• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAUM MUDA DAN BUDAYA MARITIM NUSANTARA (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KAUM MUDA DAN BUDAYA MARITIM NUSANTARA (1)"

Copied!
226
0
0

Teks penuh

(1)

Bunga Rampai Lomba Esai Sosial Budaya Nasional 2015

KAUM

MUDA

DAN

BUDAYA

MARITIM

NUSANTARA

(2)
(3)

Pasal 2

1. Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk

mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang imbul secara otomais

setelah sesuatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana Pasal 72

1. Barang siapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) dipidana penjara masing-masing paling singkat (1) bulan dan atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun penjara dan atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(4)

PUSAT PENELITIAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

Ni Kadek Sri Jayanti | Elviga Arselatifa | Kadek Yuni Antari Ledy Fitra Ramadhani | Ahmad Irianto | Yonky Rizki Munandhar

Pradita Widyaningrum | Rifai Nuruddin | Dwi Suyoko Nur Mustaria Putri | Putu Chelsea Brelian Yeremias Apriliano Santoso | Saifir Rohman

Pernando Pratama | Moh. Mahmud

Editor:

M. Alie Humaedi dan Lukman Solihin

Pengantar:

(5)

© Penulis, 2015

Editor | M. Alie Humaedi dan Lukman Solihin Penulis | Ni Kadek Sri Jayanti, dkk.

Desain Sampul dan Isi | Dwi Pengkik Pemeriksa Aksara | Lukman Solihin dkk.

Cetakan 2015

Diterbitkan oleh:

Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan Kompleks Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Gedung E Lantai 19, Jl. Jenderal Sudirman-Senayan, Jakarta 12041

Telp. (021) 5725573 Fax. (021) 5725543

Bekerjasama dengan

Ifada Press (Anggota IKAPI)

Jl. Turen No. 240 KKN-54

Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman - Yogyakarta 55581 Mobile: 081359150899 (Fajar Saputro)

Email: pustakaifada@gmail.com Website: www.ifadabooks.com

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) M. Alie Humaedi dan Lukman Solihin (Editor). KAUM MUDA DAN BUDAYA MARITIM NUSANTARA: Bunga Rampai Lomba Esai Sosial Budaya Nasional 2015

Cetakan I, Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. xliv + 180; 14 x 20.5 cm

ISBN 978-602-73558-1-1

(6)

J

auh sebelum jalur transportasi darat merebut perhatian, jalur perairan telah berperan besar dalam menghubungkan satu daerah dengan daerah lain, satu pulau dengan pulau yang lain. Perairan, di kala itu, dipersepsi sebagai jalan, bukan batas. Itulah mengapa rumah dan pusat-pusat kota mendekat dan menghadap ke jalur-jalur sungai dan pantai. Jalur perairan itu tidak hanya berfungsi sebagai alur perdagangan dan transportasi, melainkan juga berpengaruh besar terhadap kebudayaan dan peradaban.

Tetapi zaman kemudian berubah. Sastrawan Pramoedya Ananta Toer menyebutnya sebagai “Arus Balik”, di mana terjadi kemunduran dalam budaya maritim Nusantara. Seturut dengan keruntuhan kerajaan-kerajaan maritim seperti Sriwijaya, Majapahit, Demak, Banten, Makassar, Aceh, dan kerajaan-kerajaan berbasis maritim lainnya yang timbul-tenggelam silih berganti, kemudian hanya menyisakan cerita bahwa nenek moyang kita adalah pelaut. Kemunduran budaya maritim terutama terjadi setelah VOC memonopoli perdagangan, dari Maluku, Makassar, Mataram, Banten, sampai pelabuhan-pelabuhan di bagian Sumatera lainnya.

Sejarawan Hilmar Farid (2014) menyebut era setelah keruntuhan kerajaan-kerajaan maritim itu sebagai “gerak memunggungi laut”.

Hendarman

(7)

Laut dianggap sebagai masa lalu dan perhatian lebih diarahkan kepada daratan. Kota-kota pun dibangun tidak dengan memuliakan jalur perairan. Padahal luas lautan Indonesia mencapai 3,2 juta kilometer persegi, dengan panjang pantai lebih dari 95.000 kilometer—terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Indonesia juga memiliki 17.000 lebih pulau dan diperkirakan lebih dari 60% penduduk Indonesia (160 juta) bermukim di pesisir. Sumber daya yang begitu besar itu sudah lama diabaikan untuk kemajuan dan kejayaan bangsa.

Visi Presiden Joko Widodo untuk membangun Poros Maritim Dunia patut disambut antusias. Laut kembali mendapat perhatian. Gagasan itu bertumpu pada imaji konektivitas antarlaut dan pulau sebagai penopang utama sektor pembangunan. Di sinilah kita perlu menelaah kembali ihwal budaya maritim untuk mengembalikan kejayaan bangsa. Berbagai aspek budaya maritim meneguhkan bahwa dunia maritim bukanlah pemisah, tetapi pemersatu keindonesiaan. Karenanya, Poros Maritim Dunia sebagaimana visi pemerintah bukan semata pembangunan infrastruktur pelabuhan dan tol laut, melainkan juga mendudukkan romantisme ketersambungan budaya antarpulau sebagai bagian semangat kejayaan bangsa.

Pertanyaannya, mampukah generasi muda memberikan tafsir kontekstual kebudayaan maritim untuk kepentingan masa depan kejayaan bangsa? Apa saja persoalan yang membelit budaya maritim sehingga kurang berkembang? Dan strategi apa yang bisa dilakukan agar budaya maritim dapat bangkit dan menjadi penyokong masa depan bangsa? Untuk menjawab berbagai persoalan itu, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan, yang telah berubah nomenklatur menjadi Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengundang pelajar SMA/sederajat untuk menuangkan gagasannya dalam Lomba Esai Sosial Budaya Nasional 2015 dengan tema:

(8)

Inovasi Budaya Maritim tidak hanya berkaitan dengan teknologi dan transportasi, melainkan menyangkut keseluruhan aspek budaya maritim. Melalui lomba esai ini, kami ingin memantik para pelajar untuk menggagas “inovasi budaya maritim”, agar potensi dunia maritim yang sudah ada dapat dimaknai ulang dengan pemikiran baru, dengan cara pandang yang dapat lebih memaksimalkan potensi yang ada demi kemajuan dunia maritim Indonesia.

Pada penyelenggaraan lomba tahun 2015, panitia telah mene-rima 683 esai. Setelah melalui tahap seleksi penilaian dari aspek administrasi maupun substansi, dewan juri kemudian memutuskan 15 finalis untuk diundang ke Jakarta, untuk mempresentasikan karya mereka. Melalui puncak perlombaan ini kemudian ditentukan para pemenang lomba.

Juara 1 dimenangkan oleh Ni Kadek Sri Jayanti dari SMAN Bali Mandara, Bali dengan esai berjudul “Simantri Pulihkan Penggarap Kristal Gurih Kusamba dalam Warna Tri Hita Karana”; Juara 2 diraih oleh Yeremias Apriliano Santoso dari SMA Seminari Pius XII Kisol, Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur dengan esai berjudul “Kebhu: Kail Terakhir”; Juara 3 diraih oleh Putu Chelsea Brelian dari SMK Kesehatan Vidya Usadha Singaraja, Bali dengan esai berjudul “Menjaga Keharmonisan Nelayan Multietnik melalui Tradisi Petik Laut”; Juara Harapan 1 diperoleh oleh Ledy Fitra Ramadhani dari SMAN 1 Probolinggo, Jawa Timur dengan esai berjudul “Pendidikan sebagai Tonggak Poros Maritim Nusantara”; Juara Harapan 2 diraih oleh Nur Mustaria Putri dari SMAN 11 Unggulan Pinrang, Sulawesi Selatan dengan judul esai “Pelabuhan Lokal untuk Panen Raya Padi”; dan Juara Harapan 3 didapat oleh Kadek Yuni Antari dari SMAN Bali Mandara, Bali dengan esai berjudul “Revitalisasi Budaya Maritim: Bercermin dari Sekaa Nelayan Mina Bhakti Soansari“.

(9)

dengan baik. Kami juga menyampaikan terima kasih kepada Dinas Pendidikan tingkat Provinsi, LPMP, Perpustakaan Daerah, dan Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) di seluruh Indonesia yang telah membantu menyebarluaskan informasi mengenai lomba ini kepada sekolah-sekolah dan siswa di wilayah kerja mereka. Begitu pula kepada Pusat Informasi dan Humas Kemdikbud yang telah membantu menampilkan informasi mengenai lomba ini di situs resmi kementerian, Sekretariat Balitbang Kemdikbud yang menampilkan informasi lomba di situs resmi Balitbang, serta berbagai situs dan blog yang dengan sukarela membantu menyebarluaskan informasi mengenai lomba ini. Melalui berbagai media informasi itu, cakupan peserta yang mengirim naskah esai dapat meluas dan merata hampir dari semua wilayah di Indonesia, dari Aceh hingga Papua.

Panitia juga berterima kasih terhadap dewan juri yang telah membantu proses seleksi dan penilaian lomba ini. Mereka antara lain Dr. M. Alie Humaedi (Peneliti PMB-LIPI), S. Dloyana Kusumah (Peneliti Senior Puslitbang Kebudayaan), Mulyawan Karim (Editor Kompas-Gramedia), Nendah Kurniasari (Peneliti Balitbang KKP), dan Syaiful Arif (Ahli Perikanan dan Kelautan). Para juri inilah yang telah mendedikasikan waktunya untuk menelaah, menilai, dan memilih 15 finalis lomba yang diundang ke Jakarta untuk mempresentasikan karya mereka.

Akhirnya, kami berharap lomba ini dapat menjadi sarana yang dapat memotivasi siswa untuk belajar dan meningkatkan kemampuan mereka dalam memahami persoalan-persoalan sosial, budaya, politik, ekonomi, serta menuangkannya ke dalam tulisan yang baik. Kami juga berkomitmen untuk melaksanakan lomba serupa di tahun depan dengan tema-tema yang lebih menarik dan menantang.

(10)

Di sanalah, di sungai kecil itu, kapal-kapal besar pernah berlabuh. Di sanalah, bukti para blegendar Rembang berkuasa

di atas lautan dan di atas daratan. Di sanalah, kuasa mereka sampai ke Jakarta dan wilayah Pasundan lainnya.

H. Yakup, Desa Tunggulsari, Rembang Jawa Tengah. 10 April 2010.

D

i sungai kecil yang membelah desa Tunggulsari, dan menjadi perbatasan antara Rembang dan Pati itu, dahulu menjadi bukti tentang kejayaan empat juragan besar nelayan Rembang. Mereka juga bisa disebut para blegendar desa, sebutan orang kaya yang menguasai lahan-lahan pertanian luas. Luar biasa, orang bisa menjadi nelayan, sekaligus menjadi petani pada satu waktu yang sama. Dalam aktivitas sosial ekonominya, mereka pun mampu melibatkan puluhan bahkan ratusan orang untuk bekerja dalam kapal dan sawahnya. Kapal-kapal besar dengan layar menjulang tinggi miliknya pernah bersandar ke sungai yang semakin menyempit itu. Kapal yang dinakhodainya sendiri atau didelegasikan kepada para

pandega kepercayaan kemudian mengangkut beras, garam, kopi,

ikan asin, kapuk, dan kayu jati hasil masyarakat Rembang, Blora

Mendedah Keunggulan Inovasi

Budaya Maritim

M. Alie Humaedi

(11)

dan sekitarnya, untuk diantar ke Indramayu, Subang, Jakarta, dan Lampung. Sekembalinya dari sana, kapal pun kembali mengangkut peralatan rumah tangga, gula, dan barang-barang lain yang dianggap menguntungkan untuk dijual di Rembang dan sekitarnya.

Hubungan antardaerah melalui transportasi laut ini terus berlangsung sampai tahun 1970-an awal. Pasca-dekade itulah sarana transportasi darat modern sudah mulai muncul. Truk-truk engkel merk Mercedes Benz milik pengusaha-pengusaha Cirebon, Semarang, Kudus, dan Tuban telah tampak berseliweran di Jalan Pos pantai utara Jawa yang dibangun oleh Deandels di tahun 1809-1810 sebelumnya (Halwani, 2012). Para pengusaha truk kemudian melabelkan nama “Putra Samudera”, “Putra Bahari”, “Samudera Harapan”, “Lautan Khazanah”, “Selamet Riyadi”, “Laksono”, dan lainnya pada dinding samping kanan-kirinya. Romantisme terhadap dunia bahari seakan tidak bisa hilang begitu saja dari benak para pengusaha lama yang mengalihkan perhatiannya ke transportasi darat atau para pengusaha baru bidang angkutan darat yang masih terpengaruh tentang kejayaan laut masa lalu. Mereka seolah berusaha menghubungkan dunia lautan dengan dunia daratan melalui truk sebagai pengganti dari kapal. Walaupun terkesan modern, namun mobil-mobil itu masih merayap pelan sepanjang jalan pantura.

(12)

pelaut itu telah melintas batas dengan rute atau jalur rempah-rempah yang membentang dari Timur ke Barat ataupun dari Utara ke Selatan dengan berbagai gugusan pulaunya. Mereka juga menjejak kejayaannya pada rute atau jalur sutera yang dikenalkan oleh para pedagang Gujarat dan Cina di belahan bumi lainnya. Mitologi tentang “panji” yang berkembang di Kambodia, Laos, Vietnam, Thailand, Cina, Singapura, Malaysia, dan Myanmar menjadi bukti paling otentik jejak-jejak pelaut Nusantara ikut melintas di wilayah jalur Sutera ini.

(13)

Aktivitas di jalan pantai utara Jawa pada akhirnya semakin ramai, terlebih ketika transportasi bus yang dimotori oleh para pengusaha dari Moga, sebuah desa di pedalaman Tegal; dan disusul oleh pengusaha yang berasal dari Slawi, Pemalang, dan Pekalongan mulai membuka rute-rute baru dari Timur ke Barat.

Seiring semaraknya transportasi darat, pelayaran laut para

blegendar Rembang dan wilayah-wilayah lain pun sedikit demi

sedikit menyusut. Namun, tanda-tanda kejayaan mereka masih tertoreh jelas, baik di daerah asalnya, ataupun di wilayah-wilayah hampirannya. Banyak daerah pinggiran di wilayah Jawa Barat kemudian dinamai dengan nama-nama Jawa, dan menjadi enclave-enclave orang Jawa, ataupun enclave para penutur bahasa yang disebut-sebut sebagai bahasa Jawa Koek itu. Perkawinan silang budaya antara orang Jawa dan Sunda di berbagai wilayah pinggiran laut Jawa Barat, Jakarta, Banten dan Lampung menjadi bukti adanya hubungan intens pelayaran yang berlangsung lama. Bahkan, di beberapa wilayah itu, masih ada bekas kapal-kapal kayu besar yang rusak, tenggelam dan dibiarkan begitu saja oleh para pemiliknya. Kapal kayu ini diduga milik para pelaut yang melintasi Laut Jawa pada periode 1800-1970-an. Kapal-kapal bekas seperti ini juga banyak tercecer di bagian-bagian pulau Sumatera. Kapal ini diduga peninggalan lama dari pelayaran laut yang dilakukan orang Jawa, Madura, dan Bugis, ketika mereka mengirimkan hasil bumi, ikan asin, dan garam ke bagian barat dan selatan pulau itu.

(14)

Pasca-reformasi, tepatnya di tahun 2001-2004, konflik etnik antara Madura dan Dayak benar-benar sampai pada puncaknya. Ribuan manusia menjadi korban dari konflik itu, dan di beberapa wilayah orang Madura pun terusir dari wilayah Kalimantan yang beberapa wilayahnya dibuka oleh leluhur sebelumnya. Dari kasus ini, dapatlah dinyatakan bahwa pelayaran laut di Nusantara dahulu bukanlah semata urusan ekonomi pemenuh kebutuhan hidup manusia saja, tetapi juga relasi sosial budaya bahkan politik di antara berbagai komunitas yang tumbuh kembang bersama di berbagai wilayah yang menjadi rute pelayaran itu.

Kehadiran para juragan Rembang di wilayah-wilayah Priangan (Pasundan) sebagaimana cerita di atas seolah menjadi cerita lanjutan dari perjuangan Sultan Agung yang hendak menyerang Batavia di abad XVII (Tahun 1628 dan 1629). Perbedaannya terletak pada motif, tujuan, dan caranya. Sultan Agung memiliki kepentingan menguasai Batavia, karena di sanalah pusat penjajahan seluruh Nusantara berada, dan harus dihancurkan jika ingin terlepas dari penjajahan (Bertrand, 2011). Pengerahan pasukan dengan teknik-teknik kemiliteran pun dilakukan sedemikian rupa, baik melalui darat ataupun laut. Sayangnya, Sultan Agung mengalami kegagalan dalam dua kali serangannya. Kegagalan serangan pertama disebabkan oleh adanya pembakaran lumbung-lumbung padi yang dilakukan Belanda beserta mata-matanya. Lumbung padi ini dipersiapkan untuk menjadi pos bantuan dan perlengkapan pasukan yang menuju Batavia. Ribuan pasukan akhirnya mengalami kelaparan dan tercerai-berai sebelum sampai ke Batavia. Sementara kegagalan serangan kedua disebabkan kalah besarnya jumlah pasukan, karena Belanda juga mendapatkan bantuan dari wilayah Banten dan beberapa kerajaan di Priangan.

(15)

Jatinegara, dan lainnya. Banyak nama kampung dihubungkan dengan sejarah serangan itu, bahkan enclave “Jawa Pemberontakan” muncul di berbagai wilayah Priangan secara jelas. Wilayah di Desa Betok Mati, Kecamatan Cilemaya, Karawang yang benar-benar berada di wilayah pinggiran laut Jawa akhirnya menjadi salah satu tempat pelarian pasukan Sultan Agung. Belum ditambah dengan Desa Purwodadi di Sukamandi, Subang pun tidak lepas dari sejarah penyerangan Sultan Agung ke Batavia. Bahkan kata-kata yang menyiratkan adanya pelarian pasukan ini pun dikenal oleh masyarakat setempat. Kata “jombret” yang disebut “lari paksa” dan kemudian menjadi kelompok pemberontak menjadi bukti adanya hubungan politik dan sosial di masal lalu itu. Bahkan dalam penelitian Humaedi (2004) selama tiga tahun (2000-2002) di sepanjang pantai utara Jawa Barat dan Jawa Tengah, telah menemukan bahwa sisa-sisa pasukan penyerang telah memberi pengaruh terhadap konsepsi dan praktik kesenian dombret dan ronggeng yang sebelumnya memang dikenal oleh masyarakat Pasundan.

Sementara itu, para saudagar, juragan dan blegendar dari wilayah Jawa memiliki motif perdagangan murni yang benar-benar didasarkan pada mekanisme pasar, walaupun imbasnya juga tercakupi pada bidang sosial budaya dari dua atau lebih kelompok-kelompok masyarakat yang berjumpa. Fenomena pertemuan budaya tersebut menghasilkan keunikannya sendiri. Dari sisi kebudayaan

immaterial, wilayah pesisir Cirebon, Indramayu, Subang, Karawang,

(16)

permukiman orang Madura. Fenomena ‘Wong Lumpur’, sebagai komunitas pertemuan antara orang Jawa Giri Gresik dan Madura yang memunculkan corak kebudayaan dan bahasa tersendiri sering kali terlihat di beberapa wilayah (Humaedi, 2013).

Dari sisi kebudayaan material, perahu-perahu yang dihasilkan dari industri rumahan di atas blandongan (tempat pembuatan perahu) di sepanjang pantai utara Jawa Barat memiliki kesamaan bentuk dan nama-nama bagian dari perahu-perahu yang dibuat oleh pengrajin di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bentuk perahu

jukung dengan gemplo (bagian depan perahu) yang berdiameter setengah bulatan dan bagian cermodi (kemudi bagian belakang) yang menirus benar-benar menunjukkan kesamaan alih teknologi. Kesamaan lain adalah jenis dan sistem penggunaan jaring dalam teknologi alat tangkap. Selain bagang atau rumpon yang dikenalkan oleh para nelayan Bugis, penggunaan jaring plastik dalam bentuk ring-ring yang dikhususkan untuk penangkapan udang dan ikan pun sama persis. Tidak hanya perahu, tetapi juga teknologi yang digunakan dalam proses pembuatan ikan asin dan pembuatan garam pun sama persis dari satu wilayah ke wilayah lain.

(17)

menyebar ke seluruh wilayah pantai utara Jawa. Pada tahun 1988-an, teknologi ini setidaknya dapat membantu mengurangi tenaga para peladang garam. Mereka sebelumnya menggunakan sistem

gobagan atau timba, untuk mengalirkan atau mengangkat air laut

yang umumnya berada di bawah permukaan ladang garam untuk naik dan menjadi bahan utama garam. Gobagan sendiri adalah suatu alat sederhana yang terbuat dari keranjang bambu yang sudah diaspal, dan dihubungkan dengan sebuah bambu panjang ukuran 4-5 meter. Alat ini sepenuhnya digerakkan oleh tenaga manusia.

Menelisik Geohistoris Lautan dan Kebudayaannya

Kebudayaan immaterial dan kebudayaan material yang dihasilkan dari perjumpaan berbagai komunitas laut setidaknya menggambarkan bahwa lautan Indonesia sebenarnya juga berfungsi sebagai alat untuk menyatukan warga negaranya. Fenomena per-jumpaan dan ketersambungan antar-berbagai kelompok masyarakat sebagai buah pelayaran laut juga telah menjadikan Indonesia memiliki karakternya sendiri dalam geohistoris kebudayaannya. Ikatan kebudayaan inilah yang menjadi kekuatan besar dari identitas kebangsaan dan peneguhan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Aspek-aspek kebudayaan seperti itu tidak dapat dinafikan dalam pembangunan konektivitas berbasiskan laut sebagaimana didengungkan pemerintahan Joko Widodo sekarang ini. Geohistoris Indonesia di masa lalu sesungguhnya telah melansirkan secara penuh kepada generasi Indonesia baru bahwa betapa luasnya negeri kepulauan Indonesia. Kesadaran ini pula akan menunjukkan betapa besar tanggung jawab warganya untuk saling mengikatkan diri pada konsepsi negara bangsa, serta memahami berbagai suku dan daerah beserta kebudayaan yang hidup di dalamnya.

(18)

geografi. Jika rumusan ini diletakkan pada ranah kelautan atau kemaritiman, maka sesungguhnya lautan bukanlah merupakan sarana pemisah dari berbagai kelompok suku di Nusantara, tetapi sepatutnya menjadi alat pemersatu. Batas-batas dari ribuan gugusan pulau tidak akan menjadi sekat pemisah untuk membentuk dan membangun keindonesiaan. Hubungan perniagaan dan sosial ekonomi berbasiskan jaringan tradisional dan kekerabatan, sebagaimana temuan berbagai penelitian misalnya, merupakan salah satu fenomena yang mengekalkan keindonesiaan itu. Hubungan yang ada telah terjalin kuat di antara masyarakat di satu pantai dengan pantai lain, bahkan jauh lebih agresif dibandingkan hubungan di antara suatu kota dengan kota lain di pulau yang sama. Rekaman sejarah telah menunjukkan bagaimana Pelabuhan Surabaya (Tanjung Perak) di Pulau Jawa dan Pelabuhan Makassar di Pulau Sulawesi, serta beberapa pelabuhan lain di belahan tengah dan timur wilayah Indonesia telah membangun jaringan secara intens di masa lalu hingga sekarang. Demikian pula, pelabuhan Semarang (Tanjung Emas) telah mengadakan hubungan aktif dengan pelabuhan di Banjarmasin, Balikpapan, Bangka Belitung, dan sebagainya. Bahkan, beberapa masyarakat di pulau-pulau kecil seperti Bawean, Gili, Masalembu, Kangean, dan pulau lainnya di Madura pernah dicatat secara langsung mengadakan hubungan perdagangan dengan pulau-pulau lainnya di Pulau Sumatera, Kalimantan, Maluku, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, bahkan Malaysia dan Singapura. Hal ini juga menunjukkan bahwa pembangunan jaringan sosial ekonomi pada ranah kemaritiman tidak hanya dilakukan oleh “pelabuhan resmi,” tetapi juga pelabuhan-pelabuhan tradisional yang mengandalkan hubungan kekerabatan atau jaringan tradisional lainnya.

(19)

Dalam sejarahnya, ada lima bentangan wilayah geohistoris ke indo-nesiaan berbasiskan pada geografi kelautan yang pada akhirnya juga memunculkan kekayaan kebudayaan maritim (Humaedi & Hakam, 2014).

Daerah geohistoris pertama mencakup kedua sisi Selat

Malaka. Wilayah ini meliputi daerah pantai timur Sumatera dan pantai barat Semenanjung Malaya. Pertikaian antara Inggris dan Belanda pada abad ke-19 telah memisahkan kedua daerah tersebut dengan mengaitkan masing-masing pada dua kelompok entitas politik berbeda, Hindia-Belanda dan Malaya Britania. Seturut itu, dinamika sosial politik yang tinggi di antara kerajaan-kerajaan yang ada beserta kelompok etnik yang berbeda telah melahirkan berbagai peradaban yang cukup tinggi pula. Semangat dagang dan modernisme berkembang di kedua sisi selat, dan termasuk tumbuh kembangnya komunitas-komunitas Cina. Merekalah yang menjadi pelopor yang juga ikut membangun sebuah kebudayaan perkotaan. Wilayah geohistoris pertama ini, selain sebagai pintu keluar dari jalur rempah-rempah yang dikenal oleh komunitas-komunitas pelaut di Nusantara, wilayah ini pun mendapatkan pengaruh kuat dari hubungannya dengan bangsa lain yang melintas-batas pada jalur sutera yang menghubungkan antara Nusantara dengan wilayah-wilayah lainnya di Indocina dan India.

Daerah geohistoris kedua mencakup kedua sisi Selat Sunda meliputi Lampung di bagian selatan Sumatera dan Banten di bagian barat Pulau Jawa. Jaringan antara daerah di dua selat itu terhubung oleh pelayaran laut yang melintasi selat Sunda. Walaupun berbagai dokumen sejarah hanya menyebutkan peran dari pelayaran laut yang dilakukan secara resmi oleh KPM (Koninklijke Paketvaart

Maatschappij), suatu perusahan kapal milik Belanda, namun hal itu

(20)

bahwa selat Sunda ini merupakan “selat pertarungan kedua antara kekuatan kolonial dengan kaum pribumi, setelah selat Malaka” yang keadaannya berlangsung hingga kini. Jika sebelumnya pertarungan itu dilakukan oleh Dipati Ukur, Sultan Agung, dan lainnya melawan penjajah, maka sekarang perlawanan itu dilakukan antara pengusaha pribumi dengan pengusaha Tiongkok yang berencana menanamkan investasi ratusan triliun pada proyek pembangunan jembatan Selat Sunda yang menghubungkan antara Sumatera dan Jawa itu.

Panasnya pertarungan di lautan, juga ikut memanaskan atau setidaknya menjadi bukti adanya eskalasi yang cukup tinggi di wilayah daratannya. Daerah-daerah darat di antara dua selat ini disebut-sebut sebagai salah satu ilustrasi dari bentangan Bukit Barisan, suatu bentangan yang tidak hanya berdampak secara geografis, tetapi juga berdampak pada karakter kebudayaannya. Penyatuan kedua daerah itu secara politik terjadi dengan berkembangnya Kesultanan Banten pada abad ke-16 dan ke-17. Konektivitas di antara dua selat itu telah menciptakan karakter kebudayaan yang sama, khususnya di wilayah “kebudayaan Banten” yang mencakupi Lampung di dalamnya. Sistem kerajaan dan pembagian wilayah di Lampung sebelum merebaknya program kolonisasi dan transmigrasi mengikuti model kerajaan Banten, walaupun pengaruh dari kerajaan Palembang juga terlihat di Lampung. Hubungan lama antara Banten dan Lampung kemudian sering dimanfaatkan secara sosial dan politik hingga kini, meskipun ada kesan kuat masih bersifat primordial. Konflik Balinuraga pada tahun 2013 pun tidak terlepas dari pengaruh hubungan geohistoris ini (Humaedi, 2014).

Daerah geohistoris ketiga ada di kedua sisi Laut Jawa. Bagian

(21)

masyarakat Jawa dan Kalimantan benar-benar terlihat, baik dalam bentuk kebudayaan material ataupun non-material sebagaimana diceritakan di atas. Daerah geohistoris inilah yang bisa dikatakan paling semarak, dan termasuk di dalamnya paling complicated. Berbagai suku seperti Jawa, Madura, Bugis, Makassar, Melayu, dan Cina terlibat aktif di dalam jejaring pelayaran laut itu. Suku Dayak dan Sunda, dua suku yang bisa disebut sebagai kelompok suku yang menguasai alur-alur sungai yang bermuara ke lautan, kemudian menjadi kelompok-kelompok pendukung dari pelayaran laut bebas yang dilakukan banyak suku itu. Hasil bumi di wilayah-wilayah pedalaman diantarkan sebagai komoditas perdagangan. Artinya, melalui pelayaran laut, khususnya di wilayah geohistoris ketiga, ikatan berbagai suku pun sesungguhnya telah terbangun lama.

Daerah geohistoris keempat berada di Selat Makassar. Laut telah menghubungkan Makassar dengan daerah-daerah di Indonesia tengah dan timur. Banyak pelabuhan didirikan oleh pedagang-pedagang Bugis dan di bawah kekuasan Kesultanan Makassar. Kekuasaan dan pengaruhnya membentang dari Pulau Selayar, Samarinda dan Kutai (bagian timur Kalimantan) dan Sumbawa (di Kepulauan Nusa Tenggara). Bahkan beberapa pusat perdagangan di berbagai pulau kecil dan terpencil di sekitar Nusa Tenggara, kepulauan Maluku, dan Papua dibuka oleh mereka. Mereka juga dikenal aktif membuka pulau-pulau yang tidak berpenghuni. Pemerintah Kolonial Belanda selanjutnya melestarikan kenangan imperium itu dengan memasukkan bentangan wilayah itu ke dalam daerah administratif Zuid-Celebes en onderhorigheden, Sulawesi Selatan dan negeri-negeri di bawahnya.

(22)

berperan membuka dan mengembangkan wilayah-wilayah tidak tersentuh. Tradisi kuliner, pembuatan minuman lokal (sofi-sofi, laru,

saguer), perkawinan, dan arsitektur rumah memiliki kemiripan

dengan asal para pelautnya. Bahkan, masyarakat di Pulau Palue yang dianggap sebagai “orang gunung” dan tidak memiliki daratan seluas lapangan bola sekalipun di pulaunya, menjadi kelompok masyarakat yang memiliki tradisi pembuatan perahu yang paling terkenal di sepanjang NTT. Ada dugaan kuat bahwa asal mula leluhurnya berasal dari Bugis Makassar. Kalaupun tidak, setidaknya mendapatkan pengaruh dari para pelaut Bugis yang datang ke pulau ini. Dugaan ini diperkuat dengan cerita rakyat dan mitologi yang berkembang di sana sampai sekarang. Apalagi beberapa pulau di sekitar Pulau Palue, seperti Pulau Besar, Pulau Kambingan, dan lainnya lebih banyak dihuni oleh orang-orang Bugis-Makassar. Bahkan, ada satu pulau khusus yang benar-benar berada di tengah lautan, dan menjadi tempat transit dari pelayaran laut ke seluruh pulau yang ada di Selat Maumere itu dihuni oleh orang Bajo. Artinya, tidak mustahil kelompok Bajo, Bugis, dan Makassar dari wilayah-wilayah sekitar atau mereka yang langsung berasal dari Pulau Celebesnya membuka Pulau Palue itu. Sayangnya, dugaan ini kalah kuat dengan hasil penelitian Vischer (2009) yang menyatakan bahwa Orang Palue memiliki kedekatan etnik dengan suku (dan penutur bahasa) Lio di Kabupaten Sikka. Pernyataan ini dihubungkan dengan adanya kemiripan sosiolinguistik, antara orang Palue dengan orang Lio. Terlebih ketika banyak ilmuwan menghubungkan asal mula orang Palue ini dengan kristenisasi atau katolikisasi yang berkembang di sana. Seandainya ia berasal dari kelompok Bugis-Makassar, maka sedikit mustahil mereka akan beragama Katolik.

(23)

dan Phinisi dengan keragaman layar, serta inovasi alat tangkapnya telah menjadi bukti kuat bahwa suku ini pernah berjaya di lautan. Bahkan, kemampuannya telah mengalahkan kelompok etnik Madura yang dikenal lebih dahulu menguasai lautan, dalam arti wilayah, pelayaran ataupun teknologi. Ilustrasi kekalahan etnik Madura di atas lautan kemudian dimunculkan dalam berbagai bentuk candaan dan simbolisasi lainnya. Gerobak sate orang Madura yang berbentuk perahu sering kali dinyinyir sebagai bentuk kekalahan mereka di lautan. Asumsinya, jika di lautan mereka kalah dengan orang Bugis, maka setidaknya mereka akan menguasai daratan dengan perahu itu. Kontestasi penguasaan pelayaran laut di wilayah geohistoris ini masih tetap berlangsung hingga kini. Berbagai macam kejadian tragis antara orang Bugis dan Madura di wilayah pelabuhan diduga memiliki korelasi kuat dengan sejarah sebelumnya.

(24)

Pelayaran laut ke wilayah-wilayah geohistoris di atas menjadi pilihan paling penting dilakukan masyarakat sampai sekarang. Kapal-kapal kayu dengan segala modelnya; jukung, kepiting, klotok,

sandek, tongkang, dan lainnya, masih hilir mudik melintasi

pulau-pulau kecil dan besar yang berada di wilayah geohistoris ini. Para pelautnya pun rata-rata terdiri dari kelompok etnik yang menguasai wilayah geohistoris keempat, dengan bukti adanya inovasi pelayaran dan alat tangkap yang sama persis. Hal paling sering dilupakan adalah hubungan antara pelayaran laut dengan pengembangan agama. Islamisasi sering kali terjadi pada masyarakat di pulau-pulau kecil atau di wilayah pantai. Aktivitas keagamaan yang dilakukan para pelaut di wilayah Indonesia tengah dan timur ini setidaknya ikut meramaikan dinamika sosial keagamaan yang selama beberapa abad sebelumnya didominasi oleh kelompok misi Katolik.

Dalam konteks kemaritiman, pengembangan agama Islam sepertinya tidak bisa dilepaskan dari aktivitas pelayaran laut. Banyak pelaut dan pedagang yang merangkap menjadi juru dakwah di berbagai tempat. Sebaliknya, dalam konteks daratan, aktivitas penyebaran keagamaan Kristen lebih tampak ketimbang keagamaan Islam. Pembangunan rel kereta api di sepanjang Pulau Jawa, misalnya telah melahirkan aktivitas gereformeerd ing jawi tengah sisi kidoel; kristen kerasulan Jawa baik melalui jaringan Kiai Tunggul Wulung ataupun Kiai Sadrach, gereja Hevromd di dataran tinggi Dieng dan Banyumas, dan lainnya. Demikian juga pembangunan Jalan Pos Deandels juga melahirkan banyak aktivitas Kristen di sepanjang pedesaan Jawa pasca-beroperasinya Jalan Pos tersebut. Penambahan jumlah penduduk pribumi yang masuk ke agama Kristen terlihat jelas pasca-pembangunan dua infrastruktur masterpiece yang didaulat Belanda untuk mendukung kebijakan tanam paksa itu. Daya dukung politik tanam paksa ini sering kali dialihkan sebagai bagian dari implementasi politik etis van Deventer yang mengikuti dua program lainnya, irigasi dan transmigrasi (kolonisasi).

(25)

sesungguhnya melahirkan dinamikanya sendiri. Kekayaan khazanah kebudayaan lahir di sana, dan pengaruhnya pun sampai masuk ke wilayah pedalaman yang notabene-nya adalah dunia agraris, yang disebut oleh Fachry Ali sebagai kelompok sawah (1996). Oleh karena itulah, berbicara tentang dunia kemaritiman dalam konteks Indonesia pada akhirnya tidak bisa dilepaskan dari hubungannya dengan wilayah-wilayah pendukungnya di pedalaman. Hasil bumi yang berada di wilayah pedalaman harus didistribusikan ke berbagai wilayah melalui pelayaran laut. Hubungan perdagangan antara wilayah pedalaman dan pesisir inilah yang melahirkan sistem

muge, bakul, ataupun tauke, di mana kemampuan pengumpulan

barang dan distribusi hasil menjadi peran pentingnya.

Di masa lalu, para saudagar Aceh dan Bugis dikenal menguasai jaringan pada tingkat distribusi ini. Namun, sedikit demi sedikit, peran mereka terus menyusut dan orang Cina akhirnya menguasai jaringan distribusi hasil bumi di berbagai wilayah. Bahkan, aktivitas perdagangan orang Cina di Jawa telah berlangsung lama, dan diduga sebelum kolonisasi aktivitas mereka telah berlangsung. Di masa kolonisasi, aktivitas perdagangan mereka kemudian dilindungi, karena dianggap menjadi mitra penting dalam pengumpulan produksi di wilayah jajahan. Penjajah Belanda tidak segan-segan menempatkan kelompok etnik Cina sebagai kelompok kelas kedua di bawah bangsa Eropa. Sebaliknya, perlakuan berbeda dialami oleh kelompok etnik pribumi yang diposisikan sebagai kelas inlander. Bahkan, dalam manuskrip tahun 1930-an, disebutkan bahwa kelompok inlander ini bisa disebut sebagai “manusia kerbau”, sebuah pengibaratan “kerja menarik gerobak,” karena bertugas khusus untuk menjadi “kelompok pekerja” yang mendukung aktivitas perdagangan Cina dan penjajahan Belanda. Pada masa-masa itu, stratifikasi sosial dan pekerjaan sangat terhubung dengan identifikasi etnik.

(26)

Port Cities of Asia from the 16th-20th Centuries, sampai-sampai menyatakan bahwa sekalipun suatu pelabuhan surut atau memudar aktivitasnya, bukan berarti ia juga menyurutkan jejaring kebuda-yaan yang sebelumnya telah hadir dan dibentuk bersama dengan pertumbuhan pelabuhan. Banyak produk kebudayaan beserta aspeknya yang tetap dimiliki dan diakui oleh masyarakat di wilayah itu. Proses inilah yang disebut sebagai cradle of culture (simpul atau jejaring kebudayaan). Ia kemudian memperkuat fenomena ini dengan mengaitkannya pada hubungan berbagai komunitas sebagaimana disebutkan di atas. Jaringan dan pertumbuhan ekonomi pada wilayah tertentu, khususnya di masyarakat pesisir, juga akan memengaruhi kehidupan masyarakat lainnya. Menurut Frank Broeze (1989), setidaknya ada tiga aspek yang dapat dilihat.

Pertama, melihat perkembangan suatu wilayah berdasarkan

dimensi internal dan eksternal. Kedua, melihat hubungan antara wilayah pesisir dengan wilayah pemasok lainnya. Ketiga, melihat hubungan kekuasaan (politik, ekonomi, dan sosial) dari kelompok elite dengan kelompok lainnya. Ketiga aspek ini harus dibaca bersamaan dalam melihat pertumbuhan lima wilayah geohistoris di atas, termasuk juga harus melihat masyarakat agrarisnya, dan kelompok masyarakat pendukung lainnya di satu wilayah ataupun wilayah lain yang terhubung dengan aktivitas pelayaran laut itu.

(27)

Setiap gerak hubungan yang tertuang dalam kebudayaan material dan kebudayaan nonmaterial juga ikut menyiratkan maksud mendalam tentang suatu kebangsaan. Dengan demikian, mengikat kesatuan negara-bangsa atau mendorong kejayaan negara, berarti juga perlu memahami visi dan falsafah awal dari ikatan kebangsaan berbasiskan pada jaringan laut beserta poros maritimnya.

Sayangnya, kesadaran atas pentingnya konektivitas beserta inovasi budaya berbasiskan maritim keindonesiaan ini lebih lambat dibandingkan Tiongkok. Dua tahun terakhir ini, Tiongkok telah berseru keras tentang semangat “Kejayaan Tiongkok” berdasarkan strategi yuja lu, “beda jalur, satu ikatan”, atau biasa disebut “jalur

sutra modern”. Romantisme kejayaan Cina masa lalu benar-benar

digunakan untuk memotivasi semangat produktivitas dan daya saing masyarakat Cina kekinian. Romantisme ini pun dibungkus dengan dramatisasi pada fase penderitaan dan penghinaan akibat kolonisasi yang mendera Cina berabad lamanya. Pengejewantahan romantisme pada konteks kekinian telah menjadikan Cina sebagai pusat baru gravitasi ekonomi dari sektor perdagangan dan industri. Walaupun di sisi lain, romantisme kejayaan negeri satu milyar penduduk itu pun telah membawa banyak persoalan yang bersifat regional dan internasional. Semangat dan gerakan ultranasionalisme Cina terasa di wilayah-wilayah Samudra Pasifik dan Laut Cina Selatan. Klaim atas tapal batas kepemilikan dan pengakuan kedaulatan yang menafikan prinsip-prinsip ketetanggaan telah mulai jelas terlihat. Pengakuan atas legal history kebudayaan di wilayah-wilayah itu menjadi dasar negeri ini akan merambah berbagai wilayah kedaulatan negeri-negeri lain. Semua eksistensi negara lain seolah tiada, dan batas-batas yang ada pun menjadi borderless. Semangat ultranasionalisme pasca-Perang Dunia I, sepertinya merasuki Tiongkok untuk memperluas wilayah atau kawasannya di Laut Cina Selatan.

(28)

bawah Presiden Joko Widodo telah memiliki semangat Nawacita yang salah satu butirnya berusaha menjadikan lautan sebagai poros paling penting dalam memutar dan menggerakkan perekonomian dan pembangunan. Prinsip konektivitas antar-berbagai pulau atau jalur rempah-rempah di belahan Indonesia Bagian Barat, Tengah dan Timur dibangun, direvitalisasi dan dihidupkan kembali dan dikembangkan. Bedanya dengan Cina, konektivitas yang ada itu tidak merambah pada akuisisi kepemilikan wilayah negara lain. Konektivitas yang ada pada bangsa Indonesia ini, cukup dengan potensi dan kepemilikan gugusan pulau-pulau beserta kelompok masyarakatnya yang dipenuhi oleh kekayaan dan keragaman budayanya. Dengan lautan yang membentang dari timur ke barat, dari utara ke selatan, maka konektivitas berbasiskan lautan itu akan menjadi strategis bagi penghantaran kejayaan bangsa. Hal ini sebenarnya telah terlihat pada era pelayaran tradisional masyarakat, di mana selain menumbuhkembangkan sektor ekonomi, fenomena ini juga mencipta silang budaya yang mampu menyusun puncak-puncak kebudayaan nasional.

Pembentukan poros maritim sebagaimana yang ditargetkan Presiden Jokowi pada akhirnya bukanlah semata mengedepankan pembangunan infrastruktur pelabuhan dan pengistimewaan tol laut, tetapi semangatnya telah mendudukkan romantisme ikatan laut yang ada sebelumnya, dan kemudian dikembangkan menjadi semangat kejayaan berbangsa. Bangsa Indonesia sebenarnya lebih mengenal jalur rempah-rempah, ketimbang jalur sutra. Konektivitas berbagai kelompok masyarakat dengan alur pelayaran laut tradisional mereka yang telah melahirkan puncak-puncak kebudayaan nasional pun perlu mendapatkan perhatian secara maksimal. Semangat Nawacita dalam aspek maritim, sesungguhnya sama dengan Tiongkok yang mampu memodifikasi romantisme jalur sutra untuk kejayaan negeri Cina dalam konteks kekinian.

(29)

jalur rempah-rempah, seperti memodifikasi pelayaran laut tradisional untuk kepentingan dan kejayaan bangsa? Mampukah generasi muda memahami fenomena-fenomena kemaritiman masa lalu, dan menariknya dalam konsepsi inovasi yang bermanfaat guna bagi masyarakat Indonesia kekinian? Pertanyaan ini sesungguhnya menuntut jawaban dari para generasi muda dengan cara merefleksikan dan “membayangkan kejayaan masa lalu” dan memodifikasinya untuk kejayaan bangsa di masa kini. Banyak aspek yang bisa dilihat, dan kemudian diantarkan pada tahapan inovasi kekinian. Aspek-aspek itu, misalnya: (i) Fenomena kebudayaan material dan kebudayaan non-material yang unik yang berasal pada zona lingkungan laut; (ii) Karakter kebudayaan dan pelaku budaya pada lima wilayah geohistoris; (iii) “Pengalaman” konektivitas antar-wilayah yang dapat membangun poros maritim, berbasiskan life story, folklore, dan lainnya; (iv) Interkonektivitas masyarakat Indonesia dan dampaknya terhadap ekstrakonektivitas di luar negeri, seperti kasus diaspora (pertemuan kebudayaan dengan pihak lain); (v) Mekanisme internal dalam peneguhan silang budaya dan bahasa multietnik, sebagaimana dimensi-dimensi internal dan eksternal yang dinyatakan oleh Frank Broeze; (vi) Ketahanan pangan dalam konteks relasi sumber daya produksi dan distribusinya; dan (vii) Strategi memodifikasi romantisme poros maritim tradisional ke konteks kekinian, misalnya pembangunan jalur rempah-rempah yang dihubungkan dengan tol laut, dan sebagainya. Rambahan aspek-aspek ini dapat dihubungkan dengan tujuan kehidupan berbangsa, baik dari sisi kebudayaan ataupun kewilayahan.

(30)

memberikan peluang kepada para pelajar untuk mengangkat ranah dan konteks wilayah asalnya, dan kemudian melihat dari sudut pandangnya masing-masing.

Menilik Esai 15 Finalis

Panitia dan dewan juri telah menerima 683 naskah esai untuk dinilai kualitas dan kesinambungannya dengan tema yang ditetapkan. Banyak esai mengambil tema tentang praktik-praktik kebudayaan yang berkembang di masyarakat pesisir. Sayangnya, praktik kebudayaan yang digali hampir seragam, yaitu praktik sedekah laut atau syukuran petik laut, dengan alih bahasanya yang cukup beragam. Sebagian pelajar ada pula yang mengangkat inovasi dalam arti pengembangan teknologi terap guna untuk mendukung pengelolaan sumber daya pada sektor perikanan laut, tambak, dan lainnya. Sebagian lagi ada yang mengangkat kebijakan pengembangan kawasan pesisir yang dapat memberikan kesejahteraan kepada masyarakat nelayan yang selama ini dianggap miskin. Sayangnya, sedikit sekali esai yang berbicara tentang jaringan atau konektivitas antar-wilayah yang terhubung oleh pelayaran laut, terlebih mengangkat sebuah pengalaman dari para pelaut ulung. Padahal tema ini cukup strategis jika diangkat untuk kepentingan dalam konteks nasional.

(31)

ataupun abstrak. Di dalamnya mencakup sistem nilai, sistem budaya, pandangan hidup, pandangan dunia, kepercayaan, praktik seni, perilaku rutin, pengetahuan, teknologi, bahasa, dan berbagai aspek lain yang menjadi pemerian dari tujuh aspek kebudayaan sebagaimana yang dinyatakan oleh Koentjaraningrat (1987).

Tidak hanya itu, secara substansial, para pelajar ini belum berani “memodifikasi” atau merefleksikan data temuannya, sehingga esai terkesan masih bersifat data mentah. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan para pelajar untuk bercerita, menarasikan atau “membunyikan data” masih belum terolah dengan baik. Sistem pembelajaran di sekolah yang kurang memaksimalkan pengembangan daya kreasi para pelajar dalam menulis sepertinya menjadi titik pangkalnya. Kenyataan tersebut semakin diperkuat dengan meningkatnya potensi penjiplakan dari ratusan esai yang masuk. Perbandingannya cukup signifikan, yaitu dari 20 esai yang masuk, maka 1 esai berpotensi plagiasi. Jika perbandingan ini mendekati kebenaran, maka dunia pendidikan Indonesia memiliki pekerjaan rumah yang cukup serius, yaitu menyadarkan para pelajar dan termasuk para gurunya untuk tidak bermain-main dalam praktik yang melanggar etika akademik. Berdasarkan prinsip-prinsip kehati-hatian itu, maka dewan juri akhirnya memilih 15 finalis esai yang dianggap “bersih” dari unsur plagiasi, dan secara substansial masuk dalam tema yang ditetapkan.

(32)

isu-isu terkait pada daya dukung dan sumber daya manusianya. Pada isu pertama, ada sembilan buah esai yang masuk dalam kategori ini. Tiga di antaranya masuk sebagai Juara 1, Juara Harapan 1 dan Juara 3. Esai juara pertama, “Simantri Pulihkan Penggarap Kristal

Gurih Kusamba dalam Warna Tri Hita Karana”, yang ditulis oleh

Ni Kadek Sri Jayanti dari Bali, memberikan gambaran yang cukup baik tentang pengembangan dunia maritim sesungguhnya tidak

an sich berkisar pada ranah di atas lautan, tetapi juga di pinggir lautan. Jayanti secara jeli melihat bahwa produksi garam memiliki pengaruh kuat terhadap persoalan pengembangan kawasan maritim, khususnya pada peningkatan ekonomi masyarakat nelayan dan para peladang garamnya. Terlebih ketika produksi garam itu telah didasarkan pada prinsip-prinsip kosmologis-teologis yang menyatu dalam praktik kebudayaan masyarakat pelaku. Hasilnya, bukan hanya menguntungkan manusia pelakunya, tetapi juga kelompok masyarakatnya, dan juga termasuk lingkungan di mana produksi itu dihasilkan. Segitiga kepentingan yang didasarkan pada landasan teologis itu kemudian dikemas dalam pengelolaan sumber daya yang baik dalam bentuk paguyuban-paguyuban pembuat garam.

(33)

Jika tulisan esai juara pertama mengungkap bentuk paguyuban Simantri pada para pembuat garam, maka ada pula penulis yang berusaha menerapkannya pada masyarakat nelayan. Ada asumsi kuat bahwa pengembangan kawasan maritim, sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari persatuan kelompok nelayan sendiri. Bagi Kadek Yuni Antari, pengelolaan yang benar tentang kebersamaan dan kerja sama dalam aktivitas dan hasil kelautan menjadi titik tolak yang mampu menyejahterakan kehidupan masyarakat nelayan. Kemiskinan nelayan di masa lalu lebih disebabkan oleh tata kelola yang buruk, dan tidak menyesuaikan diri dengan tantangan dan konteks kekinian. Upaya menarasikan persoalan ini kemudian ditulis oleh Yuni Antari dengan esai berjudul “Revitalisasi Budaya Maritim: Bercermin dari Sekaa Nelayan Mina Bhakti Soansari”. Penulisnya dinobatkan sebagai Juara Harapan 3.

Selain mengungkap potensi, beberapa esai memerikan persoalan yang dihadapi masyarakat nelayan. Pada umumnya nelayan Indonesia sering menghadapi tiga masalah besar, yaitu (i) keterbatasan pendidikan, (ii) rendahnya kualitas hidup karena berada di wilayah kumuh, dan (iii) terjeratnya mereka pada kemiskinan. Pada aspek pendidikan, banyak anak nelayan putus sekolah, bukan hanya sebagai akibat kemiskinan orang tuanya, tetapi kebiasaan yang berkembang di dalam masyarakat yang membuat mereka malas untuk bersekolah. Sering kali anak-anak usia sekolah dilibatkan dalam penangkapan ikan, pembersihan perahu dan pelabuhan, perbaikan alat tangkap, dan sebagainya. Setiap pelibatan itu, mereka sering mendapatkan upah yang cukup banyak dalam kacamata seorang anak, baik berupa uang tunai ataupun pembagian hasil ikan (sistem alang-alang ataupun

(34)

pendidikan merupakan syarat dari peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan. Demikian pula pendidikan merupakan faktor utama keberhasilan dari implementasi pembangunan poros maritim. Kesimpulan seperti ini setidaknya disampaikan oleh Ledy Fitra Ramadhani dalam esainya yang berjudul “Pendidikan sebagai Tonggak Poros Maritim Nusantara”. Melalui esai yang cukup berbeda inilah, ia dinobatkan sebagai Juara Harapan 1.

(35)

Sementara masalah ketiga yang dihadapi masyarakat nelayan, yaitu kemiskinan, hampir dinyatakan tidak ada penulis yang benar-benar menggalinya. Tulisan “Berae: Pola Relasi Produksi dan Distribusi Masyarakat Pesisir Belitung” dari Yonky Rizki Munandar yang pada awalnya diduga melihat kemiskinan dari pengaruh relasi ini, kenyataannya tidak. Yonky terjebak pada perspektif positif tentang berae, dan tidak berusaha mencari titik lemah yang mem-bawa kerugian bagi nelayan. Apapun relasi sosial ekonomi yang terhubung dengan menggunakan sistem atau cara “menjerat klien” sesungguhnya berpotensi menciptakan kemiskinan (Humaedi, 2011). Hal ini tidak dilihat oleh Yonky, kecuali ia lebih melihat aspek pasca-relasi itu terbangun. Misalnya, bagaimana hasil ikan kemudian diolah menjadi bahan makanan, dan selanjutnya dijual, dan seterusnya. Padahal tulisan ini sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk mengungkap masalah kemiskinan dari relasi sosial ekonomi secara baik.

Selain soal kemiskinan, ada dimensi-dimensi internal dan eksternal lain yang terkait pada isu kemaritiman, yaitu sejarah dan silang budaya di antara berbagai komunitas yang ada. Dari 15 esai finalis, setidaknya ada tiga esai yang berada pada isu ini. Pertama, tulisan Pradita Widyaningrum dengan judul “Jejak Budaya Maritim di Pura Pakualaman: Ajaran Etik melalui Tradisi

Iluminasi Naskah Kuno”. Tulisan ini berusaha mengungkap bahwa

jejak-jejak tentang dunia maritim pun ikut direkam oleh pihak penguasa yang dilahirkan dan dibesarkan dalam sudut pandang dunia agraris. Artinya, hubungan antara wilayah pedalaman dan pesisir sebenarnya telah terjadi jauh sebelum teori Frank Broeze dinyatakan. Terlebih ketika rekaman itu sudah dipahatkan dalam bentuk artefak kebudayaan, berupa pura. Hal ini menunjukkan adanya “pengalaman yang berkesan” dari peristiwa sebelumnya.

Kedua, “Kelenturan Budaya Maritim Nusantara dalam Tinjauan

(36)

yang disampaikan oleh Pradita Widyaningrum di atas. Tulisan ini menggambarkan adanya silang atau pertemuan berbagai budaya, di mana kebudayaan asli tidak lagi menunjukkan bentuknya, karena semua unsur kebudayaan itu membentuk kebudayaan baru yang dipraktikkan masyarakatnya. Kelenturan yang dimaksud Rifai ini barangkali lebih dekat dengan istilah hibriditas. Sayangnya, tulisan ini belum secara kuat menampilkan data temuan sendiri dan merefleksikannya dalam bentuk inovasi budaya maritim kekinian.

Ketiga, tulisan Dwi Suyoko tentang “Memayu Hayuning Samudra:

Kearifan Lokal untuk Kejayaan Global”. Tulisan ini benar-benar mengangkat dimensi internal komunitas maritim, khususnya terkait pada tradisi sedekah bumi dan pandangan dunia mereka tentang upaya menjaga wilayah lautnya. Tawaran tentang Memayu

Hayuning Samudra sebenarnya cukup baik, karena ia berusaha

mengkontekstualkan tradisi pada cara berpikir global. Sayangnya, tulisan ini kurang kuat merefleksikan proses dan bentuk yang tepat dalam upaya Memayu Hayuning Samudra untuk kehidupan masyarakat maritim dewasa ini. Konteks ini sebenarnya sangat berguna untuk mendukung pembangunan poros maritim, khususnya dari sisi landasan-landasan nilai berbasiskan kebudayaan lokalnya.

(37)

itu kemudian mengetahui informasi terbaru yang berkembang dan akhirnya mampu mengembangkan wilayahnya sesuai dengan apa yang berkembang di wilayah pesisirnya. Sayangnya sedikit sekali pelajar yang tertarik mengungkap masalah konektivitas ini. Dari sekian esai, hanya satu tulisan yang sedikit menonjol mengungkap persoalan tersebut. Tulisan Nur Mustaria Putri dari Pinrang, Sulawesi Selatan yang berjudul “Pelabuhan Lokal untuk Panen Raya Padi” telah berusaha menggambarkan bagaimana hasil bumi yang dihasilkan dari wilayah pedalaman Kabupaten Pinrang didistribusikan ke berbagai wilayah dan pulau di Nusantara. Pada awalnya ia berusaha menjelaskan potensi hasil panen padi, sebagaimana isi dari syair lagu “Elong Ogi, Mappadendang”, lalu mengangkatnya pada persoalan pengiriman hasil panen. Sayangnya, Mustaria belum cukup berhasil menyodorkan data dan menarasikan “peristiwa-peristiwa” apa saja ketika hasil bumi itu berada di pelabuhan, dan bagaimana proses distribusinya. Tetapi, sebagai sebuah langkah awal untuk menjelaskan konektivitas, tulisan ini akhirnya mendapatkan apresiasi tersendiri dari dewan juri. Penulisnya dinobatkan sebagai Juara Harapan 2 dalam lomba esai nasional ini.

Isu ketiga, pola kekuasaan dan kelompok-kelompok yang

berada di dunia maritim. Tulisan Yonky tentang relasi berae

(38)

agama dan tokoh adat bisa mengarahkan anggota warganya untuk bersikap sebagaimana yang diharapkannya. Harapan itu, misalnya, untuk membangun nilai-nilai kebersamaan dalam prosesi petik laut dan kerja-kerja sosial lainnya. Tulisan Putu Chelsea Brelian dengan judul “Menjaga Keharmonisan Nelayan Multietnik melalui Tradisi Petik Laut” cukup baik menceritakan persoalan hubungan antara tokoh agama, tradisi petik laut, dan keharmonisan di masyarakat. Dari perspektif yang antropologis, Chelsea menarik benang merah itu pada landasan nilai-nilai yang ada pada tradisi petik laut. Karena tulisan inilah, Chelsea dinobatkan sebagai Juara 3 dalam lomba esai tersebut.

Selaras dengan temuan Chelsea dalam kasus peran kepemim-pinan lokal, maka Yeremias Apriliano Santoso dengan tulisan yang berjudul “Kebhu: Kail terakhir” juga berusaha mengungkap peran pemimpin lokal dalam ranah pengelolaan sumber daya laut. Judul tulisan ini pada awalnya sulit dimengerti, karena ia menunjuk pada praktik penangkapan ikan saja, tetapi ketika bahasan diarahkan pada pemanfaatan hukum adat dalam penangkapan ikan akhirnya hal menarik dapat terkuak. Tulisan ini setidaknya mampu menghadirkan inovasi budaya versi lokal dalam pengelolaan sumber daya laut demi kesejahteraan bersama komunitasnya. Akhirnya, secara substansi tulisan ini cukup memadai dan mengena dalam tema inovasi budaya maritim yang ada. Karena itulah, Yeremias kemudian dinobatkan sebagai Juara 2 dalam lomba esai nasional ini.

Persoalan alat tangkap dan hubungannya dengan kelompok di dalam masyarakat rupanya dapat menjadi ide dari tema ini. Selain Yeremias tentang kebhu, masih ada dua peserta lain yang berusaha mengangkat persoalan yang mirip tetapi berbeda praktiknya.

(39)

maka ia dapat menarik benang merah dari pola kekuasaan yang memiskinkan kelompok pekerja pada masyarakat nelayan. Aspek inilah yang paling diharapkan dari tulisan ini. Kedua, “Menongkah

Kerang: Implementasi Keluhuran Budaya Bangsa sebagai Inovasi

Budaya Maritim”, tulisan Pernando Pratama. Tulisan Pernando dimulai dari sesuatu yang sederhana, yaitu tradisi menongkah kerang

yang dilakukan masyarakat Sumatera. Menongkah adalah sebuah alat “tangkap” ikan dan kerang di bagian tanah permukaan. Pada awalnya tulisan ini menghendaki adanya refleksi terhadap nilai-nilai yang terkandung pada tradisi ini, dan kemudian diangkatnya sebagai strategi pembangunan masyarakat pesisir. Sayangnya, narasi dari tujuan tulisan ini belum sempurna, sehingga belum mampu merefleksikan nilai-nilai yang ada secara implementatif.

Isu ketiga akhirnya diakhiri oleh tulisan Moh. Mahmud tentang “Ki Bahri dan Modernisasi Kebudayaan Bahari”. Karakter tulisan ini berbeda dengan tulisan-tulisan sebelumnya. Catatan dan pengalaman hidup seseorang benar-benar diangkat dan dinisbatkan dalam membangun kebudayaan bahari. Tulisan ini sesungguhnya enak dibaca, sangat mengalir, dan pembaca seolah dapat menyelami sosok Ki Bahri. Sayangnya, data tentang Ki Bahri kurang memadai, sehingga Ki Bahri seolah menjadi “sosok imajiner”. Selain itu, penulis belum berusaha mengangkat inovasi budaya seperti apa yang bisa diambil dari sosok Ki Bahri ini. Walaupun penulis telah memaparkan tentang nilai-nilai luhur yang melekat pada sosok Ki Bahri, pertanyaannya bagaimana cara menginternalisasi nilai-nilai itu bagi masyarakat luas yang berbeda konteks waktu dan ruangnya. Demikian juga upaya merevitalisasi nilai-nilai luhur bukan semata pada romantisme tentang suatu ketokohon, tetapi menjadikan tokoh itu seolah bisa hidup bersama dengan masyarakat dan bisa menjawab segala tantangan yang dihadapinya, belum terungkap dalam tulisan ini.

(40)

gambaran mengenai dunia kemaritiman kita. Keterbatasan berbagai aspek dunia maritim terlihat jelas pada tulisan-tulisan itu. Kita melihat bahwa aspek pengembangan kewilayahan maritim benar-benar masih terbatas. Hal ini disebabkan oleh orientasi pembangunan pada rezim sebelumnya yang memprioritaskan wilayah daratan. Demikian pula aspek konektivitas yang menjadi prasyarat dari keberhasilan pembangunan poros maritim pun masih terkendala dengan daya dukung infrastruktur. Selain itu, upaya meromantisasikan jalur rempah-rempah yang dimiliki dan dialami oleh para pelaut dalam bentuk pelaksanaan lapangan sepertinya sulit dilakukan karena berhubungan dengan perubahan peta politik kekuasaan dengan sistem batas-batas negara dan daerah otonomi. Gambaran tentang ambang batas kebudayaan melalui proses silang budaya berbagai komunitas pesisir juga terlihat jelas. Beberapa tulisan telah menyodorkan penjelasan mengenai proses pertemuan berbagai entitas kebudayaan (etnik) yang ada, baik kebudayaan

mainstream maupun marginal yang menghasilkan praktik

kebudayaan tertentu. Pertemuan entitas kebudayaan ini menjadi penting, karena wilayah-wilayah pesisir pada umumnya dikenal sebagai simpul-simpul jejaring distribusi ekonomi di Nusantara yang sekaligus juga menciptakan jejaring kebudayaannya sendiri.

(41)

berusaha menghasilkan berbagai pemikiran baru dalam membangun dunia maritim demi kejayaan bangsanya. Semoga harapan ini dapat terwujud di kemudian hari.

Pondok Sruni, 20 Juli 2015

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Fachry. 1996. Golongan Agama dan Etika Kekuasaan: Keharusan Demokratisasi dalam Islam Indonesia. Surabaya: Risalah.

Bertrand, Romain. 2011. L‘Histoire à parts égales. Récits d'une rencontre Orient-Occident (XVIe-XVIIe siècles), Paris, Seuil, bab 15, hlm. 420-436.

Broeze, Frank (ed). 1989. Brides of the Sea: Port Cities of Asia from

the 16th-20th Centuries. Kensington: New South Wales

University Press.

Halwany, DN. 2012. “Kilasan Sejarah Antara Anyer dan Panarukan”. Dalamhttps://humaspdg.wordpress.com/2010/04/10/ kilasan-sejarah-antara-anyer-dan-panarukan/.Diakses tanggal 1 Juli 2015.

Humaedi, M. Alie. 2004. Budaya Dombret dan Komunitas Laut. Jakarta: Kementerian Riset dan Teknologi RI.

__________. 2014. “Perubahan Nilai-nilai Budaya Masyarakat Aceh Pasca Bencana Tsunami”. Jurnal Patrawidya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya. Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta. Vol. 15, No. 4, Desember. Hlm. 561-584.

__________. 2013. “Proses Silang Budaya Komunitas Muslim Wong Lumpur Gresik”. Jurnal Karsa, STAIN Pamekasan Madura. Vol. 21 No. 2, Desember, Hlm. 219-237.

(42)

dan Persoalan Masyarakat dalam Perumusan Kebijakan. Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jendral DPR RI. Vol. 17, No. 3, September. Hlm. 329-355.

__________. 2011. “Mematahkan Pewarisan Kemiskinan”. Jurnal

Masyarakat dan Budaya. Pusat Penelitian Kemasyarakatan

dan Kebudayaan, LIPI. Vol. 13, Edisi Khusus. Hlm. 83-110.

__________ & Saeful Hakam. 2014. “Merajut Keindonesiaan Kita”. Dalam Muhammad AS Hikam. Indonesia Outlook 2014-2019. Jakarta: Rumah Buku & Dewan Analis Strategis.

Koentjaraningrat. 1989. Pengantar Antropologi. Jakarata: Aksara.

Syafi’i, Imam. 2015. “Dari Selat Menuju Samudera Luas: Konektivitas Sosial Ekonomi Pengangkut Garam Madura, 1957-1981”. Dalam Jurnal Politik, Pusat Penelitian Politik-LIPI.

Vischer, Michael P. 2009. Contestations: Dinamycs of Precedence

in an Eastern Indonesia domain, To’a, Palue Island. Dalam

Precedence: Social Differenciation in the Austronesian

WorldCanberra: The Australian National University; and

Leiden: International Institute for Asian Studies.

Zuhdi, Susanto. 2002. Cilacap: Bangkit dan Runtuhnya Suatu

Pelabuhan di Jawa, 1830-1942. Jakarta: KPG.

(43)
(44)

Kata Pengantar

Hendarman (Kepala Puslitjakdikbud) ... v

Menjejak Kejayaan, Mendedah Keunggulan Inovasi Budaya Maritim

M. Alie Humaedi (Peneliti PMB-LIPI) ... ix

Simantri Pulihkan Penggarap Kristal Gurih Kusamba dalam Warna Tri Hita Karana

Ni Kadek Sri Jayanti(SMAN Bali Mandara, Bali) ... 1

Pertanian di Sektor Kelautan sebagai Strategi Ketahanan Pangan Tanpa Lahan

Elviga Arselatifa (SMAN 1 Kendal, Jawa Tengah) ... 13

Revitalisasi Budaya Maritim:

Bercermin dari Sekaa Nelayan Mina Bhakti Soansari

Kadek Yuni Antari (SMAN Bali Mandara, Bali) ... 25

Pendidikan sebagai Tonggak Poros Maritim Dunia

Ledy Fitra Ramadhani (SMAN 1 Probolinggo, Jawa Timur) ... 35

Penanggulangan Sampah di Wilayah Laut Tobati:

Kaitannya dengan Hukum Adat Mendo Khor Nanat di Jayapura

Ahmad Irianto(SMA Negeri 1 Jayapura, Papua) ... 45

Berae: Pola Relasi Produksi dan Distribusi Masyarakat Pesisir Belitung

Yonky Rizki Munandhar

(45)

Jejak Budaya Maritim di Pura Pakualaman: Ajaran Etik melalui Tradisi Iluminasi Naskah Kuno

Pradita Widyaningrum (SMA Negeri 8 Yogyakarta) ... 67

Kelenturan Budaya Maritim Nusantara dalam Tinjauan Sejarah dan Aktualisasinya di Abad XXI

Rifai Nuruddin(SMA Negeri 2 Surakarta, Jawa Tengah) ... 83

Memayu Hayuning Samudra:

Kearifan Lokal untuk Kejayaan Global

Dwi Suyoko (SMA Negeri 2 Purbalingga, Jawa Tengah) ... 93

Pelabuhan Lokal untuk Panen Raya Padi

Nur Mustaria Putri

(SMA Negeri 11 Unggulan Pinrang, Sulawesi Selatan) ... 103

Menjaga Keharmonisan Nelayan Multietnik melalui Tradisi Petik Laut

Putu Chelsea Brelian

(SMK Kesehatan Vidya Usadha Singaraja, Bali) ... 115

Kebhu: Kail Terakhir

Yeremias Apriliano Santoso (SMA Seminari Pius XII Kisol, NTT) ... 127

Rompong, Rumah Surga, Katanya

Saiir Rohman (MA TMI Al-Amien Prenduan, Sumenep, Madura) ... 137

Menongkah Kerang: Implementasi Keluhuran Budaya

Bangsa sebagai Inovasi Budaya Maritim

Pernando Pratama(SMA Negeri Plus Provinsi Riau) ... 147

Ki Bahri dan Modernisasi Kebudayaan Bahari

Moh. Mahmud (MA. Tahfidh Annuqayah, Sumenep, Madura) ... 155

(46)

S

aat kecil, saya sering bertanya pada ibu tentang asinnya air laut. Lalu, ibu memberitahu saya bahwa air laut memiliki kandungan garam di dalamnya. Awalnya, saya hanya mengangguk tanda mengerti dan berhenti sampai di sana. Ketika saya semakin dewasa, saya pun bertanya-tanya mengapa garam bisa terbentuk dari air laut. Saat saya duduk di bangku sekolah dasar, saya mulai mengetahui bahwa garam berasal dari proses penguapan dari air laut, yang kemudian endapannya mengalami proses kristalisasi.

Suatu hari, ketika ibu memasak saya bertanya tentang rasa masakan ibu yang selalu nikmat. Ternyata, rasa itu berasal dari garam, yang ajaibnya mampu membuat masakan ibu begitu pas di lidah. Saya mulai penasaran dengan proses pembuatan garam itu sendiri. Oleh karena itu, saya mulai mencari informasi tentang pembuatan garam. Ternyata, ada orang yang disebut dengan petani garam, proses pembuatan garam, dan yang paling mengejutkan adalah tempat itu berada di pesisir Pantai Kusamba, tempat yang selama ini cukup dekat dengan saya. Kekaguman saya mulai membuncah karena saya bisa menemukan sebuah kekayaan bahari yang tidak saya ketahui sebelumnya.

Kristal Gurih

Kusamba

dalam Warna

Tri Hita Karana

(47)

Garam ternyata lahir dari hamparan pasir hitam yang luas. Salah satu pasir yang melahirkan garam adalah Kusamba. Kusamba adalah suatu desa yang terletak di Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung, Bali. Uniknya, pesisir Pantai Kusamba merupakan salah satu perkampungan komunitas Islam yang terdapat di Bali. Meskipun begitu, masyarakat pesisir Pantai Kusamba sangat meng-hargai perbedaan dengan memegang konsep menyama braya

atau bersaudara satu dengan yang lainnya dan Tri Hita Karana

khususnya dalam pawongan atau hubungan harmonis dengan sesama manusia. Hal ini dibuktikan dengan nama-nama orang muslim di sana yang menggunakan nama depan masyarakat Bali, seperti Putu, Kadek, Komang, dan Ketut. Daerah pertanian garam ini juga sering digunakan untuk upacara penglukatan gumi atau

melasti yang rutin dilakukan setahun sekali oleh masyarakat Bali,

dengan tujuan untuk menghilangkan segala unsur-unsur tidak baik yang ada di bumi. Penduduk yang bermukim di daerah pesisir sama sekali tidak keberatan, malah mereka sangat antusias dan toleran dengan pelaksanaan upacara melasti ini. Akulturasi yang berdasarkan toleransi membuat masyarakat pesisir Pantai Kusamba dapat hidup damai dalam harmoni.

Kusamba memiliki pantai yang indah dengan potensi garam yang luar biasa. Tidak seperti garam pada umumnya yang dibuat dengan bantuan mesin ataupun media tanah dan tambak, garam Kusamba masih menggunakan cara tradisional dan pasir hitam yang halus. Hal ini menunjukkan bahwa, selain memiliki rasa toleransi dan

menyama braya yang tinggi, para petani garam di Kusamba secara

tidak langsung juga menerapkan konsep Palemahan dalam Tri Hita Karana, yaitu berhubungan baik dan selalu menjaga alam seperti menjaga diri sendiri. Mulai dari penggemburan dan perataan lahan pasir dengan cangkul dan penggaruk pasir yang terbuat dari kayu.

(48)

benar-benar datar, yang kemudian disiram dengan kurang lebih 40 kali dengan air laut, yang diciduk langsung dari pantai menggunakan pikulan bambu yang masih sangat sederhana. Tahap selanjutnya adalah pengeringan pasir yang membutuhkan waktu sekitar empat sampai lima jam (itu pun jika matahari terik). Setelah kering, pasir akan diangkut menuju ke tempat penyaringan, yang nantinya akan menghasilkan air yang mengandung garam. Air tersebut nantinya akan ditampung ke tempat yang mirip dengan lesung, namun terbuat dari kayu dan di atasnya telah dilapisi terpal yang memiliki cekungan di dalamnya. Air tersebut akan mengalami penguapan dan pengkristalan yang memakan waktu 5-6 hari hingga menjadi garam yang siap konsumsi.

Cara pembuatan yang tradisional dan masih bergantung pada alam membuat garam Kusamba memiliki rasa asin yang unik dan berbeda dengan garam lainnya. Jika dibandingkan, garam Kusamba memiliki rasa asin yang gurih serta butiran garam yang halus dan putih, sedangkan garam pabrik memiliki rasa pahit dan tidak ada esensi gurih di dalamnya. Hal ini tentu sudah menunjukkan kualitas yang ditawarkan oleh garam Kusamba, hingga menjadikannya sebagai sentral pembuatan garam di Klungkung dan Bali pada umumnya. Bahkan, garam Kusamba telah berhasil menembus pasar global dan saat ini telah melaut hingga ke negeri Jepang (detik.com, 2013). Hal ini menunjukkan bahwa meskipun cara pengolahan masih sangat tradisional dan hanya mengandalkan warisan pengetahuan dari nenek moyang, berhasil membawa nama Indonesia ke kancah internasional dengan berpegang teguh pada tradisi dan konsep Palemahan dalam Tri Hita Karana.

(49)

dengan kualitas dari sumber daya manusia yang mengolahnya. Melihat potensi masyarakat yang multikultural, harmonis dan pekerja keras, tentu kelangsungan dari pembuatan garam tradisional Kusamba akan terjamin, namun minat masyarakat yang sangat rendah menyebabkan menurunnya jumlah petani garam tradisional Kusamba dan mengancam kelangsungan pengolahan potensi bahari di pantai Kusamba.

Potensi luar biasa yang tidak diimbangi dengan pengolahan dan pemanfaatan yang baik menyebabkan potensi garam tradisional yang ada di Kusamba disia-siakan. Padahal, garam tradisional Kusamba telah menembus pasar global. Petani garam di Kusamba juga menjadi contoh penerapan konsep menyama braya, yaitu saling membahu dalam pertaniannya dan Palemahan, sadar akan hubungan dengan lingkungan yang amat tinggi dalam pembuatan garamnya. Jika hanya menunggu dan acuh tak acuh, pastinya garam tradisional Kusamba hanya akan menjadi sejarah, layaknya armada laut Kerajaan Sriwijaya yang luar biasa hingga menguasai jalur perdagangan Asia Tenggara, tetapi harus runtuh dengan segala kejayaan yang pernah dibawa sebelumnya.

(50)

Kesejahteraan petani garam Kusamba yang belum jelas membuat masyarakat yang awalnya menjadi petani garam memilih untuk meninggalkan pekerjaannya dan mencari pekerjaan lain, buruh misalnya. Mereka beranggapan bahwa setidaknya ketika mereka menjadi buruh mereka akan mendapatkan penghasilan setiap harinya. Waktu mereka juga tidak akan terbuang, karena selama ini para petani garam Kusamba menganggap dirinya sebagai setengah menganggur, karena penggarapan garam yang tidak tentu waktu. Hal ini terbukti dengan penurunan jumlah petani garam Kusamba, yang hingga kini hanya sekitar 27 KK (tribunnews.com, 2014). Ini diakibatkan oleh pemerintah yang masih acuh tak acuh dengan produksi garam tradisional Kusamba dan maraknya garam impor yang mulai mengalahkan eksistensi dari garam tradisional Kusamba itu sendiri, meski dari kualitas dan rasa garam tradisional Kusamba masih jauh lebih baik dari garam impor.

Jika terus-menerus dibiarkan, maka tidak akan ada lagi garam tradisional Kusamba. Masyarakat pesisir Pantai Kusamba yang awalnya produktif karena potensi garam Pantai Kusamba akan kehilangan pekerjaan dan sulit mencari pekerjaan baru karena minimnya kemampuan yang mereka miliki. Tradisi pembuatan garam tradisional yang diwariskan turun-temurun oleh nenek moyang hanya tinggal sejarah. Budaya menyama braya dan Tri

Hita Karana yang terbentuk dan berkembang akibat interaksi

dengan alam dan sesama akan memudar.

(51)

garam tradisional di pantai Kusamba bisa saja diambil alih oleh investor asing. Jika sudah seperti itu, mulailah bentuk imperialisme modern di bidang garam tradisional. Indonesia kembali terjajah sampai ke budaya dan tradisinya. Sungguh disayangkan!.

Potensi laut perlu dimanfaatkan dengan baik untuk meng-optimalkan kekayaan bahari yang dimiliki oleh Indonesia. Pantai Kusamba merupakan salah satu kekayaan maritim yang dimiliki oleh Indonesia dengan potensi garam yang luar biasa. Masyarakat yang berada di pesisir Pantai Kusamba dapat disaring untuk mengikuti pelatihan pertanian garam tradisional tanpa menghilangkan tradisi dan budaya yang diwariskan oleh leluhur. Masyarakat yang tidak memiliki kemampuan khusus pun dapat bergabung. Otomatis, pengelolaan ini dapat membuka lapangan kerja dan mengurangi pengangguran di daerah sekitar. Pembuatan garam tradisional Kusamba dapat berkembang dan tetap berpegang pada nilai-nilai luhur agar tetap ajeg atau lestari.

Dengan menggunakan konsep dalam Program Simantri (Sistem Pertanian Terintegrasi), para petani garam tradisional Kusamba dih

Gambar

tabel harga jual ikan giling dan ikan asin yang ditampilkan pada
Gambar 1. Rênggan Perahu Layar dalam SAA (h.131).
Gambar 2. Rênggan Kompas dalam SAA (h.129)Saktimulya (2013: 79).
Gambar 4. Rênggan Layar dalam SAA (h.130)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Ada keterbatasan visual yang menentukan maksimum jarak dari area panggung yang mana jika jarak maksimun tersebut dilampaui maka penonton tidak bisa mengapresiasi

Usaha-usaha yang dilakukan PPN untuk meminimalisir praktek perkawinan di bawah umur adalah memperketat prosedur pemeriksaan berkas calon pengantin dan memeriksa calon pengantin

Perbandingan analisa kekeringan dengan SOI tahunan dilakukan untuk lebih menguatkan persentase kesesuaian antara metode China Z Index (CZI) dan metode

pembelajaran dan hasil belajar siswa meningkat sehingga hasil analisis penelitian tersebut mendukung hipotesis tindakan yang diajukan yaitu, jika pembelajaran

Secara umum, status neraca ketersediaan-kebutuhan air DAS Bengawan Solo tahun 2030 dibandingkan dengan kondisi saat ini menunjukkan perubahan yang cukup signifikan, hal ini dapat

Di halaman rumah Adit, para warga sudah memasang tenda, kemudian Jarwo dan Sopo datang sambil membawa karangan bunga duka cita, setelah itu Adit dan Dennis datang ke rumah, setelah

Disamping itu pasar modal dapat mendorong terciptanya alokasi dana yang efisien, karena dengan adanya pasar modal maka pihak yang kelebihan dana (investor) dapat memilih

Dalam rangka perayaaan ulang tahun ITB yang ke-94 (Juli 2014) Eddie menerima “Penghargaan Ganesa Wirya Jasa Adiutama”, dengan pertimbangan: “Drs Eddie Lembong, Apt