• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jika diperhatikan secara seksama kuatnya bonding komunitas Bali Nusa di level banjar (dan seka-seka di dalamnya) dan level desa adat, serta di level provinsi (Bali Lampung: Bali dan Bali Nusa), bukan sesuatu yang sengaja atau pun tidak disengaja dibentuk untuk memperkuat komunitas mereka, sehingga disegani atau ditakuti oleh kelompok etnis dan keagamaan lain. Komunitas yang solid dan kompak yang berakar dari level banjar merupakan hasil dari sebuah sistem sosial kemasyarakatan dan keagamaan berdasarkan tradisi Bali Hindu yang telah mengikat dengan kuat sampai pada setiap individu, di mana karena kuatnya ikatan sosial tersebut mereka terapkan dan aplikasikan setelah keberadaannya di Lampung. Dalam kasus banjar-banjar yang ada di Balinuraga, keberadaan banjar tersebut merupakan aplikasi dan replikasi dari sistem banjar yang ada di Nusa Penida, Bali – secara umum hampir sama dengan sistem banjar, dan dalam skala lebih luas, hampir sama dengan sistem sosial kemasyarakatan dan keagamaan yang umum berlaku di Bali.

Bonding komunitas Bali Nusa di level banjar merupakan model bonding yang lebih eksklusif, peran dan fungsinya menjadi lebih spesifik pada seka-seka yang ada di dalam banjar tersebut. Namun, bonding di level desa adat (Desa Balinuraga) sifatnya lebih terbuka, karena banjar- banjar dipersatukan dalam sebuah desa adat yang secara simbolis dipersatukan dengan keberadaan dan eksistensi dari Pura Kahyangan Tiga. Identitas warga dan banjar asal di Nusa Penida – yang secara umum menjadi ciri khas banjar di Balinuraga – dipersatukan dalam satu identitas “Desa Balinuraga” sebagai sebuah desanya Bali Nusa, orang Bali Hindu dari Nusa Penida. Sama seperti halnya di level provinsi, identitas yang mempersatukan mereka (mengikat ke dalam komunitas / bonding) lebih bersifat terbuka, yaitu Bali Lampung. Keberadaan Pura Kahyangan Kerthi Bhuana yang terletak di Bandar Lampung (ibukota Provinsi Lampung) mempersatukan semua komunitas Bali Hindu yang tersebar di wilayah Provinsi Lampung dan sekitarnya dengan segala identitas banjar dan warga, yaitu dalam ikatan bonding yang lebih luas sebagai umat Hindu Dharma Provinsi Lampung. Kasus ini menunjukkan bahwa bonding tidak selalu tertutup pada satu identitas tungggal (level banjar), dalam level tertentu yang lebih tinggi bonding sebuah komunitas bersifat terbuka (level desa dan provinsi). Dengan kata lain, dalam bonding di level yang lebih tinggi (desa dan provinsi) di dalam bonding tersebut ada bridging antar kelompok yang berbeda identitas tempat asal, banjar, dan warga (status sosial).

Karena itu, tidak mengherankan jika masyarakat Bali di Lampung terkenal dengan kesolidan dan kekompakkan komunitasnya. Solidaritas mereka telah mengakar kuat sampai di level banjar sebagai basis massa komunitas mereka. Ini yang menyebabkan persatuan masyarakat Bali di Lampung terkenal kuat, sampai ke perkampungan-perkampungan Bali. Contoh konkritnya yang terkenal adalah perang kampung di awal tahun 1990-an. Sudah menjadi sebuah kewajiban bagi komunitas mereka (Bali

pembegalan tersebut tidak dapat ditolerir. Massa yang berkumpul tidak hanya massa dari salah satu banjar di Balinuraga yang menjadi korban pembegalan, tapi seluruh massa yang ada di setiap banjar di Balinuraga. Massa menjadi bertambah besar setelah mendapatkan bantuan massa dari perkampungan Bali lain yang ada di Lampung Selatan. Sebagian massa bertugas menjaga kampung untuk menjaga serangan balik, sebagian besar massa bertugas menyerang kampung lain yang menjadi tempat kejadian pembegalan. Dari kasus perang kampung ini menunjukkan solidaritas yang kuat dari komunitas Bali yang ada di Lampung, dalam kasus ini Lampung Selatan. Hal ini menyebabkan pihak militer dan kepolisian segera turun tangan, karena jika tidak, massa (komunitas Bali Hindu) yang berasal dari kabupaten lain (khususnya Lampung Tengah, dengan massa yang lebih besar daripada di Lampung Selatan) sudah siap untuk membantu penyerangan tersebut. Pihak keamanan, khususnya militer, tidak mau ambil resiko lebih jauh, karena peristiwa ini terjadi tidak lama setelah peristiwa berdarah di Talang Sari (1989)242. Sejumlah tokoh yang dilibatkan dalam proses perundingan dan beberapa anggota masyarakat Balinuraga yang turut serta dalam penyerangan mengatakan bahwa jika tindakan kekerasan yang menimpa salah satu anggota komunitas tidak dapat ditolerir lagi, maka massa dari berbagai komunitas Bali akan bergabung untuk mengadakan aksi balasan. Jika ini terjadi, maka akan sulit dibendung, karena rasa solidaritas komunitas Bali Hindu di Lampung sangat kuat – aksi massa seperti meniru semangat puputan (terkesan seperti brutalisme massa). Bagi mereka tindakan pembegalan terhadap anggotanya merupakan sebuah penghinaan harga diri mereka sebagai orang Bali. Menurut mereka, jika sudah menyinggung harga diri, maka massa yang akan bergerak. Kasus perang kampung ini menjadi klimaks bagaimana solidaritas dan kekompakkan Kampung Bali: menjadi lebih disegani bahkan seperti menjadi momok bagi komunitas lain. Ini yang menjadi salah satu faktor yang menyebabkan mengapa Kampung Bali di Lampung lokasinya relatif lebih aman daripada perkampungan lain.

242

Lihat: Chaidar, Al. (2000), Lampung Bersimbah Darah: Menelusuri Kejahatan

“Negara Intelejen” Orde Baru dalam Peristiwa Jama’ah Warsidi, Editor: Zulfikar Salahuddin, Muhammad Muntasir, Imam Shalahudin, Taufik Hidayat, Madani Press.

Batasan bonding yang terbuka ini adalah (dibatasi) pada ruang lingkup komunitas Bali Hindu (Bali Nusa) di Desa Balinuraga, dan Bali Lampung pada umumnya. Bonding yang terbuka dalam ruang yang lebih luas – terutama dalam interaksi ekonominya dengan komunitas etnis lain – akan diuraikan lebih lanjut pada bagian berikutnya. Bagian ini menunjukkan bahwa bonding komunitas Bali Nusa – di dalam komunitas Bali Nusa di Dea Balinuraga – bersifat terbuka pada level desa, di mana batasan-batasan identitas banjar dan warga bisa dipersatukan (khususnya) secara simbolis dengan adanya Pura Kahyangan Tiga (dan PHDI sebagai majelis umat dengan perannya sebagai penengah dan pemersatu umat Hindu Dharma dari pertentangan atau perselisihan yang lebih bersifat adat).