• Tidak ada hasil yang ditemukan

ekonomi di pasar kecamatan, pemuda ini mengetahui bagaimana pola ekonomi – khususnya membelanjakan uangnya untuk membeli sepeda motor baru dari dealer

– masyarakat Balinuraga; (2) beberapa etnis Lampung yang berprofesi sebagai tukang ojek – sebuah profesi alternatif yang (banyak) ditekuni oleh penduduk asli, karena peran ekonominya sudah banyak tergeser oleh pendatang (khususnya transmigran Jawa dan Bali). Sebagai penduduk asli, mereka sudah mahfum benar bagaimana kematangan perekonomian masyarakat Balinuraga dan perkembangannya – sampai akhirnya menggeser perekonomian mereka sebagai penduduk asli. Narasumber dari etnis Tionghua di antaranya adalah para pedagang di pasar kecamatan. Pedagang Tionghua ini sudah berdagang puluhan tahun di

mapan. Tingkatan yang lebih tinggi adalah memberikan sumbangan dana yang besar bagi pembangunan dan renovasi Pura Kawitan Warga (perioritas utama), berikutnya (perioritas kedua) sumbangan untuk Pura Kahyangan Tiga; (2) berhasil membangun rumah permanen. Syarat untuk membangun rumah permanen adalah telah membangun Pura Keluarga. Jika Pura Keluarga pembangunannya belum selesai, maka rumah tidak bisa dibuat permanen, atau dibangun dalam bentuk semi permanen. Rumah yang besar dan artistik berikut dengan Pura Keluarga-nya menunjukkan status sosial dan ekonomi; (3) berhasil menyekolahkan anak-anaknya. Minimal setingkat SMU. Semakin tinggi jenjang pendidikan anak, maka semakin mapan perekonomiannya; (4) memiliki sawah di atas dua hektar. Menurut mereka, mempunyai tanah dua hektar sama saja belum “memiliki tanah”. Hasil panen dari tanah dua hektar umumnya hanya mencukupi kebutuhan dasar dan kebutuhan penyelenggaraan upacara dan ritual yang bersifat rutin. Ini yang menyebabkan untuk tanah seluas dua hektar, mereka dapat mengerjakannya sendiri, bersama anggota keluarga intinya. Jadi, hasil pertanian baru bisa terlihat atau tampak dalam wujud fisik jika memiliki tanah di atas dua hektar; (5) memiliki hewan ternak utama seperti babi dan sapi. Hewan ternak babi dan sapi adalah bentuk tabungan yang masih tradisional. Untuk mencairkannya menjadi uang tunai, tidak membutuhkan waktu yang lama. Biasanya pengepul akan datang ke rumah masyarakat Balinuraga untuk membeli babi dan sapi. Hasil penjualan babi biasanya digunakan untuk keperluan keluarga yang biayanya relatif kecil, sedangkan hasil penjualan sapi untuk keperluan yang lebih besar, seperti pulang kampung ke Nusa Penida dan menyelenggarakan upacara ngaben. Babi juga dijadikan sebagai persembahan dan hidangan jika ada upacara besar; (6) mampu pulang kampung ke Nusa Penida secara rutin. Paling tidak setahun sekali, atau dua tahun sekali. Minimal mampu pulang kampung ke Nusa Penida ketika ada upacara penting di sana. Pulang kampung adalah indikator kemapanan ekonomi mereka, tidak hanya di lingkungan Balinuraga, tapi keluarga dan kerabat yang masih ada di Nusa Penida; (7) mampu meng-aben-kan anggota keluarganya yang telah meninggal. Upacara ngaben atau pitra yadnya adalah upacara besar dan penting bagi masyarakat Balinuraga sebagai Bali Hindu. Sebuah upacara besar dan penting yang tidak hanya menjadi kewajibaan anggota keluarga

yang masih hidup, tapi sebuah upacara yang secara ekonomi membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Anggaran minimal yang harus disiapkan untuk upacara ngaben pribadi kurang lebih mencapai seratusan juta rupiah, sedangkan upacara ngaben massal biaya yang dibutuhkan per keluarga minimal kurang lebih mencapai puluhan juta rupiah (mulai dari sepuluh sampai lima puluh juta rupiah). Oleh karena itu, hanya keluarga yang perekonomiannya telah mapan yang sanggup menyelenggarakan upacara pitra yadnya ini, khususnya upacara ngaben pribadi, dan jika belum mampu menyelenggarakan upacara ngaben pribadi, pihak keluarga biasanya menabung terlebih dahulu atau menunggu waktu yang tepat untuk mengikuti upacara ngaben massal. Asumsi dasar dari ketujuh indikator kemapanan versi masyarakat Balinuraga ini adalah bahwa kebutuhan dasar seperti pangan dan pakaian, serta bantenan yang bersifat harian sudah terpenuhi dengan baik.

Lalu yang menjadi pertanyaan penting adalah apa yang menjadi kunci kemapanan perekonomian mereka – terkait dengan profesinya sebagai petani? Menurut mereka, kunci keberhasilan ekonomi masyarakat terletak pada eksistensi seka tani atau krama subak yang menjadi basis perekonomian banjar. Unsur adat dan keagamaan yang ada di dalam krama subak yang menjadi satu dengan kegiatan ekonomi mewajibkan mereka untuk melalukan proses pertanian secara serempak. Mulai dari masa pembenihan sampai masa panen dan penjualan. Ada ritual dan upacara bersifat adat dan keagamaan yang harus mereka lakukan pada setiap tahapan proses pertanian. Untuk memulai satu tahapan, misalnya masa tanam, harus didasarkan hari baik dan ada ritual serta upacara yang harus dilakukan. Relevansi ekonomi dari aktivitas adat dan keagamaan dalam seka tani ini adalah pada penjualan hasil panen. Ini yang menjadi pembeda dengan petani dari etnis lain non-Bali Hindu. Mereka tidak diperkenankan menjual hasil panennya di saat masa panen itu berlangsung. Ada upacara besar yang bernama ruwatan hasil panen yang harus

beras mulai naik. Sudah menjadi rahasia umum jika pengepul akan membeli hasil panen dengan harga yang rendah (di bawah harga pasar) saat panen raya, dan ketika pengepul langsung membeli hasil panen di lokasi panen saat panen berlangsung. Sebuah tindakan yang tidak diperkenankan berdasarkan tradisi mereka dan pantang dilakukan (menjual hasil panen saat panen): ada kewajiban untuk mempersembahkan hasil panen kepada Sang Hyang Widhi Wasa sebagai pengucapan syukur. Selain itu, waktu yang dibutuhkan untuk persiapan dan penyelenggaraan upacara ruwatan hasil panen, di mana selama waktu tersebut hasil panen tetap tidak diperkenankan untuk langsung dijual. Paling tidak, selama waktu persiapan dan penyelenggaran upacara tersebut, mereka sudah terhindar dari harga rendah karena sudah melewati masa panen.

Harga jual hasil panen yang baik tidak berdampak signifikan atas kemapanan ekonomi mereka jika tidak disertai dengan pola konsumsi atau pola belanja atas pendapatan hasil penjualan panen. Masyarakat Balinuraga dikenal hemat untuk pengeluaran yang tidak perlu, khususnya yang tidak berkaitan langsung dengan kegiatan adat dan keagamaan – kecuali untuk kebutuhan dasar seperti pangan, pakaian, kesehatan, dan pendidikan anak. Mengingat banyaknya upacara dan ritual adat-keagamaan yang wajib mereka laksanakan, di mana membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Lalu, pertanyaan berikutnya apa solusi yang harus mereka lakukan selain bekerja keras dan ulet di lahan pertaniannya? Solusinya adalah dengan menambah luas areal persawahannya. Saat ini harga tanah di Balinuraga sudah tinggi, dan sudah tidak memungkinkan (sudah sulit) untuk membuka lahan baru atau menambah lahan baru. Untuk menambah lahan baru di Balinuraga dan wilayah sekitarnya adalah dengan membeli tanah pertanian yang dijual oleh petani lain, dan ini jarang terjadi di Balinuraga karena tanah ini adalah aset ekonomi mereka. Oleh karena itu, solusi yang mereka tempuh adalah dengan melakukan ekspansi lahan pertanian di areal perkebunan di tempat lain, seperti Lampung Timur dan Sumatera Selatan (perbatasan dengan Lampung Timur) yang harga tanahnya di tahun 1980-1990an masih murah dan ketersediaan tanahnya masih sangat luas. Ada yang menjual sebagaian tanahnya di Balinuraga, di mana hasil penjualan tanah tersebut bisa mendapatkan tanah yang lebih luas di tempat lain untuk perkebunan tanaman keras, seperti kelapa sawit

dan karet. Ada pula yang menggunakan uang tabungannya untuk membeli tanah perkebunan di tempat lain – tabungan yang berhasil dikumpulkan selama bertahun-tahun dengan pola belanja yang “hemat”. Tabungan ini sangat mudah mereka kumpulkan khususnya di masa Orde Baru, di mana menurut mereka mencari uang relatif lebih mudah daripada pasca Suharto. Masa-masa ini (Orde Baru) ekspansi lahan lebih relatif mudah dilakukan, megingat di tahun 1990-an lahan pertanian di Balinuraga sudah bersifat stagnan (sudah tidak memungkinkan untuk diperluas, kecuali mencari lahan baru di tempat lain). Biasanya tanah perkebunan tersebut tidak mereka kerjakan sendiri, tapi menggunakan jasa orang lain, umumnya berasal dari etnis Jawa. Di samping itu, ada beberapa keluarga yang bertransmigrasi lagi ke tempat lain, tapi tetap menjadi anggota banjar di Balinuraga, untuk menggarap perkebunan. Saat ini, meskipun tahun 2008 harga sawit sempat anjok, tapi secara umum hasil perkebunan seperti kelapa sawit, khususnya karet, memiliki nilai jual yang lebih tinggi daripada bercocok tanam padi tadah hujan. Oleh karena itu, jika melihat keadaan ekonomi mereka yang mapan, terkadang di waktu-waktu tertentu mereka terlihat santai di bale bengong, tapi memiliki rumah dan pura keluarga yang bagus, mampu menyelenggarakan upacara besar dan pulang kampung secara rutin, berhasil menyekolahkan anak dan membelikan sepeda motor terbaru dari dealer sepeda motor; hasil ini bisa mereka peroleh dan nikmati karena memiliki perkebunan tanaman keras di tempat lain, di luar Balinuraga. Namun, fondasi dasar ekonomi mereka di banjar, hingga akhirnya bisa melakukan ekspansi lahan pertanian dan perkebunan guna pemapanan ekonomi di level keluarga inti adalah keberadaan seka tani. Singkatnya, tidak mungkin bisa mencapai kemapanan ekonomi – melihat banyak dan besarnya biaya yang dibutuhkan untuk kewajiban adat dan keagamaan – tanpa adanya penambahan aset (kapital fisik: tanah). Kemudian, sebagian dari hasil pendapatan ini – yang sudah disisihkan – digunakan untuk membangun banjar. Wujudnya yang paling menonjol

inti) sudah mapan. Untuk anggota warga yang Pura Kawitan Warga-nya tidak terletak di dalam banjar di mana ia tinggal dan tergabung dalam seka tani atau krama subak di banjar tersebut, maka ia tetap memiliki kewajiban ekonomi untuk pembangunan dan renovasi Pura Kawitan Warga-nya yang berada di banjar lain, selain kewajiban adat dan agama.

Sistem Sosial sebagai Modal Sosial

Dalam sub-bagian ini penulis akan menguraikan konsep modal sosial dalam perspektif lain: bukan berdasarkan perspektif Barat dalam menguraikan konsep modal sosial, yang akhirnya (berakibat) dalam kasus ini hanya akan melakukan pembenaran, tapi perspektif Barat tersebut lebih digunakan sebagai rambu-rambu. Sebuah perspektif lain yang titik pijaknya pada realitas yang ada dalam sebuah sistem sosial yang berlaku dalam masyarakat Bali Nusa yang ada di Desa Balinuraga: sistem sosial yang mereka adaptasi dan replikasi dengan beberapa penyesuaian berdasarkan konsep kala dan patra. Penguraian ini akan terkait dengan konteks pembangunan komunitas mereka di level banjar dan desa, dan sumbangan perekonomian mereka di level kabupaten sebagai salah satu daerah (desa) penghasil beras (pembangunan tingkat lokal) di Lampung Selatan.

Dalam kasus masyarakat di Desa Balinuraga, penulis menyebutkan bahwa sistem sosial – yang tampak dalam realitas sosial masyarakat Bali Nusa di Balinuraga, baik yang sudah menghasilkan wujud fisik (bangunan suci) atau pun masih dalam bentuk nilai dan norma yang berlaku dalam sistem sosial tersebut – sebagai modal sosial. Ada beberapa poin penting yang akan diuraikan lebih lanjut mengapa sistem sosial yang ada dan berlaku dalam masyarakat Bali Nusa di Balinuraga disebut sebagai modal sosial yang bersifat mengikat ke dalam (bonding social capital) dan mengikat ke luar (bridging social capital):

Pertama, sistem sosial ini – yang di dalamnya terdapat sistem adat,

keagamaan (religi), sistem pertanian dan ekonomi – menjadi sebuah modal yang berwujud kerja kolektif di level banjar dan desa yang menghasilkan sebuah pembangunan fisik, atau modal sosial. Dalam kasus ini, dikatakan sistem sosial dikatakan sebuah modal sosial karena dalam sistem sosial

yang telah mengikat kuat dalam komunitas (dan level individu) berhasil mendorong komunitas ini secara kolektif untuk melakukan sebuah prose pembangunan yang berwujud fisik, yang menjadi sebuah kewajiban atas sistem sosial yang mengikat tersebut. Dikatakan sebagai “modal” karena fungsinya ekonomi dari modal tersebut untuk menghasilkan sesuatu, dalam kasus ini adalah pembangunan fasilitas dan infrastruktur sosial dan keagamaan; dan dikatakan “sosial” karena dikerjakan secara kolektif, dengan kesadaran atas kewajibannya sebagai konsekuensi dari ikatan sistem sosial yang bersifat mengikat tersebut. Contoh konkretnya: (1) Berdirinya Pura Kahyangan Tiga yang menjadi pemersatu ketujuh banjar di Balinuraga sebagai umat Hindu Dharma. Eksistensi identitas mereka di level desa sebagai masyarakat Bali Nusa di Lampung Selatan dan sebagai umat Hindu Dharma adalah dengan berdirinya Pura Desa (Penataran Bale Agung), Pura Puseh, dan Pura Dalem (Pura Kahyangan Tiga). Pura Kahyangan Tiga ini merupakan infrastruktur keagamaan (dan sosial) untuk komunitas Bali Nusa di Desa Balinuraga. Kuatnya sistem sosial yang mengikat komunitas ini sampai ke level individu dan kebutuhan eksistensi identitasnya sebagai masyarakat Bali Nusa mendorong mereka untuk membangun Pura Kahyangan Tiga ini. Pembangunannya dilakukan oleh masyarakat secara kolektif dan mandiri, baik dana maupun tenaga. Tidak menggunakan dana atau bantuan dari pemerintah. Pembangunannya didasarkan atas kebutuhan mereka sebagai kesatuan masyarakat di level desa sebagai masyarakat Bali Nusa yang beragama Hindu, dan sebagai kewajiban sosial atas sistem sosial yang telah mengikat dan melekat dalam komunitas dan individu; (2) Berdirinya bale desa dan bale banjar. Ini merupakan infrastruktur sosial dalam sistem sosial yang mengikat tersebut, yang juga berfungsi untuk aktivitas keagamaan. Rapat atau perkumpulan setingkat desa dan setingkat banjar (dusun), baik untuk permasalahan adat dan agama maupun permasalahan yang bersifat administratif, dilaksanakan di dalam bale desa dan bale banjar, di mana setiap banjar memiliki satu

terletak pada berdirinya Pura Kawitan Warga. Jika seseorang mengaku bahwa identitas dengan warga A, tapi tidak bisa menunjukkan Pura Kawitan Warga-nya, maka seseorang tersebut akan diragukan identitasnya sebagai “Bali Hindu”. Pura Kawitan Warga menjadi simbol identitas di level individu dan kelompok bahwa mereka berasal dari satu keturunan yang sama, dan mereka dipersatukan dengan adanya Pura Kawitan Warga. Pembangunnya dilakukan secara bersama-sama oleh anggota kelompok warga yang bersangkutan. Mulai dari dana, tenaga, sampai model dan rancangan arsitektur Pura Kawitan Warga tersebut. Setelah ada perselisihan di antara dua kelompok warga yang berbeda identitas leluhur, pembangunan dan renovasi Pura Kawitan Warga lebih menjadi fokus utama. Gengsi dan status sosial individu dan kelompok warga termanifestasikan atau terwakilkan dengan keberadaan Pura Kawitan Warga yang besar dan artistik; (4) Berdirinya Pura Subak yang dibangun secara kolektif oleh anggota banjar yang tergabung dalam seka tani atau krama subak. Ini merupakan kewajiban mereka sebagai anggota dari sistem pertanian (subak) yang menjadi bagian dari sistem sosial yang mereka adaptasi tersebut; (5) Dibangunnya jalan desa dan jalan dusun. Jalan utama desa dan dusun yang ada saat ini merupakan hasil dari kerja kolektif masyarakat Balinuraga, khususnya pembangunan awal dilakukan oleh transmigran pertama dan kemudian secara bertahap dilakukan perbaikan. Fungsi utama pembangunan jalan desa dan jalan dusun ini adalah untuk memperlancar transportasi dalam aktivitas ekonomi dan hubungan sosial dengan komunitas lain; (6) dan bangunan-bangunan fisik lainnya yang mempunyai fungsi sosial dan religius, seperti tugu-tugu (tugu desa dan tugu-tugu yang ada di tempat-tempat yang dianggap keramat) dan bale bengong sebagai tempat untuk bersantai dan berkumpul bersama di waktu senggang. Pembangunan tugu dan bale bengong dibangun secara kolektif (dana dan tenaga) oleh beberapa anggota masyarakat berdasarkan cakupan wilayah tertentu di mana bangunan tersebut didirikan, kecuali tugu desa. Adanya bukti fisik dari bangunan-bangunan fisik tersebut, dan bagaimana cara serta proses pembangunannya, menjadi bukti bagaimana sistem sosial yang mengikat tersebut mampu mendorong kolektifitas kelompok (individu-individu) untuk membangun infrastruktur adat dan keagamaan (termasuk infrastruktur ekonomi). Tujuannya adalah untuk

menunjukkan, mempertahankan serta melestarikan eksistensi identitas mereka sebagai Bali Hindu dari Nusa Penida, di mana melalui pembangunan tersebut sistem sosial yang bersifat mengikat tersebut dapat terus eksis dan lestari. Dengan kata lain, sistem sosial yang bersifat tersebut berhasil mendorong masyarakat untuk membangun infrastruktur sosial, adat dan keagamaan secara kolektif, guna menjamin keberlangsungan, keberfungsian, kelestarian dan kelancaran dari sistem sosial tersebut. Sistem sosial ini, termasuk bangunan fisik di dalamnya, merupakan simbol dari identitas mereka sebagai Bali Hindu dari Nusa Penida. Ini adalah sebuah kewajiban yang bersifat mengikat, di mana ikatan tersebut mem-bonding masyarakat Bali Nusa pada level tertentu (banjar dan desa) untuk melakukan proses pembangunan (infrastruktur adat, keagamaan dan ekonomi) yang hasil konkretnya dapat dilihat dan diberfungsikan sesuai dengan sistem sosial yang berlaku tersebut.

Kedua, di dalam sistem sosial tersebut ada nilai dan norma yang bersifat

mengikat – ada sebuah kewajiban dan hak dari setiap anggota komunitas di level banjar dan desa – di mana nilai dan norma tersebut yang memungkinkan “modal sosial yang bersifat mengikat ke dalam” ini bisa berfungsi dan terealisasi sampai saat ini. Bukti fisiknya telah diuraikan pada poin pertama. Bukti lainnya dapat dilihat dari contoh kasus upacara ngaben pribadi, di mana setiap anggota banjar memiliki suatu kewajiban – sebagai sebuah nilai dan norma yang harus mereka lakukan – untuk membantu dan bekerja sama secara sukarela – tanpa ada paksaan – untuk menyukseskan persiapan dan penyelenggaraan upacara ngaben pribadi tersebut yang diselenggarakan oleh salah satu keluarga anggota banjar. Catatan penting di sini, untuk kasus upacara ngaben pribadi dan pembangunan fisik infrastruktur adat dan keagamaan adalah bahwa trust tidak memainkan peranan penting dalam pelaksanaan modal sosial di dalam komunitas ini246. Justru nilai dan norma yang ada di dalam sistem

sosial tersebut yang menjadikan modal sosial itu berjalan dan menghasilkan sesuatu. Dorongan mereka untuk bekerja secara kolektif dengan sumbangan dana dan tenaga lebih cenderung karena adanya nilai dan norma dalam sistem sosial yang bersifat “wajib” dan “sukarela” – tidak ada paksaan, tapi jika tidak melakukannya menimbulkan “perasaan tidak enak” dan merasa “dikucilkan”. Trust tidak memainkan peran yang penting dalam pengaplikasian modal sosial yang mengikat ke dalam ini karena setiap anggota masyarakat atau kelompok masyarakat yang ada di dalam desa dan banjar memiliki identitas warga yang berbeda. Setiap warga memiliki status sosial tersendiri yang telah diklaim oleh kelompoknya, khususnya dua kelompok warga yang bertentangan247.