• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upacara ngaben (pribadi dan massal) merupakan sebuah upacara yang membutuhkan waktu persiapan yang lama, baik upacara ngaben di Bali maupun di Lampung. Rata-rata waktu yang dibutuhkan paling cepat untuk persiapan sekitar empat minggu atau satu bulan. Umumnya bisa menghabiskan waktu berbulan-bulan, khususnya jika upacara ngaben tidak dikoordinasikan atau menggunakan sistem manajemen yang efektif dan efisien.

Upacara ngaben pribadi dalam kasus di Balinuraga membutuhkan waktu persiapan kurang lebih enam minggu, efektifnya sekitar empat minggu atau satu bulan. Waktu yang panjang itu digunakan untuk mempersiapkan bantenan (sesajen) yang jumlahnya banyak dan bervariasi berdasarkan kebutuhan dan fungsi dari bantenan tersebut untuk kebutuhan upacara. Selama waktu kurang lebih satu bulan tersebut, semua anggota keluarga (keluarga inti dan keluarga besar) beserta anggota banjar turut berpartisipasi aktif – mulai dari bapak-bapak dan ibu-ibu serta pemuda dan pemudi – untuk membantu persiapan upacara tersebut. Para pria biasanya mengambil tugas-tugas yang bersifat kasar (pekerjaan berat untuk pria), seperti membuat tenda, membantu membuat sarana dan prasarana upacara ngaben, memotong hewan (babi, ayam, dan entok / bebek), piket jaga malam, dan lain-lain. Kaum wanita, ibu-ibu dan pemudi, tugas utamanya adalah membuat bantenan dan memasak (membuat kue dan beragam makanan ringan, minuman kopi, teh dan susu, sarapan, makan siang, dan makan malam). Peran wanita (perempuan) dalam keberlangsungan acara ini sangat penting sekali, karena semua urusan logistik perut kaum pria tergantung penuh dengan pekerjaan kaum wanita. Semua pekerjaan tersebut dilakukan secara terus menerus selama hampir satu bulan penuh. Mereka mulai bekerja dari pagi hingga malam. Dua minggu terakhir saat upacara akan berlangsung kegiatan semakin padat, mereka bekerja hingga larut malam (lembur), dan menjelang “Hari-H” sebagian besar dari mereka, kaum pria, tidak tidur sama sekali guna mempersiapan dan mematangkan pelaksanaan upacara. Sebuah pekerjaan yang melelahkan, tapi bagi mereka ini merupakan sebuah dharma yang harus mereka lakukan untuk karma yang baik. Jadi, dalam satu bulan tersebut kegiatan

para anggota banjar yang tinggal di Balinuraga – dalam kasus ini Banjar Pandéarga – terfokus untuk mempersiapkan upacara ngaben. Pembagian tugas sangat penting di sini agar tidak terjadi tumpang-tindih. Artinya, jangan sampai persiapan ini mengganggu kegiatan harian di dalam rumah tangga setiap anggota banjar. Biasanya setelah urusan rumah tangga selesai (peran ibu rumah tangga) di pagi hari – seperti bersembahyang, menyiapkan sarapan bagi anak-anak yang akan ke sekolah, memberikan makanan untuk babi dan ayam – mereka langsung pergi ke tempat keluarga yang sedang mempersiapkan upacara ngaben. Untuk bapak- bapak, setelah di waktu subuh sampai pagi hari telah selesai bersembahyang dan mengontrol lahan pertaniannya (sawah), mereka akan langsung pergi ke tempat kegiatan persiapan upacara. Saat kegiatan persiapan ini berlangsung, para anggota banjar umumnya akan sarapan, makan siang dan makan malam di tempat ini. Ibu-ibu umumnya tidak lagi memasak di rumah, tapi memasak di tempat keluarga yang akan melangsungkan upacara. Selama kegiatan ini berlangsung, makanan dan minuman selalu ada dan tidak terputus. Semua bahan-bahan pokok termasuk air mineral berbentuk cup, minuman berenergi sampai bir sudah disimpan guna memenuhi kebutuhan para anggota banjar yang bekerja. Sistem kerja yang kolektif ini dan bersifat mengikat anggota banjar disebut dengan ngayah. Ngayah tidak hanya dalam bentuk tenaga, tapi juga ada yang menyumbangkan sembako, mulai beras, teh, kopi, minyak goreng, gas elpiji, minuman ringan, rokok, ayam, babi, bebek, dan lain- lain. Semua sumbangan ini dicatat oleh pihak keluarga bersangkutan. Kurang lebih seperti arisan, sehingga jika ada anggota banjar akan menyelenggarakan upacara ngaben atau upacara lain, maka pihak keluarga yang bersangkutan akan memberikan sumbangan yang sama, termasuk sumbangan tenaga. Sumbangan bahan makanan dan minuman ini sebenarnya wujud dari partisipasi dan solidaritas para anggota banjar. Jumlahnya tidak ditentukan, tapi berdasarkan kemampuan ekonomi

warung atau ke mini market terdekat untuk membeli sejumlah rokok untuk kebutuhan para pengayah. Oleh karena itu, sangat dimaklumi jika upacara ngaben membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Paling tidak biaya yang dikeluarkan, baik biaya yang terlihat dan tidak terlihat, jumlah mencapai ratusan juta rupiah. Ini yang menyebabkan tidak setiap keluarga mampu menyelenggarakan upacara ngaben pribadi, dan mengambil solusi menyelenggarakan ngaben massal.

Gambar 51. Jenis Makan Siang

(Paling tengah dari tiga jejer wadah makanan adalah babi guling: makan khas Balinuraga dan masyarakat Bali pada umumnya. Makanan ini menjadi hidangan

saat proses persiapan upacara, dan makanan olahan daging babi merupakan menjadi menu utama)

(Sumber: Yulianto, 2010)

Waktu dan biaya persiapan dan pelaksanaan upacara ngaben pribadi yang lama dan besar harus sesuai dengan hasil yang diraih. Untuk itu, pihak keluarga telah membuat sistem manajemen yang sederhana agar waktu dan biaya yang telah dikeluarkan tidak sia-sia. Caranya adalah dengan membuat panitia kerja dan pelaksana, di mana ada ketua panitia, pelaksana, dan bendahara. Setiap anggota banjar yang ngayah sudah ditentukan – dan ada yang menentukan sendiri pekerjaan apa yang akan dia lakukan – jenis pekerjaannya dan spesifikasinya. Misalnya, dalam persiapan upacara ada yang bertugas membantu membuat bade, wadah, patuluangan, dan lain-lain (saranan dan prasarana upacara), seperti mengecat, mendekorasi dan membuat konstruksi, kemudian bertugas di bidang transportasi, dokumentasi dan informasi, dan lain-lain. Untuk

pekerjaan yang bersifat teknis, seperti membangun fondasi bade, pihak keluarga menggunakan jasa tenaga dari tukang yang selama ini mereka gunakan untuk mengerjakan proyek pembuatan sarana dan prasarana upacara ngaben di tempat lain. Dan ketika, beberapa rangkaian upacara sedang dilaksanakan, beberapa anggota banjar sudah bersiap dan menjalankan tugasnya, seperti keanggotaan seka gong: pemain gamelan, penari tarian wali (tari persembahan / tari wali yang disebut tari baris253), gadis-gadis Balinuraga pembawa banten gebogan / pajegan (bantenan yang disusun vertikal, menjulang ke atas, terdiri dari bahan makanan, bunga dan buah-buahan yang ketika dibawa / dijunjung ditaruh di atas kepala), dan lain-lain. Setiap ketua panita dan anggota memiliki tanggungjawab masing-masing. Tanpa perintah bersifat top-down mereka bekerja dengan baik, karena dalam proses pemilihan jenis pekerjaan, para anggota banjar diperkenankan secara demokratis memilih pekerjaan yang bisa mereka kerjakan dengan baik sesuai dengan keahliannya. Kemudian, ketua panitia dan anggota banjar bertanggungjawab kepada pihak keluarga sebagai penyelenggara.

Untuk mempermudah pengidentifikasian para anggota panitia (anggota banjar), pihak panitia dan keluarga telah membuatkan baju khusus (kaus berlengan panjang) yang menandakan bahwa mereka adalah anggota. Baju ini dipersiapkan untuk massa yang mengusung bade ke setra. Uniknya baju tersebut disponsori oleh sebuah perusahaan swasta yang memiliki produk obat pembasmi hama tumbuhan (insektisida multi guna). Bagian depan baju terdapat gambar dan merek produk perusahaan swasta tersebut, dan bagian belakang bertuliskan “upacara pitra yadnya” (di atasnya masih dicantumkan nama perusahaan), logo tungku api yang menyimbolkan upacara pitra yadnya, tanggal upacara, nama almarhumah, dan tempat berlangsungnya upacara tersebut. Hal ini menjadi cukup unik, bahwa pihak perusahaan dan pihak panitia (dari anggota keluarga) sama- sama melihat bahwa upacara ini sebagai ajang untuk promosi dan

memperkuat relasi dengan konsumennya. Pihak perusahaan tanpa berpikir panjang langsung membuatkan baju tersebut sesuai dengan permintaan pihak panitia upacara, sekaligus sebagai media promosi produknya, karena mayoritas para peserta dan tamu dalam upacara ini adalah petani (yang memiliki lahan pertanian) yang berasal dari berbagai tempat di Lampung dan Sumatera Selatan. Dari pihak perusahaan sendiri, memang sudah disiapkan anggaran untuk pembuatan baju gratis bagi para konsumennya sebagai media promosi, sekaligus menarik minat pembeli dengan hadiah baju. Dari pihak panitia, pengajuan baju ini sebenarnya untuk membuktikan kesetiaan perusahaan terhadap konsumennya, karena jika tidak, masih banyak perusahaan lain yang akan membuatkan baju untuk keperluan upacara sekaligus media promosi. Sebenarnya pihak perusahaan hanya menambahkan nama upacara, tanggal, nama almarhumah, dan tempat di bagian belakang baju, dan tinggal meminta tukang sablon untuk menambahkannya: sebuah hubungan mutualisme yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Bagi massa, pemberian baju khusus ini seperti semacam penghargaan tersendiri dari pihak keluarga dan pihak panitia, bahwa mereka ikut berpartisipasi aktif dalam upacara tersebut. Mereka sangat senang dengan baju khusus tersebut, artinya setelah digunakan saat upacara inti (memberangkatkan bade ke setra), baju tersebut dapat digunakan saat bekerja di sawah atau pun sebagai baju santai sehari-hari, sekaligus mengingat keterlibatan mereka dalam upacara tersebut (baju kenang-kenangan dari pihak panitia dan keluarga).

Gambar 52. Kaus Panita Bersponsor

(Sebelah kiri: bagian belakang kaus; kanan: bagian depan kaus) (Sumber: Yulianto, 2010)

Acara inti dari upacara ngaben pribadi ini berlangsung selama empat hari dengan satu hari acara puncak, yaitu pembakaran pitra dan nganyut abu. Ini bukan berarti upacara dan ritual lain tidak memiliki arti dan nilai penting. Setiap ritual dan acara dalam upacara ngaben pribadi memiliki arti dan nilai penting tersendiri serta keberfungsiannya. Oleh karena itu, pihak keluarga sangat menginginkan persiapan yang memakan waktu efektif satu bulan penuh tersebut dan biaya yang besar berjalan sukses saat berlangsungnya Hari H. Di bawah ini adalah Jadwal Kegiatan Upacara yang disusun oleh panitia upacara ngaben pribadi (dicatat kembali oleh penulis seperti aslinya, tidak ada penambahan dan pengurangan:

No. TGL KEGIATAN PEMUPUT 1 30

September 2010

Ngendag Atma ke Setra Mangku Puniatmaja

2 2 Oktober 2010

A. Ngaskara Kajang ke Pura Kawitan

Pandé Soyor

Langsung Murwa Daksina Desa B. Ngangget Beringin Pura Soyor C. Ngeringkes / Ngaskara D. Merelina / Mati Lampu.

Sembahyang Keluarga Besar di Peyadya

E. Meras Wadah

A. Mpu Galuh B. Mangku Guru Rsi

C. Ide Rsi Tri Windu E. Mangku Sudama 3 3 Oktober 2010 (A)

A. Pemberangkatan Bade ke Setra B. Upacara Pengiriman / Ngaskara ke Setra

C. Nganyut Abu

(B) Ngeroras

A. Mecaru / Ngeresi Gana

B. Ngulapin Sekah Kurung ke Prapatan C. Nyatur (A) B. Ide Rsi C. Mangku Nata (B) A. Ide Rsi B. Mangku Sana C. Empu Galuh 4 4 Oktober 2010

A. Nganyut Langsung Ngulapin ke Segara

B. Ngelinggihin ke Sanggah

A. Mangku Gita B. Empu Galuh

Tabel 2. Jadwal Kegiatan Upacara

Jadwal Acara Kegiatan ini dipasang pada dinding bale yang ada di depan rumah, tempat di mana sesaji (bantenan) dan arwah almarhumah ditempatkan (biasa disebut bale semanggen): terdiri dari empat upacara inti, dan satu upacara puncak di tanggal 3 Oktober 2010. Dengan demikian, setiap anggota banjar (anggota panitia) dapat melihat jadwal tersebut. Tujuannya adalah segala persiapan yang dilakukan bisa difokuskan pada setiap rangkaian ritual dan upacara yang telah dijadwalkan. Misalnya, siapa yang bertugas menjemput dan menghubungi

sulinggih, menyiapkan sound system, menyiapkan gamelan Bali di teras rumah, koordinator saat rangkaian upacara mulai dilakukan, gladi kotor dan gladi bersih seka gong, massa yang akan mengusung bade dan wadah, menyusun dan mengelompokkan bantenan yang telah dibuat untuk setiap rangkaian ritual dan upacara, dan lain-lain.

Gambar 53. Jadwal Kegiatan Upacara

Gambar 54. Bale Semanggen

(Atas: dari sudut depan; bawah: tampak samping) (Sumber: Yulianto, 2010)

Rangkaian ritual dan upacara di atas merupakan model umum yang biasa digunakan atau berlaku dalam masyarakat Bali, baik di Bali maupun di Lampung254. Perbedaan yang terjadi biasanya bersifat teknis saat upacara dilaksanakan, untuk mempermudah dan mempersingkat (tidak dijadikan berbelit-belit), tapi inti atau esensi dari upacara tersebut tetap sama. Misalnya, upacara Nyekah (ngaskara/nagaskara, ngeringkes) – upacara penyucian roh leluhur yang disimbolkan dengan daun beringin – yang biasa dilaksanakan setelah upacara ngaben, oleh pihak keluarga dan panitia dilaksanakan sehari sebelum upacara ngaben. Tujuannya agar jadwal kegiatan upacara tidak menumpuk pada satu hari sehingga pelaksanaan upacara menjadi lebih mudah dan fokus serta terealisasi dengan maksimal.

Dalam pelaksanaannya ada yang mencirikan atau menjadi ciri khas ngaben versi Nusa Penida. Ini yang membedakan pelaksanaan ngaben yang biasa berlaku di Bali dan Bali di Lampung, yaitu (1) Murwa Daksina Desa, melakukan pawai atau arak-arakan sarana pengusung jenasah (dadong brayut dan gedong) dan patulangan lembu (sarana untuk membakar jenasah) mengelilingi desa, tepatnya di Banjar Pandéarga (Pura Kawitan Warga sebagai pusatnya) dan Tugu Desa (pusat desa). Intinya adalah bagaimana arwah almarhumah yang telah “dihidupkan” dan “disucikan” – disimbolkan dengan ranting / daun beringin yang ada di Pura Kawitan yang telah dibungkus kain putih (ngaskara, sekah, ngangget beringin), setelah sebelumnya ada ritual penghidupan atau pemanggilan arwah oleh anggota keluarga yang dipimpin seorang sulinggih (mpu dari Warga Pandé) – diperkenalkan kembali dengan lokasi tempat tinggalnya sewaktu masih hidup. Diibaratkan arwah tersebut seperti seorang tamu yang sebelum diajak menginap atau tinggal di sebuah tempat (merajan)

254

Ada tiga tahapan dalam upacara pitra yadnya yang bersifat umum (Titib 2003), yaitu (1) ngaben, palebon, atau atiwa-atiwa. Tujuannya untuk membebaskan roh

yang baru, dikenalkan terlebih dahulu dengan tempat atau lokasi yang ada di sekitarnya, agar menjadi lebih familiar dengan daerah tersebut.

Gambar 55. Proses Ngangget Beringin / Ngaskara

(Pihak keluarga mengangget daun beringin yang akan digunakan sebagai simbol roh leluhur)

Gambar 56. Pentas Tari Baris di Pura Kawitan saat Upacara Ngaskara

Gambar 57. Pihak Keluarga dan Massa Melakukan Pawai Desa setelah Upacara Ngaskara

(Atas: pihak keluarga dan massa menuju Tugu Desa; bawah: pihak keluarga dan massa memutari Tugu Desa)

Ciri khas Nusa Penida dalam ritual ini adalah dalam proses pawai atau arak-arakan. Pawai atau arak-arakan ini diikuti oleh massa banjar, diiringi dengan permainan gamelan Bali oleh seka gong, dengan mengelilingi banjar Pandéarga (pusatnya adalah Pura Kawitan Warga Pandé di Banjar Pandéarga) dan Desa Balinuraga – mengelilingi Desa Balinuraga dimanifestasikan dengan memutari tugu desa yang menjadi sentral Desa Balinuraga, kemudian sulinggih melepaskan anak panah (entas / mengentas) ke tugu desa yang menyimbolkan melepaskan ikatan Panca Maha Bhuta (keterikatan unsur duniawi) yang mengikat atma (bagian dari upacara ngeringkes / ngaskara / pabersihan / upacara penyucian roh). Pawai atau arak-arakan dilakukan dengan suka cita dan antusiasme dari massa yang terlibat dalam arak-arakan ini, yaitu dengan menggoyang-goyangkan petulangan (wadah jenasah yang masih kosong) saat diusung oleh sejumlah orang, dan sorak-sorai saat sulinggih melepaskan anak panah ke tugu desa (mengentas). Menurut mereka, ini merupakan sebuah ritual / rangkaian upacara yang meriah, sama seperti yang dilakukan masyarakat Bali di Nusa Penida; (2) Pemberangkatan bade ke setra (kuburan) yang berlokasi di Pura Dalem Desa Balinuraga. Ini merupakan rangkaian dari acara puncak pembakaran jenasah (mageseng), yaitu membawa bade ke lokasi pembakaran jenasah di Pura Dalem. Ciri khas pemberangkatan bade ke setra yang menjadi ciri khas Nusa Penida adalah: massa yang jumlahnya lebih dari seratus orang (terdiri dari pria yang berfisik kuat dan sehat) menggotong bade yang beratnya lebih dari lima ton dengan berlari sepanjang setengah kilometer dari rumah keluarga ke lokasi setra di Pura Dalem. Di dalam bade tersebut terdapat sejumlah anggota keluarga dan beberapa sulinggih yang akan memuput upacara pembakaran jenasah serta beberapa orang sambil memainkan gamelan Bali. Pemberangkatan bade yang dilakukan dengan berlari (cukup cepat, sesuai dengan berat dan jumlah massa yang menggotong bade), diikuti dengan massa (masyarakat desa) yang berlari mengikuti arah bade yang

orang). Pemberangkatan bade ke setra ini diiringi dengan seka gong yang memainkan gamelan Bali dengan sangat antusias, dan massa yang bersorak sorai. Pemberangkatan bade ke setra dengan berlari dan diikuti dengan jumlah massa yang besar yang juga ikut berlari serta diringi dengan permainan gamelan Bali yang meriah oleh seka gong dan sulinggih yang berada di atas bade adalah ciri khas prosesi ngaben di Nusa Penida.

Fakta ini menunjukkan kuatnya ikatan tanah leluhur (Nusa Penida) bagi masyarakat Bali Nusa di Balinuraga yang tetap mereka lestarikan dalam setiap upacara penting. Dalam kasus ini diwujudkan sampai pada persoalan teknis seperti pemberangkatan bade ke setra dengan berlari, karena bagi mereka dalam persoalan teknis tersebut terdapat ciri khas yang mewakili identitas mereka sebagai Bali Nusa yang ada di Lampung dan identitas Bali Hindu pada umumnya (pada upacara ngaben yang mewakili identitas Bali Hindu yang ada di Lampung). Menurut mereka upacara ngaben di Nusa Penida selalu diikuti dengan massa yang besar, meriah dan ramai oleh sorak sorai massa yang berlari, dan tenaga yang diperoleh oleh massa saat menggotong bade yang beratnya berton-ton sambil berlari diperoleh dari kekuatan niskala yang diterima dari Sang Hyang Widhi Wasa; dan ini tetap mereka praktekkan dan lestarikan ketika menyelenggarakan upacara ngaben di Balinuraga, Lampung. Massa begitu antusias ketika menggotong / mengangkat sarana dan prasarana ngaben, terutama bade, dikarenakan mereka percaya bahwa ada karma baik yang akan mereka terima dari Sang Hyang Widhi Wasa, dan wujud bakti serta hormat yang mendalam kepada atma almarhumah. Selain itu, ada kebanggaan tersendiri jika mereka bisa memberikan tenaganya untuk mengusung bade yang beratnya berton-ton tersebut.

Peristiwa unik yang terjadi saat upacara puncak, mageseng (pembakaran jenasah), adalah turunnya hujan yang sangat deras, disertai dengan angin kencang dan kilatan petir. Sebelum pemberangkatan bade ke setra hujan lebat sudah turun mengguyur Desa Balinuraga. Hujan berhenti saat bade akan diberangkatkan oleh massa ke setra (Pura Dalem). Kemudian, hujan lebat disertasi angin kencang dan kilatan petir turun kembali saat bade sudah sampai di setra, yaitu ketika upacara pembacaan doa dan pentas tari baris dimainkan. Meskipun demikian, upacara pembakaran jenasah tetap dilaksanakan, dan uniknya, hujan semakin menjadi lebat, angin semakin kencang berhembus, dan kilatan petir semakin sering terjadi. Fakta yang terjadi adalah dalam kondisi seperti itu (hujan deras disertasi angin kencang), bade yang di dalamnya sudah terdapat patulangan / tumpangan (tempat jenasah diletakkan) dapat terbakar dengan sempurna – api berhasil menyala dengan besar dan

membakar seluruh bade dan pitra. Kejadian ini akan dibahas pada bagian berikutnya, yaitu bagaimana tafsir warga, terutama anggota keluarga, atas peristiwa yang terjadi saat mageseng. Sebuah peristiwa yang sangat langka dan jarang terjadi saat upacara puncak ngaben, mengingat Desa Balinuraga terkenal dengan kekuatan magisnya dalam mendatangkan atau pun menolak hujan.

Poin penting yang dalam persiapan dan pelaksanaan upacara ngaben pribadi ini adalah: (1) banjar atau komunitas adat-keagamaan merupakan basis dari kekompakkan dan kesolidan masyarakat Bali Nusa di Desa Balinuraga. Dalam kasus ini dapat dibuktikan dari keterlibatan aktif anggota banjar dalam penyelenggaran upacara ngaben pribadi salah anggota keluarga dari anggota banjar-nya, mulai dari persiapan sampai pelaksanaan upacara puncak. Melalui upacara ngaben rasa kekeluargaan dan solidaritas semakin diperkuat, dan mengumpulkan kembali “para perantau” asal Balinuraga dari banjar tersebut. Kekuatan massa dari setiap banjar dapat dilihat atau “dipentaskan” kepada khalayak ketika acara puncak dilaksanakan, terutama saat pemberangkatan bade ke setra. Kekuatan massa yang lebih besar “dipentaskan” lebih terbuka ketika upacara ngaben massal, karena melihatkan banyak keluarga dari berbagai banjar dan warga tertentu, baik di Desa Balinuraga maupun dari beberapa perkampungan Bali lain di Lampung dan Sumatera Selatan; (2) sistem manajemen sederhana melalui pembagian tugas dengan pembentukkan panitia telah diadopsi oleh anggota banjar dan pihak keluarga, agar persiapan menjadi lebih efektif dan efisien. Intinya adalah bagaimana biaya besar yang sudah dikeluarkan oleh pihak keluarga tidak semakin membesar – penghematan – dan tenaga yang telah dikeluarkan oleh panitia sebanding dengan hasil yang dicapai sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini dapat dibuktikan bahwa hasil yang mereka dapatkan – dari pembuatan sarana dan prasarana ngaben pribadi dan bantenan – bahwa jumlah biaya yang dikeluarkan oleh pihak keluarga (dalam kisaran seratusan juta rupiah)

baik biaya maupun tenaga tapi dengan hasil yang maksimal. Dalam beberapa diskusi di kalangan mereka, pola ini akan diterapkan jika akan diselenggarakan upacara ngaben berikutnya, massal dan pribadi; (3) konsistensi dan kebulatan tekad dari pihak keluarga dan penyelenggara untuk tetap menyelenggarakan pembakaran jenasah meskipun kondisi alam sangat tidak memungkinan – pembakaran jenasah di tengah hujan lebat disertai angin kencang. Ini menunjukkan kuatnya kepercayaan mereka akan kekuatan Sang Hyang Widhi Wasa (kekuatan niskala) dan wujud dari konsistensi mereka akan sebuah rencana yang telah mereka susun sejak jauh-jauh hari – waktu persiapan yang lama dan biaya yang besar; (4) upaya rekonsiliasi antar dua kubu warga yang bersitegang. Pihak keluarga selaku pihak penyelenggara upacara dan wakil warga tetap mengundang warga lain yang bersitegang dengan warga dari pihak keluarga. Sebagai penghormatan kepada pihak warga lain tersebut, pihak keluarga memberikan wewenang kepada sulinggih dari warga tersebut untuk ikut muput upacara pitra yadnya, dan diberikan kehormatan menyalakan api suci untuk membakar bade dan jenasa di dalamnya.

Hujan Deras Saat Upacara Pembakaran Pitra

Idealnya upacara ngaben dilaksanakan pada hari baik berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan oleh pihak keluarga dan para ahlinya – biasanya diwakili oleh sulinggih warga. Sebuah hari baik berdasarkan kepercayaan mereka sebagai Bali Hindu. Dikatakan hari baik tidak hanya terkait bahwa di hari tersebut – Hari-H saat berlangsungnya pembakaran jenasah – dipercaya tidak ada halangan dari dunia lain yang merintangi proses perjalanan atma menuju kahyangan (dunia niskala), tapi juga yang terpenting adalah keadaan cuaca yang riil terjadi di Hari-H. Artinya, Hari-