• Tidak ada hasil yang ditemukan

Iluminasi Naskah Kuno

Dalam dokumen KAUM MUDA DAN BUDAYA MARITIM NUSANTARA (1) (Halaman 112-128)

Pradita Widyaningrum SMA Negeri 8 Yogyakarta

di selatan, ke Atas Angin di utara. Kehebatan kerajaan besar penguasa Arus Selatan mampu menerjang penguasa kerajaan utara. Dalam kurun waktu 1350 – 1389 M, kerajaan yang gagah dengan sebutan Majapahit mampu menjadi kekuatan maritim terbesar tanpa tandingan. Kekuasaannya mampu menguasai hampir seluruh wilayah Indonesia saat ini, bahkan hingga daerah Tumasik (Singapura), Malaka (Malaysia), dan wilayah Champa (Vietnam) (Hamengku Buwono X, 2014: 1-3).

Bercermin dari fakta sejarah demikian, seakan tidak dapat dimungkiri bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan laut, pelayaran, dan perdagangan sejatinya telah menjadi takdir geografis Nusantara. Perbandingan 70% dengan 30% semakin mempertegas bahwa peradaban laut pada masanya menjadi jalan yang lebih efektif daripada daratan, sehingga berdampak pada adanya bentuk kontak sosial-politik, berbagai perpindahan dan pertukaran komoditas juga terjadi. Demikian pula persebaran budaya sebagai komoditas unggulan. Tradisi inferior-superior dan saling memengaruhi menjadi tahap awal dalam proses adopsi dan akulturasi selanjutnya (Dwicahyo, 2014: 3-4).

Tampaknya pertukaran budaya demikian tidak terbatas pada budaya material semata. Proses merekam dalam tradisi lisan yang kemudian diterjemahkan dalam tradisi tulis turut mewarnai di dalamnya. Perubahan menuju tradisi tulis yang dimaknai sebagai sastra pun berperan sebagai obyek komoditas hasil budaya yang bersinggungan dan dipertukarkan. Fakta demikian didukung dengan pembuktian Ramayana yang diadopsi dari India ke Nusantara. Tradisi India dalam penulisan Ramayana, baik kakawin dan prosa menjadi buah awal dikenalnya epos tersebut hingga ke Nusantara.

Di Nusantara, Ramayana yang disadur dari Kakawin Ramayana1

India ke dalam bahasa Jawa memberi warna baru pada kesusastraan

1 Diketahui bahwa Ramayana merupakan mahakarya sastra dunia yang diadopsi

oleh banyak negara. Dalam sumber lain disebutkan pula terdapat padanan yakni Ramayana Walmiki dalam bentuk prosa, yang teks dan ceritanya jauh lebih kompleks. Meskipun diketahui terdapat pula versi-versi lain Ramaya di negara sumbernya (Sumarsih. 2013:152-154).

Nusantara (Sumarsih, 2013:152). Jejak persebaran Ramayana dimulai sejak awal abad Masehi, yang ditransmisikan ke dalam tiga jalur, yaitu: (1) jalur darat: jalur utara membawa Ramayana dari Pancavat dan Kasmir menuju Cina, Tibet, dan Turkestan Timur; (2) jalur laut: jalur selatan dari Gujarat dan India Selatan menuju Jawa, Sumatra dan Malaya; (3) jalur darat lainnya: jalur timur dari Bengal menuju Thailand dan Laos, sementara Vietnam dan Kamboja menerima Ramayana sebagian dari Jawa dan sebagian lagi dari India melalui jalur timur. Selanjutnya, peran ekologi setempat secara berangsur mentransmisikan Ramayana dalam tradisi Hindu maupun tradisi Buddha (tradisi setempat) (Widyaseputra, 2012: 2-3). Periodisasinya dalam pandangan Zeinesiss menganggap bahwa Ramayana mulai membangun citra di Nusantara antara abad ke-13 dan abad ke-17 yang tersebar dari mulut ke mulut. Awal mula persebarannya berasal dari India Barat dan India Timur, melalui jalur perniagaan serta persebaran paham religi budaya Hindu ke Nusantara (Sumarsih, 2013: 155).

Pada akhirnya, jelajah Ramayana dari India ke Nusantara kembali menjadi bukti bahwa kenyataannya sastra menjadi komoditas laris bersamaan dengan komoditas perniagaan. Terlebih setelah ditemukan jalur niaga melalui laut antara Romawi dan Cina yang menyebabkan perlayaran dan perdagangan Asia semakin ramai. Dampaknya, wilayah yang dilalui jalur perlayaran dan perdagangan tersebut ikut aktif dalam perdagangan (Sanel, 2012: 9-10). Jalur demikian menempatkan Nusantara seolah-olah menjadi sasaran pertukaran sastra dan budaya strategis dalam pertumbuhan jalur pelayaran antara Cina dan India. Geografisnya yang berada di sebelah timur India menyebabkan para pelaut India lebih mudah mencapai Indonesia, sehingga secara tidak langsung terbentuklah perdagangan antara India dan Indonesia. Adanya pola angin musim yang berubah arah setiap 6 bulan serta perluasan kekuasaan kerajaan Cina yang memperluas daerah jajahannya hingga ke Asia Tenggara menjadi dorongan terhadap lahirnya perdagangan maritim

di Asia Barat ke Cina Selatan melalui jalur Nusantara. Perdagangan di Asia Barat yang didukung oleh para pedagang India semakin mempertegas adanya pola singgung sastra yang mengantarkannya berkembang sebagai komoditas dengan proses akulturasi tanpa adanya unsur mendominasi (Sanel, 2012: 11-14).

Namun, rekam jejak demikian tidaklah cukup. Menelusuri proses saling memengaruhi dalam sastra dan tradisi di Nusantara menjadi hal ihwal, termasuk pula budaya maritim yang diadopsinya. Seperti dalam tradisi istana Pura Pakualaman yang mencoba merekam unsur laut dalam iluminasi, dan diterjemahkan dalam tradisi sastra Jawa sebagai upaya meretas pendidikan pada masanya. Dalam tradisi tulisnya, ditemukan unsur laut yang dimanifestasikan sebagai konsep sêstradi2. Upaya demikian menegaskan bahwa sastra tidak mengemas kritik sosial semata, melainkan mencoba membaca aspek sinergis antara darat dan peradaban laut Nusantara. Jejak Peradaban Laut Pakualaman

Dalam historiografi kesusastraan nasional, kedudukan sastra Jawa memiliki peranan penting dalam memberi sumbangsih terhadap khazanah pustaka Nusantara. Dipahami bahwa dalam sejarah kesusastraan nasional, khazanah sastra Jawa sebagai teks klasik menjadi dokumen tulis yang digunakan dalam merekam hasil budaya. Melalui teks disampaikan pula ‘pesan’ masa lampau sebagai sedimentasi kebudayaan pada masanya (Pratitasari, 2004:1; Barried, dkk. 1994:5). Hal demikian menjadi peristiwa yang sering terlupa, bahwa sastra daerah merupakan model rekam jejak sejarah awal dalam memulai peradaban. Potret demikian menunjukkan indikasi buta budaya dan tuli sejarah. Pakualaman menjadi figur nyata yang terlupa. Warisan peradaban budaya masa lampau sekaligus penyangga budaya yang masih lestari, mencoba mengabadikan konsep sêstradi dalam jejak perjalanan peradabannya.

2 Sês: rasa yang tinggi, tra: sarana yang nyata, adi: pada yang terbaik. Sêstradi: cita

Guratan sejarah mengisahkan, Pakualaman sebagai kerajaan kedua di tanah Yogyakarta setelah Keraton Kasultanan, didirikan oleh Pangeran Natakusuma (Paku Alam I atau PA I), sosok yang ahli dalam kesusastraan dan kesenian (Dewantara, 1967: 301). Semenjak abad ke-18 kegiatan kesusastraan di Pura Pakualaman telah dirintis oleh beliau. Berbagai karya sastra ditulisnya sebagai bentuk kecintaan kepada keluarga dan ahli waris. Hal demikian yang sekarang dapat dinikmati keberadaannya adalah naskah (Saktimulya, 2004: 6).

Berbagai naskah di Pura Pakualaman keberadaannya disimpan di dalam perpustakaan Widya Pustaka dan Gedhong Pustaka yang kesemuanya berada di kompleks Pura (Saktimulya, 2004: 6). Berbagai peristiwa direkam oleh tradisi tulis dalam naskah tersebut. Hal demikian meliputi aspek sejarah, sosial politik, konsep religiusitas, kesehatan, serta nilai dan unsur didaktik (Saktimulya, 2004:1). Di dalam pengungkapannya, naskah tidak semata-mata ditulis dalam bentuk teks dengan aksara dan bahasa Jawa semata, namun tidak jarang terdapat iluminasi3 sebagai upaya mempertegas kandungan

maksud yang terdapat di dalamnya. Salah satu naskah yang penulisannya diperindah dengan iluminasi adalah naskah berjudul

Sêstra Agêng Adidarma (SAA). Berbagai iluminasi dilukiskan dalam

naskah tersebut, termasuk hal yang mengandung unsur maritim. Naskah dan peninggalan tradisi tulis pada masanya, tidaklah lengkap ketika tidak menjelajahi hingga mendalam. Demikian pula pada naskah SAA sebagai bukti tradisi tulis Pakualaman. Pemrakarsa teks tersebut adalah Paku Alam II (PA II), sebagaimana termuat jelas dalam kutipan teks yang berbunyi:

Namane sêrat puniki/ Sêstra Agêng Adidarma/ Pakualaman kapindho/ rengrengira kasariran/ abdine ingkang garap/ tusing kartiyasa tuhu/ den Panji Jayengminarsa

3 Iluminasi dalam disiplin ilmu pernaskahan (kodikologi) merupakan istilah

untuk menyebut pencerah atau pemertinggi kesan atas halaman naskah, termasuk di dalamnya adalah gambar dan kaligrafi (Behren, T. E, 1996: 188 dalam Saktimulya, 2012: 75).

Nama karangan ini (adalah) Sêstra Agêng Adidarma (merupakan) rancangan sendiri (dari) Paku Alam ke-2. Abdinya yang mengerjakan, keturunan yang sungguh-sungguh pandai (ia) adalah Raden Panji Jayengminarsa (Rahmat, 2006: 17).

Di samping pemrakarsa, disebutkan pula nama juru tulis dari teks tersebut, yakni Raden Panji Jayengminarsa, seorang yang masih memiliki jalinan kekerabatan dengan pemrakarsa naskah (Saktimulya, 2003: 38).

Ditemukan pula keterangan dalam teks mengenai tarikh penulisan Candrasengkala yang berbunyi ‘Trus Osiking Pandhiteng

Rat’ menunjuk angka tahun 1769, dan dalam perhitungan Masehi

menunjuk angka tahun 1841. (Rahmat, 2006:16). Angka tahun demikian semakin menegaskan bahwa naskah SAA benar ditulis masa PA II yang bertahta tahun 1830-1858 (Saktimulya, 2005:260).

Pada masa PA II, proses penciptaan suatu naskah biasanya didasari oleh motivasi pemrakarsa yang berkeinginan menuangkan gagasannya ke dalam naskah. Pemrakarsa selanjutnya membuat garis besar, diserahkan kepada juru baca, dan oleh juru baca garis besar tersebut dijabarkan berdasarkan bacaan, diolah, serta diekspresikan. Hasil bacaan juru baca ditulis dan pada akhirnya dilembar naskah digambari (Saktimulya, 2004: 38). Demikian pula

SAA yang bertugas sebagai pembaca rancangan adalah Rahaden Panji Lutnan Harjawinata,

[…] dene abdine kang maos/ sapa sintêna manira/ Rahaden Panji Lutnan/ Harjawinata puniku/ tusing kula winisuda//

[…] adapun abdinya yang membaca, siapakah dia? (Dia lah) Raden Panji Letnan Harjawinata, keturunan keluarga yang dihormati. (Rahmat, 2005: 17-18).

Sehubungan dengan konstruksi budaya pada abad ke-18 dan ke-19, dapat dikatakan pula bahwa SAA merupakan sastra dengan genre sastra wulang4, sebuah karya sastra yang pada umumnya lahir

4 Sastra merupakan khasanah tradisi tulis yang ditulis menggunakan bahasa

dalam lingkup tembok kerajaan. Hasil sastranya dipersembahkan kepada raja/penguasa sebagai ungkapan rasa pengabdian dan menjunjung tinggi martabat raja. Di samping untuk memberikan kesan legitimasi dan penghormatan kepada pendahulu/perintis dinasti kerajaan (Rochkyatmo, 2010: 7-8).

Akan tetapi, di luar tembok kerajaan, sebuah sastra pengabdian tidaklah melulu diperuntukkan kepada raja, bahkan menurut Sadewa (1989) dalam Rochyatmo (2010: 8) penulisan sastra ter- hadap golongan setingkat rakyat dimaksudkan untuk memberi ajaran, mendidik dan memperhalus budi pekerti. Termasuk pula Kayam (1997: 2-3) yang menjelaskan bahwa sastra merupakan uba

rampe yang tidak dapat ditinggalkan dalam suatu sistem kekuasaan

dan kepercayaan. Melalui sastra, elite bangsawan mencoba meng- gambarkan pola kekuasaan tanpa meninggalkan ciri yaitu sebuah ajaran. Nilai dan muatan didaktik memainkan peranan penting dalam karya sastra pada masa tersebut.

Pada akhirnya tidak dipungkiri, genre sastra wulang, termasuk pula SAA menjadi karya sastra yang memiliki peran dalam per- adaban pada masanya. Berbagai nilai dan muatan didaktik pada masa PA II direkam dan diwariskan. Tujuannya tidak lain agar kelak dapat diupayakan oleh generasi penerusnya seperti halnya: (1) Pembicaraan yang tidak bermakna serta kebiasaan membicarakan orang hendaknya dijauhi, (2) Membaca hendaklah mengerti dan memahami gagasan yang terkandung di dalamnya, (3) Berbuat jahil dan mencela orang lain merupakan perilaku nista, (4) Termasuk pula sering menyalahkan orang, sebab pemahamannya sempit, (5) Jangan pernah menyepelekan nasihat, serta (6) Senantiasa belajar, sebab itulah perilaku utama, (7) dan hendaklah dapat mengontrol merupakan ajaran kebajikan atau nasihat (Poerwadarminta. 1939: 667; Utomo. 2013:377), sehingga sastra piwulang/sastra wulang termasuk pada khasanah karya sastra (masa lampau) sebagai tradisi tulis yang menyimpan berbagai ajaran serta nasihat. Lebih mendasar bahwa sastra wulang menekankan pada pandangan sastra sebagai ajaran moral dan sikap hidup.

hawa nafsu (Rahmat, 2006: 93-94). Tidak sebatas hal tersebut, berbagai perihal terkait pelajaran hidup diungkap pula dalam SAA.

Selanjutnya, melalui sastra wulang dan berkaca pada geografis Nusantara, maka tidak heran ketika predikat negara maritim melekat pada Indonesia. Hal demikian seiring dengan predikat label adat timur yang dipandang luhur. Namun, yang perlu digarisbawahi bahwa bukan berarti hal tersebut mengharuskan pembicaraan maritim hanya sebatas pada laut, persebaran peradaban, atau komoditas niaga. Lebih mendalam lagi, bahwa kemaritiman sejatinya telah memberi corak pada karya sastra yang turut dipertukarkan seiring dengan persebaran budaya. Potret demikian tertuang dalam iluminasi atau rerenggan5 yang terdapat pada SAA. Melalui naskah tersebut diungkapkan bahwa maritim dapat dimaknai sebagai simbol yang memberikan ajaran nilai kepada pembacanya. Aspek didaktik jauh lebih ditonjolkan sebagai upaya penafsiran dari setiap

rerenggan yang merepresentasikan kemaritiman.

Gambar 1. Rênggan Perahu Layar dalam SAA (h.131). Saktimulya (2013: 78).

5 (Rê)rênggan merupakan hiasan untuk memperindah (Poerwadarminta, 1939:

528). Sedangkan menurut Saktimulya (2013: 76) rênggan dimaksudkan sebagai gambar yang diletakkan di antara teks, berfungsi sebagai hiasan sekaligus sarana visualisasi isi teks.

Pengungkapan awal unsur kemaritiman dalam SAA diawali dengan rênggan perahu layar (lihat gambar 1) yang terdapat pada halaman 131 naskah SAA. Disebutkan dari visualisasi perahu layar diperoleh informasi bahwa modal untuk memperoleh keselamatan dan kejayaan antara lain lurus hati, awas (waspada), ikhtiar (usaha), mengusahakan sarana, kuat, cermat, berhati-hati, bernalar, serta menegakkan kebenaran dan keadilan. Teks perahu layar tersebut diakhiri dengan kalimat yang menyatakan bahwa perahu layar dapat berjalan selamat mengarungi samudera dan mampu menghadapi rintangan seizin dari Sang Maha Bijaksana (Saktimulya, 2013: 82). Pada ulasan selanjutnya, terlihat unsur-unsur maritim yang dipaparkan secara menyeluruh. Bagian-bagian tersebut merupakan unsur dari badan perahu layar. Melalui tafsiran pada setiap bagiannya, akan diungkapkan nilai kemaritiman sebagai upaya meretas nilai didaktik yang merupakan ajaran hidup jika diaktualisasikan. Ajaran demikian secara eksplisit selanjutnya ditujukan kepada seorang raja/pemimpin yang kelak akan mengakomodasi berbagai aspek yang dipimpinnya.

Bagian pertama dari unsur maritim SAA adalah rerenggan

kompas (lihat gambar 2). Dengan menggunakan perumpamaan kompas yang berfungsi sebagai penunjuk arah mata angin, diharapkan bahwa seorang punggawa terpilih memiliki hati yang jernih agar mampu melihat Tuhan dengan mata hati dan mengetahui tujuan hidupnya. Maksudnya adalah dalam mengelola pemerintahan, raja membutuhkan penasihat yang berhati jernih, mampu memberi masukan dan meluruskan pendapat raja sehingga segala keputusan raja berdasarkan pertimbangan yang telah dipikirkan dengan masak (Saktimulya, 2013: 79).

Gambar 2. Rênggan Kompas dalam SAA (h.129) Saktimulya (2013: 79).

Bagian kedua dari unsur maritim SAA adalah rerenggan juru mualim (lihat gambar 3). Diumpamakan bagai juru mualim, seorang punggawa terpilih harus awas terhadap isi perahu dan mampu mengusahakan kenyamanan penumpang. Maksudnya adalah dalam mengelola pemerintahan, raja membutuhkan punggawa yang awas terhadap aset kerajaan. Apabila dijumpai hal yang sekiranya merugikan, membahayakan atau menyebabkan ketidakharmonisan dalam pemerintahan, baik yang disebabkan oleh aparat maupun masyarakat, punggawa bertugas melaporkan hal itu kepada raja untuk dijadikan pertimbangan dalam menentukan langkah demi keselamatan dan kesejahteraan semuanya (Saktimulya, 2013: 79-80).

Gambar 3. Rênggan Juru Mualim dalam SAA (h.129) Saktimulya (2013: 79).

Bagian ketiga dari unsur maritim SAA adalah rerenggan layar (lihat gambar 4). Dengan adanya layar, maka perahu dapat melaju dengan cepat. Layar perahu tetap berdiri kokoh meski tertiup badai. Hal itu disebabkan kesiapan kelengkapan layar, yakni kekuatan tali, tiang, dan rentang-tegangnya layar telah diukur. Maksud dari pernyataan ini adalah bahwa dalam mengelola pemerintahan, seorang raja membutuhkan sejumlah punggawa yang mampu bekerja sama sebagai kinerja yang tangguh dan handal (Saktimulya, 2013: 80).

Gambar 4. Rênggan Layar dalam SAA (h.130) Saktimulya (2013: 80).

Bagian keempat dari unsur maritim SAA adalah rerenggan

nakhoda (lihat gambar 5). Tugas seorang nakhoda adalah men- jalankan perahu dengan selalu mengupayakan keselamatan penumpang. Ia harus berhati-hati dan tanggap terhadap segala isyarat yang diterimanya. Maksudnya, roda kehidupan bernegara dapat berjalan dengan selamat dan lancar bila dikemudikan oleh orang yang tepat pada posisinya (Saktimulya, 2013: 81).

Gambar 5. Rênggan Nakhoda dalam SAA (h.130) Saktimulya (2013: 81).

Bagian kelima dari unsur maritim SAA adalah rerenggan jangkar (lihat gambar 6). Keberadaan jangkar diumpamakan bagai penegak perkara. Besar kecilnya jangkar telah diperhitungkan sesuai kapasitas perahu. Hendaknya segera turunkan jangkar di saat perahu berhenti agar perahu tetap stabil. Maksudnya adalah bahwa punggawa yang berfungsi sebagai jangkar harus mampu menghentikan langkah raja jika raja lepas kontrol, melewati target kebijakan sesuai ketentuan yang digariskan. Dengan demikian, seorang punggawa yang ter- pilih “sebagai jangkar” harus bernalar, mampu sebagai penegak kebenaran dan keadilan (Saktimulya, 2013:81).

Gambar 6. Rênggan Jangkar dalam SAA (h.131) Saktimulya (2013: 81)

Pada akhirnya melalui nafas maritim dalam rerenggan, dapat diperoleh berbagai ajaran yakni seorang pemimpin perlu memiliki sifat/sikap lurus hati, awas, mau berikhtiar, mengusahakan sarana, kuat dan cermat, berhati-hati, menggunakan nalar dalam mene- gakkan kebenaran dan keadilan, serta terus-menerus melantunkan puji syukur dengan kesungguhan hati kepada Sang Pencipta (Saktimulya, 2013: 86).

Pada akhirnya, perbincangan terkait budaya maritim di Nusantara tidak semata-mata berputar-putar pada jejak petualangan dari tempat satu ke tempat yang lain. Meski tidak dimungkiri, perpindahan dan pertukaran demikian yang mengawali sejarah kemaritiman Nusantara. Namun, pola-pola maritim ditemukan pula pada karya sastra dengan genre sastra wulang, salah satunya SAA.

Melalui rerenggan dalam SAA, konsep kemaritiman ditafsirkan sebagai etik didaktik yang memberi warna lain dalam pembahasan kemaritiman pada umumnya. Ajaran-ajaran yang disimbolkan melalui visualisasi perahu layar, kompas, juru mualim, layar, nakhoda, hingga jangkar mampu mengisyaratkan bahwa seorang pemimpin hendaknya memiliki kematangan, baik sosial maupun emosional.

Akhir dari ulasan tersebut mencoba mengemas konsep maritim yang ditegaskan dan diwujudkan dalam rerenggan. Pembahasannya pun tidak berpola pada persebaran, perpindah, atau komoditas yang dipertukarkan. Melainkan keluar dari pola pikir tersebut, tetapi lebih mendalam mengungkapkan nafas maritim dalam kesusasastraan Nusantara untuk menyampaikan pesan moral kepada masyarakat. Setiap paparannya mampu memberi pelajaran atas tafsirannya bagi siapa pun yang membacanya.

DAFTAR PUSTAKA

Barried, Siti Baroroh, dkk. 1994. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: Badan Penelitian dan Publikasi Fakultas (BPPF) Seksi Filologi, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada.

Dwicahyono, Ody. 2014. Penyebaran Pesan Tuhan: Islam dan

Dunia Maritim Asia Tenggara, Suryakanta #42. Yogyakarta:

Badan Keluarga Mahasiswa Sejarah FIB-UGM.

Kayam, Umar. 1997. Kesusastraan Jawa Kuna dan Jawa Baru

sebagai Kesusastraan ‘Pengabdian’ dalam Jawa Majalah

Ilmiah Kebudayaan (vol. 1). Yogyakarta: Lembaga Studi Jawa.

Poewadarminta, W.J.S. 1939. Baoesastra Djawa. Batavia: J.B. Wolters Uitgevers Maatschappij n. v.

Pratitasari, Dyah. 2004. Babad Sinelan Nasekah Pupuh I-X (Suntingan Teks, Terjemahan, dan Kaitan Motif). Skripsi Jurusan Sastra Nusantara. Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta: Tidak Diterbitkan.

Rahmat. 2006. Sêstra Agêng Adidarma Perbandingan Têmbang, Carita, dan Têmbung Model Behrend (Suntingan Teks dan Terjemahan Pupuh I-IV). Skripsi Jurusan Sastra Nusantara. FIB, UGM. Yogyakarta: Tidak Diterbitkan.

Rochyatmo, Amir. 2010. Sastra Wulang, Sebuah Genre di dalam

Sastra Jawa dan Karya Sastra Lain Sejaman dalam

Jumantara. Jakarta: Perpusnas RI.

Saktimulya, S. R. 2004. Tradisi Tulis di Kadipaten Pakualaman. Yogyakarta: Laporan Peneltian Sastra Daerah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.

__________. 2005. Katalog Naskah-naskah Perpustakaan Pura

Pakualaman. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

__________. 2013. Memaknai Sêstradi Melalui Iluminasi Naskah

Koleksi Pura Pakualaman dalam Warisan Keberaksaraan

Yogyakarta: Naskah sebagai Sumber Inspirasi. Yogyakarta: Manassa Cabang Yogyakarta.

Sanel, Ika S., dkk. 2012. Sejarah Kebudayaan Indonesia Zaman

Hindu-Budha. Makalah Ilmiah Sejarah Indonesia Zaman

Hindu Budha. Jakarta: Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Universitas Negeri Jakarta.

Sumarsih. 2013. Pelacakan Sumber Penulisan Serat Rama Keling (Jawa) Lewat Persejajaran dengan Hikayat Sri Rama

(Melayu) dalam Mutiara dalam Karya Sastra Jawa. Yogyakarta:

Jurusan Sastra Nusantara FIB-UGM bekerja sama dengan Gress Publishing.

Utomo, Sutrisno Sastro. 2013. Kamus Lengkap Jawa-Indonesia (cet. V). Yogyakarta: Kanisius.

Widyaseputra. 2012. Rama Abyagamana: Eksistensi Viracarita Maha bharata-Ramayana sebagai Studi Komunikasi Inter- kultural. Semarang: Makalah Seminal Nasional Universitas Negeri Semarang.

A

khir-akhir ini masyarakat Indonesia dihebohkan dengan kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Susi Pudjiastuti yang dengan tegas menenggelamkan kapal nelayan asing pencuri ikan. Suatu langkah progresif dalam rangka menegakkan kedaulatan bangsa ini atas wilayah perairannya yang patut kita apresiasi. Kebijakan yang merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan Indonesia sebagai “Poros Maritim Dunia” sesuai dengan visi Presiden Joko Widodo tersebut, harus kita yakini sebagai upaya merintis kembali kejayaan maritim yang pernah dialami bangsa ini pada masa lampau.

Jika kita berkaca pada sejarah sebenarnya masyarakat di Asia Tenggara (Melayu) pada zaman dahulu sudah memiliki budaya maritim. Mereka akrab dengan laut dan pandai dalam membuat dan berlayar dengan kapal. Mereka adalah “pahlawan laut” yang melaksanakan perjalanan jauh, sehingga memelopori proses penyebaran (penduduk, perdagangan, dan kebudayaan) di Samudra Hindia dan Lautan Pasifik, sampai Malagasi di sebelah Timur Afrika serta Pasifik Amerika Selatan (Pigafetta dalam Nasruddin, 2008: 8).

Dari uraian Pigafetta tersebut tidak dapat kita mungkiri bahwa nenek moyang kita adalah bangsa pelaut, berwawasan maritim, dan

dalam Tinjauan Sejarah

Dalam dokumen KAUM MUDA DAN BUDAYA MARITIM NUSANTARA (1) (Halaman 112-128)