• Tidak ada hasil yang ditemukan

berada di luar lingkungan kerajaan (puri) atau triwangsa (brahmana, kesatria, dan weysia). Sebutan lain dari golongan jabawangsa ini – yang bagi sebagian besar anggota kelompok warga yang tidak dimasukkan ke dalam golongan triwangsa di masa kolonial sebagai sebuah sebutan yang merendahkan harkat dan martabat mereka – adalah sudrawangsa atau orang sudra. Dengan kata lain, saat mereka masih berada di Nusa Penida dan setelah berada di Lampung, mereka termasuk golongan jabawangsa. Secara geografis pun keberadaan mereka di Nusa Penida jauh dari lingkaran dan jangkauan kekuasaan puri, di mana puri atau kerajaan terdekat adalah Klungkung. Di samping itu, sejarah di masa kerajaan di mana pulau ini dijadikan sebagai tempat pengasingan atau pembuangan bagi tahanan politik pihak kerajaan yang berkuasa, di mana yang menjadi tahanan politik (sebagian besar) adalah orang-orang penting yang memiliki kedudukan atau status sosial yang tinggi, dan orang-orang buangan karena melakukan praktek ilmu hitam ketika berada di pulau induk, Bali. Mereka yang diasingkan ke Nusa Penida secara otomatis status atau kedudukan sosialnya menjadi hilang. Dengan kata lain, mereka menjadi kawula atau rakyat jelata, yang biasa disebut sebagai orang jaba (orang luar); (2) sebuah realitas bahwa golongan jabawangsa ini terdiri dari beberapa kelompok warga yang berasal dari leluhur yang berbeda, di mana leluhur tersebut menjadi pembentuk dari warga atau klan generasi-generasi berikutnya. Menariknya adalah leluhur dari beberapa kelompok warga tersebut, baik berdasarkan sejarahnya atau pun berdasarkan versi elit-elit warga tersebut, merupakan seseorang yang memiliki peran penting di dalam pemerintahan dan keagamaan. Singkatnya, leluhur-leluhur warga tersebut di masanya termasuk dalam golongan brahmana dan kesatria; (3) konsep warga sebagai sebuah identitas sosial atau status sosial lebih senang mereka gunakan daripada konsep wangsa atau kasta. Mereka lebih sering mengidentifikasikan dirinya sebagai Warga Pasek, Warga Pandé, dan Warga Arya daripada mengidentifikasikan dirinya sebagai jabawangsa atau sudrawangsa. Terkadang mereka yang sudah generasi ketiga secara meyakinkan dapat menyebutkan identitasnya sebagai Warga A, Warga B, atau Warga C, tapi mereka menjadi bingung (belum paham) ketika Warga A, Warga B, atau Warga C itu termasuk dalam kasta atau wangsa apa. Bagi generasi sebelumnya yang sudah sepuh dan mereka yang memahami

konsep catur warna dalam agama Hindu, mereka lebih senang dengan konsep warga karena dinilai lebih egaliter, tidak ada pembedaan kelas atau status sosial berdasarkan kelahiran yang bersifat ajeg. Mereka pun bangga dengan status sosial warga-nya, karena leluhur mereka di masanya memiliki perang yang penting di pemerintahan kerajaan dan di bidang keagamaan (sebagai kesatria dan sebagai brahmana). Hal ini diperkuat dengan komposisi masyarakat Nusa Penida di waktu itu (sebelum bertransmigrasi) yang lebih egaliter karena kedudukan pulau tersebut sebagai tempat pengasingan dan lokasinya yang jauh dari pusat kerajaan (puri). Dalam beberapa kasus, (dimungkinkan) terjadi beberapa kesalahan dari beberapa kelompok masyarakat dalam mengidentifikasikan identitas warga atau leluhurnya.

Beberapa fakta di atas merupakan dasar bagi berkembanganya sistem warga di Balinuraga. Sistem wangsa yang dulu pernah berlaku di masa kolonial – dan sampai sekarang masih (mungkin) masih berlaku atau dianggap relevan bagi kalangan tertentu di Bali – tidak mereka adaptasi di Balinuraga. Seperti fakta-fakta di atas, memang secara situasional sistem wangsa tidak berkembang di Nusa Penida, baik karena posisi pulau tersebut sebagai pulau pengasingan atau pun karena letaknya yang jauh dari pusat kerajaan. Dengan kata lain, tidak ada bangsawan puri atau raja menetap di Nusa Penida di era kolonial, yang dapat memastikan berjalannya sistem wangsa tersebut atas dukungan pemerintah kolonial. Oleh karena itu, mereka yang bertransmigrasi dari Nusa Penida ke Lampung Selatan (generasi pertama transmigran Bali Nusa) tidak ada yang berasal dari golongan triwangsa; dengan kata lain seluruh transmigran ini berasal dari golongan jabawangsa atau non-puri. Hal ini dapat dibuktikan dari pemakaian nama yang tidak menggunakan gelar kebangsawan seperti halnya golongan triwangsa, seperti Anak Agung, Ida Bagus, Cokorda, Gusti, Dewa Agung, dan lain-lain. Nama yang mereka kenakan adalah nama-nama umum seperti yang digunakan masyarakat Bali pada umumnya

nama “ I Made” menjadi “I Pandé Made Sutra” atau “I Made Pandé Sutra” (biasanya jarang digunakan dan penempatannya tergantung dari orang tua yang memberi nama), dan gelar bagi sulinggih warga seperti “Sri Mpu” atau “Rsi” (sangat terbatas, hanya boleh digunakan oleh sulinggih warga yang sah).

Sistem atau konsep warga digunakan atau diadaptasi dalam komunitas Bali Nusa di Balinuraga dikarenakan di dalam konsep warga atau soroh terdapat identitas mereka sebagai Bali. Menurut mereka, bagaimana mungkin bisa mengaku sebagai orang Bali jika (seseorang) tidak tahu berasal dari warga atau soroh apa. Sebagai (orang) Bali mereka harus tahu siapa dan apa leluhur atau warga-nya. Terlebih setelah keberadaan mereka di luar Bali (Lampung Selatan). Mereka butuh kejelasan dan keabsahan dari identitasnya sebagai warga apa dan siapa leluhurnya, agar diakui eksistensi identitasnya sebagai “Bali Hindu” baik di Lampung (dalam komunitasnya) maupun di Bali. Selain itu, di dalam sistem atau konsep warga ini terdapat sebuah status sosial atau prestise tertentu melekat pada setiap anggotanya berdasarkan sejarah kebesaran dari leluhur mereka di masanya yang membentuk klan atau warga tersebut. Karenanya, dalam dinamika hubungan atau relasi sosial di dalam komunitas ini tidak ada pertentangan atau pun konflik kasta antara mereka yang berkasta tinggi (triwangsa) dengan mereka yang berkasta rendah (sudrawangsa). Sebaliknya, pertentangan atau pun konflik tertutup (perang dingin) yang justru terjadi antara warga satu dengan warga lainnya. Dengan kata lain, konflik antar kelompok warga dalam golongan jabawangsa. Inti dari pertentangan atau konflik tertutup ini adalah memperebutkan siapa di antara warga tersebut (khususnya diwakili para elit warga) yang memiliki status sosial yang paling tinggi. Pertentangan klasik dan perang dingin yang masih terjadi sampai saat ini adalah antara Warga Pandé dan Warga Pasek, sedangkan Warga Arya tetap berada di posisi netral, tidak mau terlibat atau ikut campur perselisihan di antara kedua warga tersebut.

Terlepas dari persaingan antar warga di Balinuraga, kehadiran sistem warga ini menjadikan masyarakat Balinuraga secara umum lebih egaliter: kedudukan mereka sama, tidak berlaku sistem kasta yang bersifat diskriminatif, tidak ada hirarki sosial vertikal tertutup, dan perlakuan

istimewa terhadap kelompok warga tertentu. Setiap warga memiliki sulinggih sendiri – Sri Mpu dan Rsi – yang bertugas sebagai pemimpin spiritual sekaligus sebagai patron bagi komunitas adat-keagamaan warga tersebut. Dengan demikian, mereka tidak bergantung pada peran pedanda (pendeta brahmana) yang harus mereka datangkan dari Bali, karena sulinggih warga memiliki fungsi kependetaan yang sama dengan pedanda dengan pengakuan legal (resmi) dari PHDI sebagai organisasi resmi (semi-pemerintah) agama-kemasyarakatan yang diakui oleh pemerintah dan masyarakat Bali secara umum, baik untuk muput ritual dan upacara adat-keagamaan maupun untuk memberikan tirta (air suci) kepada anggota warga (dengan posisi sebagai umat Hindu Dharma) ketika dilangsungkan upacara penting. Secara sosial dan psikologis penggunaan sistem atau konsep warga ini di Balinuraga merupakan pembebasan dari belenggu sistem kasta yang bersifat diskriminatif seperti yang dipraktekan di masa kolonial. Sekaligus sebagai pembuktian bahwa komunitas mereka yang disebut sebagai jabawangsa atau pun sudrawangsa ini bisa eksis secara komunitas dan mapan secara ekonomi setelah berada di luar Bali – dan beberapa di antaranya berhasil menduduki posisi strategis dalam pemerintahan lokal dan di bidang politik, atau pun memiliki karir yang menjanjikan sebagai profesional muda.