• Tidak ada hasil yang ditemukan

dalam Tinjauan Sejarah dan Aktualisasinya di Abad

Dalam dokumen KAUM MUDA DAN BUDAYA MARITIM NUSANTARA (1) (Halaman 128-148)

Rifai Nuruddin

berjiwa penjelajah. Kondisi itulah yang menyebabkan Nusantara memiliki kebudayaan beragam, sebagai akibat dari pengaruh berbagai kebudayaan asing yang dijelajahi maupun yang datang ke Nusantara. Kondisi perubahan kebudayaan itulah yang kita sebut sebagai bentuk kelenturan budaya, karena menurut Francisia Seda (dalam Thung Ju Lan, 2011: 143) hampir semua budaya bersifat hibrid dan cair (fluid). Arif Setiawan dalam makalahnya yang berjudul “Sosiologi Agama: Interelasi Agama dengan Budaya” mengartikan fluiditas atau kelenturan budaya sebagai pelenturan suatu budaya ketika ia masuk pada wilayah kebudayaan lain. Kelenturan budaya itu merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa dihindari, karena memang seperti itulah hakikat dari kebudayaan, selalu memengaruhi dan dipengaruhi oleh budaya yang lainnya, sehingga tidak selalu stagnan.

Kelenturan budaya dalam konteks maritim yang dibahas sekarang ini adalah mengenai perubahan orientasi pembangunan serta aspek kehidupan sosial. Fenomena kelenturan budaya maritim berkaitan dengan orientasi pembangunan berupa perubahan arah kebijakan dari masa ke masa (masa sebelum kolonial/zaman kerajaan, masa kolonial, dan masa pasca-kolonial/setelah Indonesia merdeka), sedangkan dalam aspek kehidupan sosial berupa perubahan kebudayaan dan tatanan masyarakat.

Tinjauan sejarah sebagai cerminan budaya maritim Nusantara masa lampau dapat kita jadikan sebagai pedoman untuk melangkah menuju tujuan Indonesia ke depan, yakni Indonesia sebagai “Poros Maritim Dunia”. Aktualisasi budaya maritim Nusantara abad XXI sekarang ini menjadi penting untuk mencapai tujuan tersebut. Aktualisasi itu digerakkan dengan menyesuaikan kondisi yang ada sekarang, utamanya berupa wawasan maritim sebagai salah satu bagian dari Wawasan Nusantara.

Tinjauan Sejarah

Sejarah mencatat bahwa jauh sebelum Indonesia merdeka, sudah terdapat Kerajaan Majapahit yang wilayah kekuasaannya

meliputi Benua Maritim Nusantara (mencakup hampir seluruh region Asia Tenggara). Dari wilayahnya yang luas dan tersebar di ribuan pulau tersebut membuat masyarakatnya begitu heterogen, budaya dan bahasanya. Meskipun begitu mereka tetap satu kesatuan, dalam rumpun Bahasa Austronesia sebagai lingua franca. Keanekaragaman tersebut sesuai dengan konsepsi Bhinneka Tunggal Ika yang digagas Mpu Tantular dalam kitab Sutasoma. Hal tersebut sesuai dengan pendapat J.G. de Casparis dan I.W. Mabbet (dalam Nasruddin, 2008: 6), bahwa implementasi Bhinneka Tunggal Ika yang menurut tafsiran bangsa Indonesia = beraneka tapi satu, dapat diterapkan pada semua pulau di Asia Tenggara, karena ragam bahasa yang digunakan di kawasan perairan yang luas ini termasuk rumpun Austronesia, dengan perkecualian kantong-kantong kecil suku terasing.

Dari Majapahit kita beralih ke Demak Bintoro. Sebagai negara adidaya di kawasan Asia Tenggara, Keraton Demak Bintoro aktif melakukan konsolidasi dan diplomasi. Duta Besar Keraton Demak Bintoro ditempatkan di negara-negara Islam. Misalnya saja Negeri Johor, Negeri Pasai, Negeri Gujarat, Negeri Turki, Negeri Parsi, Negeri Arab, dan Negeri Mesir. Sesama negeri Islam itu memang terjadi solidaritas keagamaan. Para pelajar dari Demak Bintoro juga dikirim untuk belajar ke berbagai negeri sahabat tersebut. Saat itu Keraton Demak Bintoro memang muncul sebagai keraton maritim Islam yang makmur, lincah, berilmu, kosmopolit dan sangat agamis. Setelah kekuasaan Sultan Demak Bintoro diambil alih oleh Sultan Pajang, titik berat ketatanegaraan bergeser jauh dari pantai. Sejak saat itu, masyarakat, kesenian, dan sastra Jawa berkembang mengikuti jalannya sendiri, dan kurang terbuka terhadap pengaruh kebudayaan asing di Nusantara, Hindia, dan Cina, seperti pada abad XV dan XVI. Lambat laun sejak abad XVI, pengaruh kebudayaan Eropa Barat dalam bidang sosial dan politik menjadi semakin kuat (Nasruddin, 2008: 95-110).

Memasuki masa kolonialisme dan imperialisme, Belanda (VOC) mulai menguasai wilayah Indonesia, baik daratan maupun perairan.

Masyarakat pribumi bekerja secara paksa (rodi) untuk memenuhi pundi-pundi keuangan Belanda (VOC). Selain itu seluruh kegiatan sosial, budaya, ekonomi, serta politik dan keseluruhan aktivitas diatur oleh penjajah. Salah satunya di bidang ekonomi di mana Belanda (VOC) memonopoli perekonomian pribumi sehingga masyarakat menjadi semakin sengsara. Pada zaman ini kegiatan masyarakat diarahkan untuk fokus kepada orientasi darat (agraris), dengan berbagai sistem yang ada seperti tanam paksa. Dengan kebijakan tersebut berarti masyarakat mulai kehilangan jati dirinya sebagai bangsa maritim.

Kemudian masa pasca-kolonialisme di mana Negara Kesatuan Republik Indonesia berstatus sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Pada masa awal kemerdekaan (ORLA) berbagai agresi militer dan konflik-konflik politis lainnya seperti separatisme, mungkin saja membuat kondisi Negara Indonesia tidak stabil, sehingga kurang begitu memerhatikan pembangunan, termasuk sektor maritim. Namun ketika zaman Presiden Soeharto (ORBA) orientasi pembangunan difokuskan ke pedalaman yang bersifat agraris, sehingga sektor maritim kurang berkembang.

Berkenaan dengan hal di atas Gubernur DI. Yogyakarta, Sri Sultan HB X melalui makalah berjudul “Budaya Maritim Indonesia: Peluang, Tantangan, dan Strategi” menulis “Seandainya Hatta dulu Presiden dan wakilnya Soekarno, mungkin bangsa ini akan mengalami sejarah yang berbeda. Tetapi, bagaimana Hatta harus berpidato di depan publik persawahan Soekarno yang berada di habitat budayanya sendiri? Ketidaksadaran kolektif maritim berbicara di hadapan ketidaksadaran kolektif persawahan, tentu sulit dibayangkan bagaimana wujudnya dalam angan-angan negara yang namanya Indonesia ini”. Mungkin maksud dari tulisan itu adalah bahwa apabila Indonesia dipimpin oleh Hatta (etnis Melayu) maka orientasi pembangunannya adalah maritim, karena orang Melayu identik dengan laut. Sedangkan di bawah pimpinan Soekarno (etnis Jawa) maka orientasi pembangunannya adalah agraris, karena orang Jawa identik dengan sawah.

Aktualisasi

Konsep geopolitik Indonesia begitu dinamis seiring per- kembangan zaman. Dalam ilmu kewarganegaraan, geopolitik dimaknai sebagai ilmu penyelenggaraan negara yang setiap kebijakannya dikaitkan dengan masalah-masalah geografi wilayah atau tempat tinggal suatu bangsa. Dari pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa geopolitik berkaitan dengan pengambilan kebijakan negara yang berdasarkan atas konsep kewilayahan. Konsep geopolitik Indonesia beberapa kali mengalami perubahan, mulai dari konsep “Wawasan Nusantara-Bahari” (Wawasan Nusantara yang menitikberatkan pada Wawasan Maritim/Bahari), kemudian kata bahari dihapus menjadi “Wawasan Nusantara” (memandang wawasan benua, wawasan dirgantara, dan wawasan maritim secara seimbang), dan terakhir diungkapkan oleh Presiden Joko Widodo dalam pidato perdananya setelah dilantik sebagai Presiden RI 2014-2019 bahwa konsep geopolitik Indonesia di bawah kepemimpinannya adalah maritim.

Menurut Munadjat Danusaputra (1982: 61-62), secara konsep- sional kita menganut Wawasan Nusantara dalam konstelasi geografi Indonesia, yang memerlukan keserasian antara Wawasan Bahari, Wawasan Dirgantara, dan Wawasan Benua sebagai pengejawantahan segala dorongan-dorongan (motives) dan rangsang-rangsang

(drives) dalam usaha mencapai aspirasi bangsa dan tujuan Negara

Indonesia. Namun, secara praktis-pragmatis dalam jangkauan perkiraan ke depan (foreseeable future) kita menitikberatkan pada Wawasan Bahari, yaitu suatu pandangan, suatu aspek falsafah hidup suatu bangsa, di mana penggunaan dan penguasaan lautan adalah mutlak untuk perkembangan kesejahteraan dan kejayaan negara serta bangsa tanpa mengurangi azas anti-imperialisme.

Dari uraian di atas kita simpulkan bahwa secara resmi konsep geopolitik Indonesia adalah Wawasan Nusantara dengan berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tetapi, dari ketiga wawasan yang terkandung dalam Wawasan

Nusantara, Wawasan Bahari/Maritimlah yang paling diutamakan mengingat kondisi geografis Indonesia yang dua pertiganya adalah wilayah perairan yang potensial dan harus dijaga kedaulatannya. Mungkin saja keutamaan Wawasan Bahari tersebut menjadi salah satu dasar visi Indonesia sebagai “Poros Maritim Dunia”.

“Poros Maritim Dunia” yang dimaksud adalah langkah menjadikan Indonesia sebagai negara maritim yang besar, kuat, dan makmur melalui pengembalian identitas Indonesia sebagai bangsa maritim, pengamanan kepentingan dan keamanan maritim, pemberdayaan seluruh potensi maritim demi kemakmuran bangsa, pemerataan ekonomi Indonesia melalui tol laut, dan melaksanakan diplomasi maritim dalam politik luar negeri Indonesia lima tahun ke depan (www.fkpmaritim.org).

Visi Indonesia sebagai “Poros Maritim Dunia” tersebut tampak- nya tidaklah berlebihan karena Indonesia memang sangat potensial untuk mewujudkan visi itu. Potensi tersebut dapat kita lihat dari Dekalarasi Djuanda 1957 yang menegaskan konsepsi Wawasan Nusantara memberikan kita anugerah yang luar biasa baik itu laut, darat maupun udara. Sebagai Negara Kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki wilayah laut seluas 5,8 juta km2 yang terdiri dari

wilayah teritorial sebesar 3,2 juta km persegi dan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) 2,7 juta km2. Selain itu, terdapat

17.504 pulau di Indonesia dengan garis pantai sepanjang 95.181 km (www.ppk-kp3k.kkp.go.id). Hal itu membuat Indonesia memiliki sumber daya maritim yang sangat potensial untuk dikembangkan. Berikut adalah tabel yang menggambarkan potensi sumber daya maritim Indonesia yang diambil dari situs Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.

No. Potensi Sumber Daya Maritim Nilai 1 Perikanan (perikanan tangkap, budi daya,

dan pengolahan) US$ 47 M/tahun

2 Pariwisata bahari US$ 29 M/tahun

3

Energi terbarukan (energi arus laut, pasang surut, gelombang, biofuel alga, dan panas laut)

US$ 80 M/tahun

4

Biofarmasetika laut (industri bioteknologi bahan pangan, obat-obatan, kosmetika, dan bioremidiasi)

US$ 330 M/tahun

5 Transportasi laut US$ 90 M/tahun

6 Minyak bumi dan gas offshore US$ 68 M/tahun

7 Hasil seabed mineral US$ 256 M/tahun

8 Industri dan jasa maritim US$ 72 M/tahun

9 Garam US$ 28 M/tahun

Melimpahnya sumber daya maritim yang terdapat di Indonesia sangat potensial untuk mendukung visi Indonesia menjadi “Poros Maritim Dunia”. Namun hal itu harus diawali dengan reformasi kelautan. Reformasi kelautan pada mental masyarakat, regulasi pemerintah, serta sarana dan prasarana. Pada mental masyarakat mari kita ubah dari konsep lama yang secara ekstraktif mengambil langsung dari alam, untuk diubah menjadi konsep konservatif/ budi daya sehingga dapat melipatgandakan manfaat sumber daya yang ada dan kelestarian lingkungan tetap terjaga dengan prinsip pengelolaan/pembangunan berkelanjutan, sehingga kepentingan generasi yang akan datang dapat terjamin. Kemudian reformasi kelautan di bidang hukum adalah penyempurnaan regulasi kelautan yang tidak tumpang tindih. Sehingga hukum tetap ditegakkan, dan kedaulatan tetap terjaga. Lalu pada bidang sarana dan prasarana yaitu dengan pembangunan sarana dan pasarana yang menunjang kegiatan kelautan. Salah satunya adalah pelabuhan yang harus

ditingkatkan baik secara kuantitas, dan yang terpenting adalah peningkatan kualitas, mengingat pentingnya pelabuhan sebagai gerbang bahari. Apabila reformasi kelautan sukses, kemungkinan besar visi Indonesia akan terwujud dan rakyat sejahtera. Yang terakhir adalah bahwa keutamaan orientasi pembangunan maritim harus tetap memerhatikan pembangunan agraris dan dirgantara yang sama pentingnya.

Kesimpulan

Kelenturan budaya maritim terjadi dalam bidang orientasi pembangunan geopolitik. Pada zaman pra-kolonial orientasinya adalah maritim, namun pada masa kolonial orientasinya berubah menjadi agraris, sampai Indonesia merdeka tetap agraris, namun untuk saat ini mulai dirintis kembali orientasi pembangunan maritim. Selain itu budaya maritim juga menimbulkan kelenturan kebudayaan dan tatanan sosial. Misalnya pelenturan kebudayaan Jawa, Hindu, Buddha yang beradaptasi dengan Islam (diawali dari pesisir/maritim). Kemudian terkena lagi pengaruh dari luar, yaitu dari kolonialisme barat. Dari masa lampau kita beralih ke aktualisasinya pada masa sekarang, di abad XXI. Segala potensi sumber daya maritim Indonesia apabila dikelola secara maksimal, baik secara langsung maupun tidak langsung akan menyejahterakan rakyat Indonesia. Dalam jangka panjang apabila pemanfaatan sumber daya maritim dilakukan secara berkelanjutan dan didukung oleh penegakan hukum dan kedaulatan di lautan, maka bukanlah suatu yang mustahil bagi Indonesia untuk menjadi “Poros Maritim Dunia”. Dan hal terakhir adalah bahwa sebaiknya fokus pembangunan yang berorientasi maritim tidak membuat pembangunan agraris dan dirgantara terpinggirkan. Karena ketiga komponen tersebut haruslah sama-sama dikuatkan untuk kemajuan Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Anshoriy Ch, Nasruddin dan Dri Arbaningsih. 2008. Negara Maritim

Nusantara: Jejak Sejarah yang Terhapus. Yogyakarta:

Penerbit Tiara Wacana.

Danusaputra, Munadjat. 1982. Wawasan Nusantara: dalam

Implementasi dan Implikasi Hukumnya. Bandung: Penerbit

Alumni.

HB X, Sri Sultan. 2014. Makalah: Budaya Maritim Indonesia: Peluang, Tantangan, dan Strategi. Yogyakarta: Sarasehan Budaya Maritim UGM.

Kemdikbud. 2014. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang Kemdikbud.

Setiawan, Arif. ____. Makalah: Sosiologi Agama: Interelasi Agama

Dengan Budaya. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

Thung Ju Lan dan M. ‘Azzam Manan (Ed.). 2011. Nasionalisme

dan Ketahanan Budaya di Indonesia: Sebuah Tantangan.

Jakarta: LIPI Press.

http://www.fkpmaritim.org/peran-poros-maritim-dunia-dalam- meningkatkan-peran-indonesia-di-tingkat-internasional/

diakses 4 Mei 2015 pukul 14.00 WIB.

http://www.ppk-kp3k.kkp.go.id/ver2/news/read/115/membangun- kelautan-untuk-mengembalikan-kejayaan-sebagai-negara-

“Dengan menggali kearifan lokal tentang budaya masyarakat mengelola laut, kejayaan Indonesia sebagai bangsa maritim

dapat kembali bangkit.”1

I

ndonesia di mata dunia internasional adalah sebuah mutiara dan negeri “surga”. Mengapa? Tidak lain karena bagi sebagian mereka, Indonesia yang luas dan jarak bentangannya sama dengan Inggris ke Rusia bisa menjadi sebuah negara kesatuan. Coba kita lihat, berapa negara yang terdapat di antara Inggris dan Rusia. Padahal, wilayah tersebut merupakan daratan yang menyatu dengan masyarakat yang relatif homogen, baik secara kultural maupun agama.

Menurut data Kelompok Kerja Penyelarasan Data Kelautan dan Perikanan tahun 2011, Indonesia memiliki luas teritorial 284.210,90 km² dan luas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) 2.981.211 km² atau sekitar 70% dari luas wilayah Indonesia, sedangkan daratan seluas kurang lebih 1.910.931,32 km². Garis pantai Indonesia adalah yang terpanjang kedua di dunia dengan panjang sekitar 104.000 km². Rasanya aneh dan tidak dapat diterima akal sehat bagaimana

1 http://www.politikindonesia.com/index.php?k=politik&i=63104--Ada-Kearifan-

Lokal-dalam-Kejayaan-Maritim-Indonesia., diakses tanggal 2 Mei 2015.

Kearifan Lokal untuk Kejayaan Global

Dwi Suyoko

Indonesia yang memiliki begitu banyak pulau sejumlah 17.504 pulau tidak dapat disebut sebagai negara maritim abad ke-21. Dari ribuan pulau tersebut, banyak tradisi lokal yang hidup turun-temurun dari nenek moyang kita untuk menjaga dan menyeimbangkan kelestarian laut.

Kita sepakat bahwa tradisi kelautan perlu dibangkitkan lagi, kita juga meyakini bahwa tradisi kelautan kita perlu dikuatkan dengan berbagai cara, Indonesia dengan visi Poros Maritim Dunia harus kita wujudkan bersama untuk mencapai ketahanan dan pertahanan Indonesia. Tapi fakta di lapangan mengatakan berbeda, bahwa dari 324 kabupaten2 di seluruh Indonesia, tidak banyak kalangan

yang meyakini bahwa wawasan kemaritiman, karakter kebaharian, dan jiwa kelautan dapat ditemukan dalam tradisi budaya lokalnya sendiri. Maukah kita menggali dan kembali pada kearifan lokal kita untuk meraih kejayaan global?

Problematik Dunia Maritim Kita

Data di atas menggambarkan bagaimana Indonesia dianugerahi oleh Tuhan begitu banyak kelebihan yang tidak dimiliki oleh negara lain di dunia. Melihat kekayaan Indonesia yang begitu luar biasa ini, bangsa Indonesia seharusnya menyadari bahwa laut merupakan media yang dapat mempersatukan dan sebagai media untuk menghubungkan antara pulau yang satu dengan yang lainnya. Tapi kenyataannya kondisi sekarang justru laut adalah pemisah antara pulau satu dengan yang lainnya. Pemisah ini semakin terasa pada masa globalisasi saat ini, arus globalisasi ini justru membuat kita semakin menjauh dari jati diri bangsa kita yang Bhinneka Tunggal Ika.

Untuk menyatukannya, kita harus mengejar ketertinggalan teknologi kita dalam dunia maritim dan sumber daya manusianya karena dalam dunia kemaritiman tergantung pada orang-orang yang menguasai teknologi yang identik dengan globalisasi tetapi

dengan tidak melepaskan “pijakan” lokalnya. Tapi bahayanya, globalisasi dapat menyebabkan terkikisnya budaya nasional akibat masuknya budaya dari luar. Arus budaya yang datang dari luar bisa menghantam budaya lokal dengan kuat, sehingga dimungkinkan bahwa kearifan lokal kita akan tergerus mati.3 Kita bisa lihat dari hal

kecil di sekitar kita, bukankah kita seolah bangga kalau beli ikan di supermarket? Pernahkah kita menyempatkan diri untuk datang ke pasar tradisional dan berbelanja di sana? Contoh yang lain, nama- nama asli orang Indonesia sekarang mungkin 20 tahun yang akan datang punah. Banyak nama asli diganti menjadi “kebarat-baratan”, dan kita bangga dengan itu. Mari kita merenung, akankah kearifan lokal kita akan semakin hilang tertelan zaman? Kita kadang tidak sadar bahwa kita sekarang merupakan generasi konsumtif sekaligus pragmatis. Untuk menyikapi prolematik ini, dibutuhkan strategi yang tepat agar identitas asing tidak semakin “menggerus” dan secara perlahan dapat berpotensi melenyapkan identitas lokal di Indonesia.

Permasalahan justru datang dari kita sendiri. Kebiasaan orang Indonesia yang susah makan ikan menjadi kendala, sekalipun Indonesia kaya akan hasil laut, tapi bangsa Indonesia tidak dikenal sebagai pemakan ikan. Rata-rata konsumsi ikan orang Indonesia adalah 30 kilogram per tahun, masih kalah dengan orang Malaysia yang mencapai 37 kg, bahkan hanya separuh dari konsumsi orang Jepang yang makan ikan 60 kilogram per tahun.4 Belum lagi

praktik illegal fishing, illegal logging, illegal mining, dan kegiatan ekonomi ilegal lainnya serta perampokan dan perompakan di laut masih marak. Ikan yang dicuri tahun 2014 (hingga Agustus 2014) dari laut Indonesia mencapai 1,6 juta ton atau setara 182 ton sehari, pencurian ikan ini merugikan negara sekitar Rp101 triliun. Kerugian negara itu meningkat karena masih lemahnya

3 Sumaryadi, Nyoman I. 2005. Efektivitas Implementasi Kebijakan Otonomi

Daerah. Jakarta: Citra utama., Hlm 5.

4 https://ugm.ac.id/id/berita/9229sri.sultan.hb.x:.budaya.konsumsi.ikan.laut.

pengawasan dan penindakan kepada nelayan dan kapal ikan asing pencuri ikan Indonesia itu. Kapal-kapal ikan pencuri itu diketahui dari Vietnam, Malaysia, Thailand, Filipina, Taiwan, Hongkong, dan Tiongkok. Mereka sering tertangkap basah mencuri ikan di wilayah ZEE Indonesia.5 Dari Kementerian Kelautan dan Perikanan

tercatat hingga bulan November 2014 bersama tim gabungan lintas sektor berhasil menangkap hingga sebanyak 35 kapal ikan yang melakukan pencurian ikan di perairan Indonesia.

Selain itu, pembangunan kelautan masih menyisakan begitu banyak pekerjaan rumah. Buktinya, hingga kini kontribusi seluruh sektor kelautan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hanya sekitar 20%. Padahal negara-negara dengan potensi kekayaan laut yang lebih kecil ketimbang Indonesia, seperti Islandia, Norwegia, Jepang, Korea Selatan, Tiongkok, dan Thailand, kontribusi bidang kelautannya rata-rata sudah di atas 30% PDB. Mayoritas nelayan dan masyarakat pesisir masih terlilit derita kemiskinan. Sementara, gejala

overfishing, kerusakan ekosistem pesisir (terumbu karang, hutan

mangrove, dan estuaria), dan pencemaran melanda sekitar 40% wilayah pesisir dan laut, seperti Pantai Utara Jawa, sebagian Selat Malaka, Pantai Selatan Sulawesi, sebagian Pantai Timur Kalimantan, dan muara Sungai Ajkwa di Papua.6

Dari permasalahan di atas, seharusnya langkah kecil untuk menyelamatkan kemaritiman mulai dari diri kita, saat ini, dan mulai dari yang terkecil, yaitu kearifan lokal kita. Kearifan lokal justru menjadi barometer kedewasaan bernegara untuk menghadapi tantangan global. Sinergi antara keduanya akan menjadikan kita kuat dan lebih siap dalam menghadapi tantangan dan hambatan. Dengan kearifan lokal, kita bisa lebih bijaksana dalam mengelola

5 http://www.antaranews.com/berita/455120/pencurian-ikan-rugikan-negara-

rp101-triliun, diakses 3 Mei 2015.

6 Dahuri, Rokhim. 2014. “Membangun Indonesia sebagai Negara Maritim yang

Maju, Adil-Makmur, Kuat dan Berdaulat”. Makalah. Disampaikan pada Seminar Kebangsaan Laut Sumber Kemakmuran dan Kedaulatan Bangsa di Jakarta, disajikan pada tanggal 1 Oktober 2014, hlm 2-3.

alam Indonesia. Tidak sembarangan dan sembrono7 dalam me-

manfaatkan kekayaan. Permasalahan ini bukannya tidak bisa diatasi, hanya usaha dan doa yang menjadi senjata untuk mengubah Indonesia menjadi poros maritim dunia. Salah satu usahanya, kita kembali kepada kearifan lokal.

Kearifan Lokal dan Kejayaan Global

Pengaruh teknologi dan globalisasi amat besar dalam membentuk wajah Indonesia yang lokal menjadi nasional hingga global dan sebaliknya atau yang dikenal sebagai “glokalisasi”. Konsep ini dipopulerkan oleh Roland Robertson pada tahun 1977 dalam suatu konferensi tentang Globalization and Indigenous

Culture. Secara umum pengertiannya adalah penyesuaian produk

global dengan karakter lokal. Ada juga yang mengatakan think globally and act locally (berpikir global dan bertindak lokal). Dalam wilayah budaya, glokalisasi dimaknai sebagai munculnya interpretasi produk-produk global dalam konteks lokal yang dilakukan oleh masyarakat dalam berbagai wilayah budaya.8

Memang pada dasarnya glokalisasi timbul dan merupakan efek dari globalisasi. Tapi substansi dari glokalisasi yang mempunyai gen cita rasa lokal dapat mempertahankan identitas nasional.

Salah satu masyarakat di Indonesia yang kaya akan kearifan lokal kemaritiman adalah masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa pada umumnya sadar dan sangat memahami bahwa kehidupan manusia tidak dapat belangsung tanpa adanya sumber daya alam, seperti bumi, udara, air, sinar matahari, hewan, dan tumbuhan. Untuk itulah, para pendahulu atau leluhur telah merencanakan hari penyelamatan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup beserta isinya. Orang Jawa menyebutnya sebagai Memayu Hayuning Bawana,

artinya penyelamatan keseimbangan alam dan lingkungan tempat

7 Sembrono berarti kurang hati-hati atau gegabah.

8 http://nur-hidayatullah.webnode.com/news/identitas-nasional/diakses tanggal

manusia hidup. Caranya dengan melaksanakan ruwatan atau sedekah atau selamatan. Ruwatan artinya merawat, melestarikan,

Dalam dokumen KAUM MUDA DAN BUDAYA MARITIM NUSANTARA (1) (Halaman 128-148)