• Tidak ada hasil yang ditemukan

“Bukan Bali jika masyarakatnya tidak dinamis.” Ungkapan tersebut untuk menggambarkan bahwa perdebatan antara kubu konservatif dan kubu modernis itu selalu ada dalam kehidupan masyarakat Bali, dalam kasus ini Balinuraga. Masyarakat Balinuraga sendiri mengakui, baik dari pihak konservatif dan modernis, bahwa masyarakat Bali Nusa Penida sangat kolot (konservatif) dalam mempertahankan tradisi Bali Hindu mereka, terutama setelah keberadaan mereka di Lampung. Sebenarnya kedua kubu yang selalu berdebat dan bertentangan ini mempunyai tujuan yang sama: mempertahankan tradisi Bali Hindu sesuai dengan tempat asal mereka di Nusa Penida. Inti dari perdebatan kedua kubu ini sebenarnya

dapatkan dari Bali atau pun sekolah agama (sekolah tinggi teologi), dan berdasarkan realitas atau kenyataan yang ada setelah berada di Lampung.

Mereka yang termasuk dalam kubu konservatif dan modernis tidak dapat disempitkan pengertiannya pada satu kelompok warga tertentu. Artinya, menganggap satu kelompok warga sebagai kubu konservatif atau pun modernis. Dalam kasus upacara ngaben pribadi ini mereka yang digolongkan kubu konservatif adalah kelompok atau pun individu yang menolak adanya perubahan dalam tata cara upacara dan upakara yang berlaku dalam tradisi Bali Hindu seperti yang ada di Nusa Penida dan Bali pada umumnya. Masyarakat Balinuraga menyebutnya sebagai orang kolot – kukuh pada aturan adat yang bersifat rumit dan kompleks – yang menganggap perubahan dalam tradisi, meskipun tidak mengubah makna dan nilai dari keluhuran tradisi tersebut, sebagai sebuah ancaman terhadap kelestarian tradisi leluhur. Biasanya yang termasuk dalam golongan ini adalah orang tua yang sudah berusia lanjut (sepuh), yang menganggap tradisi leluhur sebagai sesuatu yang ajeg – tidak boleh dilakukan perubahan karena akan mendatangkan marabahaya. Tapi tidak semua sepuh termasuk kolot, karena ada sepuh yang berpikiran modernis. Faktor pendidikan adalah faktor utama yang mempengaruhi pemikiran para sepuh ini. Sepuh yang berpendidikan (pernah mengenyam pendidikan formal), pernah mendapat pengetahuan agama Hindu Dharma (melalui buku atau semacam kursus), dan memiliki pergaulan yang luas, umumnya memiliki pemikiran yang lebih terbuka mengenai tradisi Bali Hindu, khususnya melestrasikan tradisi Bali Hindu sesuai dengan konteks kala dan patra di Lampung. Sebaliknya, ada pula golongan muda yang berpikiran kolot meskipun sudah mengenyam pendidikan formal: ke-kolotan-nya didasarkan penafsiran yang sempit atas pengetahuan yang diterimanya dari buku-buku teks yang berisikan tradisi Bali dan Hindu. Begitu pula dengan kubu modernis (berpikiran moderat), tidak dapat disempitkan pada satu kelompok warga tertentu, karena saat ini tidak semua banjar secara keseluruhan anggotanya berasal dari satu identitas warga – umumnya disebabkan perkawinan antar anggota warga yang berbeda. Mereka yang yang digolongkan kubu modernis adalah kelompok atau pun individu yang berpikiran lebih terbuka dalam memaknai dan mengaplikasikan tradisi leluhurnya, dan perubahan adalah salah satu cara bagaimana

mendatangkan manfaat positif bagi umat Hindu Dharma dan kelestarian tradisi Bali Hindu mereka sebagai warisan leluhur.

Dalam kasus ngaben pribadi ini, perdebatannya sudah berlangsung sejak lama antara pihak keluarga (modernis) dan pihak lain (konservatif), yaitu sejak almarhumah meninggal sampai tiga tahun sesudahnya saat upacara ngaben pribadi akan dilaksanakan oleh pihak keluarga. Berikut ini adalah beberapa tema perdebatan – yang sebenarnya kelanjutan dari perang dingin yang sudah berlangsung sejak tahun 1970-an257 – antara kedua kubu tersebut yang dimulai sejak almarhumah meninggal sampai saat upacara pitra yadnya akan dilaksanakan:

Pertama, apakah seseorang yang bukan berasal dari etnis Bali, tapi sudah menjadi Hindu, bisa atau diperkenankan untuk menerima upacara pitra yadnya (ngaben). Kubu konservatif (kolot) berpendapat bahwa ngaben itu adalah tradisinya orang Bali. Menurut mereka apakah orang non-Bali mengenal tradsisi ngaben seperti yang dilakukan orang Bali. Mengingat almarhumah bukan berasal dari etnis Bali, dan sebelum menjadi Hindu menganut kepercayaan lain (yang tidak memiliki tradisi pembakaran jenasah). Bagi kubu modernis, pendapat kubu konservatif tersebut sangat kolot dan tidak dapat diterima, karena menurut kubu modernis, setiap orang yang sudah menjadi Hindu, meskipun bukan orang Bali, sebagai umat Hindu berhak untuk diupacarakan pitra yadnya (ngaben) oleh pihak keluarganya. Kubu modernis memberikan contoh orang India yang beragama Hindu: orang India bukan orang Bali tapi beragama Hindu, tapi mereka memiliki tradisi yang jauh lebih tua daripada tradisi Bali Hindu untuk melakukan pembakaran jenasah bagi anggota keluarganya yang telah meninggal.

Kedua, perdebatan mengenai setra (kuburan Bali Hindu). Perdebatan ini merupakan perdebatan paling panas di antara kedua belah kubu. Akibatnya perang dingin yang sudah berlangsung lama semakin membeku. Pihak

keluarga yang mewakili kubu modernis membangun makam almarhumah sesuai dengan tradisi atau adat istiadat yang berlaku pada etnistas keluarga almarhumah (Tiongua-Jawa). Makam dibuat permanen, ada batu nissan, dan dibuat sebuah pendopo yang memayungi makam: sebuah tindakan yang tidak dapat diterima bagi kubu konservatif, karena bagi mereka (sesuai dengan tradisi Bali Hindu) kuburan itu bersifat sementara (kotor) tidak boleh dibuat secara permanen sebab jasad nantinya akan di-aben-kan. Pihak keluarga berargumentasi bahwa pendapat kubu konvervatif itu memang berlaku bagi etnis Bali, tapi almarhumah bukan berasal dari etnis Bali. Pembangunan makam yang bersifat permanen tersebut dimaksudkan untuk menghargai almarhumah, selain itu, pihak keluarga yang sangat mencintai almarhumah ingin agar agar atma almarhumah mendapatkan perlindungan sementara yang benar-benar nyaman: karenanya dibangun pendopo dan makam bersifat permanen yang bagus, lengkap dengan batu nisannya. Nantinya makam ini pun akan dibongkar saat jenasah akan di- aben-kan dan setelah mageseng selesai dilaksanakan makam ini akan dihancurkan. Sebagai umat Hindu, almarhumah tetap berhak mendapatkan upacara pitra yadnya dari pihak keluarga, tidak ada persoalan dengan model makam yang modern (anti-konvensional) seperti model setra bagi masyarakat Bali Hindu pada umumnya: makam atau kuburan dibuat apa adanya, pada gundukan tanah tempat jenasah ditempatkan cukup diberikan pagar bambu yang sederhana – sebuah pandangan yang menganggap bahwa makam bersifat sementara karena jenasah nantinya akan di-aben- kan.

Gambar 63. Setra

(Atas: makam pihak keluarga; bawah: makam / setra yang umum digunakan oleh masyarakat Balinuraga dan masyarakat Bali pada umumnya sebelum di-aben-kan;

Hal ini berkaitan dengan peti jenasah yang ditaruh di dalam makam. Model peti jenasah tidak terbuat dari kayu, tapi dari semen, begitu pula dengan penutup petinya. Kaum konservatif berpendapat bahwa dengan peti jenasah seperti itu maka jenasah akan menjadi kotor, daging masih melekat pada tulang, berbeda jika jenasah ditanam di dalam tanah (hanya dibungkus dengan kain putih / kafan). Perdebatan ini akhirnya selesai setelah saat kerangka jenasah diambil oleh pihak keluarga dan panitia dini hari di Hari-H: kerangka jenasah bersih, tidak ada daging yang melekat pada tulang, warna putihnya sempurna seperti tulang jenasah pada umumnya. Kemudian, kerangka jenasah dibersihkan dengan air yang berisikan bunga-bunga segar yang harum – secara praktis agar kerangka jenasah menjadi harum dan bersih, sedangkan secara filosofis untuk membersihkan dan menyucikan jasad fisik(kerangka jenasah) agar siap untuk di-aben-kan atau disucikan (melalui api, sebagai unsur pelepas antara wujud fisik / duniawi dengan atma) dalam proses pembakaran jenasah.

Keempat, perdebatan tentang model bangunaan bade dan atap tumpang bade dan jenis hewan yang kendaraan tunggangan jenasah (patulangan). Pembuatan bade yang “lain daripada yang lain” tidak lepas dari perdebatan. Sebuah inovasi, kreasi dan terobosan yang bagi kubu konservatif sebagai sebuah “penyimpangan”, karena telah keluar dari koridor umum yang biasa mereka lakukan dalam pembuatan bade: (1) bade dibuat seperti bangunan rumah dan pura, tidak seperti yang umum digunakan dalam masyarakat Bali; dan akibatnya (2) jumlah atap tumpang bade menjadi tidak jelas: ada yang menafsirkan sembilan dan ada pula yang menafsirkan sebelas. Kemudian, dari jumlah atap tumpang bade muncul perdebatan lagi, apa dasarnya menggunakan jumlah seperti itu. Bagi pihak keluarga yang modernis, permasalahannya bukan pada bentuknya, tapi pada nilai estetika (keindahan dan seni), kreativitas dan inovasi dalam pembuatan dan rancangan bangunan bade. Bagi mereka, fungsi dan nilai filosofinya tetap sama, tidak ada yang menyimpang: memberikan yang terbaik bagi atma, maka diciptakanlah sebuah bade yang bagus dan indah. Selain itu, ini merupakan hasil kreasi dari pihak keluarga sendiri yang merupakan ahli karya seni (termasuk pembuat sarana dan

prasarana upacara ngaben) yang dalam proses rancangan dan pembuatan tetap berpedoman pada nilai dan filosofi Bali Hindu dalam pembuatan bade dengan melakukan terobosan dan inovasi baru. Perdebatan berikutnya adalah jenis hewan yang menjadi kendaraan tunggangan jenasah. Kubu konservatif bersikukuh bahwa lembu adalah tunggangan bagi golongan brahmana, dan tunggangan “singa makampid” adalah tunggangan yang umum digunakan oleh Warga Pandé dan Warga Pasek di Nusa Penida dan Bali – meskipun pihak konservatif mengetahui bahwa jika ditelusuri dari silsilah leluhurnya mereka berhak menggunakan lembu sebagai patulangan. Bagi pihak keluarga, mereka berhak menggunakan lembu sebagai kendaraan tunggangan bagi atma dalam prosesi pitra yadnya, karena leluhur mereka (Warga Pandé) berasal dari pandita brahmana. Dengan kata lain, lembu tidak bisa dimonopoli oleh golongan tertentu saja, setiap golongan berhak menggunakannya asalkan dapat memberikan bukti-bukti mengenai sejarah leluhurnya. Terpenting adalah lembu yang digunakan pun adalah lembu khas Warga Pandé dengan warna merahnya sebagai identitas pembeda dengan lembu brahmana (berwarna putih): Lembu Merah atau Lembu Bang.

Kelima, perdebatan mengenai versi upacara pitra yadnya (pembakaran jenasah): India versus Bali. Kubu konservatif menilai upacara ngaben pribadi ini lebih berkiblat pada India, sehingga unsur kebaliannya menjadi hilang. Pihak keluarga menilai bahwa upacara ini tetap mengacu pada tradisi Bali Hindu, karena Bali-nya akan hilang jika berkiblat pada India. Inti perdebatan dari kedua belah pihak ini tetap sama: bagaimana mempertahankan tradisi Bali Hindu, jangan sampai hilang hanya karena mengikuti versi upacara pitra yadnya-nya India.

Keenam, perdebatan-perdebatan yang bersifat teknis dalam penyelenggaraan upacara mageseng. Misalnya, posisi kepala jenasah apakah searah dengan kepala lembu atau membelakangi kepala lembu.

dengan kepala lembu, maka akan menyulitkan atma saat bangun dari patulangan karena kepalanya akan bertabrakan dengan kepala lembu. Perdebatan teknis lainnya adalah apakah upacara pembakaran tetap dilakukan sesuai waktunya, atau menunda sampai cuaca kembali cerah: tafsirnya adalah apakah prose pembakaran sudah diizinkan oleh Sang Hyang Widhi Wasa atau belum diizinkan karena hujan turun deras. Pihak keluarga tetap berikukuh bahwa upacara pembakaran harus dilakukan sesuai waktunya, karena dengan niat yang tulus mereka percaya pada kekuatan Sang Hyang Widhi Wasa bahwa proses pembakaran akan berhasil meskipun hujan turun dengan deras. Akhirnya proses pembakaran jenasah tetap dilakukan sesuai dengan waktunya meskipun hujan turun deras, dan proses ini berlangsung sukses. Kedua contoh ini merupakan salah satu dari perdebatan kubu konservatif dan modernis tentang hal-hal yang bersifat teknis. Sebuah perdebatan yang jumlahnya sangat banyak sekali, karena setiap upacara memiliki banyak prosedur teknis sendiri- sendiri, di mana setiap teknis memiliki arti dan filosofi serta penafsiran sendiri-sendiri. Oleh karena itu, untuk kasus ngaben pribadi ini penulis menyajikan dua contoh perdebatan yang bersifat teknis tersebut.

Perdebatan kedua kubu ini tidak dapat disebutkan sebagai perpecahan komunitas Bali Nusa di Desa Balinuraga. Justru hadirnya kubu konservatif yang berperan sebagai “oposisi” sangat berguna untuk mempertahankan tradisi Bali Hindu yang dimodifikasi oleh kubu modernis agar tetap lestari. Dengan kata lain, kubu konservatif berperan sebagai pemberi rambu-rambu agar modernisasi tersebut tidak menyimpang dari tradisi leluhur mereka sebagai Bali Hindu. Ini merupakan sebuah peran penting bagi masyarakat Bali Hindu (Bali Nusa) di Balinuraga, terlebih setelah keberadaan mereka di Lampung, di mana posisinya sebagai minoritas dan jauh dari pusat yang dapat mengontrol atau meng-ajeg-kan kebudayaaan Bali Hindu. Sisi positif dari hadirnya kedua kubu ini adalah bagaimana masyarakat Bali Hindu di Balinuraga bisa melakukan penyesuaian identitas Bali Hindu-nya setelah di Lampung dengan berbagai inovasi, kreasi dan terobosan penyelenggaraan upacara dan ritual adat- keagamaan – dalam kasus ini upacara ngaben pribadi – agar identitasnya tetap lestari, dan bisa menjawab tantangan dan kebutuhan umat Hindu Dharma – terutama dari prosedur upacara dan ritual yang kompleks dan

besarnya tenaga dan biaya yang dikeluarkan, dengan tetap mempertahankan dan sesuai dengan hakikatnya.

Sulinggih Warga (Pendeta Warga, Pendeta Jaba) sebagai