• Tidak ada hasil yang ditemukan

Untuk melihat Bali Lampung secara utuh, maka yang harus ditilik lebih jauh adalah banjar sebagai kesatuan komunitas adat dan keagamaan (setingkat dusun) berbasiskan tradisi Bali Hindu berdasarkan tempat asal yang menjadi identitas komunitas tersebut. Pada pembahasan sebelumnya mengenai banjar di Desa Balinuraga diketahui bahwa setiap banjar memiliki karakteristik dan ciri khas yang membedakannya dengan yang lain. Pada banjar tertentu, seperti Banjar Pandéarga dan Sidorahayu, karakteristik dan ciri khas yang melekat adalah identitas warga yang mendominasi anggota banjar tersebut, yaitu identitas Warga Pandé pada Banjar Pandéarga dan identitas Warga Pasek pada Banjar Sidorahayu. Namun, karakteristik dan ciri khas banjar tidak bisa disempitkan pada satu identitas warga tertentu, terutama saat ini di mana komposisi warga sudah membaur. Di dalam Banjar Pandéarga terdapat Warga Pasek dan Arya, begitu juga sebaliknya di Banjar Sidorahayu yang di dalamnya terdapat Warga Pandé dan Arya.

Faktor berikutnya yang memperkuat komunitas banjar adalah banjar asal mereka di Nusa Penida. Banjar Pandéarga – cikal bakal Desa Balinuraga – adalah turunan (replikasi) dari banjar asal transmigran pertama Nusa Penida (tahun 1963), yaitu Banjar Soyor (Dusun Soyor, Desa Tanglat, Kecamatan Nusa Penida). Komposisi anggota Banjar Pandéarga saat itu bukan seluruhnya Warga Pandé, tapi termasuk di dalamnya Warga Pasek dan Arya. Penamaan Banjar Pandéarga adalah untuk menghormati Sri Mpu Suci yang menjadi pemimpin transmigran pertama yang berasal dari Warga Pandé. Dalam perkembangannya, Banjar Pandéarga diidentikkan sebagai banjar-nya Warga Pandé, meskipun di dalamnya terdapat anggota yang berasal dari warga lain.

Kesolidan dan kekompakkan banjar di Balinuraga tidak dapat dilepaskan dari keberadaan seka-seka yang ada di dalam banjar. Seka menjadi sebuah perkumpulan komunitas adat-keagamaan dengan spesifikasi tugas yang lebih khusus, seperti seka tani dan seka gong.

Sebagai sebuah perkumpulan di bawah otoritas banjar, seka mengikat anggotanya dalam sebuah perkumpulan / komunitas yang eksklusif. Dengan kata lain, seka menjadi fondasi dasar kesolidan dan kekompakkan anggota banjar. Misalnya, seka tani yang keanggotaannya adalah krama subak dari petani memiliki sawah dalam wilayah banjar tersebut. Keanggotaan seka tani ini tidak terbatas pada satu identitas warga, tapi lebih pada keberadaan lahan pertanian petani dalam wilayah banjar (dusun) tertentu. Seka gong keanggotaannya lebih spesifik daripada seka tani. Kasus Banjar Pandéarga dan Banjar Sidorahayu keanggotaannya secara umum adalah anggota banjar, tapi secara khusus berasal dari warga tertentu. Hal ini disebabkan salah tugas seka gong tersebut dalam upacara yang ada di Pura Kawitan yang menjadi identitas warga tertentu.

Sebagai sebuah organisasi sosial kemasyarakatan dan keagamaan, banjar memiliki struktur organisasi yang salah satunya berfungsi mempersatukan anggota komunitas sebagai anggota banjar dan umat Hindu Dharma. Klian banjar adalah ketua adat sekaligus kepala dusun yang bertugas memimpin masyarakat adat di dalam banjar dan bertugas sebagai administratur pemerintah sebagai kepala dusun. Peran ganda ini menyebabkan jabatan klian banjar atau kepala dusun tidak begitu menonjol, karena lebih banyak memainkan peranan di bidang administratif. Peran yang menonjol justru dimainkan oleh sulinggih warga, pemangku, atau pun para sepuh sebagai tokoh sentral yang memperkuat kesolidan dan kekompakkan banjar sebagai komunitas adat dan agama.

Realitas yang menarik adalah jumlah anggota banjar di Balinuraga tidak akan menurun meskipun ada beberapa anggota banjar yang merantau ke daerah lain di wilayah Lampung dan Sumatera Selatan. Hal ini disebabkan anggota banjar sudah terikat secara sosial dan emosional dengan banjar lamanya: identitas atau jati dirinya sebagai Bali Hindu di Lampung melekat pada banjar tersebut, khususnya yang lahir dan besar di salah satu banjar di Balinuraga. Artinya, meskipun sudah merantau ke luar

kewajiban adat dan agama yang harus mereka laksanakan di banjar tersebut – sama seperti kewajiban yang harus mereka penuhi di banjar leluhurnya di Nusa Penida. Karenanya tidak mengherankan jika ada upacara besar seperti ngaben, jumlah massa yang ada di sebuah banjar, atau jumlah massa di Desa Balinuraga jika upacara ngaben massal, menjadi lebih banyak daripada jumlah massa di hari-hari biasa.

Desa Adat Sebagai Pemersatu Banjar dan Warga yang Bersitegang

Desa Balinuraga sebagai desa adat atau desa pakraman, terkait dengan bonding komunitas Bali Nusa, berfungsi sebagai pemersatu ketujuh banjar. Peran desa adat tidak begitu menonjol di Balinuraga, karena peran penting di bidang adat dan keagamaan sudah diambil-alih dan dimainkan dengan baik oleh masing-masing banjar. Jadi, fungsinya sebagai pemersatu ketujuh banjar lebih bersifat simbolis untuk mengidentifikasikan bahwa Desa Balinuraga dengan ketujuh banjar-nya merupakan sebuah desa atau komunitas Bali Hindu yang berasal dari Nusa Penida, Bali. Sama seperti klian banjar, ketua desa adat perannya lebih menonjol sebagai administratur pemerintahan desa dinas atau Kepala Desa.

Faktor penting yang mempersatukan ketujuh banjar sebagai komuntias adat dan keagamaan di Balinuraga (level desa) adalah keberadaan Pura Kahyangan Tiga dan PHDI sebagai majelis yang mewadahi berbagai kepentingan masyarakat Desa Balinuraga sebagai umat Hindu Dharma. Karena peran banjar sebagai kesatuan adat dan keagamaan sudah menguat, keberadaan Pura Kahyangan Tiga dan PHDI sebagai pemersatu komunitas Bali Hindu lebih bersifat simbolis. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari perang dingin antar kelompok warga tertentu. Jadi, meskipun keberadaan Pura Kahyangan Tiga dan PHDI sebagai pemersatu lebih bersifat simbolis, kehadiran keduanya tetap memiliki nilai penting untuk mempersatukan kedua kubu warga yang bersitegang ini sebagai Bali Nusa dan umat Hindu Dharma. Contoh sederhananya adalah sebagai berikut: meskipun aktivitas adat dan keagamaan lebih banyak difokuskan di Pura Kawitan, tapi masyarakat Balinuraga dalam menyelenggarakan upacara pitra yadnya (ngaben) tetap menggunakan satu Pura Dalem (salah

satu dari Pura Kahyangan Tiga) yang sama, khususnya jika diselenggarakan upacara ngaben massal. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari perang dingin antara kelompok warga yang menyebabkan satu kubu warga membangun Pura Puseh (dan Penataran Bale Agung) untuk kelompok warga-nya sendiri. Sebuah tindakan yang disesalkan oleh para tokoh agama dan masyarakat, karena perang dingin para elit warga sampai memecah umat, dengan memisahkan Pura Kahyangan Tiga (Pura Puseh). Dalam kasus ini, kehadiran PHDI sebagai majelis umat Hindu Dharma di Balinuraga sangat penting sebagai penengah sekaligus pemersatu, yaitu menentukan Pura Desa dan Pura Puseh mana yang akan digunakan untuk upacara besar keagamaan yang bersifat formal, sehingga semua umat Hindu Dharma di Balinuraga bisa bersatu dan tidak terpecah belah – biasanya yang dipilih adalah Pura Desa dan Pura Puseh yang pertama kali dibentuk saat berdirinya Desa Balinuraga.

Bali Lampung: Bonding seluruh Komunitas Bali Hindu di Lampung