• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

5 ETNOBIOLOGI KEKUAK DI KEPULAUAN BANGKA-BELITUNG

4) Persepsi tentang kekuak versus cacing laut

Di kalangan nelayan setempat, apalagi yang biasa mencari dan memakai umpan, tidak menggolongkan kekuak sebagai cacing, tapi mereka sebut ‘binatang macam usus ayam’. Yang digolongkan cacing adalah pumpun, beragam jenisnya dan biasa dipakai sebagai umpan, seperti pumpun sarang (sarong), pumpun darah dan pumpun lipan (kelipan). Pumpun bisa berukuran lebih panjang daripada kekuak tapi diameternya jauh lebih kecil, meski begitu pumpun darah termasuk predator kekuak. Cara menangkap pumpun cukup dibacok dengan parang, jarang diambil utuh, dan karena cuma untuk umpan itu pula dulu para nelayan Nangkabesar menangkap kekuak dengan serampang biasa, putus pun tidak apa-apa. Ada juga jenis pumpun yang bisa dipancing keluar dengan ampas kelapa-apa.

Di kalangan masyarakat yang biasa mengonsumsi kekuak, dari keluarga nelayan atau bukan, khususnya yang terbiasa dengan makanan laut, menurut pendapat mereka dari cita rasanya, kekuak lebih dekat ke cumi-cumi (sotong) tapi lebih enak, terutama bila digoreng dan direbus dari produk basahnya (segar). Sedangkan pumpun sebagai cacing tidak biasa dimakan, selain menjijikkan juga biasanya tidak akan mati jika tubuhnya putus, melainkan tetap hidup. Menurut pengalaman nelayan yang biasa memakainya sebagai umpan, jika kekuak sudah luka dan putus maka tidak akan bisa hidup lagi, bagian manapun yang dipotong (untuk ini perlu diteliti khusus pada kekuak yang masih utuh).

Menurut pedagang (bos, pengumpul) yang menjual kekuak basah, persepsi kalangan nelayan (penangkap) dan pemakan kekuak bisa berbeda dengan kalangan awam. Itulah sebabnya mengapa cara menjualnya cuma dari pintu ke pintu rumah pelanggan, atau di pasar secara tertutup (bisik-bisik), karena yang berbelanja di pasar adalah semua kalangan yang anggapannya berbeda terhadap

kekuak. Jika dijual terbuka, pedagangnya kuatir dicemooh pedagang lain dan dijauhi para pembeli (konsumen), walaupun sebenarnya belum tentu juga begitu.

Pengetahuan/pemahaman masyarakat setempat tentang kekuak bertingkat dan berbeda tergantung darimana sumbernya. Orang awam yang jadi konsumen tahu dari pengamatan di pasar tempat kekuak kering dijual. Warga pesisir umumnya tahu dari pengamatan di pantai (saat kekuak basah terkumpul) dan di rumah mereka (saat kekuak dijemur/diolah). Para nelayan dan penangkap tahu kekuak langsung dari pengamatan dan pengalaman dalam kegiatan mereka sendiri di lokasi tangkap. Pengetahuan tentang biota ini akan kian jelas jika dikonfirmasi dengan pengamatan biota langsung di habitat dan spesimennya di laboratorium.

Kasus kekuak disini berbeda dengan kasus terung di Jawa Timur terutama Madura dan Sukolilo (Subani dan Barus 1989). Secara ilmiah terung termasuk Filum Sipuncula (biasa disebut cacing kacang, peanut-worm), bentuk fisiknya memang berbeda dengan cacing dan kacang, tapi digolongkan masyarakat sebagai teripang karena mirip. Di kalangan ilmuwan pemakaian istilah cacing untuk Sipuncula pun masih sering diperdebatkan (Pamungkas 2010). Di Bangka-Belitung, sejak ada penjelasan ilmiah bahwa Sipuncula berbeda dengan cacing poliket (Annelida), kian menguatkan pemahaman lokal semula tentang kekuak sebagai bukan cacing, meski fisiknya mirip (memanjang, ramping dan silindris), seperti kasus tembilok yang disebut cacing kapal padahal termasuk Mollusca.

5.3.2.2 Pengamatan biota di lapangan dan laboratorium 1) Pengamatan lapangan

Di pasar

Pengamatan kekuak di pasar hasilnya tidak jauh berbeda dengan pengetahuan pedagang dan konsumen tentang kekuak. Di pasar kekuak dipajang di toko sebagai produk kering, digantung dalam ikatan per 100 ekor (gambar 19), bentuk fisiknya mirip sapu lidi, kwetiau atau lobak asin kering (kurus-pipih-panjang), warna putih kekuning-kenuningan (masih baru) sampai merah kecoklat-coklatan (sudah lama). Ujung kepala meruncing, ujung ekor (dekat ikatan) melonjong, permukaannya kasap (tidak licin). Tampilan produk kering ini apalagi didekatkan ke produk kering lain, tidak memberi kesan jijik bagi pedagang dan terutama konsumen, apalagi aromanya mirip sotong kering.

Gambar 19 Kekuak kering dijual di pasar (digantung bersama produk lain) Tampilan unik dan menarik apalagi sudah jadi simpul pita dan dikemas cukup baik, meskipun lebih sering disebut cacing laut daripada wak-wak/kekuak oleh pedagang, relatif tidak ada pengaruh bagi konsumen lama/baru. Begitupun sebagai campuran masakan lain seperti oseng-oseng, sop, bubur ayam, mie dan lain-lain (khas Tionghoa). Bentuk fisik kekuak di pasar/toko sebagai produk kering siap olah/saji membuang kesan negatifnya bagi konsumen, karena tidak seperti aslinya (sudah dibalik dan kering), mirip produk konsumsi lainnya.

Di rumah

Pengamatan kekuak di rumah (kediaman) warga hampir sama hasilnya dengan pengetahuan nelayan dan penangkap, khususnya penangkap komersial. Kekuak hasil nyucok/nyerampang (telah dibalik) dan baru saja dijemur tergantung pada tali (masih basah), mirip tali-tali sepatu. Sebelum kering warnanya putih, rada amis tapi tidak busuk, alur daging dan teksturnya masih tebal, jika dipegang lengket seperti gula meleleh, sehingga ujung ekornya bisa dijepitkan pada tali atau dilekatkan pada kayu, tidak jatuh sampai kering (Gambar 20). Saat dijemur, air menetes dari ujung lancipnya (kepala), setelah kering akan kekuning-kuningan, tekstur dan alurnya kempes rata, mengeras dan tidak lengket, harum seperti sotong kering. Jika belum kering betul, tidak lengket tapi sedikit berminyak.

Kekuak segar hasil nyucok atau nyerampang yang akan diolah-basah (sebelum dipotong-potong) bentuk fisiknya hampir mirip kekuak kering sebelum dijemur, masih lebih segar, tekstur dan alur daging lebih tebal, berair dan belum lengket. Jika direbus (masak berkuah) jadi kurang empuk (agak alot, sulit dirobek) tapi rasanya mirip sotong tapi lebih manis dan lebih unik. Warga setempat sengaja membalurinya dulu dengan pucuk daun kendu, agar lebih empuk jika dimasak-kuah. Jika digoreng menjadi merah kecoklatan (mudah hangus) dan agak lengket.

Untuk dipanggang kekuak dibiarkan panjang, cukup dililitkan (panggang lilit) atau diselipkan sebagian dengan tangkai (panggang kelup). Jika dipanggang apalagi panggang kelup warna dan tekstur asli masih kelihatan, tapi jadi empuk dan mudah dirobek. Ketika matang, yang dipanggang lilit semua bagiannya jadi kering, tapi yang dipanggang kelup bagian luarnya mirip panggang lilit, bagian dalamnya masih basah, lebih empuk dan lebih manis daripada sotong panggang. Yang terpenting, tampilan panggang lilit masih menyisakan bentuk fisik aslinya (mirip cacing), penyebab konsumen kurang suka (termasuk etnik Tionghoa). Tampilan panggang kelup mengurangi kesan negatif itu dan lebih menarik.

Di pantai

Pengamatan kekuak di pantai ini hasilnya juga tidak jauh berbeda dengan pengetahuan nelayan dan terutama penangkap (komersial). Kekuak hasil tangkapan di laut/pantai saat sebelum dijual kepada tengkulak atau dibawa pulang (dijemur) adalah yang paling segar, khususnya hasil ngerangkang. Kekuak hasil nyucok (Gambar 21) atau nyerampang sebelum dibalik, masih lebih segar daripada yang sudah dibalik atau akan dijemur (lemas). Namun, semua kekuak kering, sudah dibalik dan dibuang jeroannya, yang terlihat cuma bagian dalam atau dagingnya saja.

Kekuak yang baru terkena rangkang (Gambar 22) kondisinya masih segar, kulitnya agak merah muda (ada bercak merah), masih bergerak (meronta) meskipun sudah dibalik dan jeroan dibuang, tekstur dan alur daging masih tebal, kaku (tidak lemas). Morfologinya lebih jelas pada saat baru saja tertangkap dan belum dibalik (di perahu atau di laut). Jika sudah dibalik bagian depannya (atas) akan mengerut dan masuk atau tertarik (terkelup) ke dalam badan.

Gambar 21 Kekuak hasil nyucok baru saja tertangkap (masih utuh)

Pada kekuak yang belum dibuang jeroannya (belum dibalik), bagian depan seperti belalai tadi (introvert) kadang masih tampak belum masuk kedalam. Bagian belakang yang lebih tebal/besar (ekor/posterior) akan membulat-pipih jika sudah kering. Bagian kepala lebih jelas saat belum dibuang jeroannya, apalagi saat terkena rangkang (masih tertancap pada proyektil). Bagian introvert tampak lebih merah (gelap) dan membulat/melonjong seperti berduri, ujungnya agak berjumbai.

Gambar 22 Kekuak segar hasil ngerangkang

(1 utuh; 2 tanpa jeroan; 3 dibalik)

Yang berjumbai tadi adalah tentakel, yang seperti berduri adalah papila, dan bagian belakang yang rata, tebal dan keras adalah ekornya atau posterior. Menurut nelayan setempat bentuk tentakelnya mirip buah rambutan, sedangkan papilanya mirip buah durian atau nangka. Bagian kepala (introvert) ini amat jarang terlihat pada kekuak hasil nyucok apalagi hasil ngerangkang, tapi langsung mengerut (masuk ke dalam badan), jikapun terlihat cuma sebentar (biasanya pada hasil nyucok yang ditangkap dengan hati-hati).

Permukaan luar kulit kekuak licin berkedut (tapi bukan segmen) mirip cacing, tapi bagi nelayan setempat lebih mirip usus ayam, berbeda dengan pumpun yang memang disebut cacing (laut). Jika cacing atau pumpun putus (terpotong) masih bisa hidup, karena itu menangkapnya cukup dibacok (dengan parang). Membacok kekuak dengan parang di Pebuar termasuk pemali, dan sisa bacokannya akan mati.

1

Kekuak yang baru saja ditangkap masih bisa dilihat sisa-sisa gerakannya (Gambar 23), meskipun sudah tidak sempurna lagi karena kondisinya sekarat. Terutama gerak introvert dan badan bagian atas (depan), yaitu membesar-mengecil seperti berdenyut. Jika tidak terlalu parah luka dalam (sodokan cucok) dan sedikit (tanpa) luka tembus, biasanya denyutan itu terjadi sampai ke badan bagian tengah dan belakang. Pergerakan yang juga tampak dari kedut-kedut sekujur badannya, sekilas memang ada kemiripan dengan pergerakan pada cacing.

Gambar 23 Sisa-sisa gerak kekuak yang baru terkena cucok

2) Pengamatan laboratorium