• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Kearifan Lokal dan Pengetahuan Tradisional

Kata kearifan berasal dari kata ‘arif yang berarti tahu dan ma’rifat yang berarti pengetahuan (knowledge), tingkatannya masih di bawah fahm

(pemahaman) dan fiqh (pengertian) (Jazairy 2001), sehingga kearifan lokal sama saja maknanya dengan pengetahuan lokal (local knowledges). Namun demikian, telah terjadi proses ‘ameliorasi’ (perluasan) makna kata ‘kearifan’ menyamai makna wisdom (kebijaksanaan), sebaliknya terjadi proses ‘peyorasi’ (penyempitan) makna kata ‘kebijakan’ menyamai makna policy (keputusan politis), yang sebenarnya berasal dari kata bijak/bijaksana (wise) yang juga diartikan arif (makna peyoratif). Oleh karena itulah, kata local wisdom lebih populer diterjemahkan sebagai ‘kearifan lokal’ daripada ‘kebijaksanaan lokal’ yang sebetulnya secara bahasa adalah lebih tepat.

Pengetahuan tradisional merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat setempat, merupakan hasil interaksi manusia dengan alam dan lingkungannya yang berlangsung lama dan turun-temurun (Solihin 2006). Menurut Soekanto (2000), kebudayaan merupakan kompleks yang mencakup pengetahuan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan lain-lain kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Pengetahuan tradisional adalah sistem terpadu antara kepercayaan dan praktek khusus dalam kelompok budaya berbeda (Posey 1996). Pada tradisi ilmiah Barat, pengetahuan (knowledge) dibedakan dengan science (sains, ilmu), pengetahuan tradisional pun masih bagian dari wisdom (kearifan/kebijaksanaan). Menurut Soedjito dan Sukara (2006), selayaknya sistem pengetahuan dunia tidak cuma dimonopoli pengetahuan formal (sains didikan sekolahan), karena masih ada pengetahuan tradisional dan kearifan lokal yang tidak diajarkan dalam kelas.

Tabel 2 Perbedaan epistemologis antara science dan wisdom (Villoro 1982)

SCIENCE WISDOM

Societal Individual Universal Local

General Particular or singular Unpersonal Personal

Abstract Concrete Theoretical Practical Specialized Global

Toledo (1992) dengan mengutip pendapat Villoro (1982), menjelaskan perbedaan epistemologis antara science dan wisdom (Tabel 2). Melihat karakteristik wisdom, sebenarnya ‘kearifan’ (kebijaksanaan) lokal cikal-bakalnya adalah berbagai bentuk ‘kearifan’ (wisdom, kebijaksanaan) dan pengetahuan (ma’rifat, knowledge) dari seseorang, beberapa individu ataupun sekelompok warga dalam suatu komunitas masyarakat dengan lokalitas tertentu, yang seiring perjalanan waktu melembaga sebagai kesepakatan bersama ataupun ditetapkan sebagai aturan adat/lokal. Jadi kearifan (kebijaksanaan) lokal adalah hasil pelembagaan kejeniusan masyarakat lokal, yang prosesnya telah, sedang dan akan terjadi nanti, sebagai pertanda mereka pun belajar dari alam dan pengalaman (berubah sikap menjadi lebih baik daripada sebelumnya). Hal itu tergambar dari dua peribahasa Melayu yang kini sudah menjadi umum yaitu “Alam terkembang menjadi guru” dan “Pengalaman adalah guru yang terbaik”.

Salah satu ciri masyarakat tradisional adalah ketergantungan (keterbatasan) yang tinggi terhadap lingkungan dan sumberdaya alamnya, terlebih pada masyarakat tradisional di pesisir dan pulau-pulau terpencil. Ketergantungan manusia terhadap alam tetumbuhan misalnya, diketahui sudah ada sejak zaman prasejarah dari bukti-bukti paleoetnobotani (Smith 1986), sebaliknya karena itu pula peran manusia atau kelompok etnik dengan segala tata-aturan kehidupannya amat menentukan nasib lingkungannya. Ketergantungan itu mengharuskan mereka hidup menyatu dengan alam sekitar, atau berusaha agar seimbang antara kehidupannya dan lingkungannya. Dengan begitu sebisa mungkin mereka hidup tanpa menimbulkan kerusakan bagi alam, supaya kerusakan tersebut tidak berbalik menimbulkan kesulitan bagi mereka.

Terkait fenomena tadi Lovelock (1979) pernah mengusulkan hipotesis GAIA, bahwa bumi berfungsi sebagai organisme tunggal, mengatur diri-sendiri dalam membuat keadaan-keadaan optimum demi kelangsungan hidupnya dengan keberadaan kehidupan itu sendiri. Implikasinya sebagai ide ilmiah Barat amat mendekati pemahaman masyarakat asli umumnya, termasuk orang Cina purba, dimana hubungan manusia dengan alam sepatutnya sebagai partisipan dalam sebuah sistem kehidupan yang lebih besar (Reichel-Dolmatoff 1976).

Strategi konservasi keragaman hayati mencakup kegiatan memanfaatkan, mempelajari dan menyelamatkan (Wilson 1995). Sudah jadi kebiasaan masyarakat lokal, selama masih mau terus memanfaatkan suatu sumberdaya hayati di lingkungannya, selama itu pula mereka tetap menjaga/menyelamatkannya. Seiring berjalannya kedua kegiatan itu, proses pembelajaran terkait sumberdaya itu pun berlangsung, termasuk mekanisme transfer pengetahuannya dalam masyarakat, antar anggota, generasi, kelompok atau daerah berbeda.

Ellen et al. (2000) menyatakan, pengetahuan dan tradisi masyarakat lokal sering dianggap statis (tidak berubah) tetapi faktanya berubah (dinamis). Tentang pandangan skeptis ilmuwan terhadap pengetahuan lokal terkait dilupakannya dan kesalahpahaman terhadap sistem pengetahuan/pengelolaan lokal, Neis (1992) mengatakan bahwa pemakaian metode ilmiah adalah suatu keganjilan karena pengetahuan tradisional punya begitu banyak informasi tidak terucapkan, tetapi metoda ilmiah berusaha mengurangi, mengujinya dan mengontrol seluruh variabel lain. Kini pengetahuan tradisional pemanfaatan tumbuhan dan hewan oleh masyarakat lokal dan pribumi kian banyak menghilang sebelum sempat dicatat/ diketahui para peneliti, padahal informasi itu amat penting bagi kelestarian pemanfaatan keanekaragaman hayati dan sumberdaya alam lokal.

Selama ini pengetahuan tradisional terkait kegiatan masyarakat lokal memanfaatkan keanekaragaman hayati di lingkungannya, telah banyak dikaji dalam etnobiologi. Sejalan dengan itu cabang-cabang kajian etnobiologi seperti etnobotani (pengetahuan botanik tradisional/lokal) dan etnoekologi dikembangkan dalam biologi sebagai disiplin dengan metode tersendiri. Toledo (1992) termasuk biolog yang berperan mengembangkan etnoekologi sebagai disiplin dengan metodologi tersendiri, melalui pendekatan interdisiplin (lintas-bidang).

Menurut Subedi (1996), kelompok pengetahuan indigenus (pribumi) yang khusus mempelajari aspek teknis yang dipakai masyarakat lokal (tradisional) dalam memanfaatkan sumberdaya disebut pengetahuan teknis indigenus. Terkadang disebut ‘teknologi indigenus’ (lokal), istilah ‘salah-kaprah’ dimana teknologi diartikan sebagai ‘ilmu pengetahuan’ teknis (cara memproduksi), namun masih bisa dibenarkan jika diartikan sebagai ‘produk’ dari ilmu pengetahuan (pengetahuan ilmiah/formal) atau pengetahuan (informal) saja.

Pemakaian kata ‘lokal/tradisional’ dibelakang istilah biologi, botani, ekologi dan lain-lain tanpa didahului kata ‘pengetahuan’, tidak akan terjadi jika konsisten dengan perbedaan posisi antara ilmu dan pengetahuan. Sering pula terjadi campur-aduk istilah tradisional, indigenus (pribumi), native (asli) dan lokal, yang jika dicermati sebetulnya pengetahuan lokal mencakup semuanya. Berarti ada pengetahuan lokal non-tradisional (belum sempat atau sedang mentradisi), bukan dari penduduk asli/pribumi tapi murni dari pendatang (bukan yang dibawa) atau akulturasi dan asimilasinya, ada pula pengetahuan lokal yang sudah menjadi milik komunitas, sekelompok ataupun cuma individu-individunya.

Kata ‘teknologi’ dipakai Phillips dan Gentry (1993), Fakhrurrozi (2001) dan Banilodu (1998) sebagai kategori manfaat pada kajian inventarisasi penggunaan keanekaragaman nabati oleh masyarakat lokal. Pada kajian ilmu pangan, Rahayu (2000) memakai istilah ‘teknologi pangan tradisional’ bahkan ‘bioteknologi pangan indigenus’. Nazarea-Sandoval (1996) pada kajian etnobiologinya pun memakai istilah ‘teknologi indigenus’. Sementara di kalangan antropologi seperti Adimihardja (1999) dan Mamar (1999) memakai istilah ‘sistem teknologi lokal’, mengacu pada pendapat Koentjaraningrat (1990) bahwa ‘sistem teknologi’ meliputi unsur kebudayaan fisik yang dipakai dalam aktivitas kehidupan sehari-hari, antara lain alat-alat produktif.

‘Teknologi’ semula cuma merupakan salah satu kategori manfaat pada kajian etnobotani selain beberapa manfaat lainnya. Lalu, pengetahuan yang amat teknis dan lebih jauh tidak lagi terkait langsung dengan biologi pun dikaji terpisah, seperti aspek teknis penangkapan, penanganan dan pengolahan oleh orang lokal. Pada konteks penelitian ini, studi pengetahuan teknis indigenus dan teknologi lokal (tradisional) diberi istilah ‘etnoteknologi’, analog munculnya

istilah etnobotani, etnoekologi dan lain-lain, meski pendekatannya relatif sama. Penelitian etnoteknologi didekati secara interdisiplin seperti Toledo (1992) mengembangkan etnoekologi. Semua itu adalah upaya kombinasi pengetahuan formal (etik) dengan pengetahuan tradisional (emik) yang selalu mempertimbangkan keunikan dan kekhasan, sehingga diperoleh solusi tepat untuk pengelolaan lestari sumberdaya alam (Soedjito dan Sukara 2006).