• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Metode Penangkapan

Informasi ilmiah tentang cara tangkap anggota Sipuncula yang dimanfaatkan masih sangat sedikit. Romimohtarto dan Juwana (2001) cuma menulis bahwa Phascolosoma lurco yang dipakai untuk pakan bebek, ditangkap dengan menggalinya di rawa mangrove, tanpa menyebutkan dengan alat apa. Namun, Subani dan Barus (1989) sudah menulis bahwa para nelayan Sukolilo menangkap terung sejenis Sipuncula di perairan sekitar Kenjeran (Selat Madura)

dengan garu atau garit dari bambu dan dioperasikan beberapa orang dalam satu perahu (Gambar 6). Alat itu merupakan satu-satunya jenis alat tangkap terung di Indonesia. Masyarakat Pulau Nusalaut menangkap sia-sia sejenis Sipuncula di perairan pantai Maluku Tengah menggunakan linggis (Pamungkas 2010). Sementara itu, nelayan di Pulau Pari (Kepulauan Seribu) menangkap wak-wak (kekuak) dengan penusuk sederhana yang terbuat dari sebilah rotan. Pratomo (2005) juga melaporkan bahwa masyarakat nelayan di Pulau Kemujan (Kepulauan Karimunjawa) menangkap uwa-uwa (kekuak) dengan pacucu’an dari rotan.

Gambar 6 Cara menangkap terung di Selat Madura (Subani & Barus 1989)

Dengan kategorisasi metode penangkapan ikan yang dirangkum oleh Brandt (2005), penggunaan alat penusuk dari rotan untuk menangkap kekuak di Kepulauan Seribu (Pulau Pari) bisa dikategorikan sebagai metode penangkapan dengan pelukaan (taken by wounding), karena rotan masuk dari mulut ke dalam rongga tubuh kekuak hampir sepanjang ukurannya. Penggunaan alat garu dan garit untuk menangkap terung di Sukolilo belum ada keterangan lebih lanjut, tetapi dari bentuk alat dan cara menggunakan, termasuk metode pengambilan tanpa pelukaan (without wounding).

Menurut Hutabarat (2001), teknik tangkap tradisional harus memenuhi empat syarat yaitu: (1) relatif sederhana dan tanpa mesin atau alat elektronik; (2) tanpa bahan peledak atau senyawa sintetik yang beracun atau membius; (3) sudah

cukup lama diterapkan (minimal 30 tahun); dan (4) dilakukan secara turun-temurun. Teknik tangkap kekuak di Kepulauan Seribu dan Karimunjawa, juga teknik tangkap terung di Selat Madura memenuhi semua syarat tersebut. Terkait sumberdaya atau keanekaragaman hayati lokal, keberadaan teknik-teknik lokal menurut Alcorn (1996) adalah salah satu wujud tindakan konservasi masyarakat asli (lokal), tetapi pendapat ini cuma berlaku jika satu jenis alat tangkap cuma bisa menangkap satu jenis biota saja yang ukuran tubuhnya juga tertentu saja.

Pemanfaatan sumberdaya perikanan laut yang berkelanjutan harus dilakukan dengan pengelolaan perikanan yang bertanggungjawab melalui teknologi berwawasan lingkungan, yang misinya diterjemahkan lagi ke dalam bentuk teknologi ramah lingkungan (Sudirman 2003). Asian Productivity Organization (2002) menyatakan bahwa kriteria perikanan berkelanjutan adalah bagaimana bekerja secara maksimal dan kontinu membantu para nelayan, sehingga dapat melakukan pemanfaatan yang ramah lingkungan, secara teknik bisa dilakukan (efektif) dan secara ekonomi (komersial) menguntungkan, termasuk mendukung penyediaan ketahanan pangan. Menurut Gopankumar (2002), prinsip pengelolaan perikanan berkelanjutan adalah penggunaan sumberdaya perikanan jangka panjang yang memperhatikan karakteristik biologi, ekologi termasuk konservasi dan adanya sharing keuntungan.

Terkait pengelolaan perikanan yang bertanggungjawab, Pasal 7 (7.1.1) dari

Code of Conduct for Responsible Fisheries (FAO 1999) menyebutkan: Negara-negara dan semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan perikanan, melalui suatu kerangka kebijakan hukum dan kelembagaan yang tepat, harus mengadopsi langkah konservasi jangka panjang dan pemanfatan sumberdaya perikanan berkelanjutan. Langkah-langkah konservasi dan pengelolaan pada tingkat lokal, nasional, subregional dan regional, harus didasarkan pada bukti ilmiah terbaik dan tersedia serta dirancang untuk menjamin kelestarian jangka panjang sumberdaya perikanan pada tingkat yang dapat mendukung pencapaian tujuan pemanfaatan optimum, dan mempertahankan ketersediaan untuk generasi kini dan mendatang: pertimbangan-pertimbangan jangka pendek tidak boleh mengabaikan tujuan ini.

Menurut Baskoro (2006) suatu alat tangkap dikatakan ramah lingkungan bila setidak-tidaknya memenuhi sembilan kriteria: (1) selektivitasnya tinggi; (2)

tidak merusak habitat; (3) menghasilkan ikan berkualitas tinggi; (4) tidak membahayakan nelayan; 5) produksi tidak membahayakan konsumen; (6) by-catch rendah; (7) dampak terhadap biodiversitas rendah; (8) tidak membahayakan ikan-ikan yang dilindungi; dan (9) dapat diterima secara sosial. Semua kriteria ini ditentukan lebih rinci dengan empat subkriteria penilaian yang berturut-turut semakin meningkat, namun berlaku pada penangkapan ikan-ikan target umum.

Kriteria tradisional ataupun ramah lingkungan tadi sebenarnya jika dipakai untuk menilai berbagai jenis alat/teknik tangkap kekuak di lapangan (yang diterapkan masyarakat lokal dalam kegiatan penangkapan), kemungkinan belum tentu juga cocok dengan kondisi yang ada, tetapi minimal sebagai acuan pertama dalam menilai, untuk kemudian disempurnakan (dikembangkan) dengan kriteria lain yang lebih sesuai fakta di lapangan. Pola-pola pengelolaan tradisional yang sebagian belum/tidak bisa terbukti secara ilmiah tetapi hasilnya telah terbukti efektif menjamin keberlanjutan pemanfaatan selama puluhan/ratusan tahun, perlu dihargai/dihormati (jika tidak bisa diadopsi) karena hal itu merupakan wujud kepedulian (tangungjawab) masyarakat lokal, yang lebih dulu hadirnya ketimbang hegemoni kaidah ilmiah modern yang kini mendominasi (banyak diadopsi).

Paradigma klasik dalam perikanan tangkap tradisional adalah bagaimana agar pemanfaatan sumberdaya perikanan bisa berkesinambungan (sustainabilitas produksi) sebagai prioritas, barulah kemudian pendapatan yang cukup (cenderung minimalis). Namun, paradigma dalam perikanan tangkap modern prioritasnya adalah bagaimana agar produksi dan keuntungan bisa maksimal, barulah kemudian keberlanjutannya. Pada paradigma perikanan tangkap yang bertanggungjawab CCRF (FAO 1999) ada istilah ‘hasil tangkap optimum’, ‘efektivitas penangkapan’ dan ‘selektivitas alat tangkap’, atau dengan kata lain optimalisasi produksi sekaligus keberlanjutannya, pada sisi ini tampak hal ini lebih mendekati paradigma perikanan tangkap tradisional.

Selama ini orientasi perikanan tangkap tradisional pada prakteknya cenderung ‘kesinambungan hasil yang cukup’ (penggunaan seperlunya demi hari ini dan esok) sebagai prinsip kegiatan produksi sistem ekonomi subsisten (bertahan). Hal itu tergambar dari peribahasa Melayu: “Selagi ada jangan dimakan, sudah tak ada baru dimakan”, “Sedikit - cukup, banyak - habis” atau

“Tinggalkan (sebagian) untuk ular”. Sementara itu, orientasi perikanan tangkap modern pada prakteknya cenderung ‘aji mumpung’ (oportunis) dan ‘dengan modal dan risiko besar, untung jauh lebih besar’, sebagai prinsip kegiatan produksi sistem ekonomi industrial (komersial-kapitalistik). Terkait hal ini Charles (2001) mengklasifikasi penangkap (nelayan) menjadi empat kelompok utama yaitu: subsisten, native (indigenus), komersial, dan rekreasional; untuk yang komersial dibagi lagi menjadi: skala kecil (artisanal) dan skala besar (industrial).