• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Sipuncula

Dari morfologinya biota kekuak tergolong Filum Sipuncula yang lebih dekat dengan genus Sipuncula dan Xenosiphon. Sipuncula dideskripsikan sepintas sebagai hewan laut mirip cacing tapi tanpa segmen (Gambar 2), tubuhnya terbagi menjadi badan utama (trunk) dan belalai (introvert) yang bisa ditarik ke dalam atau belakang, perbandingan panjang kedua bagian itu bervariasi untuk tiap-tiap jenis (Cutler 1994). Sipuncula merupakan filum minor dalam kelompok besar hewan bilateria (Gambar 3), yaitu kelompok hewan yang bersifat tripoblastik, tubuhnya simetris bilateral dan terbentuk dari tiga macam lapisan benih (endodermis, mesodermis dan ektodermis).

Gambar 2 Sipunculus nudus dan Xenosiphon branchiatus

(Sumber: Anonimª 2009 & Kawauchi 2011)

Meskipun bentuk fisiknya mirip cacing, namun hipotesis filogenetik terbaru menunjukkan Sipuncula tidak ada jejak ciri penting Annelida seperti adanya segmentasi dan chaetae (seta). Ciri bersama seperti berbentuk “cacing”, adanya introvert dan larva trochophore, tidak membatasi mereka secara unik. Hipotesis kedua menempatkannya lebih dekat ke Mollusca minimal secara fisik (Gambar 3), beberapa ciri keduanya sama pada saat perkembangan dini, contohnya setelah fertilisasi dan pembelahan telur, susunan ciri sel keduanya dalam embrio disebut ‘simpang Mollusca’. Dan hipotesis ketiga, berkenaan dengan ciri bersama Mollusca dan Sipuncula, dijadikan ciri primitif kelompok lebih besar yang disebut Trocozoa dimana Annelida juga termasuk di dalamnya (Cutler 1994).

introvert

trunk

Sipunculus nudus Xenosiphon branchiatus

Filum ini secara khusus belum dipelajari dengan baik, dilaporkan baru sekitar 300 jenis yang telah dideskripsi secara formal, semua di laut dan umumnya perairan dangkal (Kozloff 1990). Ada yang meliang semipermanen dalam pasir dan lumpur, ada yang di celah karang, dalam kerang kosong, bahkan mengebor ke dalam karang. Merekapun tidak meninggalkan lubang di permukaan pasir atau lumpur untuk menunjukkan kehadiran mereka, sehingga relatif sulit untuk ditemukan dan ditangkap (Romimohtarto dan Juwana 2001).

Gambar 3 Kedudukan Filum Sipuncula diantara filum-filum lain (Anonim 2009) Berbagai sumber melaporkan perkiraan jumlah jenisnya secara beragam (147-320), terdapat di berbagai habitat bentik laut dingin, sedang dan tropik pada semua kedalaman, dari zone intertidal sampai 6.860 m. Hasil revisi Cuttler (1994), baru 144 spesies yang telah teridentifikasi valid dari 17 genus, 6 famili, 4 ordo dan 2 kelas (Tabel 1), tapi setelah filogeninya direkonstruksi menjadi 147 spesies (Schulze et al. 2005). Hubungan filogenetik antar-genusnya seperti diusulkan Cutler dan Gibbs (1985) tampak pada Gambar 4, dari kedekatannyha diperkirakan kekuak adalah salah satu anggota dari Sipunculus atau Xenosiphon.

Porifera Chordata Hemichordata Echinodermata Lophophorates Chaetognatha Arthropoda Onychophora Echiura Pogonophora Annelida Sipuncula Mollusca Nemertea Aschelminthes Platyhelminthes Ctenophora Cnidaria Bilateria b

Gambar 4 Hubungan filogenetik antar-genus dalam filum (Cutler & Gibbs 1985) Sebagian besar bagian yang bisa dikenali dari sipuncula adalah mulut, yang dikelilingi massa tentakel dan semuanya bisa dikembalikan (dimasukkan) ke dalam badan (badan utama). Saluran pencernaan sipuncula mulai dari mulut hingga ke akhir posterior badan, kemudian berbalik arah dengan cara berpelin-ganda dan berakhir di anus pada sisi dorsi-ventral badannya, Gambar 5 memperlihatkan skema anatomi (struktur organ dalam) salah satu anggotanya. Sipuncula mempunyai sebuah coelom (rongga). Meskipun tidak mempunyai sistem pembuluh darah, cairan interstitial mengangkut oksigen dan nutrien ke sekeliling tubuh. Sebuah ruang terpisah berisi tentakel-tentakel berlubang, yang mengalirkan oksigen dari tentakel ke coelom. Dinding tubuhnya kuat dan berotot, jika terancam sebagian tubuhya ditarik masuk ke dalam menyerupai buah kacang sehingga dinamai ‘cacing kacang’ (Edmonds 2000).

Perilaku sipuncula relatif sedikit yang diketahui, sebagian besar jenis menarik tentakel dan introvert secara cepat mengikuti rangsangan taktil. Banyak jenis sifatnya fototaksis negatif dan sembunyi ke dalam sedimen atau karang jika diganggu. Cara meliang dan menjalarnya dengan kait-kait introvert sebagai

jangkar dan perototan introvert untuk menarik tubuh ke depan. Phascolion strombus, penghuni cangkang kerang, bisa mengairi cangkangnya untuk menaikkan kandungan oksigen dengan kontraksi perototan dinding tubuh. Berenang cuma dilaporkan ada pada Sipunculus yaitu dengan ‘membanatkan’ badan utama secara tidak terarah (Edmonds 2000).

Gambar 5 Sipunculus nudus, tubuh bagian dalam (Anonim 2009)

Sebagian besar sipuncula termasuk Sipunculus dan Xenosiphon dilihat dari cara makan bersifat sebagai deposit feeder dengan tentakel yang sederhana, kecuali angota Themiste sebagai filter feeder dengan tentakel bercabang rumit. Jenis-jenis penghuni pasir mencerna sedimen dan campuran biomassa yang dikumpulkan dengan tentakel-tentakel. Tentakel jarang tampak di atas dasar laut selama siang hari, mungkin dijulurkan pada malam hari untuk memeriksa dan mengambil sedimen di sekeliling sebagai partikel makanan. Jenis penghuni karang memakai kait-kait introvertnya, sebagian besar pada malam hari, untuk mengikis sedimen dan organisme epifauna dari permukaan karang sekelilingnya (Cutler 1994). Dilaporkan oleh Jeuniaux (1969) bahwa pada usus halus

Sipunculus nudus ada aktivitas kitinolitik tertentu (kitinase dan kitobiase).

Umumnya sipuncula berumah dua, cuma sejenis diketahui hermafrodit yaitu Nephasoma minutum. Themiste lageniformes bersifat partenogenesis fakultatif. Aspidosiphon elegans dilaporkan bereproduksi aseksual dengan tunas. Selain itu pada sipuncula tidak diketahui ada dimorfisme seksual. Gonad cuma lazim selama periode reproduktif. Gamet dilepaskan ke dalam coelom tempat pematangan berlangsung. Gamet matang diambil nefridia dan dilepaskan ke air melalui nefridiofor (Rice 1993).

nephridium

intestine

anus esophagus retractor muscles

ventral nerve chord

mouth

Sampai kini belum ada jenis sipuncula yang termasuk daftar merah IUCN. Karena fase larvanya yang panjang, kebanyakan jenisnya tersebar luas. Tingkat kemelimpahan dari jarang sampai amat umum (kerapatan Themiste lageniformes

bisa sampai 2.000 ekor lebih tiap m²). Perusakan habitat seperti mangrove dan dasar rumput laut bisa mengancam populasi regionalnya (Rice 1976).

Tabel 1 Klasifikasi anggota Filum Sipuncula - 144 spesies revisi Cutler (1994)

Kelas Ordo Familia Genus Subgenus

Sipunculidea Sipunculiformes Sipunculidae (24) Sipunculus (10) Sipunculus (8)

Austrosiphon (2)

Xenosiphon (2)

Siphonosoma (10)

Siphonomeccus (1)

Phascolopsis (1)

Golfingiiformes Golfingiidae (36) Golfingia (10) Golfingia (9)

Spinata (1)

Nephasoma (23) Nephasoma (22)

Cutlerensis (1)

Thysanocardia (3)

Phascolionidae (29) Phascolion (25) Phascolion (11)

Isomya (6)

Montuga (2)

Lesenka (5)

Villiophora (1)

Onchnesoma (4)

Themistidae (10) Themiste (10) Themiste (5)

Lagenopsis (5) Phascolosomatidea Phascolosomatiformes Phascolosomatidae (23) Phascolosoma (18) Phascolosoma (16)

Fisherana (2)

Apionsoma (4) Apionsoma (3)

Edmonsius (1)

Antillesoma (1)

Aspidosiphoniformes Aspidosiphonidae (22) Aspidosiphon (19) Akrikos (5)

Aspidosiphon (7)

Paraspidosiphon (7)

Lithacrosiphon (2)

Cleosiphon (1) 2.2 Pemanfaatan Sipuncula

Di luar sipuncula sudah banyak jenis poliket (polichaeta) yang dimanfaatkan masyarakat lokal di berbagai belahan dunia, baik untuk umpan dan pakan ikan maupun pangan lezat bagi manusia (Romimohtarto & Juwana 2001).

Di Samoa dan Fiji setiap Oktober dan November sejenis polychaeta yang disebut

palolo (mbalolo), biasa ditangkap untuk dijadikan makanan. Di Lombok dan sekitarnya setiap Pebruari ada acara bau nyale, yaitu tradisi masyarakat setempat menangkap nyale, yaitu sejenis poliket dari marga Neanthes (Nereis). Di Maluku sejenis poliket serupa yang disebut laor muncul dan ditangkap setiap Maret, juga dijadikan makanan oleh masyarakat setempat (Romimohtarto & Juwana 2001).

Masih sedikit sekali laporan ilmiah yang menulis tentang pemanfaatan jenis-jenis sipuncula oleh masyarakat lokal, beberapa informasi menyebutkan diantaranya meskipun tanpa menyebutkan jenisnya yang mana saja. Di beberapa bagian dunia para nelayan memakai sipuncula sebagai umpan, sebagian besar merupakan penghuni pasir yang ukurannya lebih besar. Di Jawa dan bagian barat Carolina serta beberapa bagian Cina, sipuncula juga dimakan oleh masyarakat lokal. Romimohtarto dan Juwana (2001) menulis, Phascolosoma lurco yang dilaporkan paling banyak ditemukan di Malaysia dan Singapura, biasa dijadikan sebagai makanan bebek. Di Sukolilo, Jawa Timur seperti dilaporkan oleh Subani dan Barus (1989), masyarakat nelayan setempat memanfaatkan biota sejenis sipuncula yang disebut terung sebagai makanan yang enak. Di Pulau Nusalaut, Maluku Tengah, sejenis sipuncula yang disebut sia-sia dilaporkan juga dimakan masyarakat setempat (Pamungkas 2010).

Khusus tentang kekuak, jenis sipuncula ini biasa digunakan sebagai umpan oleh para nelayan Kepulauan Seribu, seperti di Pulau Pari. Informasi lain mengatakan bahwa beberapa tahun menjelang kemerdekaan, di kota Dabo, Singkep kekuak dijual sebagai makanan ringan di warung-warung kopi. Ada juga informan mengatakan bahwa kekuak merupakan salah satu makanan hasil laut yang sering dijual di pasar Kota Palembang, yang kemungkinan dibawa dari Bangka. Terakhir, Pratomo (2005) melaporkan bahwa uwa-uwa (wak-wak) dipakai masyarakat nelayan di Pulau Kemujan (Kepulauan Karimunjawa) sebagai umpan untuk memancing.

Romimohtarto dan Juwana (2001) menulis bahwa Phascolosoma lurco

setelah ditangkap ditaruh dulu semalaman di air tawar, baru kemudian diberikan kepada bebek. Sedangkan Subani dan Barus (1989) menulis bahwa sejenis sipuncula yang disebut terung di daerah Sukolilo diproses secara sederhana untuk

dijadikan kerupuk terung, yaitu dengan cara mejemur (mengeringkan) dan menggorengnya. Sejenis sipuncula lainnya dilaporkan menjadi makanan lezat di kota Xiamen provinsi Fujian, Cina yang dibuat jeli (Edmonds 2000).

Kekuak yang dijual di warung-warung kopi di Dabo, Singkep, merupakan kekuak kering yang dipanggang sebagai makanan ringan. Di Palembang kekuak pun dijual di pasar sebagai makanan, sebelum disajikan juga dipanggang dulu lalu dipukul-pukul dan dinikmati dengan sambal asam, seperti makan cumi atau ikan juhi kering, merupakan makanan ringan khas warga etnik Tionghoa di Indonesia.

Pemanfaatan anggota Sipuncula sebagai umpan oleh nelayan atau pemancing ikan, khususnya kekuak seperti di Kepulauan Seribu, tidak jauh berbeda dengan pemanfaatan anggota poliket, namun kiranya perlu dikaji-kembangkan lebih lanjut terkait potensinya, terutama potensi komersialnya. Sebagaimana ditulis oleh Romimohtarto dan Juwana (2001), di Inggris hobi mancing adalah olahraga yang mewah, sehingga usaha budidaya cacing untuk umpan, atau lebih tepatnya industri umpan, bisa membuka lapangan kerja baru yang berpotensi menguntungkan dan menggembirakan berbagai pihak.

Informasi ilmiah (literatur) tentang bagaimana cara mengolah jenis-jenis sipuncula yang dimanfaatkan, baik untuk umpan dan makanan (pakan) hewan piaraan maupun terutama untuk makanan (pangan) manusia belum ada. Informasi tentang kandungan gizinya, sebagai produk pangan dan tinjauan ilmiah mengenai teknik pengolahannya pun belum pernah ada. Begitupun literatur tentang kelebihan dan kekurangan sipuncula sebagai umpan dan potensinya sebagai pakan, juga belum pernah ada. Apalagi tentang kekuak yang belum pernah diteliti, belum jelas spesies dan kedudukannya dalam taksonomi, karena itu penelitian ini merupakan rintisannya.