• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembeda yang paling signifikan antara Bali dari Pulau Nusa Penida (Bali Nusa) dengan Bali dari Pulau Bali adalah penggunaan bahasa. Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Bali Nusa Penida. Bahasa ini berbeda dengan Bahasa Bali yang biasa digunakan secara umum oleh masyarakat Bali di Bali, meskipun berasal dari satu rumpun yang sama. Selain kosa kata, perbedaan yang mencolok terletak pada logat dan ekspresi mimik wajah ketika berkomunikasi. Bagi masyarakat Bali yang umum menggunakan Bahasa Bali, mereka akan kesulitan untuk memahami

menggunakan Bahasa Bali Nusa untuk berbisik atau menggosipkan lawan bicaranya yang berasal dari Bali. Jadi, cara termudah untuk mengidentifikasikan sebuah Kampung Bali di Lampung apakah ini Bali dari Bali atau Nusa Penida adalah dari bahasa dan logatnya, karena untuk model banjar, subak, seka, warga, ritual dan upacara adat-keagamaan umumnya hampir sama.

Sama seperti elemen-elemen dari sistem sosial yang melekat pada masyarakat Bali, Bahasa Bali Nusa untuk sampai saat ini masih melekat setiap anggota komunitas Balinuraga sampai generasi muda (Bali Nusa yang sudah lahir dan besar di Lampung). Hal ini disebabkan Bahasa Bali Nusa masih digunakan sebagai bahasa ibu dalam percakapan sehari-hari baik di level keluarga maupun dalam pergaulan di lingkup banjar dan Desa Balinuraga. Saat ini penggunaan Bahasa Bali Nusa oleh generasi muda, kosa katanya sudah mulai tercampur dengan kosakata dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa (tingkat ngoko), dan menggunakan beberapa kosa kata gaul yang mereka dapatkan dari pergaulan dengan teman- temannya yang tinggal di perkotaan. Begitu pula logat bahasanya yang sudah tercampur baur – mengingat ketika mereka bersekolah Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi yang harus mereka gunakan dalam berkomunikasi. Bahasa Indonesia adalah bahasa kedua yang umum digunakan oleh masyarakat Balinuraga. Bahasa Indonesia biasa digunakan untuk acara formal yang melibatkan komunitas lain non-Bali – umumnya digunakan sebagai kata sambutan. Jika acara formal tersebut dikhususkan untuk komunitas Bali (Bali dan Bali Nusa), maka bahasa yang digunakan adalah Bahasa Bali yang halus, yaitu tingkat tertinggi yang disebut tingkat utama (dalam Bahasa Jawa setingkat krama), dan tingkat mengengah yang disebut tingkat madya . Di samping itu, Bahasa Indonesia digunakan oleh masyarakat Balinuraga jika mereka bertemu pertama kali sesama orang Bali Nusa yang ada di Lampung. Bahasa Bali Nusa baru mereka gunakan setelah pada percakapan awal dengan Bahasa Indonesia mereka sudah mengetahui bahwa lawan bicaranya adalah orang Bali Nusa yang bisa menggunakan bahasa tersebut. Bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua cukup disukai pemakaian oleh masyarakat Balinuraga karena bahasa nasional ini lebih egaliter, tidak ada tingkatan dalam berbahasa (berkomunikasi) ketika berbincang dengan lawan bicara dengan

kedudukan atau status sosial yang tinggi – sama seperti ketika mereka menggunakan Bahasa Bali Nusa yang tidak menekankan hirarki berbahasa terhadap lawan bicara yang berkedudukan tinggi. Selain itu, pemakaian Bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam acara formal memberikan prestise tersendiri bagi mereka, karena menjadikan mereka lebih Indonesia (perasaan nasionalisme). Hal ini dapat dibuktikan dari penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar cum santun yang digunakan oleh para sepuh yang memiliki latar belakang pendidikan mumpuni dan pergaulan yang luas dengan kelompok masyarakat lain dan birokrasi pemerintahan. Sebagian dari mereka juga bisa menggunakan Bahasa Jawa untuk berkomunikasi dengan etnis Jawa. Selain dikarenakan jumlah etnis Jawa jumlahnya besar di Lampung Selatan (khususnya di sekitar Desa Balinuraga), kemampuan mereka berbahasa Jawa dikarenakan pergaulan (pertemanan) atau pun hubungan kerja. Oleh karena itu, meskipun mereka tetap mempertahankan dan menggunakan Bahasa Bali Nusa Penida di dalam komunitasnya, secara umumnya dialek atau pengucapannya dan pengkomunikasiannya sudah tidak sama persis seperti di Nusa Penida. Lingkungan sosial yang heterogen – dengan berbagai bahasa daerah dari masing-masing komunitas etnis dan satu bahasa nasional – merupakan faktor utama yang menyebabkan Bahasa Bali Nusa Penida tidak menjadi sama persis seperti di Nusa Penida, terutama pada dialeknya. Di samping, di Nusa Penida sendiri pada wilayah tertentu ada penggunaan Bahasa Nusa Penida dengan dialek yang berbeda.

Penggunaan Bahasa Bali Nusa Penida di Desa Balinuraga merupakan cerminan dari kuatnya ikatan komunitas Bali Nusa terhadap tanah leluhurnya. Sekaligus menjadi identitas atau jati diri mereka sebagai orang Bali dari Nusa Penida. Ini yang menjadi ciri khas dari Bali Nusa yang ada di Lampung, dalam kasus ini di Balinuraga sebagai satu desa yang mayoritas anggota komunitasnya adalah Bali Nusa. Secara sosial Bahasa Bali Nusa Penida ini berfungsi untuk mempererat dan pemersatu

Sumatera (perantau) di luar Kabupaten Lampung Selatan. Hal ini didukung faktor tempat dan posisi mereka yang telah berada di luar Bali (Nusa Penida) dan sebagai pendatang atau perantau (perasaan senasib- sepenanggungan).

Namun sebaliknya, dalam kasus kecil, ada merasa canggung atau minder (rendah diri) jika menggunakan Bahasa Bali Nusa Penida, dan lebih memilih menggunakan Bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan seseorang itu telah lama merantau ke luar desa atau bekerja di kota, di mana Bahasa Indonesia lebih banyak digunakan, atau Bahasa Indonesia bercampur Bahasa Jawa lebih banyak digunakan karena bekerja dan bergaul dalam lingkungan yang mayoritas beretnis Jawa kelahiran Sumatera. Perasaan canggung atau minder ini bisa disebabkan karena merasa bahasa ibunya dinilai terlalu tradisional atau tidak “gaul”, dan menggunakan Bahasa Indonesia seperti yang digunakan masyarakat perkotaan memberikan prestise tersendiri bagi seseorang tersebut bahwa dirinya telah menjadi modern atau “orang kota”. Selain itu, dalam kasus yang lebih kecil, ada beberapa orang di Balinuraga yang tidak fasih atau pandai menggunakan Bahasa Indonesia, tapi lebih fasih menggunakan Bahasa Bali Nusa Penida. Mereka ini adalah para orang tua (usia lanjut) – jumlahnya tinggal sedikit – yang dalam kesehariannya setelah berada di Lampung jarang sekali bergaul atau berinteraksi dengan komunitas lain yang heterogen selain komunitas atau keluarganya sendiri.

Kompleks Perkampungan Bali

Serasa seperti di Bali. Ini adalah kesan yang didapatkan jika mengunjungi sebuah perkampungan Bali di Desa Balinuraga – kurang lebih sama seperti mengunjungi perkampungan Bali lainnya yang ada di wilayah Provinsi Lampung. Seseorang (dari kalangan non-Bali) yang belum pernah ke Bali akan mengalami kesan “serasa seperti di Bali” ketika mengunjungi atau melewati Desa Balinuraga. Terlebih jika seseorang tersebut sudah pernah berkunjung ke Bali dan Nusa Penida. Kesan ini bisa langsung didapatkan secara langsung ketika melihat bangunan atau arsitektur Bali Hindu – pelinggih (bangunan suci) atau pura – begitu memasuki Desa Balinuraga. Pelinggih atau bangunan suci – terutama pura – semua didesain dan dibangun sama seperti yang ada di Bali. Detail

arsitekturnya bisa beragam antara satu keluarga atau warga yang lain berdasarkan identitas dari warga atau soroh-nya (klan) – meskipun jika dilihat bagi orang awam semua tampak sama seperti bangunan pura lainnya, khususnya rong telu atau rong tiga (pura keluarga yang menjadi khayangan tiga di level keluarga inti) dan Pura Kawitan Warga. Contoh yang paling menonjol adalah penggunaan warna merah (terang) pada pelinggih Warga Pandé sebagai simbol Dewa Api yang melindungi klan mereka sebagai keturunan dari pandai wesi. Bagi mereka yang tingkat perekonomiannya sudah mapan, pelinggih yang dibangun tidak hanya rong telu saja, tapi juga dilengkapi oleh patung-patung dewa-dewi yang mereka percayai sebagai pelindung dan manifestasi dari Sang Hyang Widhi Wasa dengan desain yang menawan dan warna-warna yang indah – umumnya ditempatkan masih di dalam kompleks pura keluarga yang berada di depan atau perkarangan rumah yang sudah dilengkapi dengan sebuah taman bunga. Keindahan dan kemegahan pura keluarga yang mereka miliki merupakan sebuah upaya dari mereka bagaimana menempatkan atau men- sthana-kan Sang Hyang Widhi Wasa (dalam manifestasinya melalui pura keluarga dan keberadaan patung atau arca dewa-dewi dalam Hindu) dalam sebuah sthana layaknya seperti di khayangan (surga) – memberikan sebuah tempat yang terbaik berdasarkan kemampuan ekonomi mereka di level keluarga inti. Ada pula yang membangun pura keluarga-nya di depan teras lantai rumahnya, sehingga dari kejauhan sudah tampak bangunan pura keluarga. Sama seperti ketika membangun Pura Kawitan, bagaimana Pura Kawitan ini dibangun seindah dan semegah mungkin, tidak hanya sebagai wujud ketaatan mereka sebagai umat Hindu Sang Hyang Widhi Wasa, tapi juga sebagai wujud nyata keeksistensian identitas warga (leluhur atau bhatara) yang diupayakan oleh keturunannya yang telah berada di luar Bali.

Gambar 33.Pura Keluarga di Pekarangan Rumah

(Sumber: Yulianto, 2010).

Gambar 34.Pura Keluarga di Teras Lantai Atas Rumah (Sumber: Yulianto, 2010).

Dengan jumlah rumah tangga yang mencapai delapan ratus delapan belas keluarga atau 818 KK231 menjadikan Desa Balinuraga

231

Berdasarkan “Jumlah Penduduk Kecamatan Way Panji Menurut Desa, Jenis Kelamin dan Sex Ratio Tahun 2008” dalam Kecamatan Way Panji Dalam Angka

sebagai sebuah desa atau Kampung Bali “seribu pura”. Menyebutkan Desa Balinuraga sebagai “desa seribu pura” (bangunan suci menurut Hindu Bali) sangat beralasan. Setiap kepala keluarga dipastikan memiliki satu pura keluarga, dan setiap kepala keluarga yang memiliki lahan pertanian juga dipastikan memiliki pura tani yang mereka bangun di atas lahan pertaniannya (di samping memiliki pura subak atau pura empelan sendiri untuk setiap krama subak). Termasuk dengan Pura Kahyangan Tiga (Pura Desa, Pura Puseh, dan Pura Dalem), Pura Kawitan berdasarkan identitas warga, dan bangunan suci lainnya berupa tugu, baik yang ditempatkan di titik sentral desa atau pun di tempat-tempat tertentu (biasanya dipersimpangan atau perempatan jalan) yang dianggap keramat atau angker. Jenis bangunan suci lainnya – sama fungsinya seperti pura sebagai tempat ibadah kepada Sang Hyang Widhi Wasa – adalah meru (bangunan suci yang menjulang ke atas, semakin ke atas semakin mengerucut, berjumlah ganjil dan beratapkan ijuk) yang ada di pura-pura penting, seperti Pura Kawitan dan Pura Kahyangan Tiga.

Gambar 35.Tugu Desa

Gambar 36.Padmasana / Pelinggih di Perempatan Jalan

(Sumber: Yulianto, 2010)

Untuk pembangunan pura keluarga bagi sebuah keluarga baru yang memiliki tempat tinggal baru (terpisah dari rumah orang tuanya), mereka mempercayai (dan dipraktekkan) bahwa pura keluarga harus dibangun terlebih dahulu sampai lengkap sebelum rumah atau tempat tinggal mereka dibangun secara permanen. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila ada rumah yang masih terbuat dari papan (semi permanen) tapi sudah memiliki pura keluarga yang permanen (biasanya keluarga baru, atau pendatang baru yang jumlahnya sangat sedikit mengingat tingkat hunian desa ini sudah padat).

Kompleks desa atau perkampungan Bali di Balinuraga sejatinya dirancang atau didesain – awal mulanya oleh Sri Mpu Suci dan keluarganya – sama seperti yang ada di Bali pada umumnya (permukaan tanah yang menjadi tempat hunian dan pertanian relatif lebih datar, sama seperti di Bali, tapi berbeda dengan Nusa Penida yang berbukit-bukit dan bertanah keras). Jalan desa dibuat tidak terlalu lebar. Lebarnya hanya satu jalur, kecuali jalan utama desa yang dibuat dua jalur (seukuran mobil pribadi per jalur) yang menjadi jalan utama penghubung desa lain atau kecamatan. Itu pun jika dilintasi kendaraan besar (ukuran mobil Fuso) mobil dengan ukuran mobil pribadi harus menepi ke pinggir jalan. Kompleks pura-pura penting, seperti Pura Kahyangan Tiga dan Pura

Kawitan, dikelilingi atau dipagari oleh tembok (penyeker) dan ada penyangga sudut (paduraksa), sehingga menjadi seperti kompleks atau kawasan tersendiri yang menyatakan bahwa ini merupakan sebuah kompleks suci atau penting bagi mereka sebagai tempat peribadatan. Pura- pura penting tersebut memiliki areal tanah yang terbilang luas – mengingat saat pembangunannya di tahun 1960-an ketersediaan tanah masih banyak dan murah. Rata-rata untuk kompleks pura penting areanya seluas lapangan sepak bola – sama seperti kompleks bale banjar (sedikit lebih kecil daripada lapangan sepak bola). Untuk kompleks Pura Desa dan Pura Puseh (berada di sebelah barat dari tugu desa, merupakan pura pertama sebelum terjadi pemisahan yang dilakukan oleh warga lain), di depan kompleks pura (di luar tembok yang mengelilingi pura) masih terdapat tanah milik Pura Desa dan Pura Puseh seluas lapangan sepak bola. Di tanah ini pemuda-pemuda Balinuraga memanfaatkannya untuk bermain sepak bola. Kompleks yang lebih luas adalah Pura Dalem. Dikarenakan di luar kompleks Pura Dalem (di luar tembok yang mengelilingi Pura Dalem) terdapat tanah pura (tanah milik pura) yang digunakan sebagai kompleks setra (kuburan) dan tempat untuk prosesi ngaben. Sama seperti di Bali, tanah milik pura tidak dapat diperjualbelikan atau dialihfungsikan. Dengan kata lain, tanah milik pura hanya digunakan untuk kepentingan umat Hindu Dharma yang ada di Desa Balinuraga.

Selain bale banjar, Desa Balinuraga juga memiliki beberapa bale bengong. Bale bengong ini dibangun di setiap perempatan jalan atau lokasi tertentu yang dianggap strategis di mana masyarakat mudah untuk berkumpul di sana. Bale bengong ini merupakan bangunan semi permanen dengan rata-rata luas bangunan 3 x 2 m2 (seperti rumah panggung pada bagian fondasi bawahnya sebagai penyangga bangunan), beratapkan genteng tanah liat dan memiliki ruang terbuka di bagian tengah. Di waktu senggang, jika tidak ada kegiatan pertanian, masyarakat berkumpul di bale bengong. Ibu-ibu biasa menggunakannya untuk kumpul-kumpul sambil

bermain gamelan Bali, atau bernyanyi menggunakan gitar. Juga digunakan untuk tempat bertemu seseorang atau menunggu jemputan (mobil atau ojek). Melalui bale bengong dapat diketahui aktivitas perekonomian dan keagamaan di Balinuraga. Jika sebagian besar bale bengong sepi, tidak ada orang yang duduk-duduk atau bersantai di sana, maka dapat dipastikan masyarakat sedang sibuk di pertanian, atau sedang sibuk untuk mempersiapkan sebuah upacara dan ritual adat-keagamaan penting.

Gambar 37. Masyarakat Berkumpul di Bale Bengong

(Sumber: Yulianto, 2010).

Secara umum perumahan masyarakat Balinuraga bersifat terbuka, jarang sekali menggunakan pagar besi atau pagar tembok, kecuali dalam beberapa kasus diperuntukkan untuk pura-pura penting dan pura keluarga. Begitu pula dengan kandang ternak yang tidak disekat atau dipagari secara khusus. Ini yang menyebabkan hewan peliharaan seperti babi (umumnya jenis babi celeng yang berwarna hitam), anjing, dan ayam berkeliaran di jalan-jalan desa tanpa dapat diketahui milik siapa. Biasanya hewan ini akan kembali ke kandangnya masing-masing baik atas perintah pemiliknya atau pun karena keinginannya sendiri. Khusus hewan peliharaan babi, kadang dapat menimbulkan permasalahan antar penduduk. Induk babi dan anak babi yang sering berkeliaran di jalan terkadang – jika bernasib naas – tertabrak oleh kendaraan roda dua atau roda empat. Dalam kasus kecil insiden penabrakan babi bisa menimbulkan pertengkaran antar penduduk, karena nilai ekonomis tinggi dan penjualannya lebih mudah dan cepat.

Tidak jarang dijumpai jika pemilik lengah ayam, babi, atau pun anjing bisa dengan masuk ke dalam rumah penduduk dengan mudahnya. Ini yang menyebabkan jika orang non-Bali mendapatkan kesan bahwa rumah orang Bali “kotor”. Dapat dimaklumi mengapa kesan ini muncul di benak mereka, karena bagi komunitas non-Bali – terutama etnis Jawa sebagai mayoritas – jarang yang memilihara anjing, terlebih lagi babi. Ada pun yang mereka pelihara adalah ayam, yang dibuat kandang khusus di belakang rumah, atau dibuat sebuah kandang di tempat lain. Namun, bagi penduduk Balinuraga hal ini adalah hal yang biasa saja, karena di Bali pun juga seperti itu (di kampung halamannya). Justru ini yang menjadi ciri khas atau identitas dari perkampungan Bali yang ada di Lampung: ada babi yang berkeliaran bebas di jalan desa. Memang ada denda atau penyitaan jika ada babi yang berkeliaran di jalan, namun babi yang berkeliaran di jalan tetap saja ada di jalan desa. Di samping tidak dibuat kandang khusus yang mencegah babi tersebut berkeliaran, juga disebabkan babi tersebut kekurangan makanan atau ingin mencari makanan lain di luar kandangnya. Umumnya disebabkan pemilik lupa atau memberikan makanan yang sedikit sebelum pergi ke sawah dari subuh hingga sore hari. Tidak ada sebuah desa atau sebuah perkampungan di Provinsi Lampung yang bisa memelihara babi dan anjing secara bebas tanpa ada protes dari komuntias etnis dan agama lain selain di perkampungan Bali, khususnya di Balinuraga.

Gambar 38. Babi yang Berkeliaran

(Atas: anak Babi Australia / Babi Impor berkeliaran di jalan desa; bawah: babi celeng berkeliaran di halaman belakang rumah)

(Sumber: Yulianto, 2010)

Kompleks perkampungan Bali di Desa Balinuraga, yang dibuat seidentik mungkin dengan yang ada di Bali mulai dari blue print sampai pada pembangunannya (termasuk arsitektur bangunan suci bagi Bali Hindu) dan bersifat eksklusif, disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, keterikatan yang kuat terhadap perkampungannya yang ada di Bali. Jadi tidak hanya sistem sosialnya saja, tapi juga sampai ke bentuk fisik (bangunan suci dan kompleks perkampungan) yang mencirikan identitas mereka sebagai Bali Hindu. Keterikatan yang kuat atas tempat asal

tersebut yang menjadikan mereka berpandangan bahwa perkampungan mereka adalah yang paling ideal. Mereka tidak mau dibuatkan atau membuat model perkampungan seperti transmigran lainnya, karena itu bukan Bali, dan tidak membuat mereka merasa nyaman dan kerasan untuk bekerja dan menetap di Lampung. Kebebasan untuk mendesain dan membangun perkampungan Bali di Desa Balinuraga mereka dapatkan karena mereka merupakan transmigran swakarsa, tanpa sponsor dari pemerintah. Pembangunannya pun menggunakan pembiayaan dan tenaga secara komunitas (mandiri), terutama infrastruktur-infrastruktur adat dan keagamaan bagi Bali Hindu penting, seperti Pura Kahyangan Tiga, Pura Kawitan, dan Bale Banjar. Oleh karena itu, elemen-elemen atau simbol- simbol fisik yang menandakan identitas mereka sebagai Bali Hindu yang ada di perkampungan mereka di Nusa Penida (atau pun yang ada di Bali) sebisa mungkin untuk mereka penuhi. Dengan kata lain, bagaimana perkampungan Bali yang indah dan asri seperti yang ada di Bali dan Nusa Penida bisa mereka ciptakan setelah ada di Lampung. Tentu, perkampungan mereka di Balinuraga dilihat dari arsitektur dan bahan bangunannya lebih bagus daripada yang ada di Nusa Penida, karena di Nusa Penida mereka memiliki banyak keterbatasan baik tempat atau pun ketersediaan bahan bangunan. Acuannya (model perkampungan) adalah di Bali dan Nusa Penida, dengan tetap melakukan penyesuaian-penyesuaian berdasarkan konsep kala dan patra (tempat, keadaan dan waktu), tanpa mengurangi hakikatnya.

Gambar 39. Perkampungan Balinuraga

(Di jalan utama desa menuju tugu desa) (Sumber: Yulianto, 2008)

Gambar 40.Perkampungan Balinuraga Tampak Atas

Gambar 41. Jalan Desa dan Plat Gang Desa

(sumber: Yulianto, 2010)

Kedua, menjaga serta mempertahankan kelekatan dan kedekatan emosional dengan kampung halaman. Menjadikan Desa Balinuraga sebagai perkampungan Bali di Lampung berarti semakin mendekatkan dan melekatkan hubungan emosional dengan tanah leluhur. Mereka ingin agar romantisme seperti perkampungan Bali yang ada di Bali ada di tempat mereka yang baru (Lampung Selatan). Salah satu hal yang menyebabkan transmigran Bali Nusa mempunyai keinginan yang kuat untuk kembali ke kampung halamannya, khususnya transmigran pertama, adalah suasana perkampungan Bali yang ada di Nusa Penida. Oleh karena itu, dengan menjadikan Desa Balinuraga seperti perkampungan Bali keinginan yang kuat untuk kembali ke kampung halaman dapat tertahankan. Dengan demikian maka mereka bisa lebih fokus untuk bekerja di sektor pertanian, sehingga dapat secara rutin pulang ke Nusa Penida untuk menunaikan kewajiban adat dan keagamaannya.

Ketiga, secara sosiologis perkampungan Bali di Desa Balinuraga sengaja dibuat eksklusif agar mereka dapat menunjukkan eksistensi

mereka mempertahankan ciri khas yang selama ini melekat pada dirinya sebagai Bali Hindu: kebudayaan Bali Hindu. Sekaligus menunjukkan bahwa kebudayaan mereka yang luhur tersebut tetap eksis dan bertahan sesuai dengan perkembangan zaman, situasi dan kondisi yang ada di Lampung, serta tetap terbuka dalam interaksi sosialnya dengan komunitas etnis dan agama lain. Melalui perkampungan Bali komunitas berbasis identitas etnis-keagamaan ini mempererat dan mempersolid komunitasnya. Singkatnya, mereka ingin menunjukkan eksistensi kebudayaan Bali Hindu- nya setelah berada di Lampung, tidak hanya dalam wujud fisik berupa bangunan suci dengan arsitektur Bali Hindu dan kompleks perkampungan Bali, tapi juga sampai pelaksanaan kegiatan ritual dan upacara adat- keagamaan yang mereka laksanakan dengan runut dan disiplin. Dengan demikian, mereka bisa dihargai dan dihormati sebagai komunitas pendatang yang tidak hanya menjadi pendatang (transmigran) untuk kepentingan ekonomi, tapi turut melestarikan kebudayaan Bali Hindu-nya sebagai identitas pembeda dengan keunikannya yang khas – tanpa membatasi interaksi dan relasi dengan komunitas etnis dan agama lain.

Keempat, alasan praktis. Satu desa adat dengan tujuh banjar yang mayoritas anggotanya Bali Nusa sangat mempermudah pelaksanaan kegiatan adat dan keagamaan yang jumlahnya banyak dan jaraknya berdekatan232. Sumbangan tenaga (ngayah) lebih mudah dilakukan karena masih berada dalam satu desa atau satu banjar yang sama, khususnya persiapan dan pelaksanaan upacara besar seperti ngaben. Keuntungannya adalah ada biaya yang bisa dihemat dan ditekan secara ekonomi dalam proses dan pelaksanaan upacara tersebut. Sistem ngayah ini tidak hanya