• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Struktural Fungsional

Teori struktural fungsional berlandaskan empat konsep, yaitu sistem, struktur sosial, fungsi, dan keseimbangan. Tidak ada individu dan sistem yang berfungsi secara independen, tetapi dipengaruhi atau pada gilirannya mempengaruhi individu atau, sistem lain (Winton 1995), dan mengakui adanya keragaman dalam kehidupan sosial, yang merupakan sumber utama struktur masyarakat. Konsep struktural fungsional : (a) Setiap subsistem, elemen, atau individu dalam sebuah sistem mempunyai peran dan kontribusi kepada sebuah sistem secara keseluruhan; (b) Adanya saling keter-kaitan antar subsistem, elemen, atau individu dalam sebuah sistem (interdepedensi); (c) keterkaitan antar subsistem, elemen, atau individu dicapai melalui konsensus dari pada konflik; (d) untuk mencapai keseimbangan diperlukan keteraturan dan integrasi antar subsistem, elemen, atau individu; dan (e) untuk mencapai keseimbangan baru diperlukan perubahan secara evolusioner (Megawangi 2005).

Penganut teori ini melihat sistem sosial sebagai sistem yang harmonis, berkelanjutan, dan senantiasa menuju keseimbangan. Struktur sosial meliputi bagian dari sistem, sedangkan konsep keseimbangan mengacu kepada konsep homeostasis suatu organisme, yaitu kemampuan suatu sistem untuk memelihara stabilitas agar kelangsungan sistem tetap terjaga (Winton 1995). Konsep struktur sosial meliputi bagian-bagian dari sistem dengan cara kerja pada setiap bagian yang terorganisir. Keseimbangan sistem yang stabil dalam keluarga, dan kestabilan sistem sosial dalam masyarakat adalah penekanan pada pendekatan struktural fungsional. Prasyarat dalam teori struktural fungsional menjadikan keharusan yang harus ada agar keseimbangan sistem tercapai, baik pada tingkat masyarakat maupun keluarga.

Keseimbangan akan menciptakan sebuah sistem sosial yang tertib (social

order), selanjutnya dapat mempengaruhi ketertiban dalam sistem sosial yang lebih

besar lagi. Adanya struktur atau strata dalam keluarga (sebagai sistem kesatuan), dimana masing-masing individu mengetahui dimana posisinya, dan patuh pada sistem nilai yang melandasi struktur dapat menciptakan ketertiban sosial. Ada tiga elemen utama dalam struktur internal keluarga (Megawangi 2005) :

1. Berdasarkan status sosial, keluarga nuklir biasanya distruktur oleh tiga struktur utama, yaitu bapak/suami (pencari nafkah), ibu/istri (ibu rumah tangga), dan

anak-anak (balita, sekolah, remaja, dewasa); ada hubungan timbal balik antar individu dengan status sosial berbeda.

2. Konsep peran sosial menggambarkan peran masing-masing individu atau kelompok menurut status sosialnya dalam sebuah sistem. Ketidakseimbangan antara peran instrumental (oleh suami/bapak) dan ekspresif (oleh istri/ibu) dalam keluarga akan membuat keluarga tidak seimbang. Diferensiasi peran diharapkan dapat menuju suatu sistem keseimbangan.

3. Norma sosial adalah sebuah peraturan yang menggambarkan bagaimana sebaiknya seseorang bertindak atau bertingkah laku dalam kehidupan sosialnya. Norma sosial ini berasal dari dalam masyarakat itu sendiri yang merupakan bagian dari kebudayaan, yaitu pandangan hidup masyarakat secara umum. Setiap keluarga dapat mempunyai norma sosial yang spesifik untuk keluarga tersebut, misalnya norma sosial dalam hal pembagian tugas dalam rumah tangga, yang merupakan bagian dari struktur keluarga untuk mengatur tingkah laku setiap anggo ta dalam keluarga.

Struktural Fungsional menurut Talcott Parson (Hamilton 1983), ekonomi (adaptasi, A) merupakan salah satu dari beberapa sub-sistem masyarakat, yaitu pencapaian tujuan (G), integrasi (I) untuk mencapai keseimbangan, dan pola pemelihraan dan manajemen (L), mempunyai satu sistem nilai dan kepercayaan. Institusi khusus yang berfungsi dalam pemeliharaan laten adalah agama, ilmu pengetahuan, keluarga dan pendidikan. Menurut Parsons, ekonomi merupakan subsistem dari sistem sosial yang tidak dapat mencukupi diri sendiri dalam cara persaingan bebas (laissez faire), tetapi memiliki ketergantungan pada tiga subsistem lainnya, G, I dan L. Berkenaan dengan setting tujuan politik (G), integrasi (I) dari sub sistem melalui hukum, norma dan peraturan lainnya untuk membangun sistem nilai yang dilembagaan secara kebudayaan (L). Pertukaran input - output Person disederhanakan dalam bentuk saling hubungan antara ekonomi (A) dan masing-masing dari tiga sub sistem lainnya G, I dan L dalam bentuk pertanyaan : (a) bagaimana tujuan kehidupan ekonomi disusun ?, melibatkan interaksi antara perca-paian tujuan subsistem dari ekonomi (Ag) dan masyarakat yang lebih luas; (b) bagaimana sumberdaya fisik dan finansial harus berhubungan dengan kehidupan ekonomi yang diperoleh ?, melibatkan interaksi antara adaptasi subsistem dari ekonomi (A) dan masyarakat yang lebih luas; (c) Bagaimana nilai normatif diarahkan pada fungsional dari pembangunan ekonomi ?, melibatkan interaksi antara integrasi subsistem ekonomi (Ai) dan masyarakat yang lebih luas; dan (d) Bagaimana nilai kelembagaan dari ekonomi dapat dikembangkan ?, melibatkan

interaksi antara pola-pola pemeliharaan subsistem ekonomi (Al) dan masyarakat yang lebih luas.

Prasyarat struktural yang harus dipenuhi oleh keluarga agar dapat berfungsi (Levy dalam Megawangi 2005), meliputi : (1) diferensiasi peranan, yaitu alokasi peran/tugas dan aktivitas yang harus dilakukan dalam keluarga, (2) alokasi solidaritas yang menyangkut distribusi relasi antar anggota keluarga, (3) alokasi ekonomi yang menyangkut distribusi barang dan jasa antar anggota keluarga untuk mencapai tujuan keluarga, (4) alokasi politik yang menyangkut distribusi kekuasaan dalam keluarga, dan (5) alokasi integrasi dan ekspresi yaitu meliputi cara/teknik sosialisasi internalisasi maupun pelestarian nilai-nilai maupun perilaku pada setiap anggota keluarga dalam memenuhi tuntutan norma-norma yang berlaku.

Perilaku dan Sikap

Teori yang mendasari strategi coping pada kajian ini adalah teori perilaku. Perilaku merupakan seperangkat perbuatan, tindakan seseorang dalam melakukan respon terhadap sesuatu dan kemudian dijadikan kebiasaan karena adanya nilai yang diyakini. Perilaku manusia pada dasarnya terdiri dari komponen pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), dan keterampilan (psikomotor) atau tindakan. Ahmadi (1999); Azwar (2003), berpendapat tingkah laku adalah fungsi dari pada sikap; tindakan, atau tingkah laku merupakan kebiasaan bertindak (Arif, 1995). Sikap adalah tendensi atau kecenderungan awal yang dipelajari yang mempengaruhi tingkah laku, berubah dalam hal intensitasnya, dan biasanya konsisten sepanjang waktu dalam situasi yang sama, dan komposisinya hampir selalu komplek. Sikap itu berbasis pada pendapat, sehingga pada masyarakat timbul hirarkhi sikap. Terbentuknya suatu sikap banyak dipengaruhi perangsang oleh lingkungan sosial dan kebudayaan. Faktor dalam pribadi manusia (intern), dan interaksi sosial diluar kelompok (ekstern) sampai melalui alat-alat komunikasi (cetak, audio dan audio visual), merupakan faktor-faktor yang menyebabkan perubahan sikap. Tingkah laku adalah fungsi dari pada sikap (Ahmadi, 1999; Azwar, 2003). Sikap dan tingkah laku ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.

Agar sikap dan tindakan konsisten, terdapat satu faktor psikologis lain yang harus ada, yaitu niat, dan menurut teori Fishbein dan Azjen (1975), tanpa ada niat suatu perbuatan tidak akan muncul, meskipun sikapnya sangat kuat. Sikap dan perilaku akan konsisten apabila ada kondisi : (a) spesifikasi sikap dan perilaku, (b) relevansi sikap terhadap perilaku, (c) tekanan normatif, dan (d) pengalaman. Hubungan pengetahuan, sikap, dan perilaku dalam kaitannya dengan suatu

kegiatan tidak dapat dipisahkan (Fishbein dan Ajzen, 1976). Sikap dan tindakan mereka akan beradaptasi terhadap perilaku dan budaya yang berlaku pada waktu atau periode mendatang, namun perlu kajian bersifat longitudinal. Perubahan sikap tergantung dari kebutuhan, dan menurut teori fungsional Kazt (1960), Smith, Buner, dan White (1954) dalam Gunawardani (2002), sikap memiliki suatu fungsi untuk menghadapi dunia luar, agar individu senantiasa menyesuaikan dengan lingkungan, dan menurut kebutuhan, sehingga perubahan sikap dan perilaku akan terjadi terus-menerus. Pengetahuan sebagai domain yang sangat penting untuk tindakan seseorang, dan perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada yang tidak didasari pengetahuan, senada Notoatmodjo (2003). Strategi

coping yang dilakukan keluarga petani akan sangat menentukan keberlangsungan

fungsi keluarga

Teori Pilihan Rasional

Strategi coping dianggap sebagai ‟turunan‟ secara langsung prinsip rasionalitas. Konsep Collemen pendukung teori pilihan rasional yang memperhatikan setting sosial tempat tindakan sosial terjadi di luar individu. Menurut Colemen, pertukaran di dalam kehidupan ekonomi tidak selalu tetap, pertukaran berada dalam suatu setting di mana terjadi kompetisi untuk mendapatkan sumberdaya antara aktor-aktor (Abell 2000). Konsep utama Colemen adalah aktor dan sumberdaya, berinteraksi dan menentukan organisasi sosial berkisar sekitar transaksi antara siapa yang memiliki dan siapa yang mencari sumberdaya (Turner, 1998). Langkah awal yang penting dalam teori pilihan rasional adalah distribusi kontrol sumberdaya antara aktor. Teori pilihan rasional harus digabungkan dengan teori lain agar dapat digunakan dalam teori-teori sosiologi (Abell 2000). Menurut Collemen (1994), penam bahan kepuasan dengan meningkatkan kendali, modal sosial, hak sosial yang asli dan institusi. Keempat elemen pilihan rasional menunjukan perhatian Collemen pada faktor di luar individu dan keuntungan personal sebagai tujuan tindakan. Faktor kritis teori pilihan rasional neoklasik Weber terlalu menekankan pada individu dan terlalu minimalis (Abell 2000), terlalu terfokus pada pilihan rasional atau semua tindakan manusia harus rasional.

Teori pilihan rasional Collemen menjelaskan tindakan ekonomi manusia menggunakan alat-alat analisis yang mencakup dimensi yg lebih luas dari biasanya yang digunakan dalam tradisi neoklasik Weber. Teori ini lebih berkonsentrasi pada aspek sosial dibandingkan keluaran individual dari tingkah laku individual. Pertanyaan kritis kepada penganut tradisional neoklasik meningkat oleh teori ini,

memberi asumsi bahwa tiap individu berbuat rasional ekonomi, akankah keluaran

agregat selalu „rasional‟ atau dapat diinginkan ? Colemen (1994) dalam

Dharmawan (2001), menegaskan bahwa inti teori ini dibangun oleh asumsi bahwa rasionalitas individu memiliki roda preferensi kepuasan dan maksimalisasi utilitas. namun, penegasan teori ini adalah keberadaan organisasi sosial dan lembaga sosial – elemen yg mengarahkan pengaturan tingkah laku manusia, tindakan ekonomi dan hubungan sosial dalam pencapaian kebutuhan keinginan. Elemen ini, yg merupakan konsentrasi teori pilihan rasional, kurang mendapatkan perhatian dari orientasi ekonomik neoklasik. Menurut Colemen, terdapat 4 elemen yg membuat substansi teori pilihan rasional berbeda dari paradigma neoklasik, yaitu :

1. Pencapaian utilitas dengan pemberian kontrol. Menurut asumsi neoklasik,

individu ikut dalam pertukaran jika kontrol diperoleh atas sesuatu yg disukainya apakah akan diberikan. Teori pilihan rasional mengatakan bahwa terdapat kemungkinan individu memperoleh utilitas dengan memberikan kontrol atas sumberdaya secara uniteral. Contohnya, seseorang membiarkan dirinya dipengaruhi oleh orang lain, atau lebih percaya kepada keputusan/pengadilan lain dibandingkan dikotanya sendiri. Tindakan ini dilakukan hanya jika pelaku percaya akan keuntungan pada seseorang yang akan memberikan lebih besar jika dia tidak melakukan tindakan.

2. Kapital (modal) social, konsep ini merujuk pada berbagai aspek organisasi

sosialinformal yg membentuk sebuah sumberdaya produktif untuk satu pelaku

atau lebih. Individu-individu mungkin secara rasional berinvestasi dalam kapital sosial melalui bentuk persahabatan dan perkenalan jika terdapat harapan jika dengan berinvestasi, seseorang akan banyak memperoleh efek keuntungan dimasa yg akan datang. Kapital sosial ini akan sangat berguna, namun, tergantung sifat struktur sosial, khususnya dalam kedekatan dengan jaringan sosial, keberlanjutan dari relasi sosial, dan relasi multiplex. Ide relasi multiplex mungkin mensejajarkan dengan pemahaman akan keberadaan hubungan erat sebagai akibat dari banyaknya kontak atau koneksi sosio-ekonomik antar dindividu yg berinteraksi dalam beragam bidang dan aktivitas.

3. Asal hak-hak sosial dan distribusinya. Tindakan rasionalitas dalam berbagai

latar belakang sangat tergantung pada distribusi hak-hak. Dalam kerangka kerja ini, seseorang dapat memakai tradisi konflik yg dikembangkan oleh pemikiran pelajar marxian sebagai alat analisis untuk membantu visualisasi kesetaraan alokasi sumberdaya dan distribusi antara individu yg berinteraksi satu sama lain dalam lingkup sosio-ekonomik.

4. Kelembagaan. Colemen mengkritik ekonomik neoklasik sebagai „tanpa

lembaga‟ dimana pasar sempurna adalah satu-satunya lembaga yg diakui oleh

kerangka kerja pemikiran neoklasik. Dalam arah yg berbeda tetapi masih satu garis dengan argumen ini, Granovetter menyatakan bahwa lembaga ekonomi tidak secara otomatis timbul sebagai respon dari kebutuhan ekonomi. Lembaga ekonomi ini di bangun oleh individu-individu yg merupakan obyek tindakan yg keduanya difasilitasi dan didukung oleh struktur (penyusunan lembaga) dan sumberdaya yg tersedia dalam jaringan sosial di dalamnya.

Hal yang paling sentral dalam teori ini adalah peranan lembaga yg mengatur tindakan ekonomi manusia dan relasi sosial. Perkembangan konsep kapital sosial dalam tradisi dan jaringan sosial informal telah dipandang sebagai sebuah diskursus baru dan penting dalam sosiologi dan ekonomi. Penggunaan

bukti ditemukan dlam studi Geertz pada ‟assosiasi kredit rotasional informal‟

(Colemen 1992 dalam Dharmawan, 2001), menunjukkan nilai positif dari kapital sosial untuk perkembangan ekonomi dalam masyarakat tadisional atau negara berkembang. Dalam studi ini, penegakan sosial tercermin dalam aturan dan norma yg memelihara organisasi asosiasi dapat melayani kondisi fungsi kebijaksanaan penggunaan dan pembayaran ulang kredit. dengan mengerjakan ini, aturan dan norma ditambahkan untuk efisiensi dan efektivitas penggunaan skema kredit dan menyumbang perbaikan standar hidup pemakai kredit.

Pengakuan bias individual dan kekurangan rasa relasi–sosial yg mendalam dalam tradisi neoklasik sekarang telah mengarahkan pelajar ekonomik untuk membuat sebuah modifikasi dalam formulasi konsep ekonomi baru. Dengan menggunakan konsep kapital-sosial dan sitasi Ben-Porath dalam Colemen (1992),

menunjukkan ide „ koneksi-K‟ sebagai sebuah realita sosial penting yg secara nyata

mempengaruhi tidakan ekonomik manusia dalam bidang ekonomi riil. Menurut ide

ini, konsep „koneksi-F‟ yang disusun oleh interrelasi komplek antara keluarga, teman

dan perusahaan mampu secara nyata mempengaruhi pertukaran aktivitas. Contoh lain, studi Lin dalam Colemen (1992) dalam Dharmawan (2001) menunjukkan bagaimana orang menggunakan sumberdaya sosial sebagai sebuah alat untuk pemuasan tujuan ekonomi, khususnya dalam pencapaian perbaikan pekerjaan/jabatan. Dapat disimpulkan, teori pilihan rasional menyarankan lembaga sosial, aspek yg selama ini dilupakan tetapi secara sustansial mempengaruhi tindakan ekonomi manusia, harus dipertimbangkan secara integral dalam pemikiran ekonomi. Pertimbangan ini, asumsi dasar ekonomik neoklasik- usaha individu untuk memaksimalkan utility seringkali dimodifikasi. Semua yg telah disebutkan di atas

telah masuk akal ke agar pemikiran pilihan rasional dipertimbangkan lebih realistik dan sebuah kerangka kerja yg lebih relevan menyediakan basis yg lebih baik ke analisis dari studi.

Keluarga

Keluarga adalah suatu kelompok sosial yang memiliki karakteristik-karakteristik mempunyai tempat tinggal bersama, mengatur ekonomi bersama, melakukan reproduksi, termasuk didalamnya orang-orang dewasa dari kedua jenis kelamin, paling sedikit dua orang yang memelihara hubungan seksual yang dibenarkan secara sosial, dan memiliki satu atau lebuh anak, baik anak sendiri maupun mengadopsi, pasangan seksual yang hidup bersama sebagai suami istri (Murdock dalam Hutter 1981). Keluarga yaitu suatu kelompok sosial yang memiliki karakteristik hubungan kekeluargaan (darah dan perkawinan) diantara anggotanya (Zastrow 2000), ia mengembangkan pengertian keluarga menjadi sekelompok orang yang dihubungkan oleh perkawinan, keturunan, atau adopsi, tinggal bersama-sama dalam rumah tangga yang bersama-sama.

Defenisi keluarga tersebut di atas mengabaikan tempat tinggal bersama dan pengaturan ekonomi yang bersama. Hal ini cukup beralasan karena dalam beberapa kasus ada keluarga-keluarga yang tidak tinggal bersama untuk beberapa waktu dan mengatur ekonomi sendiri-sendiri. Menurut Mattessich & Hill dalam

Zeitlin et al, (1995), keluarga merupakan kelompok-kelompok yang dihubungkan oleh pertalian kekerabatan, tempat tinggal, atau hubungan-hubungan emosional yang dekat dan mereka memperlihatkan empat sistemik yang berorientasi ke masa depan, yakni interdependensi/saling ketergantungan yang intim, memelihara batas-batas yang selektif, kemampuan menyesuaikan diri terhadap perubahan dan memelihara identitas sepanjang waktu, serta melaksanakan tugas-tugas keluarga.

Hal penting dalam konteks penelitian ini adalah kemampuan keluarga dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan (adaptasi) yang menjadi salah satu sistemik berorientasi ke depan. Kemampuan menyesuaikan diri terhadap perubahan menentukan eksistensi suatu keluarga, sebab merupakan suatu ketahanan yang diperlukan agar keluarga tetap dapat bertahan hidup. Perubahan itu sendiri akan senantiasa terjadi selama hidup. Peristiwa kehidupan (live events) akan senantiasa dihadapi oleh setiap keluarga sepanjang hidup. Keluarga yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan peristiwa perubahan akan menemukan bayak masalah.

Ketahanan Fisik Keluarga

Ketahanan keluarga merupakan kondisi dinamik suatu keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan, serta mengandung kemampuan fisik–material dan psikis mental spiritual guna hidup mandiri, dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dan meningkatkan kesejahteraan lahir dan bathin, definisi UU no. 10 tahun 1992 (BKKBN, 1992). Karakteristik atau komponen ketahanan keluarga antara lain dorongan berprestasi, komitmen terhadap keluarga, komunikasi, orientasi agama, hubungan sosial, penghargaan, peran yang jelas dalam keluarga, dan waktu kebersamaan. Perbandingan unsur, karakteristik atau komponen ketahanan keluarga dari berbagai sumber disajikan oleh Sunarti (2001) pada Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Unsur Ketahanan Keluarga

Hill (1971) Scanzoni (1971) Stinnett & Defrain (1985) Schumm (1986)

1. Ikatan kekerabat-an ykekerabat-ang kuat, 2. Orientasi kerja yang kuat, 3. Kemampuan adaptasi terhadap peran keluarga, 4. Orientasi prestasi yang kuat, 5. Orientasi agama yang kuat 1. Memiliki keuntungan sosial ekonomi, 2. Status sosial, 3. Kemampuan menye-diakan sumberdaya pendidikan, sosial dan ekonomi bagi anak, 4. Peran model

pendidikan anak dalam masyarakat, 5. Kualitas hubungan

suami – istri,

6. Tingkat interaksi anta-ra oanta-rang tua dan anak

1. Komitmen, 2. Waktu kebersamaan, 3. Apresiasi, 4. Penanggulangan krisis, 5. Kesejahteraan spiritual, 6. Komunikasi 1. Waktu kebersa-maan – menye-nangkan & suportif, 2. Perspektif positif, 3. Komitmen, 4. Harga diri, 5. Keterbukaan dan keahlian komunikasi, 6. Sistem nilai

Komponen Ketahanan Keluarga

Parson Krysan & Zill (1990); Achord et.al (1986), McCubbin et.al (1997)

1. Adaptasi, 2. Penetapan tujuan, 3. Integrasi, 4. Latency 1. Komunikasi, 2. Dorongan berprestasi, 3. Komitmen keluarga, 4. Orientasi agama, 5. Hubungan sosial, 6. Kemampuan adaptasi, 7. Penghargaan, 8. Peran jelas, 9. Waktu kebersamaan 1. Komunikasi, 2. Kesejahteraan, 3. Komitmen, 4. Penghargaan, 5. Waktu keber-samaan, 6. Pengelolaan masalah 1. Komunikasi, 2. Penghargaan, 3. Kesadaran, 4. Keunggulan, 5. Kesehatan dalam Sunarti (2001)

Ukuran ketahanan keluarga melalui pendekatan subsistem input, proses, dan out put dengan uji validitas konstruk menggunakan analisis faktor (eksploratori

dan confirmatory) menghasilkan tiga peubah laten, yaitu ketahanan fisik, ketahanan

sosial, dan ketahanan psikologis (Sunarti, 2001). Ketahanan fisik meliputi sumberdaya, masalah keluarga, penanggulangan masalah keluarga, dan kesejah-teraan fisik (Tabel 2). Ketahanan sosial meliputi sumberdaya fisik, masalah

keluarga, penanggulangan masalah keluarga, dan kesejahteraan sosial bersifat non fisik. Ketahanan psikologis meliputi penanggulangan masalah keluarga bersifat non fisik dan kesejahteraan psikologis keluarga. Komponen proses, seperti pengelolaan masalah, adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, dan latency, serta komponen kesejahteraan (ekonomi, sosial, psikologi) sebagai tujuan keluarga.

Tabel 2. Indikator, item, subitem faktor ketahanan fisik keluarga

Indikator Item Subitem

Sumberdaya Fisik

- Pendapatan - Asset keluarga

- Pendapatan/kapita/bulan

- Kepemilikan rumah, tanah/sawah, kendaraan Masalah Keluarga Fisik - Ekonomi - Sakit - Kehilangan

- Kesulitan memenuhi pangan, pengobatan, biaya pendidikan, keuangan

- Gangguan kesehatan, suami/anak sakit, celaka - Suami kehilangan pekerjaan

Penanggu- langan Masalah Keluarga Fisik - Langsung - Dukungan keluarga - Dukungan sosial

- Penaggulangan kesulitan pangan, ekonomi, pengobatan

- Peran keluarga besar meringankan pekerjaan RT, membantu kesulitan ekonomi

- Peran tetangga/lingkungan meringankan peker- jaan RT, membantu kesulitan ekonomi

Kesejahtera an Fisik - Pangan - Sandang - Papan - Kesehatan - Pendidikan

- Frekwensi makan utama, lengkap dalam sehari - Frek., jumlah baju yang dibeli dalam setahun - Luas rumah/kapita, kepemilikan k. mandi, WC - Tempat keluarga berobat jika sakit, perawatan - Kemampuan menyekolahkan anak usia sekolah

Keberfungsian Keluarga

Ogburn dalam Zastrow (2000) mengidentifikasi tujuh fungsi keluarga, yaitu: 1) fungsi ekonomi/produksi, 2) fungsi perlindungan, 3) fungsi pendidikan, 4) fungsi sebagai pusat kegiatan religius, 5) fungsi rekreasional, 6) fungsi pengakuan terhadap status, dan 7) fungsi afeksional. Menurut Ogburn pada masyarakat Amerika fungsi-fungsi keluarga tersebut telah berubah sejak zaman industrialisasi dimana teknologi telah mengalami kemajuan yang pesat. Pada sebagian besar keluarga, sumberdaya finansial sekarang di peroleh dari luar rumah. Keluarga tidak lagi berproduksi sehingga memiliki fungsi ekonomi. Fungsi perlindungan juga telah hilang dan sekarang digantikan oleh institusi-institusi seperti polisi, rumah sakit, perusahaan asuransi, dan klinik-klinik perawatan. Fungsi pendidikanpun menurun tajam. Sekolah, day-care centres, dan head start programmers mengambil alih fungsi ini dari keluarga. Sekarang keluarga tidak lagi menjadi pusat kegiatan religius. Institusi-institusi agama dan tempat-tempat ibadah menggantikan fungsi ini. Fungsi rekreasional juga sudah berkurang dengan tajam. Setiap anggota keluarga

pada saat ini lebih suka mengikuti kelompok-kelompok rekreasional di luar rumah. Fungsi pengakuan status juga sudah berkurang. Sekarang, individu-individu menerima pengakuan melalui prestasi mereka sendiri dalam organisasi-organisasi di luar keluarga, seperti di sekolah, tempat kerja, dan di kelompok sosial serta religius. Akan tetapi, keluarga masih tetap memiliki fungsi afeksional. Anggota keluarga memperoleh pemuasan secara emosional dan sosial masih dari keluarga. Banyak kebutuhan akan persahabatan juga dapat dipenuhi dalam keluarga. Pengamatan Ogburn tidak mustahil terjadi pada masyarakat industrialisasi lainya, termasuk pada masyarakat yang sedang mengalami transisi, seperti Indonesia, dan perubahan fungsi keluarga dapat terjadi.

Keluarga sebagai sebuah sistem sosial mempunyai tugas atau fungsi agar sistem tersebut berjalan. Menurut Megawangi (1999), tugas tersebut berkaitan dengan pencapaian tujuan, integrasi dan solidaritas, serta pola kesinambungan atau pemeliharaan keluarga. Fungsi merupakan konsekuensi dari perilaku seseorang atau aksi kelompok. Konsekuensi aksi yang menguntungkan bagi sistem disebut dengan fungsional, sedangkan aksi yang mendatangkan kerugian bagi sistem disebut disfungsional (Winton 1995). Fungsi utama keluarga yang diuraikan Resolusi Majelis Umum PBB adalah : “keluarga sebagai wahana untuk mendidik,

mengasuh dan sosialisasi anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan sosial yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera”

(Megawangi 1994). Agar fungsi keluarga berada pada kondisi optimal, perlu peningkatan fungsionalisasi dan struktur yang jelas, yaitu suatu rangkaian peran dimana sistem sosial dibangun.

Secara tradisional keluarga mempunyai beberapa fungsi, baik secara personal maupun sosial. Fungsi sosial nampak dari keikutsertaanya dalam mengabdikan norma-norma sosial melalui interaksi anak dan orangtuanya dalam satu keluarga (Zulyadi 1992). Menurut Suharjo (1989) fungsi keluarga digolongkan menjadi fungsi biologis, fungsi sosial fsikologis, dan fungsi edukatif. Keluarga di dalam kehidupan masyarakat mempunyai berbagai fungsi sebagai mekanisme procreation yaitu mengadakan keturunan manusia yang selanjutnya melestarikan eksistensi