menjadi syarat yang “memberatkan” bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia dalam mela-kukan hubungan di dunia internasional khususnya dengan negara-negara dunia pertama. Situasi ini membuat tuntutan maupun tekanan sangat kuat untuk mendorong pembentukan sebuah lembaga yang dapat mempromosikan dan menegakkan HAM, termasuk untuk mencegah tidak terulangnya kembali pelanggaran HAM.

Soeharto meminta mantan Jaksa Agung Ali Said SH untuk 10 Fajrimei A. Gofar, Gambaran Penyelidikan di Komnas HAM, ELSAM,

membentuk sebuah tim dan kemudian mencari dan memilih sejumlah orang guna diangkat sebagai anggotra Komnas HAM. Tim yang dipimpin Ali Said ternyata memilih Asmara sebagai salah satu anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang dibentuk di penghujung 1993. Adapun susunan, pembagian kerja, dan bagan organisasi ini baru terbentuk pada 3 Januari 1994. Mereka menerima pengaduan dari masyarakat baru setelah itu.

Awalnya kehadiran Komnas HAM disambut dingin oleh kelompok pro-demokrasi di negeri ini, termasuk para pegiat LSM. Respons mediamassa pun kurang lebih sama. Pesimisme mengemuka. Respons negatif ini memang berdasar. Toh banyak sudah komisi yang dibentuk pemerintah Orde Baru. Katanya untuk kemaslahatan rakyat, ternyata semua dimelempemkan begitu saja kemudian oleh pembentuknya sendiri. Komisi Empat yang bertugas memerangi korupsi, salah satunya. Sekarang pemerintah membentuk Komnas HAM. Lebih mudah lagi dibayangkan nasibnya.

Bagaimana mungkin sebuah rezim totaliter akan mengoperasikan instrumen penegakan HAM yang akan memerangkap dirinya? Seperti seseorang yang memelihara anak macan saja: kelak kalau sudah besar macan itu akan menerkam tuannya. Maukah penguasa bernasib seperti si pemelihara anak macan? Inilah dasar nalar yang melahirkan kesangsian banyak kalangan.

Pesimisme khalayak luas menguat setelah susunan Komnas HAM diumumkan. Ketuanya Ali Said sendiri. Oditur militer waktu Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) menangani orang-orang PKI ini orang-orang kepercayaan Soeharto. Sebelum menjadi ketua Mahkamah Agung ia lama menjadi jaksa agung (1973-1981).

Sebagian besar dari 24 anggota yang dipilih tim Ali Said berlatar belakang birokrasi atau TNI-Polri. Mereka adalah Baharudin Lopa (mantan Dirjen Pemasyarakatan), Baramuli (mantan jaksa dan gubernur), Djoko Soegianto (mantan hakim agung), Hamid Attamini (mantan pejabat Sekretariat Negara), Hasan Basri (mantan Ketua MUI), Munawir Sadzali (mantan Menteri Agama), Clementino Dos Reis Amaral (mantan wakil bupati Baucau), Gani Djemat (pensiunan Letkol, mantan hakim, jaksa, dan atase militer), Ignatius Djoko Moelyono, Soegiri, dan Roekmini Kosoemo Astoeti.

Tiga yang terakhir ini adalah jenderal purnawirawan. Djoko Moelyono dan Soegiri tentara sedangkan Roekmini polisi. Kalau ditambah dengan Ali Said berarti ada empat jenderal di Komnas HAM angkatan pertama.

Sumber rekrutmen berikutnya adalah parpol dan dunia kampus. Dari parpol dan ormas ada Marzuki Darusman, Albert Hasibuan, Muladi (Golkar), BN Marbun (PDI), Aisyah Amini (PPP), dan Bambang W. Soeharto (Kosgoro). Dari dunia akademisi ada Miriam Budiardjo, Charles Himawan, Satjipto Rahardjo, Soetandyo Wignyosoebroto, Sri Soemantri Martosoewignyo, dan Nurcholish Madjid. Yang dari luar dunia birokrasi, militer-polisi, parpol-ormas, dan akademisi hanya satu. Dia adalah Asmara Nababan. Asal usulnya adalah jagat LSM.

Loyal kepada penguasa, itulah lazimnya ciri dari mereka yang berlatar belakang sebagai birokrat dan tentara-polisi. Kalau tidak tentu mereka tak akan terpakai. Kalau melihat sekilas memang percumalah orang berharap banyak pada gerbong utama yang dipilih Ali Said dan kawan-kawannya. Bagaimana dengan mereka yang berasal dari parpol-ormas? Golkar dan Kosgoro merupakan pilar Orde Baru. Jadi tinggal PDI dan PPP. Masalahnya, yang terpilih dari kedua partai ini pun bukanlah orang yang dikenal lantang bersuara tentang demokrasi dan HAM.

Lantas, bagaimana dengan mereka yang berasal dari dunia akademis? Kapasitas mereka semua sebagai expert tak perlu diragukan. Masalahnya adalah sejauh itu di antara mereka yang acap bersuara secara terbuka soal demokasi, HAM, atau kemanusiaan Soetandyo Wignyosoebroto dan Nurcholish Madjid saja.

Jadi total jenderal, menurut hitung-hitungan di atas kertas, Asmara Nababan dan sebagian profesorlah yang punya track-record sebagai penyuara HAM di sana. Sekali lagi, itu hitung-hitungan di atas kertas.

Selain komposisi anggotanya tak meyakinkan, dasar hukum lembaga ini pun rapuh. Dasar pembentukan Komnas HAM adalah Keppres. Yang namanya Kepres bisa saja dianulir pembuatnya setiap saat kalau ia mau. Kelak azas legal ini dipertanyakan Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB, Jose Ayala Lasso, saat ia berkunjung

ke kantor Komnas. Mengapa dasarnya bukan undang-undang, begitu pertanyaan Jose kala itu.

“Komnas HAM,” jawab Ali Said, “adalah badan yang mandiri; tidak tergantung pada siapa pun.” Jadi, lanjut Ali Said, tak begitu penting kalau pun dasarnya bukan undang-undang. Sebagai catatan, baru pada 1999 dasar hukum Komnas HAM berupa Kepres ini ditingkatkan menjadi undang-undang yakni UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Dengan kondisi seperti yang dipaparkan barusan wajar sebenarnya kalau banyak orang sangsi bahwa Komnas akan bisa berbuat banyak. Ternyata keraguan itu sebagian besar tak berdasar. Waktu kemudian membuktikannya.

Barangkali memang Presiden Soeharto tidak pernah meniatkan institusi ini akan menjadi penjaga gawang HAM yang sesungguhnya. Bisa jadi yang ia maui sesuatu yang artifisial saja—semacam bedak dan gincu—untuk mengurangi tekanan dunia internasional. Apa pun itu kehendak dia, nyatanya lembaga ini telah menjadi semacam bumerang yang menghantam balik kekuasaannya yang tak ramah terhadap HAM. Tak terpungkiri bahwa Komnas HAM—seperti halnya LSM dan gerakan civil society lain—telah berperan dalam penyemaian bibit-bibit perlawanan rakyat terhadap kesewenangan kekuasaan Orde Baru.