• Tidak ada hasil yang ditemukan

Memimpin Yakoma

Asmara bergabung dengan Yakoma sejak 1971. Ia menjadi pengurus hingga 1978, dengan posisi terakhir sebagai wakil ketua. Ia mundur dari jajaran pengurus tahun itu, ketika dipercaya sebagai direktur. Selama lima tahun ia menduduki posisi sebagai orang

nomor satu di jajaran eksekutif itu.

Sedikit catatan ihwal organisasi ini. Yakoma adalah nama pengganti dari Jakoma (Jajasan Komunikasi Massa) setelah Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) berlaku sejak 12 Oktober 1972. Jakoma adalah bagian dari Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI), organisasi yang berdiri pada 25 Mei 1950. Kelak, setelah Sidang Raya di Ambon tahun 1984, nama DGI berganti menjadi Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI).

Nama ‘Jakoma’ baru dipakai belakangan. Sampai 1960

se-butannya adalah KORAVI (Komisi Radio dan Audio-Visual)-DGI.

Program utamanya, siaran radio melalui RRI Program Nasional. Nama KORAVI-DGI lantas berubah menjadi KOKOMA-DGI (Komisi Komunikasi Massa)-DGI. Program utamanya meluas seiring pergantian nama. Selain siaran radio untuk RRI, kegiatannya sekarang mencakup poduksi kaset dan mengisi acara mimbar agama (Kristen) di TVRI.

Sejak sidang Raya DGI ke-7 di Pematang Siantar, Sumut, pada 1971 nama KOKOMA-DGI berganti menjadi JAKOMA-DGI. Kalau tadinya berupa komisi, statusnya kemudian menjadi yayasan. Tujuannya, agar lebih mandiri. Secara eksplisit digariskan bahwa tugasnya menjalankan komunikasi massa lewat Siaran Mimbar Agama TVRI dan Siaran Agama di RRI Program Nasional. Markasnya di kantor DGI Jalan Salemba Raya No.10, Jakarta Pusat, mereka. Tapi sejak 1972 pindah ke tempat sekarang, di Jl. Cempaka Putih Timur XI/26, Jakarta.

Sebelum Asmara menjadi direktur Yakoma pada 5 Juni 1978, manajemen lembaga ini masih berantakan. “Sebelum Bang As, direktur kita sering berstatus pjs (pejabat sementara) sehingga nggak sempat ada pembenahan secara serius,” ungkap Melati.

Wajar kalau pogramnya sedikit. Yang menjadi tumpuan kala itu adalah studio rekaman yang ada sejak 1975. Studio yang didanai World Association for Christian Communication—WACC, berdiri pada 1968 sebagai jaringan komunikator Kristen se-dunia. Markasnya di Toronto. Anggotanya sekitar 1.500 lembaga dan individu dari lebih 100 negara—dipakai untuk rekaman suara pengisi acara di RRI dan TVRI. Bentuk acaranya khotbah dan

paduan suara. Disewakan juga studio ini yakni untuk memproduksi kaset rekaman drama dan lagu (penyanyi solo, vokal grup, dan koor gereja). Sedemikian jauh pemanfaatan tempat rekaman ini masih ala kadarnya.

Menurut Melati, sebelum Asmara menjadi direktur, mereka lebih banyak menganggur. Untuk membunuh waktu biasanya mereka akan membaca Kho Phing Hoo. Serial cerita silat seperti Suling Emas, Suling Mas Naga Siluman, Sepasang Pedang Iblis,

Pedang Kayu Harum, Pendekar Super Sakti atau Istana Pulau Es berpindah dari tangan ke tangan staf. Tak lama setelah dilantik menjadi direktur, Asmara mengumpulkan staf yang cuma lima orang. Dia bertanya apakah mereka setuju dia menjadi direktur. “Setuju,” jawab mereka. Lalu dia bilang, “kalau begitu nggak ada lagi acara membaca Kho Phing Hoo di sini.”

“Sejak itu kami berhenti ber-Kho Phing Hoo-ria. Padahal kami tahu Bang As itu pelahap Khoo Phing Hoo, Karl May, dan yang lain. Dia suka kok bertukar cerita soal Suling Emas misalnya,” kata Melati.

Fragmen

Yakoma yang senantiasa sibuk menjadi pemandangan keseharian setelah itu. Untuk kali pertama, di masa itulah mereka punya telepon. Nomornya 413397. Asmara menggagas program baru yakni fragmen untuk TVRI. Ia memanfaatkan jaringannya yang luas di kalangan seniman. Tak percuma ia sempat kuliah di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan berkawan dengan para budayawan-cendekiawan sejak menjadi aktivis di awal 1970-an.

Fragmen menjadi bagian dari Mimbar Agama Kristen di TVRI. Hadir saban minggu ke tiga dalam setiap bulan. Upaya menyajikan fragmen sekali dalam setiap bulan tentu sangat menyita tenaga dan waktu. Naskah harus disiapkan dan para pemainnya harus direkrut dan dilatih.

Asmara dan Julius R. Siyaranamual bertugas mengurusi naskah. Mereka menulis sendiri dengan mengeksplorasi isi Alkitab dan khazanah luar agama atau mengadaptasi karya asing. Kelak, ketika kian kewalahan memasok naskah cerita, mereka menggelar

workshop menulis di Puncak. Lahir juga penulis cerita setelah itu, tapi terlalu sedikit sehingga mereka masih menjadi tulang punggung untuk urusan script.

Sumber rekrutmen pemain fragmen adalah gereja, yang sang-garnya aktif dipantau. Kalau dianggap layak, sanggar itu diundang dan dilatih. Suaranya direkam. Di studio TVRI nanti mereka tampil dengan teknik play back.

Tayangan fragmen di TVRI berhasil mendongkrak popularitas produk Yakoma. Kemasan khotbah, dialog, serta paduan suara yang dihadirkan kian digemari khalayak Kristen. Memang, di sisi lain, Yakoma diuntungkan keadaan saat itu. Sebagai organ DGI, mereka lah provider tunggal sajian Mimbar Agama Kristen di

TVRI dan Santapan Rohani di RRI. Otoritas itu didapat DGI dari Departemen Agama. Maka jadilah mereka pemegang monopoli sajian untuk orang Kristen terutama di TVRI. Sebagai catatan, belum ada TV swasta waktu itu sehingga tayangan Mimbar Agama Kristen setiap Minggu pukul 19.15 wib praktis tanpa saingan.

Dalam perkembangan selanjutnya, Yakoma tak perlu repot-repot mencari pengisi acara, terlebih untuk tayangan televisi. Orang mendatangi mereka, bukan sebaliknya. Khalayak gereja sungguh senang tampil di televisi. Pun para staf DGI, toko buku Gunung Mulia, dan lembaga-lembaga milik atau yang berafiliasi ke gereja. Untuk itu ke Cempaka Putih Timur XI/26-lah mereka merapat.

Produk Yakoma muncul empat kali saban bulan di TVRI, dengan fragmen setiap minggu ketiga. Sebagai perbandingan, jatah untuk Katolik di media yang sama hanya sekali. Jadi kotbah, dialog, koor, dan fragmen menjadi satu paket saja. Sanggar Prathivi yang dibintangi Maria Oentoe acap tampil di acara ini. “Tapi kita lebih aktif dibanding Sanggar Prathivi. Kostum kita lebih lengkap. Dulu mereka sering minjam kostum kita,” Melati mengenang.

Sebelum tampil, calon pengisi acara berlatih secara intensif dan direkam suaranya di studio. Jadi, kantor Yakoma senantiasa berkegiatan. Orang datang silih berganti dari berbagai tempat. Kalau giliran paduan suara berlatih dan rekaman, hiruk-pikuk pun tak terhindari. Ya, tiada lagi hari tanpa kesibukan. Jadi para staf— tanpa dilarang pun—tak akan punya waktu lagi mencumbui karya

Kho Phing Hoo.

Kegiatan akan berpuncak setiap dua bulan menjelang Natal. Permintaan ke Yakoma agar menampilkan drama berdatangan dari BUMN, perusahaan swasta, atau lembaga negara. PLN dan Pertamina, termasuk yang rajin mengorder. Drama Natal ini biasanya panjang (45 atau 60 menit).