• Tidak ada hasil yang ditemukan

Human Capital

Kemampuan Personal (pendidikan, pengetahuan,

kesehatan, keahlian, dan keadaan terkait lainnya)

Social Capital

Norma/nilai( trust, reci-procity, norma sosial

lainnya), partisipasi dalam jaringan,

proactivity,

Produced Economic Capital

Asset Ekonomi, Sumber daya , dan asset finansial

Natural Capital

Contoh: Sinar Matahari, Cuaca, Air, Flora dan Fauna, Sumber energy,

tanah, dll

berupa pola organisasi sosial yang tumbuh dalam suatu setting kebudayaan masyarakat lokal seperti tatanan sosial yang berhubungan dengan kepercayaan tradisional, pola-pola pembagian kekuasaan dalam masyarakat, pola/sistem produksi dan reproduksi serta nilai-nilai dan norma itu sendiri.

Faktor yang lebih luas yang diklasifikasikan sebagai faktor eksternal seperti pengaruh agama, globalisasi, urbanisasi, kebijakan pemerintah, hukum dan perundang-undangan, ekspansi pendidikan, politik dan pemerintahan serta nilai-nilai universal seperti nilai demokrasi, persamaan, kebebasan, dan keadaban merupakan kumpulan determinan yang saling pengaruh mempengaruhi dengan unsur-unsur pokok modal sosial. Hubungan interaktif antar kotak sejajar pada Gambar 2 akan menentukan komposisi, kualitas, pola-pola transaksi dan tipologi jaringan yang pada akhirnya akan menentukan kualitas hasil/outcome modal social.

Hasil/Dampak Positif Social Capital

- Memperluas Jar. Eksternalitas Positip. - Sikap Toleran dan Inklusif.

- Meningkatnya Ketahanan Sosial dan Komunitas.

- Kemampuan Mengatasi Kerawanan Sosial.

- Memberi Hasil Yang Lebih Optimal Pada Pembangunan.

- Meningkatnya Pengetahuan, Ide Baru dan Kesejahteraan Masyarakat.

Faktor Dari Luar Komunitas

 Agama  Globalisasi  Urbanisasi  Politik, Pemerintahan  Kebijakan Pemerintah  Pendidikan

 Hukum Dan Perundang- Undangan

 Tingkat Kriminalitas

 Nilai-Nilai Universal

Social Capital

Norma dan Nilai: Trust Reciprocity Norma/Nilai Sosial lainnya Partisipasi Dalam Jaringan Proactivity

Faktor Dari Dalam Komunitas:

 Organisasi Sosial Dalam Komunitas

- Kepercayaan Lokal - Pola dan Sistim

Produk-si dan ReprodukProduk-si - Politik Lokal

 Norma dan Nilai-Nilai (Nilai uang, waktu, dan nilai nilai yang ada dalam komunitas)

Group dan Jaringan Sosial (Groups and Social Networks)

 Typology Jaringan (Network Type: Bonding, Bridging dan Linking),

 Struktur Jaringan (Network Structure: Relasi Kekuasaan, Rentang dan Besaran, Orientasi Hubungan Dll)

 Spekturum Transaksi Jaringan dan Kualitas Jaringan (Network Transaction and Network Qualities: Support structure, kualitas interaksi)

Hasil/Dampak Negatif Social Capital

- Eksklusifisme Sosial, Kesukuan, Sektarian - Sikap Intoleran Terhadap Perbedaan dan

Pihak lain

- Hancurnya Kesatuan

- Korupsi Dan Nepotisme Atas nama

Kelompok

- Munculnya Berbagai Hambatan

Pembangunan

- Penentangan Terhadap Perubahan

Gambar 4. Social Capital dan Dinamika Interrelasinya dengan Faktor Internal dan Eksternal Komunitas (Hasbullah 2006)

Budaya Massa

Kebudayaan yang berkembang sangat beraneka ragam, namun dalam perbedaan tersebut pada tiap-tiap kebudayaan dijumpai unsur-unsur serupa, dan oleh Kluckhohn (1953) sebagaimana dikutip oleh Soetarto dan Agusta (2003) disebut sebagai unsur kebudayaan universal. Koentjaraningrat (1994) mengatakan, setiap unsur universal kebudayaan memiliki tiga wujud, yaitu :

1. Wujud idiil (pola bersikap), yaitu kompleks gagasan, dan nilai-nilai ;

2. Wujud aktivitas (pola kelakuan), yaitu suatu kompleks tindakan berpola (terorganisasi, terstruktur) dari manusia dalam masyarakat; dan

3. Wujud fisik (pola sarana/kebendaan) yaitu benda-benda hasil karya manusia.

Kebudayaan massa adalah istilah untuk mass culture, istilah Inggris yang konon berasal dari bahasa Jerman masse dan kultur. Kebudayaan massa sebenarnya merupakan istilah yang mengandung nada mengejek atau merendahkan; istilah ini merupakan pasangan dari high culture, kebudayaan elite atau kebudayaan tinggi. budaya massa merupakan penyusupan atau pengaruh budaya asing (Damono 2004). Ibrahim (2004) mengutip pendapat Siregar, menyebutkan istilah massa (mass culture) sering dipertukarkan dengan budaya populer (popular culture), begitu pula dengan hiburan massa (mass entertainment). Walaupun budaya massa tidak hanya bersifat hiburan, tetapi mencakup pula seluruh produk terpakai atau barang konsumsi (consumer goods) sebagai produk massa yang formatnya terstandarisasi dan penyebaran dan penggunaaanya bersifat luas.

Budaya populer sebenarnya dapat diartikan sebagai bentuk budaya yang dimiliki setiap orang dalam suatu masyarakat tertentu (Fishwick dan Wilson dikutip Liliweri 1991). Budaya ini merupakan pengaruh rangsangan dari luar (termasuk media massa) yang tidak kita sadari namun membuat kita melakukanya. Semua pikiran, perasaan, dan perbuatan kita diarahkan kepada yang disukai dan banyak yang disukai orang. Gejala seperti inilah yang disebut masyarakat sudah memiliki budaya massa. Kita dapat menganalogikan orang yang berbudaya pop itu seolah-olah orang yang sedang demam mode. Budaya massa dapat muncul dalam bentuk mengikuti selera masyarakat beramai-ramai memilih jenis produk tertentu contohnya penggunaan telepon seluler.

Budaya massa adalah budaya populer yang dihasilkan melalui teknik-teknik industrial produksi massa dan dipasarkan untuk mendapat keuntungan kepada khalayak konsumen massa. Budaya massa adalah budaya populer, yang diproduksi

untuk pasar massal (Strinati 2004). Strinati mengutip MacDonald (1957) menyebut budaya massa sebagai suatu kekuatan revolusioner dinamis, yang menghancurkan batasan kuno kelas, tradisi, selera, dan mengaburkan segala macam perbedaan. Budaya massa membaurkan dan mencampuradukan segala sesuatu, menghasilkan apa yang disebut sebagai budaya homogen. Dengan demikian, budaya massa menghancurkan segala nilai, karena penilaian mengimplikasikan adanya diskrimi-nasi/pembedaan.

Sifat-sifat budaya massa adalah sebagai berikut : komersial, menghibur, populer modern, merupakan paket, mempunyai audiens yang luas, dan dapat diperoleh secara demokratis (Hannah Arent dalam Kayam 2004). Meskipun budaya

massa seperti budaya pop dipandang sebagai budaya yang ”dangkal” didalam

wacana kebudayaan, tetapi wacana budaya pop dipengaruhi bukan hanya oleh kepentingan ekonomi dan kapitalisme. Pada umumnya kebudayaan pop dipahami sebagai ekpresi kebudayaan yang memiliki ciri-ciri ringan, sesaat, gampang diterima oleh masyarakat kebanyakan dan kebanyakan masyarakat, massal, dan menghibur. Dikalangan masyarakat tertentu, kebudayaan pop seringkali juga di persepsi sebagai atribut modernitas.

Pada penelitian ini batasan budaya massa lebih terfokus pada pengaruh media massa, masih mengacu beberapa definisi budaya massa yang diungkapkan para ahli di atas. Artinya komunikasi massa sebagai proses dimana komunikator secara profesional menggunakan media massa dalam menyebarluaskan pesan yang melampaui jarak untuk mempengaruhi khalayaknya dalam jumlah banyak. Media massa memiliki kekuatan ampuh dalam mempengaruhi khalayaknya baik dalam jangka waktu pendek maupun panjang. Pengaruh jangka panjang sering diperso-alkan karena mempunyai kekuatan tertentu dalam mempengaruhi kebudayaan khalayak penerima pesan. Pengaruh komunikasi massa terhadap khalayak massa yang merubah menjadi ciri massa inilah yang menciptakan budaya massa.

Menurut Mc.Quail (1972) dalam Liliweri (1991), untuk memahami massa paling tidak diketahui beberapa karakteristiknya, massa mempunyai tingkat yang rendah, tujuan atau objek perhatian yang dikelola, kontrol/organisasi eksternal yang dimanipulatif, dan kadar kesadaran yang rendah. Dari kriteria inilah dapat dibatasi pengertian budaya massa dalam penelitian ini yaitu segala yang dimiliki setiap orang dalam suatu masyarakat. Sebagai yang dimiliki itu tidak harus material tetapi juga imaterial, mungkin sekali dalam bentuk cara berpendapat dan berpikir, cara merasakan sesuatu, sampai pada tindakan yang menggunakan produk tertentu.

Pemilikan unsur budaya itu sebagai akibat dari pesan-pesan media massa yang dimanipulasi oleh sang komunikatornya. Pesan-pesan itu dikelola secara profesional, disebarkan dengan tingkat frekwensi dan jumlah tertentu dengan teknologi media secara besar-besaran kepada sejumlah orang. Hasilnya, mereka yang menerima terdorong oleh sikap yang berkadar kesadaran rendah, kurang mengontrol diri sendiri kemudian menerimanya sebagai suatu perilaku tertentu secara bersama-sama. Akibatnya, terciptalah orang sebagai manusia yang

cende-rung ”hanyut” di dalam apa-apa yang ditawarkan padanya (tontonan, produk, kese-nangan, gaya hidup) tanpa mampu lagi mengembangkan daya kritis dalam dirinya. Dengan kata lain semua pikiran, perasaan dan perbuatan kita diarahkan hanya kepada yang disukai dan yang banyak orang sukai. Sehingga dapat dianalogikan orang yang berbudaya pop itu seolah-olah orang yang sedang demam mode. Meskipun mode yang ditawarkan rendah namun orang mengikutinya karena beramai-ramai. Ghanney (1972) dan Mc Quail (1989) dalam Liliweri (1991) mengungkapkan bahwa peranan media massa (dalam kaitanya dengan budaya massa) berperan untuk mengendalikan dan mengarahkan perilaku khalayak.

Proses budaya massa, Allan O‟Connor, salah seorang pengkaji budaya yang dikutip Ibrahim (2004) menyoroti topik ”popular cultural”, dan menjelaskan bahwa

tema ini mengacu pada ”proses budaya yang berlangsung diantara masyarakat

umumnya (general public). Kalau budaya massa tak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari, sebelum ia menjadi bagian di dalam masyarakat, pasti ada kelompok atau bagian masyarakat (produser budaya) yang merancang atau memproduksinya. Produk budaya itu sampai ke masyarakat, dan produk yang bagaimana pula yang

”dibutuhkan” oleh sejumlah massa yang besar, semua ini tidak mungkin ada tanpa

melibatkan teknologi. Pertumbuhan teknologi adalah hasil peradaban manusia yang penting tidak hanya dalam menghasilkan produk budaya yang dibuat dalam jumlah besar (mass production), tapi berkat teknologi pula produk budaya bisa disebarkan (dissemination). Proses terjadinya budaya massa ini dapat dilihat pada Gambar 5.

Ada tiga tahap perkembangan media massa bila dikaitkan dengan budaya massa, menurut Lowenstein dan Merril dalam Winarni (2003) yaitu (1) Tahap elit,

Produser Budaya Produk Budaya Teknologi Media massa Budaya Massa/ Pop Culture Massa

media massa dikonsumsi oleh golongan elit; (2) Tahap popular, media massa tidak hanya dikonsumsi oleh kalangan elit saja melainkan sudah merambah pada masyarakat berpendidikan dan masyarakat umumnya; dan (3) Tahap spesialisasi, media massa mulai diarahkan pada target audiensnya. Dengan berkembanganya teknologi komunikasi dan penggunaan media, maka akan berdampak pada perkembangan budaya masyarakat yang menerima pesan-pesanya. Untuk itulah banyak ilmuwan komunikasi yang mulai menaruh perhatian pada kajian hubungan antara media massa dengan kebudayaan masyarakat.

Salah satu teori yang membahas hubungan antara media massa dengan masyarakat massa sampai terbentuknya budaya massa adalah teori Triple M. Ada tiga unsur penting dalam teori ini, yaitu masyarakat massa, media massa, dan budaya massa, Menurut Mowlana dalam Liliweri (1991) ketiga unsur tersebut terkait satu dengan yang lain dan membentuk satu segitiga seperti pada Gambar 6.

Budaya massa sebagai setting industri, bersamaan proses industrialisasi, televisi dipandang sebagai pencipta kebudayaan massa. Di satu sisi, budaya massa merupakan konsekuensi dari lahir dan adanya masyarakat industri, disisi lain dengan kemampuanya sebagai “the extension of man”, dan potensialnya melipatgandakan pesan, televisi membawakan dan menyebarluaskan simbol-simbol budaya masyarakat industri yang kemudian menjadi me-massa. Tetapi juga harus diingat, televisi juga dilahirkan dari perut masyarakat industri. Dengan kata lain, kebudayaan massa lebih diartikan sebagai hasil lingkungan masyarakat industri yang telah berkembang. Karena industri biasanya berkembang di kota-kota, maka budaya massa juga terutama mulai ada dan berkembang dikota-kota, lalu merambah ke desa-desa.

Pertanian Lahan Kering

Potensi lahan kering di Indonesia diperkirakan seluas 12,23 juta ha (Puslitbang Tanah 2002) sampai saat ini belum dikelola dan dimanfaatkan secara maksimal, padahal sebagian besar lahan kering tersebut masih dapat ditingkatkan produktivitasnya. Rendahnya tingkat produktivitas ini disamping disebabkan kondisi lahannya memang kurang subur dengan pH masam dan topografi berlereng, juga

Media massa

(Mass Media)

Masyarakat massa (Mass Society)

Budaya massa

(Mass Culture)

disebabkan modal petani yang terbatas, sehingga penggunaan input produksi relatif rendah. Lahan kering di Indonesia menempati lahan tanpa kendala atau pembatas, kesuburan rendah, lahan dengan tanah retak-retak, lahan dengan tanah dangkal, dan lahan perbukitan. Lahan kering dibagi dua golongan, yaitu lahan kering dataran tinggi (lahan pada ketinggian > 700 meter di atas permukaan laut/dpl) dan lahan kering dataran rendah (ketinggian 0 – 700 meter dpl.) (Hidayat et.al. 2000).

Sejak akhir abad 19 perkembangan pertanian lahan kering di Jawa dirasakan meningkat pesat, selama 50 tahun (1875 – 1925) peningkatannya mencapai lebih dari 350 persen. Kegiatan memodifi kasi ekosistem hutan menjadi agroekosistem lahan kering semakin hari menunjukkan gejala semakin mengkhawatirkan. Sejak akhir abad 18 gejala kerusakan agroekosistem lahan kering di Jawa, akibat pembukaan lahan hutan terutama untuk pertanian menetap, telah dirasakan (Lombart 2000). Lahan kering di Jawa hingga saat ini masih dianggap mempunyai potensi besar untuk pembangunan usaha pertanian, walaupun secara teoritis dinilai tidak lagi memenuhi persyaratan ekologis, yaitu pemanfaatan lahan-lahan berkemiringan tinggi (> 30%). Gambaran, relief tanah ditentukan oleh kelerengan dan perbedaan ketinggian. Lahan kering berelief perbukitan jika memiliki kelerengan 15 – 30 dengan perbedaan ketinggian 50 – 300 meter. Proporsi lahan kering berelief perbukitan di Jawa Tengah mencapai 40 persen paling besar, juga di D.I. Yogyakarta 60 persen.

Sekitar 87.376.500 ha dry low land lahan kering di Indonesia terutama banyak dijumpai di Kalimantan dan Sumatera, dan sekitar 30 juta ha dry high land yang tersebar di Irian Jaya, Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera (Puslitbangtanak, 2003). Petani lahan kering umumnya kurang menguasai teknologi pengelolaan lahan yang benar, dan sebagian petani bahkan sama sekali belum menggunakan input komersial. Sedikitnya tenaga kerja terampil, kelembagaan usaha tani yang belum berkembang dan dikuasainya pasar oleh pedagang perantara, merupakan kendala lain (Puslitbang Tanah 2002). Akumulasi dari berbagai kendala tersebut di atas tentunya berpengaruh terhadap rendahnya produktivitas, tingkat penerimaan petani, atau pendapatan petani. Masalah kemiskinan di pedesaan lebih banyak dijumpai di wilayah lahan kering (Puslitbang Sosek 1993). Munculnya gejala kemiskinan tersebut disebabkan antara lain oleh daya dukung alam yang relatif kurang, prasarana sosial ekonomi yang belum memadai, kelembagaan sosial ekonomi yang belum menjangkau masyarakat setempat, serta mutu sumberdaya manusia yang relatif masih rendah. Selama ini pengembangan teknologi di lahan kering – yang merupakan kosentrasi petani miskin – relatif tertinggal, bahkan kurang

diprioritaskan. Hal ini menunjukkan tingkat kehidupan petani lahan kering menuntut perhatian dan komitmen yang besar untuk mengatasinya. Juga dengan dukungan fasilitas umum dan pengembangan informasi dan diseminasi teknologi pertanian sering kali belum dirancang untuk petani miskin. Faktor ini antara lain yang menjadikan mereka semakin terpuruk, dan akhirnya masuk kedalam perangkap kemiskinan.

Kemiskinan dan Rumahtangga Petani

Household resources dapat diartikan sebagai sumber dari kekuatan, potensi,

dan kemampuan untuk mencapai suatu manfaat, atau tujuan. Household resources

dapat dipilah menjadi human resources dan physicalresources. Human resources mencakup time, skill, dan energi dari setiap anggota rumah tangga. Physical

resources mencakup financialresources yang dapat diurutkan dari yang most liquid

sampai dengan less liquid. Sumberdaya yang most liquid berupa cash, sedangkan yang less liquid berupa credit line, saving accounts, saham, surat obligasi, mobil, rumah, dan tanah (Bryant 1990). Sumberdaya mempunyai berbagai jenis, dapat diklasifikasikan berdasarkan jenisnya, segi ekonomi, dan letak/asal (Guhardja et.al. 1992). Berdasarkan jenisnya, sumberdaya diklasifi-kasikan sebagai sumberdaya manusia dan bukan manusia, atau materi. Sumberdaya manusia mempunyai dua cirri, yaitu pribadi/ personal dan interpersonal. Sedangkan sumberdaya materi terdiri dari benda-benda atau barang, jasa, waktu, dan energi. Sumberdaya materi dalam keluarga adalah asset/kekayaan keluarga.

Tabel 2. Jumlah unit rumahtangga pertanian menurut jenis usaha pertanian di Jawa dan luar Jawa (SP 2003)

Jenis usaha Pulau Jawa Luar Pulau Jawa

Unit Persen Unit Persen

Padi 8.457.724 62,27 5.312.376 47,07 Palawija 6.771.722 49,86 4.086.536 36,21 Padi+palawija 10.834.342 79,77 7.424.516 65,78 Hortikultura 4.747.004 34,95 3.710.224 32,87 Perkebunan 1.717.092 12,64 5.226.071 46,31 Total 13.582.578 100,00 11.286.097 100,00 Sumber : BPS (2004)

Hasil Sensus Pertanian (SP) 1983; jumlah rumahtangga pertanian (RTP) 19,5 juta, pada SP 1993 meningkat menjadi 21,5 juta, serta pada SP 2003 lebih dari 24 juta, sehingga selama 20 tahun telah terjadi peningkatan lebih dari 27 persen (Tabel 2). Jumlah RTP sebagian besar (54,6 persen) terkonsentrasi di pulau Jawa, dan sebagian besar merupakan RTP tanaman padi, dan palawija. RTP

menurut golongan luas lahan sebagian besar menguasai lahan relatif sempit, yaitu sebanyak 55,6 persen untuk lahan kurang dari 0,5 hektar, dan untuk pulau Jawa lebih banyak lagi mencapai 74,7 persen (Tabel 3) hasil SP 2003.

Tabel 3. Jumlah RTP menurut golongan luas lahan di Jawa, luar Jawa (SP, 2003)

Luas lahan (m2) Jawa (%) Luar Jawa (%) Total (%)

< 1.000 17,84 5,87 12,34 1.000 – 4.999 56,83 27,31 43,26 5.000 – 9.999 17,23 22,71 19,75 10.000 – 19.999 6,15 25,00 14,82 20.000 – 29.999 1,18 11,14 5,76 > 30.000 0,76 7,97 4,07 Jumlah 100,00 100,00 100,00

Rataan lahan (ha) 0,458 1,382 0,883

Sumber : BPS (2004)

Badan Pusat Statistik menamakan rumahtangga ini sebagai ”rumahtangga petani

gurem”. Jumlah ini meningkat dibandingkan SP 1983 (40,8 persen), atau SP 1993

(48,5 persen). Hal ini berdampak pada pendapatan dan kesejahteraan, dan ada kecenderungan berimplikasi terhadap rumah tangga miskin di daerah pertanian.

Jumlah penduduk miskin di Indonesia selama kurun waktu 1976 – 1996 telah mengalami penurunan secara drastis. Periode 1976 – 1981 turun dari 54,2 juta jiwa (40,1%) menjadi 40,6 juta jiwa (26,9%), pada tahun 1990 turun lagi menjadi 27,2 juta jiwa (15,1%), dan pada tahun 1996 tinggal 22,5 juta jiwa (11,2%). Krisis ekonomi sejak pertengahan tahun 1997 mengakibatkan penduduk miskin melonjak kembali, tahun 1998 menjadi 49,5 juta jiwa (24,23%), dan sedikit menurun pada tahun 1999 menjadi 47,9 juta jiwa (23,4%), tahun 2000 menjadi 37,3 juta jiwa (18,9%), tahun 2001 menjadi 37,1 juta jiwa (18,4%), tahun 2002 menjadi 38,4 juta jiwa (18,2%), dan tahun 2003 menjadi 37,3 juta jiwa (17,4%) (Menkesra 2004). Penanggulangan kemiskinan merupakan salah satu kebijakan utama yang perlu diimplementasikan.

Penyebab kemiskinan dapat dibedakan menjadi kemiskinan natural –

kultural dan struktural. Kemiskinan natural adalah kemiskinan karena faktor alamiah, seperti sakit kronis, lanjut usia. Kemiskinan kultural disebabkan faktor budaya, seperti malas, tidak disiplin, kurang menghargai waktu, boros, dan kurang memiliki rasa malu. Kemiskinan struktural disebabkan faktor buatan manusia, seperti distribusi aset produktif yang tidak merata, kebijaksanaan ekonomi yang diskriminatif, korupsi dan kolusi yang merajalela, atau tatanan perekonomian yang cenderung menguntungkan kelompok tertentu. Jumlah keluarga miskin yang mencapai di atas 9 juta dengan berbagai program penanggulangan.