• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Keluhuran Budaya Bangsa sebagai Inovasi Budaya Maritim

Dalam dokumen KAUM MUDA DAN BUDAYA MARITIM NUSANTARA (1) (Halaman 192-200)

Pernando Pratama SMA Negeri Plus Provinsi Riau

Sumatera. Aktivitas yang dilakukan terus menerus dan berkala tentu menjadikan kegiatan tersebut sebagai jati diri suku laut tersebut.

Masyarakat Suku Duano memiliki karakteristik layaknya suku laut lainnya, yaitu memiliki ciri fisik tubuh kecil dan berkulit hitam. Sebagai suku Laut, masyarakat Duano mulai dari yang muda hingga dewasa memiliki keahlian dan keterampilan melaut. Tiupan badai, deburan ombak, dan derasnya arus laut tidak menyurutkan semangat masyarakat Suku Duano untuk melaut.

Nelayan merupakan pilihan bagi para pencari nafkah suku ini. Hal ini karena kondisi sumber daya laut yang melimpah memicu semangat suku Laut ini untuk mengeksploitasi sembari mengolah hasil alam dengan cermat untuk kehidupan di kemudian hari. Banyak jenis hasil laut di sekitar permukiman Suku Duano ini, seperti kepiting, udang, kerang, serta berbagai sumber daya laut yang memiliki protein tinggi.

Sebagai salah satu suku yang masih memegang adat istiadat leluhur, tentu terdapat tradisi yang mengisinya untuk menjalankan sebuah roda kebudayaan agar adat istiadat leluhur tersebut tidak mati ditelan zaman. Tradisi tersebut bernama menongkah. Tradisi

menongkah merupakan tradisi yang menjunjung tinggi aspek

keluhuran budaya maritim dan juga persatuan. Hal ini karena tradisi ini hanya dilakukan oleh Suku Duano sebagai suku laut yang mengajarkan bagaimana menjalin hubungan harmonis dengan alam dan antar-sesama manusia.

Pekerja keras dan pantang menyerah, itulah kata yang tepat untuk menggambarkan keteguhan dan keuletan suku Duano. Hal ini dibuktikan dengan kesungguhan masyarakat Duano untuk menjaga tradisi leluhur mereka hingga zaman modern. Banyak anak-anak suku Duano yang telah terjun untuk melaksanakan tradisi tersebut, di mana tradisi menongkah juga tergolong tradisi yang membutuhkan tekad dan tenaga yang kuat.

Hubungan antara suku Duano dengan tradisi menongkah

tradisi menongkah lahir dan hidup bersama dengan kelompok suku yang memiliki latar belakang yang sama seperti yang dimiliki oleh Suku Duano. Kini tradisi menongkah telah menjadi salah satu warna yang dimiliki oleh masyarakat Duano serta tentu menjadi salah satu dari ribuan warna tradisi maritim Indonesia. Oleh sebab itulah mengapa penulis ingin mengangkat tradisi leluhur suku laut Duano ini.

Tradisi Menongkah dalam Kebudayan Maritim

Laut bagi masyarakat Duano merupakan sarana untuk mengekspresikan kebudayaan mereka dan menongkah merupakan sarana yang mereka gerakkan dengan menggunakan motor keper- cayaan dan kegigihan dari masing-masing individu dari kelompok suku Laut Duano. Secara harfiah menongkah berasal dari kata

tongkah yang berarti alat yang digunakan untuk mempermudah

berselancar di atas lumpur. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka (1999), tongkah adalah papan untuk tumpuan (titian) yang biasanya dipasang di tempat becek atau basah. Dengan demikian, istilah menongkah memiliki arti sebagai usaha atau kerja yang dilakukan dengan menggunakan alat tongkah. Bagi suku Duano, tongkah merupakan salah satu alat bantu yang tergolong unik yang digunakan untuk mencari atau menangkap “kerang darah” (Anadara granosa).

Alat tongkah terbuat dari sebilah papan dengan panjang 2,5- 3 m, lebar 50-80 cm serta memiliki ketebalan 3-5 cm. Papan yang digunakan terbuat dari kayu pulai atau jelutung yang kuat dan ringan. Papan tongkah biasanya dibuat sedemikian rupa seperti bentuk papan selancar dengan ujung runcing dan bagian depat sedikit melengkung ke atas.

Eksistensi dari tradisi menongkah tidak lepas dari kebudayaan maritim. Hal ini karena satu-satunya tempat untuk melakukan tradisi ini hanyalah laut yang merupakan bagian dari kebudayaan maritim. Meskipun dihujam oleh batu perubahan zaman di era modern

sekarang, hingga kini tradisi ini tetap lestari. Sebagai bukti, di Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Tanah Merah, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, terdapat event menongkah yang ditaja untuk mempertahankan keberadaan tradisi leluhur yang hampir punah.

Sarpan, Ketua Keluarga Besar suku Duano yang juga menjadi ketua penyelenggara menongkah, mengatakan bahwa event ini merupakan peristiwa unik dan hanya satu-satunya di Kabupaten Indragiri Hilir. Sarpan berharap peristiwa ini dapat dipromosikan ke luar daerah bahkan ke luar negeri, karena tradisi yang unik tentunya akan menambah auman harimau pariwisata Indonesia di dunia pariwisata internasional.

Bukan hanya sebagai sarana pariwisata, dalam tradisi

menongkah juga terkandung berbagai nilai kehidupan seperti

kearifan lokal, kesatuan, serta persamaan hak. Pertama, nilai kearifan lokal. Banyak aspek menunjukkan bahwa tradisi menongkah

memiliki kearifan seperti kepercayaan bahwa tradisi menongkah

merupakan tradisi leluhur yang harus dijaga dan dilestarikan.

Kedua, kesatuan dan adaptasi. Tradisi menongkah mengajarkan

bagaimana kita dapat beradaptasi dengan alam, bersatu dengan kehidupan masyarakat dan juga bersatu antarsesama. Kesatuan yang juga diajarkan oleh tradisi ini ialah bagaimana tradisi ini menyatu dengan kehidupan masyarakat suku Duano dan juga Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketiga, persamaan hak, dalam tradisi ini tidak ada pembedaan status, strata, atau perbedaan hak antara pria dan wanita, sehingga semua orang dari berbagai kalangan dapat melakukan tradisi unik dalam budaya maritim ini.

Selain ketiga hal itu, menongkah juga mengajarkan agar hidup harus selaras dengan alam. Walaupun di era modern dan global ini, tradisi menongkah tetap dapat bertahan dan mengajarkan bagaimana hidup selaras dengan alam.

Hal terpenting ialah segala tindak tanduk suatu tradisi tidak lain hanya untuk menciptakan keberagaman demi warna-warni kesatuan. Menongkah mengajarkan dari sebuah perbedaan dapat

menjadi sebuah kekuatan seperti laut berlumpur yang berbeda dari laut biasanya, tetapi dari hal inilah dapat menciptakan suatu tatanan sosial yang baru tanpa meninggalkan kebudayaan lama.

Nilai Budaya dalam Tradisi Menongkah

Krisis kebudayaan semakin lama semakin mengancam kekokohan jati diri bangsa Indonesia. Hal ini menciptakan disintegrasi bangsa. Badai ancaman yang datang terkadang tidak selaras dengan kepercayaan akan kekuatan dan keuletan bangsanya sendiri. Contohnya saja banyak sumber daya alam Indonesia di bidang maritim mulai habis, bukan karena dieksploitasi oleh bangsa sendiri melainkan habis oleh kedigdayaan bangsa lain yang tidak mengerti sumber daya alam kita di masa lalu.

Perlahan dan pasti krisis kebudayaan akan mengancam keutuhan negara maritim ini. Lihat saja banyak kebudayaan ibu pertiwi yang sudah diklaim sebagai kebudayaan negara lain, bahkan yang paling memprihatinkan banyak kebudayaan bangsa kita sudah hilang seiring berjalannya zaman. Salah satu solusi untuk permasalahan krisis budaya ini ialah mulai meningkatkan kepedulian akan budaya bangsa, khususnya kebudayaan maritim yang kurang terdengar gaungnya di dunia.

Meningkatkan kepedulian akan budaya sendiri dapat terealisasi jika setiap warga negara memiliki tekad yang sama untuk menjaga kebudayaan. Salah satu yang menjadi karakter Indonesia ialah budaya maritimnya. Bukan hanya satu, tetapi jutaan warna tradisi yang mengisi kebudayaan maritim lahir dari buah tangan leluhur terdahulu. Kini kita sebagai generasi muda patut untuk melindungi sembari menjaga berbagai tradisi tersebut agar lestari hingga di kemudian hari.

Salah satu tradisi maritim yang Indonesia miliki ialah tradisi

menongkah. Tradisi yang lahir di pesisir Pantai Timur Sumatera ini

memiliki beberapa nilai, di antaranya nilai gotong royong, tanggung jawab, dan kebijaksanaan.

Pertama, tradisi menongkah mengajarkan kepada pelakunya untuk selalu berkerja sama dalam melakukan sesuatu. Hal ini dikarenakan jika seorang pelaku menongkah melakukan kegiatan

menongkah tanpa ditemani oleh siapa pun maka akan fatal

akibatnya. Selain itu ketika seseorang terdampar di hamparan laut berlumpur atau kawasan suku Duano bertempat tinggal, maka akan ditolong oleh masyarakat suku Duano dengan menggunakan sebilah papan tongkah.

Kedua, tradisi yang hanya dimiliki suku Duano ini juga menga-

jarkan bagaimana sebagai penerus kebudayaan daerah untuk selalu menjaga awetnya tradisi ini. Hal seperti ini telah dilakukan oleh suku Duano dengan bukti masih adanya tradisi menongkah yang dipercaya telah dilakukan sejak abad ke-16 silam. Sikap tanggung jawab selalu ditanamkan oleh para orang tua masyarakat Duano kepada anaknya, salah satu tugas tanggung jawab yang telah diemban oleh generasi muda Duano ialah menjaga tradisi menongkah agar tetap menjadi kearifan lokal yang dimiliki suku Duano.

Ketiga, tradisi menongkah juga mengajarkan agar menjadi

pribadi yang bijaksana. Bijaksana dalam konteks budaya ini ialah bagaimana bijaksana dalam mengeksploitasi sumber daya alam laut yang suku laut ini miliki. Dewasa ini, banyak kawasan budaya dengan limpahan sumber daya alam khususnya laut dieksploitasi secara berlebihan tanpa mengindahkan dampak ekosistem yang terancam. Hal ini tentu berbanding terbalik dengan kehidupan suku Duano yang menjadikan tradisi menongkah bukan semata untuk mengeksploitasi hasil alam secara berlebihan tetapi jauh dari itu, menongkah mengajarkan bagaimana arif dan bijaksana dalam mengolah sumber daya alam tanpa merusak ekosistem yang ada.

Bertolak dari tradisi menongkah, budaya maritim yang Indonesia miliki banyak kekhasan yang tidak dimiliki oleh bangsa lain. Tradisional, unik, serta luhur itulah karakteristik yang dimiliki oleh kebudayaan maritim Indonesia. Hal inilah yang harus kita jaga agar tidak dirampas oleh para “tikus berambut pirang”.

Kebudayaan maritim bangsa Indonesia seperti layaknya sebuah kapal laut. Kini kapal yang besar sedang melalui rute yang sangat berat, cuaca ekstrem, badai berhembus kencang, serta ribuan gelombang raksasa yang siap menghantam kekokohan kapal besar ini. Lalu apa yang akan kita lakukan sebagai seorang nakhoda kepada kapal yang kita kemudikan? Apakah kita harus membelot dari tujuan awal atau menantang segala yang menghadang? Itulah pertanyaan yang harus kita tanyakan kepada kebudayaan maritim bangsa kita.

Apakah yang harus kita lakukan agar kapal kebudayaan kita dapat mencapai tujuannya, haruskah kita takluk oleh kenyataan kelam bahwa tradisionalisme kebudayaan maritim kita tidak ada apa-apanya atau sebaliknya dapat menjadi pelopor kebangkitan kebudayaan bangsa walau harus berani menantang gelombang, kencangnya tiupan badai serta kondisi ekstrem yang kini berada di depan mata?

Oleh sebab itu, jadikan budaya maritim sebagai ajang bagi kita untuk tetap menjaga tradisi leluhur serta menginovasikannya sebagai kekuatan baru yang Indonesia miliki. Walaupun banyak ranjau yang berusaha untuk menyurutkan semangat kita, tetapi tetaplah percaya bahwa pekerjaan mulia akan berbanding lurus dengan hasil yang baik juga tentunya.

Berikut beberapa hal yang menurut penulis penting untuk disampaikan terkait dengan tradisi menongkah:

1. Tradisi menongkah merupakan tradisi leluhur terdahulu yang patut untuk dijaga agar di kemudian hari tradisi yang khas ini tidak punah oleh derasnya arus globalisasi. 2. Tradisi menongkah sebagai titik tolak bangsa Indonesia,

khususnya mayarakat suku Duano untuk lebih menghargai sumber daya alam maritim Indonesia. Banyak di antara sumber daya alam Indonesia hanya dieksploitasi, tetapi malah merusak keanekaragaman hayati khususnya dalam bidang kemaritiman. Hal ini tentu akan menciptakan

ketidakseimbangan ekosistem, sehingga akan berdampak pada turunnya kualitas sumber daya alam laut di Indonesia. 3. Perlunya sikap tanggung jawab dan berkomitmen untuk menjaga kelestarian kebudayaan Indonesia yang dalam hal ini berorientasi pada tradisi menongkah suku Duano. Komitmen tersebut merupakan tunjuk ajar yang selalu diajarkan oleh orang tua terdahulu kepada anaknya hingga kini.

4. Pengaruh globalisasi memang terus menggerus keasrian kebudayaan bangsa. Jika hal ini terus-menerus terjadi pada bangsa kita akan mengalami krisis kebudayaan. Hal itu tentu akan berdampak pada hilangnya gaung bangsa Indonesia sebagai Macan Asia. Oleh sebab itu, perlu adanya kesadaran kita sebagai masyarakat berbudaya untuk menjaga tradisi menongkah agar kita akan tetap menjadi sebuah negara berbudaya.

5. Menongkah adalah salah satu tradisi yang juga merupakan

bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia. Oleh karena itu semua elemen termasuk pemerintah memiliki kewajiban menjaga kelestarian kebudayaan ini.

6. Sadar akan tempat yang terpencil membuat tradisi

menongkah kurang terekspos ke dunia luar. Maka dari itu

dirasa penting untuk mempromosikan tradisi kebudayaan ini guna untuk memperkenalkan lebih jauh lagi tradisi

menongkah ke seluruh dunia.

DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Orang_Kuala (diakses tanggal 11 April 2015)

http://infoinhil.com (diakses tanggal 11 April 2015) http://amikomedia.html (diakses tanggal 11 April 2015)

I

ndonesia merupakan negara yang beruntung. Luas lautnya mencapai 3,2 kilometer persegi. Panjang pantainya lebih dari 95.000 kilometer. Ditambah dengan 17.000 pulau, menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar. Lebih dari 60 persen penduduknya bermukim di pesisir. Andaikan dipetakan di belahan bumi lain, luas wilayah Nusantara sama dengan jarak antara Irak hingga Inggris (Timur-Barat) atau Jerman hingga Aljazair (Utara- Selatan). Letaknya yang strategis disertai kekayaan alam melimpah, menggoda negara-negara berkepentingan untuk mengeruk kekayaan alam khatulistiwa. Dan letaknya yang strategis, diharapkan akan menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia.

Budaya maritim telah berhasil menjadi “tuan lautan” pada masa kerajaan Sriwijaya, Majapahit, hingga Demak. Nusantara saat itu disegani oleh kerajaan-kerajaan di kawasan Asia Tenggara dan sekitarnya. Sriwijaya (683-1030 M) sebagai kerajaan maritim yang kuat di Asia Tenggara, telah menjadikan penguasaan jalur pelayaran untuk perdagangan serta penguasaan atas wilayah-wilayah strategis yang digunakan sebagai pangkalan kekuatan lautnya.

Itu tidak cukup. Ketangguhan maritim kita juga dibuktikan oleh Raja Kertanegara pada masa Kerajaan Singasari. Tidak ada

Dalam dokumen KAUM MUDA DAN BUDAYA MARITIM NUSANTARA (1) (Halaman 192-200)