• Tidak ada hasil yang ditemukan

Contoh kasus upacara ngaben pribadi di Balinuraga, seperti yang dipaparkan di atas, sebenarnya menunjukkan eksistensi dari golongan jaba (sebutan yang kurang mereka sukai adalah: sudra wangsa atau kasta sudra) untuk melepaskan dirinya dari dominasi triwangsa (golongan puri / kerajaan). Hal ini dapat dibuktikan dari: (1) Bagaimana mereka merancang dan membangun bade, tanpa terpaku pada jumlah atap tumpang bade yang harus digunakan oleh golongan jaba dan triwangsa; (2) Jenis hewan kendaraan tunggangan jenasah (patulangan). Dalam kasus ini, menggunakan hewan lembu, dalam ketentuan umum yang berlaku dalam masyarakat Bali pada umumnya, merupakan jenis hewan yang hanya diperbolehkan atau dipergunakan bagi golongan brahmana. Untuk membedakan dari lembu golongan brahmana, mereka menggunakan warna merah menyala (merah api) yang menjadi identitas warga-nya sebagai Warga Pandé: salah satu kelompok warga yang statusnya

dipertegas oleh pemerintah kolonial sebagai jaba (golongan di luar triwangsa / puri) atau sudra wangsa; (3) Menggunakan pendeta warga atau sulinggih warga sebagai pemuput (pemimpin) upacara pitra yadnya. Sebuah tindakan yang tidak mungkin (sangat sulit diaplikasikan, dan jika berani melakukannya akan menerima hukuman dari pihak penguasa) dilakukan oleh golongan jaba di masa proyek balinisasi masa kolonial dan di masa kerajaan feodal (pasca runtuhnya kerajaan Bali Aga dan berkuasanya Majapahit atas Bali sampai berkuasanya Pemerintah Kolonial Belanda), di mana masih menjadi konflik dan perdebatan di masa pasca kolonial (pemerintah Republik Indonesia: Orde Lama dan Orde Baru), dan mungkin masih terjadi di Bali – meskipun tidak seketat dulu; (4) Penyelenggaraan upacara pitra yadnya oleh golongan jaba yang melibatkan jumlah massa yang banyak dan menghabiskan biaya yang besar, di mana menjadi tradisi atau kebiasaan dalam upacara pitra yadnya yang diselenggarakan oleh golongan triwangsa (keluarga kerajaan dan keluarga golongan brahmana). Tingkat perekonomian yang sudah mapan setelah bertransmigrasi ke Lampung, dan kesolidan komunitas adatnya (banjar dan desa pakraman) yang ada di wilayah Lampung, memungkinkan mereka (golongan jaba) menyelenggarakan upacara pitra yadnya – khususnya upacara ngaben pribadi – yang menghabiskan biaya yang besar dan jumlah massa yang banyak. Rata-rata (minimal) untuk upacara ngaben pribadi atau pun ngaben massal membutuhkan dana minimal ratusan juta rupiah hingga milyaran rupiah. Untuk upacara ngaben pribadi ini biaya yang dihabiskan (diperkirakan) di atas seratus juta rupiah (sudah dan belum termasuk biaya yang tidak terhitung). Upacara ngaben massal yang pernah diselenggarakan satu tahun sebelumnya mencapai kisaran (perkiraan) di atas lima ratusan juta rupiah. Seorang pengusaha Bali Nusa di daerah Sumatera Selatan (berbatasan dengan Lampung Timur, Tulang Bawang), menghabiskan dana milyaran rupiah (di atas satu milyar) untuk prosesi ngaben pribadi, di mana dalam pelaksanaannya

khususnya masyarakat Bali Nusa di Desa Balinuraga. Mereka berhasil membebaskan dirinya dari pengaruh golongan triwangsa dan menciptakan masyarakat yang lebih egaliter. Mereka lebih bebas untuk melakukan terobosan baru bagi keberlangsungan tradisi Bali Hindu tanpa dibatasi aturan-aturan baku yang mengekang kebebasan berekspresi bagi golongan jaba, seperti bangunan bade yang lain daripada yang lain (bentuk yang lebih modern sebagai simbol anti-kemapanan); mempunyai hak yang sama dengan golongan triwangsa untuk menggunakan atap bade bertumpang tinggi; hak yang sama menggunakan hewan “lembu” sebagai kendaraan tunggangan jenasah; dan menyelenggarakan upacara pitra yadnya dalam skala besar, baik jumlah biaya maupun massa.

Kesimpulan

Identitas kebalian masyarakat Bali Nusa di Balinuraga merupakan sebuah keutuhan yang bersifat multidemensi. Sebagai sebuah keutuhan yang multidimensi, identitas kebalian di komunitas Balinuraga tidak dapat dilihat secara terpisah. Identitas tersebut menjadi sebuah kesatuan di dalam sebuah sistem sosial kemasyarakatan dalam masyarakat Bali yang diadopsi oleh komunitas ini dengan berbagai penyesuaian yang ada berdasarkan konsep kala dan patra. Karenanya, tidak cukup hanya memotret komunitas ini secara fisik sebagai sebuah perkampungan Bali yang dipenuhi dengan bangunan-bangunan suci (pura), tetapi juga (terpenting) bekerjanya sistem sosial kemasyarakatan Bali di dalamnya sebagai sebuah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam identitas kebalian. Misalnya: sistem warga, seka-seka dengan berbagai spesifikasi kerja, pelaksanaan ritual dan upacara penting adat dan keagamaan, dan lain-lain. Picard (1997, 1999, 2005, 2008) menyebutkan identitas kebalian ini sebagai kebudayaan Bali atau gabungan dari elemen penting kebudayaan Bali seperti kepercayaan, adat (tradisi) dan kesenian.

Sama halnya ketika melihat realitas komunitas Balinuraga yang merupakan golongan jaba (di luar kerajaan) – atau dalam kategorisasi pemerintah kolonial disebut sebagai golongan sudra – identitas mereka sebagai golongan jaba tidak bisa dilihat sebagai satu identitas yang tunggal: kasta sudra. Di Balinuraga ada tiga warga atau klan yang pada masa pemerintah kolonial dicampakkan menjadi golongan jaba, di mana

setiap warga memiliki sulinggih tersendiri dan tata-cara adat keagamaan yang khas, yaitu Pasek, Pandé, dan Arya. Karenanya, komunitas Balinuraga lebih nyaman menggunakan identitas warga daripada sudra wangsa atau kasta sudra. Sistem warga yang digunakan menjadikan komunitas ini lebih setara (egaliter) dan tidak diskriminatif. Tidak ada yang bisa mendominasi satu dengan yang lain, meskipun setiap warga memiliki kesamaan klaim berdasarkan silsilah leluhurnya bahwa leluhur mereka di masa kerajaan memiliki kedudukan penting (pejabat dan bangsawan kerajaan). Mendudukkan komunitas dengan identitas tunggal – sudra – menjadi tidak tepat dan diskriminatif. Sama seperti yang dilakukan Huntington (1996) ketika mengklasifikasikan peradaban dunia ke dalam identitas tunggal: Barat dan Islam. Sependapat Sen (2007) dan Fukuyama (2006) bahwa identitas memiliki fakta-fakta kesejarahan dan fakta nyata, serta berakarakteristik multidimensi.

Pengklasifikasian sebuah kelompok masyarakat atau peradaban ke dalam sebuah identitas tunggal akan menyebabkan gejolak dan benturan di akar rumput. Hasil penelitian Schulte Nordholt (2009) dan Robinson (1995) menunjukkan bahwa kebijakan Balinisasi pemerintah kolonial yang mencampakkan warga-warga (klan-klan) di luar kerajaan (puri) sebagai sudra menimbulkan gejolak dan perlawanan di akar rumput259. Hal ini yang menyebabkan mengapa komunitas Balinuraga lebih nyaman dengan identitas warga-nya daripada kasta sudra. Mengingat di dalam identitas warga mereka mendapatkan kejelasan atas jati diri (identitas) mereka sebagai Bali Hindu melalui identitas kawitannya (warga) yang menjadi dasar identitas kebalian mereka.

Proses pembangunan komunitas Balinuraga tidak dapat dilepaskan dari bekerjanya sistem sosial kemasyarakatan mereka. Bekerjanya sistem sosial kemasyarakatan Bali di Balinuraga menjadikan komunitas ini – seperti yang disebutkan oleh Geertz (1980) – sebagai sebuah negara sendiri. Pembangunan dalam komunitas ini baik fisik maupun non-fisik,

perbedaan dengan yang ada di Bali – berhasil memapankan perekonomian mereka di bidang pertanian, di mana hasilnya digunakan oleh komunitas Balinuraga untuk membangun komunitasnya sebagai Kampung Bali dengan identitas kebaliannya. Salah satu indikator kemapanan ekonomi mereka sebagai seorang Bali adalah kemampuan ekonomi mereka untuk menyelenggarakan salah satu upacara besar dan penting, yaitu upacara ngaben.

Di samping itu, melalui upacara ngaben dapat dilihat bagaimana perkembangan identitas kebalian komunitas Balinuraga. Dari kasus upacara ngaben dapat dilihat pula bagaimana komunitas ini mereposisi kedudukan mereka sebagai golongan jaba melalui atribut-atribut upacara yang digunakan. Menjadi jelas bahwa status sosial dalam komunitas Balinuraga (Bali di Lampung) lebih ditentukan oleh kemampuan ekonominya. Sejak masa kerajaan, upacara ngaben yang besar digunakan untuk menunjukkan status sosial seseorang, terutama dari kalangan pejabat atau bangsawan kerajaan. Kini, setelah perekonomian mereka mapan (golongan jaba), mereka pun bisa melakukannya, tidak hanya yang ada di Bali, tapi juga (secara khusus) yang ada di Lampung, seperti di Balinuraga. Di Bali pergeseran ini digambarkan oleh Dwipayana (2001) sebagai pergeseran dari kasta ke kelas dengan mengkaji pergulatan kelas menengah Bali.