• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik yang khas dari Bali Nusa di Balinuraga – seperti yang telah diuraikan sebelumnya – adalah kuatnya ikatan terhadap apa pun

yang pemahaman dan pendidikannya mengenai Hindu Dharma (sebagai Hindu modern) minim, menginginkan bagaimana setiap ritual dan upacara baik adat maupun keagamaan dijalankan seketat mungkin dan harus sebisa mungkin sama seperti yang dilakukan (dan pernah mereka lakukan) di Nusa Penida, Bali. Golongan konservatif ini tidak menghendaki adanya perubahan atau pun modernisasi. Menurut mereka perubahan atau pun modernisasi dalam tata upacara dan ritual berarti ada proses pengurangan tahapan dalam tata upacara dan ritual tersebut. Artinya, jika dilakukan maka mereka percaya akan mengurangi hakikat dan inti dari upacara dan ritual tersebut, dan akan berdampak negatif terhadap mereka (ada sanksi niskala) berupa malapetaka, musibah, atau pun bencana. Kekhawatiran dan ketakutan inilah yang sampai saat ini selalu menimbulkan perdebatan panjang dan perang dingin antar kubu warga yang mengusung tradisionalisme dan modernisasi.

Sebaliknya, bagi kubu warga tertentu dan anggota warga lain yang pikirannya sudah maju dengan tingkat pendidikan yang mumpuni di bidang keagamaan (Hindu Dharma), memandang bahwa modernisasi itu perlu dilakukan. Bagi mereka, modernisasi yang dalam prakteknya diadakan standarisasi upacara (bagi golongan konservatif disebut mempersingkat tata upacara dan ritual) sama sekali tidak mengurangi hakikat atau pun esensi dari setiap ritual dan upacara adat dan keagamaan. Modernisasi dilakukan sebagai upaya untuk menyesuaikan diri dengan tantangan zaman yang terus berubah, bukan dimaksudkan untuk mengurangi nilai keluhuran dan kesucian dari ritual dan upacara tersebut. Selain itu, melalui modernisasi masyarakat (umat Hindu Dharma di Balinuraga) dapat melakukan upacara dan ritual besar dengan efektif dan efisien, tidak memakan biaya dan tenaga yang besar serta waktu yang lama. Terpenting adalah tujuan dari ritual dan upacara tersebut dapat tercapai, dan proses pelaksanaannya berhasil.

Tema klasik perdebatannya antara kubu konservatif dan modern adalah “kita ikut Hindu dari Bali atau ikut Hindu dari India”. Kubu konservatif menilai bahwa mereka (kubu modern) telah mencampur adukan Hindu Bali dengan Hindu dari India, seolah-olah ingin mengikuti tata cara seperti yang ada di India. Kubu modern berargumen bahwa apa yang mereka modernisasikan adalah tetap Hindu Bali. Namun, poin

penting yang dapat diambil dari perdebatan kedua kubu ini intinya adalah bahwa tradisi keagamaan dan adat-istiadat mereka sebagai Bali Hindu (orang Bali yang beragama Hindu) harus tetap ada dan eksis, tidak boleh hilang. Hal ini disebabkan, dari kubu modernis, mereka pun tidak ingin meng-India-nisasikan Hindu Bali mereka, karena jati diri mereka sebagai Bali dan Hindu Bali akan hilang atau terkikis. Oleh karena Bali dan Hindu seperti menjadi kesatuan, maka jangan sampai ketika modernisasi yang dilakukan pada Hindu dapat menghilangkan jati diri Bali, karena di sanalah letak identitas mereka sebagai Bali Hindu. Jadi, tujuan perdebatan dari kedua kubu tersebut sebenarnya mempunyai tujuan yang sama – mempertahankan identitas mereka sebagai Bali Hindu. Sebenarnya bila diperhatikan seksama inti dari perdebatannya terletak pada tata cara pelaksanaan ritual dan upacara keagamaan, bukan perdebatan apakah tujuan tersebut melenceng jika diadakan sebuah perubahan tata cara ritual dan upacara keagamaan. Akibatnya, karena kedua kubu tersebut saling mempertahankan pendapatnya masing-masing dengan mengusung identitas warga, adalah aksi boikot: tidak menghadiri, atau hanya jadi penonton jika kubu yang satu mengadakan sebuah upacara dan ritual adat dan keagamaan penting (misalnya, ngaben). Tidak berhenti sampai pada aksi boikot, tapi juga gosip-gosip yang menyindir satu kelompok warga tertentu. Uniknya, setiap ada perubahan atau inovasi dalam tata upacara atau pun upakara maka di saat yang sama muncul perdebatan, aksi boikot, dan perang dingin; tapi, setelah beberapa waktu (ketika perang dingin mereda), perubahan atau inovasi tersebut diadoptasi oleh kelompok yang menentang. Proses ini telah terjadi sejak tahun 1970-an. Oleh karena itulah, saat ini masyarakat non-Bali (tetangga Desa Balinuraga) menilai bahwa sekarang masyarakat Balinuraga sudah mulai modern, tidak kolot seperti dulu (tahun 1970-an sampai 1990-an). Indikatornya adalah: “mereka tidak jor-joran (habis-habisan) seperti dulu jika ada upacara”. Jika di masa Orde Baru, upacara dilakukan besar-besaran tidak menjadikan

mereka yang perekonomian pas-pasan, belum mampu menyelenggarakan dalam skala besar. Salah satunya adalah kasus Ngaben Massal, di mana dalam persiapan dan penyelenggaraannya sudah menggunakan manajemen yang sederhana (pembentukan panitia kerja dan pelaksana), bagaimana dengan biaya yang rendah upacara tetap bisa dilaksanakan secara bersama- sama, tetap besar dan megah serta tidak mengurangi hakikat dan esensi dari upacara tersebut.

Entah disadari atau tidak, karena proses perdebatan dan pertentangan tetap saja terjadi hingga saat ini, pertentangan kubu konservatif dan modernis sebenarnya telah memberikan sebuah perubahan yang mendasar bagi komunitas Bali Nusa di Balinuraga dibandingkan masa-masa awal kepindahan mereka di Lampung Selatan (tahun 1960-an). Artinya, kehidupan sosial-keagamaan mereka telah berubah, dengan tetap menjadi dan tidak kehilangan identitasnya sebagai Bali Hindu. Perubahan ke arah kemajuan ini – karena dilandasi oleh kepentingan dan keuntungan ketika perubahan tersebut dilaksanakan – bersifat spiral: dinamis, sedinamis polemik hubungan dan pertentangan antar warga. Ini yang menyebabkan mengapa Balinuraga kerap-kali dijadikan sebagai trend- setter bagi komunitas Bali Hindu yang ada di tempat lain, terutama perkampungan Bali yang menjadi pecahan dari Balinuraga (masyarakat Balinuraga yang merantau ke tempat lain dan membentuk perkampungan Bali). Misalnya, mengundang seka gong yang ada di Balinuraga ke perkampungan Bali lain unuk mementaskan kesenian Bali, menggunakan jasa pembuat (ahli, tukang) pura dan bangunan suci lainnya (termasuk pembuat bade, wadah, atau patulangan untuk upacara ngaben) dari Balinuraga, serta mengundang tokoh, sesepuh, atau pun sulinggih dari Balinuraga. Termasuk pentas kesenian dalam acara formal pemerintahan dengan mengundang seka gong dari Balinuraga.