• Tidak ada hasil yang ditemukan

sebagian masyarakatnya masih tradisional, di mana nilai dan norma dalam sistem sosial masyarakat tradisional lebih dominan dalam mengikat komunitas itu maupun dalam mengkonsolidasi aksi (kerja ekonomi kolektif) daripada trust antar anggotanya. Konteks Barat masyarakatnya sudah mencapai tahap masyarakat modern atau urban (masyarakat industri), unsur keprofesionalitasan lebih ditekankan, dan adanya trust dinilai dapat menunjang perekonomian yang lebih bersifat langgeng (sustainable) karena dapat menekan biaya transaksi. Dengan kata lain, tanpa trust yang kuat pun, modal sosial itu tetap berjalan dalam konteks masyarakat tradisional di Indonesia. Mereka yang ngayah atau gotong royong

(mungkin) lebih disebabkan karena keterikatan yang kuat dengan komunitas di mana mereka tinggal – ada perasaan tidak enak jika tidak ikut terlibat, bukan masalah trust.

247

Pertentangan identitas warga yang terjadi ini bukan sebuah realitas yang terjadi setelah mereka berada di Lampung, tapi realitas yang juga terjadi di Bali dalam bentuk yang hampir sama dengan, dan yang terpenting adalah berbagai pertentangan identitas tersebut memiliki sejarah yang panjang . Dalam konteks yang lebih luas dan berdasarkan sejarah di masa kerajaan sampai masa kolonial dan pasca kolonial, masyarakat Bali selalu diliputi oleh peperangan dan kekerasan dengan latar belakang identitas yang berbeda. Mulai dari konfik antar masyarakat antar sekte-sekte keagamaan Hindu-Budha, perang penaklukan kerajaan Bali Aga oleh Majapahit, perang antar kerajaan di masa kekuasaan Dinasti Sri Kresna Kepakisan (pasca Majapahit berkuasa atas Bali), perang pihak kerajaan dengan pihak kolonial, konflik antar wangsa di masa kolonial, sampai pembunuhan massal pasca Gerakan 30 September 1965, dan berbagai kekerasan skala kecil di level desa (lihat:Vlekke 2008, Vickers 1966, Robinson 1995, Rossa 2008, Schulte Schulte Nordholt 2007 2009, Pringle 2004, Cribb 2003, Howe 2005, Geertz 1967 1977). Salah satu akar konflik tersebut adalah penguatan identitas antar kelompok

Hasrat yang mendalam untuk menunjukkan status sosial warga pada setiap diri individu dan kelompok warga memungkinkan trust tidak dapat menjadi “bahan bakar” berjalannya modal sosial yang mengikat ke dalam ini. Fakta ini tidak dapat dipersalahkan, karena sistem warga atau status sosial warga itu sendiri merupakan salah satu bagian dari sistem sosial tersebut. Status sosial atau identitas warga begitu kuat pada diri individu, karena jati diri atau identitasnya sebagai Bali Hindu ada di dalamnya248. Namun, toh modal sosial yang bersifat mengikat ke dalam ini tetap berjalan dan terbukti berhasil dalam aplikasi dan wujud fisik pembangunannya, bukan disebabkan oleh unsur trust yang mengikat antar identitas warga, tapi lebih disebabkan oleh nilai dan norma dalam sistem sosial tersebut. Unsur dis-trust antar kelompok warga ini dapat dibuktikan dengan adanya dua Pura Puseh (dan Penataran Bale Agung) – seharusnya dalam satu desa hanya satu, tergabung dalam Pura Kahyangan Tiga – di mana dalam pembangunannya tetap dilaksanakan secara kolektif dengan nilai dan norma yang berlaku dalam salah satu kelompok yang bertentangan tersebut. Unsur ketidak-percayaan (distrust) tidak bisa sama- ratakan bahwa setiap indivu tidak percaya dengan warga lain, sehingga modal sosial yang bersifat ke dalam tersebut tidak berjalan. Dalam kasus upacara ngaben pribadi ada juga beberapa anggota warga yang berbeda dengan warga dari pihak keluarga penyelenggara upacara yang turut serta dalam ngayah (kerja sukarela). Atau, dalam kasus lain, seperti seka tani

(bersifat primordial) dengan simbol-simbol identitasnya, namun sebaliknya, melalui penguatan identitas tersebut identitas kebalian mereka tetap bertahan sampai sekarang. Dengan kata lain, berdasarkan fakta sejarah tersebut, dalam konteks masyarakat Indonesia yang masih feodal, trust mungkin hanya terbatas dalam ikatan komunitas yang lebih kecil dengan persamaan identitasnya. Di luar itu unsur distrust lebih besar, jika tidak, mungkin “paradise” itu adalah paradise

yang sesungguhnya.

248

Dalam penelitiannya di Tihingan, Geertz (1967) menyebutkan bahwa konflik atau pertentangan yang sengit perihal status sosial bukan terjadi antara golongan

atau keanggotaan krama subak, meskipun pada banjar tertentu didominasi oleh warga mayoritas di banjar tersebut, keanggotaannya pun bersifat demokratis, artinya ada warga lain yang menjadi anggota, keanggotaannya tidak dimonopoli oleh satu warga yang mendominasi banjar tersebut. Secara umum, poin dis-trust, atau unsur trust tidak menjadi begitu berperan dalam modal sosial yang mengikat ke dalam, lebih disebabkan karena adanya identitas warga yang di dalamnya telah mengakar status sosial pada setiap individu. Menariknya tanpa dominannya unsur trust, modal sosial tersebut tetap berjalan karena adanya sistem sosial yang mengikat, di mana unsur nilai dan norma memegang peran dominan bagi berjalannya modal sosial tersebut daripada unsur trust. Dengan kata lain, penulis ingin menyampaikan bahwa untuk salah satu kelompok etnis di Indonesia yang masih memegang erat ketradisionalannya dengan mempertahankan dan melestarikan sistem sosialnya yang terdapat unsur kefeodalan, modal sosial yang mengikat ke dalam karena adanya sistem sosial yang mengikat komunitas tersebut unsur nilai dan norma lebih dominan daripada unsur trust sebagai penggerak modal sosial komunitas tersebut. Hal yang perlu diingat dalam kasus ini adalah komunitas ini termasuk dalam lembaga sosial dengan kelembagaan adat dan agama yang kuat, bukan sebuah lembaga bisnis atau corporate (perusahaan) yang dalam kegiatan bisnisnya (transaksi dan perjanjian bisnis) sangat mengandalkan trust sebagai salah satu cara untuk mengurangi transactional cost dan inisible cost (biaya-biaya transaksi dan biaya-biaya tidak terlihat dalam proses transaksi bisnis tersebut). Jadi, dalam sistem sosial di dalam masyarakat Bali Nusa di Balinuraga yang menciptakan modal sosial mengikat ke dalam unsur nilai dan norma dalam sistem sosial tersebut lebih dominan dalam keberfungsian modal sosial komunitas.

Ketiga, untuk kasus yang spesifik dapat dilihat bagaimana sistem sosial ini

berhasil membangun sebuah modal sosial yang mengikat ke dalam. Kasus pertama adalah seka tani yang menjadi basis ekonomi banjar. Krama subak yang ada di dalam seka tani ini berhasil (secara umum) memapankan perekonomian mereka. Modal sosial di dalam komunitas ini dijalankan oleh sistem sosial yang ada di dalam seka tani tersebut. Mengapa? Karena di dalam sistem sosial yang berlaku dalam krama subak

mengharuskan para anggotanya tidak hanya fokus pada kegiatan ekonominya di bidang pertanian, tapi juga tetap fokus pada institusi subak itu sendiri – meskipun tidak ada pembagian air irigasi – sebagai lembaga adat dan keagamaan. Kerja kolektif diwujudkan dalam kebersamaan dan kekompakkan dalam melaksanakan kegiatan pertanian (mulai dari penetapan hari baik, tahap pembenihan sampai masa panen dan penjualan), kegiatan adat dan keagamaan krama subak, seperti “kumpul tani” dan pelaksanaan ritual dan upacara keagamaan dalam krama subak. Lembaga ini lebih demokratis dalam keaanggotaannya – tidak dimonopoli oleh satu warga – dan Pura Subak yang dibangun secara kolektif berfungsi sebagai pemersatu krama subak dari perbedaan identitas warga. Kasus kedua adalah seka gong yang menjadi basis kesenian (lembaga kesenian) banjar. Lembaga ini tidak hanya bergerak di bidang kesenian saja, tapi juga bergerak di bidang keagamaan, karena pentas kesenian dalam tradisi Bali ikut serta dalam kegiatan ritual dan upacara keagamaan, misalnya: Tari Baris (termasuk dalam Tari Wali atau Tari Persembahan) dan Tari Barong. Keanggotaan seka gong bersifat sukarela, tidak ada paksaan. Keunikkan lembaga ini adalah bagaimana para anggotanya membiayai keberlangsungan dan eksistensi lembaga keseniannya dan keseniannya itu sendiri sebagai bagian dari tradisi Bali Hindu, yaitu dengan mentas (tampil pentas) – diundang untuk mementaskan kesenian Bali – di perkampungan Bali lainnya di luar Balinuraga. Modal sosial dalam lembaga ini adalah kesadaran dari setiap anggotanya untuk tetap kompak dan konsisten dalam berlatih kesenian secara sukarela tanpa paksaan agar menghasilkan sebuah pertunjukkan kesenian yang baik dan memukau. Hasilnya secara tidak langsung dari kedisiplinan anggota seka gong tersebut dalam berlatih adalah mendapat undangan mentas (bersifat komersial dan profesional), meskipun kadang kala honor yang diberikan tidak dalam bentuk uang. Jika ada honor, itu pun tidak dibagikan kepada para anggota, tapi dijadikan sebagai kas banjar atau pura. Bagi anggota seka gong penampilan

sosial yang ada di dalam seka gong, seperti kasus seka gong Banjar Pandéarga (seka gong terbaik yang dimiliki Desa Balinuraga), menjadikan lembaga kesenian ini sebagai lembaga di bawah naungan banjar yang mandiri.

Keeempat, sistem sosial masyarakat Bali Nusa di Balinuraga tidak hanya

membentuk modal sosial yang bersifat mengikat ke dalam (bonding), tapi juga mengikat ke luar (bridging). Akarnya adalah dari filosofi dan ajaran yang tercakup dalam sistem sosial tersebut, di mana sudah melembaga pada setiap individu. Inti dari filosofi dan ajaran tersebut adalah bagaimana mereka sebagai masyarakat Bali bisa membangun relasi sosial yang harmonis dengan orang lain. Relasi sosial yang harmonis dengan orang lain tersebut – dalam pergaulan dengan masyarakat yang heterogen – yang memungkinkan modal sosial yang bersifat terbuka ini memberikan hasil bagi komunitas Balinuraga, yaitu ikut berpartisipasi, disertakan dan dilibatkan dalam pembangunan di tingkat lokal dan kancah politik praktis sebagai bagian dari masyarakat Lampung (Bali Lampung). Jadi, sistem sosial yang mengikat tersebut bukan hanya menciptakan relasi yang bersifat ke dalam komunitas mereka saja, tapi relasi dengan orang lain di luar komunitasnya (non-Bali Hindu). Berikut ini adalah filosofi dan ajaran umum yang menjadi landasan mereka untuk membangun modal sosial yang bersifat terbuka: (1) filosofi Tri Hita Karana. Arti umum dari Tri Hita Karana adalah “tiga penyebab kebagiaan”. Berasal dari bahasa sansekerta di mana “Tri” berarti “tiga”, “Hita” berarti “kebahagiaan” atau “kebajikan”, dan “Karana” berarti “penyebab”249

. Tri Hita Karana ini merupakan ajaran yang mengajarkan agar manusia mengupayakan hubungan harmonis dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan dengan alam lingkungannya (Wiana, 2007). Poin penting dari filosofi atau ajaran Tri Hita Karana ini terkait dengan modal sosial terbuka (bridging social capital) adalah bagaimana menjalin hubungan (relasi sosial) yang harmonis dengan anggota atau komunitas lain (non-Bali Hindu). Ajaran ini

249

Lihat: I Ketut Wiana (2007), Tri Hita Karana Menurut Konsep Hindu, Surabaya: Penerbit Paramita; dan Nyoman S Pendit (2001), Membangun Bali: Menggugat Pembangunan di Bali untuk Orang Jakarta melalui Jalur Pariwisata, Denpasar: Pustaka Bali Post.

menjadi fondasi bagi mereka untuk membangun hubungan sosial atau pun relasi sosial (berhubungan dengan kegiatan ekonomi) dengan orang lain. Tujuannya menciptakan keharmonisan hubungan dengan liyan, dan tujuan yang bersifat ekonomi adalah terkait profesi mereka di bidang pertanian. Cara umum yang digunakan untuk membangun dan mempertahankan hubungan yang harmonis dengan liyan, baik terkait dengan hubungan sosial kemasyarakatan maupun hubungan ekonomi (bisnis) adalah bersilatuhrami, atau dalam istilah mereka disebut medharma suaka, ke anggota komunitas lain saat hari raya atau hari besar keagamaan tertentu. Menurut Wiana (2007) ajaran dari Tri Hita Karana ini bukan merupakan ajaran yang baru, yang baru adalah penggunaan istilah “Tri Hita Karana” itu sendiri yang baru dipopulerkan di tahun 1960-an di Bali. Lalu, bagaimana istilah ini menjadi populer pada masyarakat di luar Bali seperti di masyarakat Balinuraga? Istilah dan ajaran “Tri Hita Karana” sebenarnya sudah populer di Balinuraga, diperkirakan sejak akhir tahun 1960-an, yaitu melalui proses pendidikan di sekolah darurat dan sosialisasi dari Bimas Hindu-Budha (PHDI) kepada tokoh masyarakat dan guru agama yang bukan berasal dari lulusan Pendidikan Guru Agama (PGA) Hindu – lulusan PGA Hindu pertama kali bertugas di Desa Balinuraga pada tahun 1978, tapi guru agama Hindu sudah ada di sekolah darurat di Balinuraga. Kemudian, istilah dan ajaran Tri Hita Karana ini disosialisasikan kepada masyarakat melalui tokoh pendidikan dan tokoh agama yang ada di Balinuraga, bersamaan dengan sosialisasi salam “om swastiastu”, salam penutup “om shanti, shanti, shanti, om”, doa “tri sandya”, sebutan Tuhan Yang Maha Esa “Sang Hyang Widhi Wasa” atau “Ida Sang Hyang Widhi”, “catur guru bhakti”, “menyama braya” dan lain-lain250. Pada masa-masa ini masyarakat Balinuraga sudah dibentuk untuk menjadi umat Hindu Dharma yang “resmi”, yaitu dengan dilakukannya standarisasi-standarisasi di bidang keagamaan, seperti contoh di atas, di bawah pengawasan PHDI. Ini yang menyebabkan istilah dan ajaran Tri Hita Karana menjadi populer

yang harmonis dengan liyan; (2) konsep dan ajaran Catur Guru Bhakti. Poin penting dari konsep dan ajaran Catur Guru Bhakti, dalam hubungannya dengan modal sosial terbuka, adalah terkait dengan resiprositas (reciprocity) atau hubungan simbiosis mutualisme (saling menguntungkan) yang bersifat kelembagaan. Catur Guru Bhakti ini – seperti yang dijelaskan oleh beberapa tokoh pendidikan dan agama di Balnuraga – adalah fondasi penting dalam menjalin hubungan kelembagaan yang baik antara masyarakat Balinuraga dengan pemerintah (dalam konteks ini lebih dekat dengan institusi pemerintahan di level desa, kecamatan, dan kabupaten yang diwakili oleh para pejabat dan administraturnya). Hal ini seperti tertuang dalam ajaran Catur Guru Bhakti di mana salah satu guru yang harus dihormati “Guru Wisesa”, yaitu (diartikan secara khusus) pihak yang berkuasa atau pemerintah; selain Guru Swadhyaya / Swadiaya (yaitu Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa), Guru Rupaka / Rek (yaitu orang tua yang melahirkan / orang tua kandung), dan Guru Pengajian (yaitu guru yang mengajar dan mendidik dalam pendidikan formal). Seperti yang dijelaskan oleh Surpha (2004), kasus desa adat di Bali, bahwa ajaran Catur Guru Bhakti menjadi landasan bagi suksesnya program pemerintah di level desa dan loyalitas masyarakat desa kepada pemerintah251. Sikap hormat dalam menjalin hubungan dengan “Guru Wisesa” atau pemerintah ini yang memberikan efek positif dalam perkembangan sosial kemasyarakatan dan ekonomi masyarakat Balinuraga, yaitu dengan tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum dan taat terhadap peraturan pemerintah. Efek positifnya adalah mereka turut dilibatkan secara aktif dalam setiap kegiatan dan acara formal pemerintahan daerah, khususnya untuk mementaskan kesenian Bali. Melalui hubungan yang baik ini, mereka memiliki posisi tawar kepada pemerintah untuk pembangunan infrastruktur desa, khususnya jalan desa. Ini bukan posisi tawar yang tidak seimbang, dalam artian masyarakat menuntut penuh pembangunan jalan. Dalam kasus ini, pemerintah hanya mengaspalkan jalan desa, karena jalan desa dan fondasi jalannya (jalan berbatu) sudah dibuat oleh masyarakat – hubungan yang saling

251

Lihat: I Wayan Surpha (2004, hlm,9), Eksistensi Desa Adat dan Desa Dinas di Bali, Denpasar: Pustaka Bali Post.

menguntungkan karena masyarakat sudah berpartisipasi. Begitu pula dalam hal pembangunan posyandu, puskesmas, dan sekolah negeri (Sekolah Dasar). Masyarakat membuktikan rasa hormatnya kepada pemerintah dengan membayar pajak (kewajiban) dan menjadi salah satu daerah penghasil beras, kemudian kewajiban pemerintah adalah memberikan fasilitas kesehatan dan pendidikan bagi masyarakat Balinuraga. Jika realisasi pajak tidak sesuai dengan yang diharapkan, kemungkinan yang terjadi (bersifat umum) dikarenakan prosedur yang berbelit-belit (masalah teknis) dan masalah sosialisasi pembayaran pajak, di mana menyebabkan wajib pajak mengurungkan niatnya atau membatalkan pembayaran pajak. Hubungan mutuaslime (resiprositas) antar lembaga ini terjadi tidak hanya dengan lembaga pemerintahan, tapi juga dengan lembaga swasta, dalam kasus ini adalah perusahaan swasta yang memproduksi dan menjual produk-produk pertanian. Contoh konkretnya antara lain: (1) pembangunan bale bengong yang disponsori perusahaan swasta bibit jagung. Pada atap bale bengong terdapat tulisan / nama (sponsor) perusahaan tersebut; (2) plat atau papan nama “Desa Balinuraga” yang di bawahnya ada nama (sponsor) perusahaan rokok swasta, di mana rokok tersebut menjadi rokok favorit yang dihisap oleh mayoritas masyarakat Desa Balinuraga; (3) pembuatan baju atau kaos untuk panitia penyelenggara upacara ngaben pribadi. Sponsornya dari perusahaan swasta yang memproduksi dan menjual insektisida; (4) dan bentuk-bentuk lainnya yang mendapat sponsor dari perusahaan swasta. Umumnya berupa spanduk-spanduk yang berisikan informasi penyelenggaraan upacara tertentu.

Gambar 48. Bale Bengong dan Plat Nama Desa Bersponsor

(sebelah kiri: bale bengong dengan atap bertuliskan “Pioneer”; kanan: plat nama desa dengan sponsor “Djarum”)

(Sumber: Yulianto, 2010)