• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

PERAIRAN NANGKABESAR

4) Krisis moneter (1997-kini)

Permulaan masa ini ditandai krisis moneter hebat melanda dunia, yang juga berimbas pada kehidupan nelayan di pesisir Bangka-Belitung. Namun, di Bangka Barat krisis ini justru mendorong masyarakat membuat terobosan dalam

penangkapan kekuak. Kala itu komoditas kekuak kering di pasar masih mahal, apalagi jadi pangan spesial orang Tionghoa, menangkapnya tanpa modal besar.

Kian semangatnya kaum nelayan (terutama perempuan) menangkap kekuak untuk dijual, memunculkan gagasan bagi seorang warga Semulut (Manap) untuk membuat alat tangkap kekuak yang lebih efektif/produktif (Lampiran 5). Alat itu dinamakan rangkang, ketika diterapkan pertama kali di perairan sekitar Semulut dan ternyata berhasil. Rangkang lalu diperkenalkan kepada warga Pebuar, diajari membuat dan memakainya, saat diterapkan di perairan Pebuar dan sekitarnya ternyata berhasil juga. Penangkap kekuak yang juga nelayan di Pebuar, lalu mencari umpan juga dengan alat baru ini untuk gawe ngerawai.

Di daerah lain yang tidak ada dan belum terganggu tambang timah, kegiatan penangkapan kekuak tetap berjalan seperti di Pebuar dan Teritip (Bangka Barat) dan Belinyu (Bangka Induk). Bahkan pada pertengahan 1997, dipimpin Sunoto, beberapa warga Pebuar seperti Sumarni, Aliyanto dan Imro berhasil mengenalkan dan mengajarkan cara menangkap kekuak kepada masyarakat Nangkabesar (Bangka Tengah). Pulau itu lalu menjadi daerah penangkapan kekuak komersial yang baru.

Keberhasilan Sunoto dan kawan-kawan mengajarkan cara menangkap kekuak dengan cucok rotan di pulau itu, juga bersamaan dengan kegagalan Imro menerapkan rangkang, tapi dia segera berhasil menemukan dan menerapkan serampang sebagai modifikasi rangkang. Serampang ini lain dengan serampang yang dulu dipakai nelayan pulau itu untuk mencari kekuak umpan. Setelah keberhasilan itu, kegiatan penangkapan kekuak komersial di sana tetap berlanjut sampai kini, meski tidak kontinu tiap musim, produknya masih kekuak kering.

Sementara itu di Pebuar, kelanjutan dari penemuan dan penerapan rangkang, beberapa tahun setelah itu kekuak hasil ngerangkang lalu dijual sebagai kekuak segar untuk diolah basah. Hal itu terjadi setelah orang Tionghoa (tengkulak dan konsumen) diperkenalkan dengan cara mengonsumsi kekuak basah, yang ternyata jauh lebih enak rasanya daripada kekuak kering, dan komoditasnya menjadi lebih mahal. Agar mutu kekuak tetap segar, durasi gawe ngerangkang dalam sehari dipersingkat, tapi periode penangkapan dalam semusim menjadi lebih panjang daripada gawe nyucok.

Sayangnya, sejak 2001 krisis moneter juga memicu maraknya tambang timah rakyat (inkonvensional) atau TI di daerah pesisir. Limbahnya dibuang ke laut mencemari habitat kekuak, membuat kegiatan penangkapan di beberapa daerah di Bangka Barat dan Bangka Induk ikut hilang, termasuk di Penganak, Semulut dan sekitarnya. Kejadian ini makin parah sejak muncul dan menjamurnya TI apung sejak 2003, yaitu tambang timah di perairan pantai dengan mesin kompresor. Dan tentunya makin parah lagi sejak beroperasinya kapal-kapal hisap sejak tahun 2008 sampai kini.

Penemuan mutakhir masih terjadi pada kurun masa ini di Manggar (Belitung Timur) pada 2004 yaitu alat tangkap cucok dibuat dari bahan pipa paralon oleh seorang pemancing hobi (Nursyam), mendukung penangkapan kekuak komersial untuk umpan pada kegiatan mancing hobi. Kemudian, pada 2008 di Pebuar ditemukan penangkapan kekuak komersial ‘ngerangkang plus’ dengan kompresor untuk membantu bernapas dalam air oleh seorang nelayan (Desiri), tapi cuma dua musim saja dilakukan (terhenti pada 2009) setelah disadari banyak dampak buruknya.

6.3.3.2 Adaptasi masyarakat terhadap inovasi

Krisis di masyarakat merupakan pendorong kreativitas bagi inovator lokal (Koentjaraningrat 1990) seperti terjadi pada kurun masa 1997 sampai kini. Dari berbagai perkembangan dan penemuan di atas, yang menonjol adalah kasus Pebuar dan kasus Nangkabesar (Tabel 15 dan 16). Proses dari discovery menuju

invention yang biasanya butuh waktu lama pada masyarakat peasant karena harus memastikan dulu manfaat suatu temuan (teknologi) dengan bukti empirik (Satria 2002), adalah mekanisme adaptasi.

Secara antropologis perubahan yang terjadi pada kedua kasus di kedua tempat itu adalah proses inovasi yang terjadi relatif cepat. Di Nangkabesar bahkan amat cepat karena begitu terjadi penemuan, langsung diterapkan dan diterima masyarakat luas saat itu juga (tahun/musim pertama kali belajar dan menangkap), tanpa konflik. Sedangkan sebelumnya, di Pebuar cuma berlangsung kurang dari dua tahun/musim. Kedua peristiwa tadi cukup fenomenal karena relatif singkatnya jarak waktu dari penemuan alat/teknik (discovery) sampai diakui/ diterima luas oleh masyarakat (invention).

Pada kasus Pebuar, walau akhirnya diterima luas oleh warga masyarakatnya, sebelumnya sempat terjadi konflik saat alat/teknik tangkap rangkang/ngerangkang dioperasikan pertama kali di Pebuar. Warga penangkap kekuak dengan cucok/nyucok yang mayoritas kaum ibu/perempuan (umumnya tua-tua) dan keluarga mengadakan aksi-protes. Bukan cemburu kalau-kalau kekuak hasil tangkapan mereka dengan cucok/nyucok berkurang/tersaingi, tapi kuatir penerapan alat baru itu sama seperti pelanggaran pemali ngesik, yang akibatnya kekuak bisa “menghilang” di habitatnya.

Tabel 15 Proses adaptasi inovasi penangkapan kekuak komersial di Pebuar

No. Item Substansi

1 Bentuk inovasi Penerapan alat tangkap rangkang dan teknik ngerangkang

2 Agen pembuat/ pembawa Orang luar (Manap, dari Semulut); masih dalam wilayah Jebus (Bangka Barat) 3 Sikap awal warga Minoritas (beberapa lelaki) langsung menerima/menerapkan, mayoritas

(perempuan) menolak

4 Ada/tidaknya konflik Terjadi konflik (aksi protes dan perang dingin) antara dua kelompok 5 Alasan yang mengemuka Alasan menerima karena manfaat jauh lebih menguntungkan secara komersial;

alasan menolak karena dianggap melanggar pemali dan kuatir akan akibat pelanggarannya

6 Fakta kemudian Terbukti kekuatiran akibat buruk melanggar pemali tidak terjadi; terjadi dua zona tangkap terpisah; manfaat yang didapat tiada henti

7 Sikap akhir warga Semua warga akhirnya menerima dan malah mendukung; yang dulu ikut memprotes kemudian ikut ngerangkang juga

8 Jarak inovasi Kurang dari dua tahun (dua musim penangkapan diselingi satu musim tidak menangkap)

9 Akibatnya Penangkapan terus berlanjut secara berdaur-ulang; manfaat tetap didapat tiada henti; selalu kembali ke lokasi tangkap semula/sebelumnya (ada pergiliran lokasi) 10 Prediksi Pemanfaatan kekuak di sini tetap akan terus berlanjut; kekuak tidak akan pernah

punah; karena pola pemanfaatan yang tidak menentang alam; warga belajar dari alam dan pengalaman

Tabel 16 Proses adaptasi inovasi penangkapan kekuak komersial di Nangkabesar

No. Item Substansi

1 Bentuk inovasi Penerapan alat tangkap cucok dan teknik nyucok; serampang dan nyerampang 2 Agen pembuat/ pembawa Orang luar (Sunoto, Imro dan Aliyanto dari Pebuar); cukup jauh, beda wilayah

(dari Bangka Barat ke Bangka Tengah) 3 Sikap awal warga Semua warga langsung menerima/menerapkan 4 Ada/tidaknya konflik Tanpa konflik

5 Alasan yang mengemuka Alasan menerima karena manfaatnya amat menguntungkan secara komersial, membuka lapangan kerja dan sumber penghasilan baru

6 Fakta kemudian Manfaat yang didapat tiada henti; terjadi dua zona tangkap beririsan; pemali tidak diindahkan/ dipercaya; dampak buruknya tidak/ belum (disadari) terlihat 7 Sikap akhir warga Sebagian besar warga tetap menangkap dengan melangar pemali; sebagian kecil

saja yang percaya/mengindahkan

8 Jarak inovasi Tidak ada jarak waktu (langsung); bahkan saat penerapan (nyucok) terjadi lagi penemuan berikutnya (nyerampang)

9 Akibatnya Penangkapan masih berlanjut tapi tidak berdaur-ulang; manfaat masih didapat tiada henti; lokasi tangkap makin jauh dari semula/sebelumnya (tidak ada pergiliran lokasi)

10 Prediksi Pemanfaatan masih bisa bertahan; kekuak belum sampai punah; karena penangkapan tidak kontinu akibat serentak musimnya dengan panen cengkeh; warga kurang/tidak belajar dari alam dan pengalaman tapi masih diselamatkan oleh alam dan kebijaksanaan pengumpul utama (Aliyanto)

Walaupun pada waktu itu aksi-protes berlangsung, kegiatan ngerangkang beberapa orang warga lelaki Pebuar disana tetap berlanjut, begitupun kegiatan nyucok. Setelah beberapa lama disadari tidak terjadi akibat kegiatan ngerangkang seperti dikuatirkan, apalagi meski di lokasi yang sama tapi zona tangkap keduanya tidak bertemu pada waktu bersamaan. Perang dinginpun usai, bahkan yang tadi memprotes pun ikut pada kegiatan ngerangkang, termasuk kaum perempuan. Sejak itu gawe ngerangkang dan gawe nyucok dilakukan oleh warga Pebuar berdampingan setiap tahun (musim tangkap).

Pada kasus Nangkabesar, pengenalan dan penerapan kegiatan penangkapan kekuak dengan cucok dan serampang pertama kali, langsung diterima luas oleh warga tanpa konflik. Namun aturan tentang pemali ngesik yang juga diajarkan, tidak diindahkan (dianggap tahayul), selain itu operasi kedua alat tangkap itu di lokasi yang sama pada saat yang sama ada tumpang-tindih. Akibat pelanggaran pemali ngesik seperti warga Pebuar kuatirkan pun terjadi di pulau ini, meskipun kekuak tidak hilang sama sekali tapi daerah/lokasi tangkap saat ini semakin jauh dari daerah/lokasi tangkap pertama kali.

Hal itu sudah sering diingatkan oleh pengumpul utama sebagai warga asal Pebuar yang pertama kali ikut mengajarkan teknik nyucok kekuak di pulau itu. Dia merupakan koordinator bagi sebagian besar penangkap, yang merasa bertanggungjawab atas kesinambungan pemanfaatan kekuak di sana. Dia berinisiatif mengatur kegiatan penangkapan menjadi minimal dua tahun sekali, dan mengalihkannya ke kegiatan panen cengkeh, demi menyelamatkan populasi kekuak di sisa-sisa habitatnya. Karena itu, meskipun tidak kontinu produk kekuak kering dari pulau ini mutunya amat baik, lebih panjang/besar.

Ada hal kecil yang menarik pada kasus Nangkabesar, pengoperasian dua jenis alat tangkap sejak ada penangkapan komersial, memang tanpa konflik antar penangkap. Jikapun terjadi amat jarang sekali, yaitu bila ada yang nyerampang pada bagian zona nyucok kering pasti gagal, kekuak selalu putus karena bertahan dalam sarang (sulit diantisipasi), perbuatan ini disebut ‘ngacau’ (sia-sia). Dahulu, nelayan mencari kekuak umpan memang seperti itu, jika terputus tidak apa-apa, bentuk serampangnya pun berbeda (tidak sesempurna seperti yang dibuat pada masa sekarang ini).

6.3.3.3 Penemuan mutakhir