• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

6 ETNOTEKNOLOGI KEKUAK DI KEPULAUAN BANGKA-BELITUNG

2) Pengopongan timah di kawasan Pebuar

Agar pemanfaatan kekuak tetap lestari (berlanjut) karena sudah menjadi penghasilan warganya, para dukun kampung (tetua adat) juga membuat kebijakan lain yang terkait, yaitu “pengopongan timah” seperti terjadi di kawasan Pebuar. Pengopongan timah merupakan tindakan yang disepakati untuk membuat timah di suatu kawasan menjadi “kopong” (diduga membuat kuantitas ataupun kualitas bijih timah menurun drastis), di lingkungan darat dan lautnya, karena kuatir lumpur dari limbah tambang timah di perairan pantai akan menutupi habitat kekuak, membunuh biota dan memusnahkan populasinya (Tabel 13).

Sebagai perbandingan, kasus kegiatan kapal keruk tambang timah di Belitung Timur (30 tahun lalu) telah menyempitkan pantai karena aberasi. Padahal sebelum itu sangat lebar, sebagai habitat kekuak tempat nelayan mencari umpan, seperti pantai-pantai Keramat, Pengempangan dan Tanjongmudong (Manggar). Hal serupa terjadi di Semulut dan Penganak (Jebus), tidak lama sejak beroperasinya tambang timah inkonvensional (TI apung) di perairan pantai kawasan itu dan sekitarnya (kini sudah hampir sekade), populasi kekuaknya hilang akibat habitatnya rusak dan tertutup lumpur limbah tambang, kegiatan penangkapan kekuaknya pun ikut musnah.

Tabel 13 Bedah kasus kebijakan pengopongan timah di Pebuar

No. Item Substansi

1 Nama kebijakan Pengopongan timah

2 Relevansi kebijakan Terkait langsung dengan penangkapan kekuak komersial 3 Dampak kebijakan Tidak langsung terhadap kegiatan penangkapan kekuak komersial 4 Daerah berlaku Kawasan darat dan perairan Pebuar dan sekitarnya

5 Jenis kebijakan Menutup jalan bagi usaha penambangan secara adat 6 Pembuat kebijakan Tetua adat Pebuar (dukun kampung dan para dukun lain)

7 Materi kebijakan Penghentian (penghilangan) kesempatan menambang timah secara teknis dan permanen, agar kegiatan penangkapan kekuak komersial tidak tergganggu.

8 Akibat pelanggaran Tidak ada akibat, karena tidak akan pernah ada pelanggaran. 9 Sanksi pada alam Tidak ada sanksi, karena tidak akan pernah ada pelanggaran. 10 Sanksi individual Tidak ada sanksi, karena tidak akan pernah ada pelanggaran. 11 Penjelasan kasus secara

emik

Pengopongan timah membuat bijih timah semula berat menjadi ringan dan tidak berharga dengan kesaktian para tetua adat.

12 Tujuan kebijakan dibuat, kepercayaan (emik)

Untuk melindungi habitat kekuak (lokasi tangkap) dan kegiatan penangkapan kekuak komersial dari kerusakan alam dan limbah akibat tambang timah.

13 Penjelasan kasus secara etik Mekanisme proses pengopongan timah belum bisa diungkap secara ilmiah, tetapi dipahami tujuannya amat positif bagi kelestarian habitat dan populasi kekuak, dan keberlanjutan pemanfaatannya oleh warga masyarakat.

14 Target kebijakan, tujuan laten (etik)

Untuk menjamin terjaga dan terpeliharanya pemanfaatan kekuak komersial di kawasan Pebuar, sebagai salah satu sumber penghasilan warga masyarakatnya.

15 Proses penerapan dalam masyarakat

Sesuai situasi, kondisi dan tingkat pemahaman (pengetahuan) warga masyarakatnya saat itu, dikaitkan lebih pada kekuatan supranatural (mistis) ketimbang rasional, tapi bisa menerima atau terpaksa percaya dengan fakta/bukti yang ada.

16 Inti kasus (etik) Kebijakan pengopongan timah adalah salah satu wujud kebijaksanaan tetua adat terkait pengelolaan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam, terutama kekuak. 17 Penilaian efektivitas Amat efektif hasilnya bagi kawasan Pebuar.

Kejadian semacam tadi sejak dini dicegah oleh tetua adat (para dukun kampung) di kawasan Pebuar dengan kebijakan ‘mengopongkan’ timah di sana dan sekitarnya, agar habitat dan kegiatan pemanfaatan kekuak (penangkapan komersial) tidak terganggu, karena telah nyata menyediakan lapangan kerja dan mendatangkan penghasilan bagi warga masyarakat setempat khususnya nelayan.

Bagaimana cara/proses mengopongkannya adalah rahasia para dukun sebagai sebuah misteri. Kebijakan seperti ini sudah dipandang mustahil bisa dilakukan lagi, meski alasan dan substansinya cukup rasional, pertanda kaum adat bertanggungjawab melindungi kepentingan warga dan lingkungannya. Sebelum merdeka, biasanya kasus pengopongan timah oleh para dukun kampung sering terdengar di kampung-kampung di Bangka-Belitung, mencegah penggusuran lahan untuk ditambang. Kebijakan adat ini terkait kelestarian pemanfaatan kekuak komersial di Pebuar adalah kasus unik.

Adanya kegiatan tambang timah inkonvensional di darat dan laut (TI apung), ataupun konvensional (kapal keruk dan kapal hisap) di perairan pantai di

sekitar Pebuar, meskipun relatif jauh namun limbahnya (berupa lumpur) lambat-laun hanyut terbawa arus ke perairan Pebuar. Limbah ini terutama dari kapal-kapal hisap yang secara akumulatif berpotensi merusak (menutupi) habitat kekuak (mengganggu pernapasannya) serta mengancam populasi dan kehidupannya.

Jika kerusakan sudah terlanjur terjadi, akan sulit diantisipasi, selain karena lokasi-lokasi tambang berada di luar wilayah kewenangan kaum adat setempat, juga karena kini lembaga adatnya sudah hilang berikut kebijakannya. Jadi kebijakan pengopongan timah oleh kaum adat, secara implisit merupakan pelarangan otomatis kegiatan penambangan, demi melindungi sumber penghasilan warga (kekukak) dan keberlanjutan pemanfaatannya.

Kebijakan pengopongan timah oleh kaum adat ini merupakan penutupan akses bagi siapapun untuk memanfaatkan suatu sumberdaya alam (terkait perlindungan kawasan pemanfaatan sumberdaya alam yang lain) pada wilayah tertentu untuk selamanya, tidak ada kesempatan untuk melanggarnya sehingga tidak perlu repot-repot membuat larangan dan memberi sanksi. Berbeda dengan sistem sasi yang merupakan penutupan akses oleh siapun juga ke kawasan pemanfaatan pada suatu wilayah tertentu untuk sementara waktu saja (Thorburn 1998), dengan pemberian sanksi adat terhadap pelanggarannya.

6.3.2.2 Pola waktu dan musim tangkap

Kegiatan penangkapan kekuak komersial di Bangka pada dasarnya dilakukan pada periode (minggu) surut air laut terjadi siang hari. Minggu surut pun dipilih yang terendah/minimum (ruap) biasanya Maret sampai Juli, puncaknya April sampai Juni sebagai periode musim tangkap paling efektif/ produktif (surut dari pagi sampai sore). Karena ruap terjadi seminggu-seminggu diselingi konda (surut tanggung) atau taru’ (keunda’) seminggu sebelum/sesudahnya, kegiatan dilakukan seminggu-seminggu saja. Di Karimunjawa ruap dan taru’ disebut bonang dan konda (Pratomo, 2005).

Penangkapan kekuak cuma bisa/biasa dilakukan di siang hari cerah (terang), syarat agar lubang sarang kekuak di permukaan pasir tampak jelas sebagai target. Derasnya arus air laut akibat angin kencang pada bulan tertentu (mulai Juni) jadi penghalang kegiatan, karena membuat air laut keruh dan tidak tenang. Jadi, waktu kerja dan jadwal kegiatan penangkapan kekuak komersial

cuma pada waktu dan periode tertentu saja, rekonstruksinya pada Tabel 14. Hal Ini membuktilkan bahwa berlangsungnya kegiatan penangkapan secara teknis lebih terarah (tersedia sekaligus terbatasi) oleh faktor alamiah (terutama siklus pasang-surut) dan faktor teknis (alat tangkap), bukan oleh faktor biologis (biota).

Jika dicermati, pola umum penangkapan tadi dipengaruhi sistem peredaran matahari (musim hujan dan kemarau, termasuk angin dan arus laut) dan bulan (siklus pasang-surut air laut). Berarti pola umum waktu dan musim tangkap kekuak adalah paduan antara penanggalan matahari (solar) dan bulan (lunar). Gawe ngerangkang masih bisa dilakukan di luar pola umum ini (Pebruari, Agustus dan September), tapi gawe nyucok dan nyerampang diakhiri sejak bulan Juni, saat air laut mulai keruh (angin kencang) dan musim kegiatan berladang.

Adanya kegiatan penangkapan yang cuma dilakukan pada periode dan waktu tertentu saja ini, memberi kesempatan kekuak berkembang dan memulihkan (suksesi) populasinya di habitat, selama periode/masa tanpa kegiatan penangkapan. Dengan pengalaman dan pengetahuan lokal (alamiah dan tradisional), penangkapan kekuak komersial oleh masyarakat selama ini dari waktu ke waktu bisa tetap berlanjut, meski tanpa pengetahuan ilmiah tentang biotanya (terutama siklus hidup dan reproduksi).

Tabel 14 Jadwal umum kegiatan musim tangkap kekuak setahun (rekonstruksi) Periode waktu Pembagian waktu tangkap Waktu pilihan

(x atau X)

1 tahun solar 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

(12 bulan) - - x X X X x - - - laut surut siang hari 1 bulan lunar taru’ ruap taru’ ruap

(4 minggu) - X - X surut maksimum 1 minggu M S S R K J S

(7 hari) x X X X X x X hari kerja malam siang

1 hari

- X waktu kerja

pagi tengah hari sore siang hari

x X x waktu tangkap

X utama/puncak, x tidak utama (fakultatif)

Pada sistem pengelolaan pemanfaatan kekuak komersial ini, pembatasan musim tangkap terjadi secara alamiah (tidak diatur oleh manusia dengan sengaja) terkait syarat efektif alat/teknik tangkap. Hal ini berbeda dengan pembatasan musim tangkap yang sengaja diatur oleh lembaga adat pada sistem sasi, baik di

Papua dan Maluku (Pattiselano 2005), maupun di Tanimbar (Purwanto 2004). Jika suatu ketika ditemukan teknologi penangkapan kekuak yang bisa melewati batasan-batasan alamiah tadi, bisa dianggap sebagai bentuk pelanggaran, namun akan sulit diantisipasi apalagi lembaga adatnya sudah tidak ada (berfungsi lagi).

6.3.2.3 Pola zonasi dan pindah lokasi tangkap 1) Pola zonasi tangkap

Terkait kelestarian pemanfaatan kekuak komersial di Bangka kasus Pebuar dan Nangkabesar, ‘zonasi tangkap’ adalah hal penting (Gambar 51). Pada konteks ini zona tangkap adalah formasi area tangkap kekuak di suatu lokasi yang batasnya terjadi secara teknis pada suatu saat berdasarkan kedalaman (vertikal). Zonasi tangkap adalah pembagian zona di lokasi tangkap akibat beroperasinya lebih dari sejenis alat tangkap yang disepakati para pelaku penangkapan (nelayan).

suksesi ke 1 arah; suksesi ke 2 arah

Gambar 51 Skema zonasi tangkap kekuak kasus Pebuar dan Nangkabesar

ZONASI TANGKAP PEBUAR

ZONASI TANGKAP NANGKABESAR

air surut

0 – 100 cm

zona ngerangkang

zona nyucok

zona antara zona lepas

zona lepas air pasang air pasang 0 – 50 cm zona nyerampang air surut zona nyucok zona irisan (tumpang-tindih) 0 – 50 cm 120 – 150 cm

Pada kasus Pebuar, kegiatan penangkapan kekuak dengan dua macam teknik berbeda, nyucok dan ngerangkang. Zona nyucok yaitu di area perairan pantai saat laut surut dari air kering sampai tergenang selutut. Zona ngerangkang yaitu di area perairan pantai saat laut surut tergenang dari sedada sampai sekepala. Saat beroperasi pada lokasi yang sama, zona nyucok dan ngerangkang ‘tidak bertemu’ pada waktu yang sama pula, ada zona pemisah antara keduanya (zona antara), tidak ada tumpang-tindih zona antara dua macam teknik tangkap tadi.

Pada kasus Nangkabesar, kegiatan penangkapan kekuak komersial dilakukan juga dengan dua macam teknik berbeda, nyucok dan nyerampang. Zona nyucok (seperti kasus Pebuar) yaitu di area perairan pantai saat laut surut dari yang kering airnya sampai tergenang selutut, sedangkan zona nyerampang dari batas tergenang minimal sampai sepinggang. Saat keduanya beroperasi pada lokasi yang sama, karena ada kemiripan sebagian syarat efektif penangkapan (faktor kedalaman), terjadilah dua zona kegiatan (nyucok dan nyerampang) yang ‘beririsan’ pada saat yang sama, tanpa zona pemisah diantaranya. Berarti, pada zonasi tangkap pulau itu ada kesepakatan berbagi antara dua kegiatan penangkapan berbeda (gawe nyucok dan nyerampang). Bahkan, lelaki dan perempuan bisa memakai salah satu atau kedua macam alat tangkap saat beroperasi di suatu lokasi tangkap, jadi bisa menguasai satu atau dua zona tadi. Faktanya di lapangan cenderung gawe nyucok lebih banyak di lokasi yang kering, gawe nyerampang selalu di lokasi tergenang.

‘Zona antara’ pada Zonasi Tangkap Pebuar selain menjadi zona pemisah dua kegiatan penangkapan berbeda (gawe nyucok dan ngerangkang) pada waktu yang ‘sama atau berbeda, juga berfungsi sebagai ‘zona cadangan bagi populasi kekuak, sementara atau tetap. Bisa sementara karena ada pergeseran relatif akibat dinamika siklus pasang-surut. Jadi, pada zonasi ini ada dua macam zona cadangan, yaitu zona antara dan ‘zona lepas’ (setelah zona ngerangkang). Zona lepas yaitu area perairan setelah zona tangkap terluar, merupakan zona cadangan tetap. Pada Zonasi Tangkap Nangkabesar tidak ada zona antara, dan zona cadangan cuma satu yaitu zona lepas (setelah zona nyerampang), karena antara zona nyucok dan nyerampang tidak ada zona pemisah, sementara ataupun tetap (pada waktu yang sama ataupun berbeda).

Pada pola pertama (Pebuar), adanya zona cadangan pada zona antara memberi kesempatan luas proses suksesi (eksternal) populasi kekuak ke dua zona tangkap selama tidak ditangkapi, di daerah tangkap atau perairan pantai Pebuar dan sekitarnya. Selain itu, pola ini mendukung mekanisme pindah lokasi tangkap daur-ulang (bergilir/rotasi) bisa berjalan dengan baik di kawasan itu. Pada pola kedua (Nangkabesar), tiadanya zona cadangan antara, membuat tiada kesempatan proses suksesi (eksternal) populasi kekuak ke kedua zona tangkap. Pola ini tidak memberi jalan mekanisme rotasi lokasi tangkap di perairan pulau ini.