• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ciri khas dari upacara ngaben pribadi di Balinuraga ini adalah bentuk dan arsitektur bade yang sudah modern, invotif, dan kreatif – tanpa menghilangkan makna bade tersebut sebagai tempat di mana jenasah ditempatkan di puncak (tumpang) menara bade. Jumlah tumpang tidak dipermasalahkan bagi mereka sebagai golongan jaba. Warga Pandé (biasanya) menggunakan tumpang sembilan, sedangkan Warga Pasek (biasanya) menggunakan tumpang tujuh (simbol Tujuh Pendeta / Rsi yang menjadi leluhur Warga Pasek). Jadi, tidak ada batasan atau perarturan ketat yang melarang mereka (golongan jaba) untuk menggunakan jumlah atap tumpang yang berjumlah ganjil ini (khususnya mulai dari yang tertinggi 9, 7, 5, 3, dan 1; di Bali pada masa kerajaan tumpang 11 biasanya digunakan oleh raja, 9 menteri, dan 7 patih). Menurut mereka, setelah di Lampung mereka bebas berkreasi dan berinovasi, jumlah atap tumpang tidak menjadi perdebatan, asalkan pihak keluarga secara ekonomi mampu membuatnya.

Keunikkan bade ini terletak pada desainnya yang modern. Bade dibuat menyerupai bangunan pura dan rumah seperti yang umumnya dimiliki masyarakat Bali Hindu. Jadi, tidak menonjolkan keberadaaan jumlah atap tumpang seperti bale tempo dulu yang digunakan masyarakat Bali pada umumnya. Tingginya atap tumpang ditonjolkan dengan bangunan bade yang tinggi atau susunannya menyerupai menyerupai bentuk atau bangunan pura. Setiap sudut (empat sudut) bangunan bade dibuatkan sebuah paduraksa (penyangga sudut seperti di pura). Di bagian depan bade (bagian bawah atau tingkat pertama dari badan bade) dibuatkan sebuah gapura (biasa disebut: angkul-angkul). Di gapura tersebut terpampang foto dan nama almarhumah, dan tulisan “Upacara Pitra Yadnya”, yang di atasnya (gapura) diberikan sebuah rangkaian bunga. Bagian depan ini dibuat seperti halaman depan perkarangan rumah

yang bercorakkan Bali Hindu, yaitu keberadaan sebuah gapura. Unikknya, masih di bagian yang sama, seperti layaknya perkarangan sebuah rumah, dibuatkan sebuah kolam kecil yang bisa diisikan air yang dilengkap dengan taman bunga dan empat buah tempat lampu (sejenis lampu taman yang biasa ada di perkarang rumah, masing-masing berjumlah dua di sisi kiri dan sisi kanan). Kemudian, di samping dinding bade, sisi kiri dan kanan, dipasangkan umbul-umbul dengan kain dasar berwarna emas berlukiskan naga yang berwarna hijau.

Bagian kedua dari bangunan bade adalah bagian tengah. Sama seperti di bagian depan, pada bagian tengah ini dibuatkan sebuah gapura, dan dibuatkan sebuah tangga (lima anak tangga) dari bagian depan ke bagian tengah. Bagian tengah ini terdapat sebuah ruang kosong agar nanti pihak keluarga dan sulinggih berserta gamelan Bali bisa menempatinya saat pemberangkatan bade ke setra. Bagian pertama dan bagian kedua dari bangunan bade ini melambangkan dunia atau “alam tengah” (bhuva-loka) atau disebut “gunungan”. Tempat ini merupakan penghubung atau sebagai peralihan antara alam bumi dan surga. Karenanya, di bagian ini (bagian pertama) dibuatkan hiasan yang menyerupai taman atau perkarangan, sebagai simbol “alam tengah” atau “bumi”.

Bagian atas adalah bagian utama dari bangunan bade. Biasa disebut “tumpang yang melambangkan alam surga. Di sisi kiri bagian atas dibuatkan (seperti) bukur (madya) – bentuknya seperti prasada – yang bertumpang sembilan255. Pada bagian belakang bukur pada bagian tengahnya ditempelkan sebuah replika ukiran barong, dan di atasnya (barong) ditempelkan daun enau (jika dilihat dari depan tampak seperti sayap atau mahkota). Di sisi kanan bagian atas dibuatkan replika banguan suci seperti gedong yang bagian tengahnya disediakan satu ruang kosong. Ruang kosong di bagian tengah ini nantinya akan ditempatkanya patulangan lembu (wadah jenasah) yang sudah berisikan jenasah saat upacara pembakaran dimulai. Jadi, bagian atas dari bangunan bade ini

keluarga, yang merupakan arsitek dari bade ini, menciptakan bade dalam bentuk yang lain daripada yang lain, menyerupai sebuah rumah dan pura bertujuan agar atma almarhumah mendapatkan tempat yang terbaik dan merasa nyaman.

Di setiap bagian bagian bade dihiasi dengan berbagai hiasan, baik yang terbuat dari kertas berwarna untuk replika ukir-ukiran, atau pun yang terbuat dari bunga dan daun segar. Hiasan ini berfungsi untuk memperindah bangunan bade agar bisa dinikmati keindahannya oleh semua kalangan. Warna dominan dari bade ini adalah merah terang (merah yang menyala). Ini adalah simbol atau ciri khas dari identitas Warga Pandé: api yang menyimbolkan Dewa Api manifestasi dari Dewa Brahmana. Setiap lantai bangunan bade (lantai dasar, tengah dan atas) beralaskan karpet hijau, dan juga pada dinding bagian bawah.

Bagian bawah bangunan bade adalah fondasi bangunan bade yang setinggi pinggang orang dewasa. Fondasi ini terbuat dari bambu tua yang kuat (biasa disebut: sanan) dan kayu balok kualitas terbaik (kuat): kayu balok merupakan penopang atau tiang utama bagunan bade (vertikal), sedangkan bambu adalah fondasi tambahan untuk memperkuat kayu yang ditempatkan horisontal dan bambu yang panjangnya melebar ini digunakan sebagai tempat bagi masing-masing massa untuk memikul bade. Bagian bawah ini, fondasi bade, merupakan lambang dari dunia bawah (bhuh- loka). Fondasi ini adalah bagian terberat dari keseluruhan bangunan bade, karena nantinya saat akan diberangkatkan ke setra di atasnya (di dalam bangunan bade) akan diisi oleh beberapa anggota keluarga, panitia (pemimpin massa dari atas dan beberapa anggota seka gong), dan sulinggih – selain berat kayu dan bambu yang menjadi fondasi bade itu sendiri. Setiap jarak kurang lebih setengah meter pada rangka fondasi merupakan ruang dan tempat untuk masing-masing massa agar bisa dengan mudah menggotong bade dan memungkinkan mereka untuk menggotongnya sambil berlari – rangka bade pada bagian luar yang berbahan bambu dibuat memanjang agar tangan dan pundak masing- masing massa bisa memikul berat bade, kecuali di bagian dalam fondasi atau di bawah bangunan bade. Ruang kosong yang disediakan pada fondasi untuk pegangan tangan dan sanggahan bahu masing-masing massa berjumlah kurang lebih seratus buah. Dalam prakteknya, yang menggotong

bade ini bisa memuat lebih dari seratus, akibatnya ada yang terhimpit ketika massa mulai membawanya dengan berlari. Oleh karena itu, massa yang bertugas membawa bade ini ke setra dengan jarang kurang lebih setengah kilometer – dari rumah ke setra – harus pemuda atau laki-laki yang sehat dan berfisik kuat. Ruang kosong yang berada di bawah fondasi ini, nantinya ditaruh kayu bakar dan ban bekas saat akan dilakukan upacara pembakaran jenasah. Dari bagian fondasi, bagian paling bawah, disediakan sebuah tangga untuk menuju ke bagian depan (halaman depan, perkarangan depan bangunan bade) bangunan utama bade yang terdapat sebuah gapura, taman, lampu taman, dan umbul-umbul.

Bade yang digunakan dalam upacara ngaben pribadi ini merupakan bade yang lain daripada yang umumnya digunakan oleh masyarakat Bali. Sebuah kreativitas, inovasi dan terobosan baru dengan membuat bade seperti layaknya sebuah rumah dan kompleks pura: dilengkapi dengan kolam ikan, taman bunga, lampu taman, penempatan prasada dan padmasana di bagian paling atas bade agar atma mendapatkan tempat tertinggi dan terbaik. Arsiteknya adalah pihak keluarga sendiri, di mana ahli pembuat pura dan sarana-prasarana ngaben, ukir-ukiran dan lukisan. Keahlian keluarga ini, turun termurun, terkenal di berbagai perkampungan Bali di Lampung sampai di Sumatera Selatan. Menurut mereka, kebebasan berkreasi ini belum tentu dapat diterima di Bali, terutama di daerah yang masih sangat kolot, seperti di Nusa Penida. Intinya adalah tidak menyimpang dari ajaran Hindu Dharma, dan sudah sepantasnya anggota keluarga memberikan yang terbaik bagi atma anggota keluarga tercinta yang telah meninggal.

Gambar 60. Bade

(Mulai dari gambar pertama kiri atas: (1) bangunan bade keseluruhan tampak depan; (2) bagian depan bade; (3) sudut kanan depan bade; (4) sudut kanan belakang bade; (5) bade tampak belakang; (6) bagian bawah / fondasi bade)

(Sumber: Yulianto, 2010)

Selain bade, sarana upacara ngaben pribadi yang mencolok adalah patulangan: sarana (wadah) di mana jasad atau jenasah ditempatkan saat upacara pembakaran jenasah dilakukan. Patulangan ini disebut juga sebagai tunggangan atau kendaraan bagi atma dalam perjalannnya menuju ke dunia lain yang berwujud hewan tertentu. Baik di Bali atau pun di Nusa Penida, jenis tunggangan ini sudah ada aturannya. Artinya, setiap wangsa atau warga memiliki tunggangan-nya sendiri. Misalnya, “lembu” untuk wangsa brahmana dan singa makampid untuk golongan jaba seperti Warga Pasek dan Warga Pandé. Kasus ngaben pribadi di Balinuraga ini menjadi sangat unik dan menarik, karena patulangan atau tunggangan yang digunakan sebagai kendaraan bagi pitra adalah menggunakan hewan lembu. Lembu tersebut adalah lembu bertanduk emas bermata tajam dengan ekor yang menjulang ke atas lalu menekuk ke bawah, bagian kepalanya telah ditutup selembar kain putih. Lembu ini dicat berwarna merah menyala – sesuai dengan identitas Warga Pandé – dan dikenakan rompi emas pada bagian dada dan setiap sisi kaki serta bulu emas di sepanjang tulang punggung sampai tulang ekor. Ada beberapa alasan mengapa dikatakan unik dan menarik: (1) lembu merupakan jenis hewan yang menjadi patulangan atau kendaraan bagi golongan brahmana. Tidak sembarangan warga atau wangsa yang berhak menggunakannya. Menurut pihak keluarga yang ber-warga Pandé, mereka berhak menggunakan tunggangan lembu, tidak ada permasalahan jika digunakan di Lampung (kecuali di Bali). Leluhur Warga Pandé adalah Mpu Pradah, seorang pendeta brahmana, berarti keturunannya – meskipun almarhumah bukan Bali Hindu, tapi setelah menikah menjadi Hindu dan otomatis menjadi bagian dari keluarga besar Warga Pandé (ikut suami) – berhak

dan Nusa Penida sendiri, “Singa Makampid” masih menjadi tunggangan yang umum yang digunakan oleh Warga Pasek dan Pandé; (2) lembu yang digunakan adalah lembu yang berwarna merah menyala dan menggunakan rompi berwarna emas (warna merah dan emas adalah warna dominan). Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, warna merah adalah identitas Warga Pandé: simbol Dewa Brahmana dan Dewa Api. Ini menjadi ciri khas tersendiri bila dibandingkan dengan warna lembu yang biasa digunakan oleh para brahmana (keluarga pandita) di Bali, yaitu lembu petak atau sapi putih. Artinya, “Lembu Merah” atau “Lembu Bang” (“Bang”, baca: “beng” berarti merah, dalam Jawa: “abang”) adalah ciri khas dari lembu-nya Warga Pandé yang ada di Balinuraga. Kasus bade dan patulangan berbentuk lembu ini akan diuraikan lebih lanjut pada sub- pembahasan berikutnya (masih dalam contoh kasus ngaben pribadi) mengenai “Ketidak-berlakukan Dominasi Triwangsa: Pembebasan Kaum Jaba dan Eksistensi Sudra Wangsa”.

Gambar 61. Lembu “Bang” Patulangan

Sarana lain yang menjadi ciri khas Bali Nusa adalah sarana pengusung jenasah bernama dadong brayut256: dua buah orang-orangan seperti wayang orang, yaitu berwujud laki-laki (Pan Brayut) dan perempuan (Men Brayut) yang saling berhadapan, keduanya ditempatkan pada sebuah tempat seperti perahu. Sama seperti wayang orang pada umumnya, di bawah perahu tersebut terdapat dua bilah bambu yang terikat pada bagian tubuh wayang yang berfungsi menggerakkan badannya tersebut, sehingga bisa digerakkan atau dimainkan saat diusung serta digoyang-goyangkan saat melakukan pawai atau arak-arakan mengelilingi desa (upacara ngaskara sebelum Hari-H), dan saat mengiringi pemberangkatan bade ke setra (Hari-H). Sarana pengusung jenasah ini – dadong brayut dan gedong – diusung oleh lima sampai enam pemuda: diusung sambil digoyang-goyangkan, satu orang sambil ikut mengusung berperan memainkan wayang tersebut secara bergantian. Dadong brayut ini selalu digunakan oleh masyarakat Bali di Nusa Penida saat diselenggarakannya upacara pitra yadnya, dan tetap digunakan oleh masyarakat Bali Nusa di Balinuraga. Dadong Brayut ini menyimbolkan keteguhan dan ketabahan hati serta keberhasilan orang tua laki-laki yang bernama Pan Brayut dan orang tua perempuan yang bernama Men Brayut dalam membesarkan kedelapan belas anaknya sehingga menjadi anak yang berhasil dan berguna di dalam masyarakat (khususnya peran Men Brayut sebagai seorang ibu). Dalam kasus ngaben pribadi ini, dadong brayut menyimbolkan keberhasilan almarhumah sebagai Men Brayut yang selama hidupnya berhasil membesarkan dan mendidik anak-anaknya (dan juga suaminya) sehingga menjadi orang yang berhasil. Jadi, jika dalam sebuah upacara pitra yadnya disertakan dadong brayut dalam arak-arakan massa

256

Kata “dadong” adalah sebutan untuk nenek dalam Bahasa Bali, sedangkan “brayut”berasal dari legenda klasik dalam masyarakat Bali (dan juga termasuk / adaptasi dari cerita / legenda Jawa Kuno) yang mengisahkan sepasang suami istri yang bernama Pan Grayut (laki-laki) dan Men Grayut (perempuan) yang memiliki

banyak anak (delapan belas). “Brayut” juga diartikan sebagai tokoh perempuan

yang mempunyai banyak anak. Inti dari kisah dua sejoli grayut yang hidup dalam kemiskinan ini adalah keberhasilannya membesarkan dan mendidik anak-anaknya. Sebuah legenda yang berfungsi untuk memberikan pelajaran bagi para orang tua bagaimana seharusnya membesarkan dan mendidik anak-anakanya, dan pelajaran bagi anak-anak bagaimana harus menghormati orang tuanya.

yang mengiringi bade, maka dapat dipastikan bahwa upacara tersebut dilakukan oleh masyarakat Bali Nusa, khususnya untuk mengidentifikasikan upacara pitra yadnya (ngaben) masyarakat Bali Nusa yang ada di Lampung. Secara umum fungsi Dadong Brayut sebagai sarana pengusung jenasah. Sarana lain sebagai pengusung jenasah adalah gedong (sanggah, merajan) dalam bentuk replika, dibuat dalam bentuk yang sederhana, terbuat dari bahan kertas dengan warna dominan merah. Sarana ini disertakan saat upacara ngaskara (penyucian roh leluhur) bersamaan dengan patulangan dan dadong brayut, dan disertakan pula secara bersama-sama saat memberangkatkan bade ke setra.

Gambar 62. Dadong Brayut dan Gedong

(Mulai dari gambar pertama di sudut kiri atas: (1) dadong brayut sebelum diberangkatkan untuk Upacara Ngaskara; gambar (2) dan (3) dadong brayut

diarak oleh beberapa pria untuk mengiringi bade ke setra; (4) dadong brayut dan

gedong yang telah selesai dibuat; gambar (5) dan (6) gedong digotong oleh beberapa pria untuk upacara ngaskara)

(Sumber: Yulianto, 2010)

Tanpa bermaksud mengeneralisir, masyarakat Bali Hindu yang ada di Lampung dalam penyelenggaraan setiap upacaranya – dalam kasus ini upacara ngaben pribadi – selalu mempertahankan tradisi yang menjadi ciri khas dari tempat asalnya – dalam kasus ini Nusa Penida, Bali. Meskipun secara umum prosesi upacara tersebut hampir sama, tapi dalam pelaksanaannya ada hal-hal yang bersifat teknis dan non-teknis yang mencirikan tempat asal (Nusa Penida), seperti: membawa bade, patulangan, dadong brayut, gedong dengan berlari dan mengoyang- goyangkannya dengan semangat (sambil berteriak) – massa yang antusias dalam mengusung sarana dan prasarana ngaben pribadi – serta keberadaan dadong brayut yang (hanya) dijumpai dalam pelaksanaan upacara pitra yadnya oleh masyarakat Bali Nusa.