• Tidak ada hasil yang ditemukan

untuk Panen Raya Pad

Dalam dokumen KAUM MUDA DAN BUDAYA MARITIM NUSANTARA (1) (Halaman 148-160)

Nur Mustaria Putri

Dendang alani dendang (Dendang dan berdendang) Dendang mappadendang (Dendang berdendang) Mappadendangni ana Ogie (Berdendang anak Bugis) Pirasai nyamengna (Merasakan kenikmatan) Nyamengna aresona (Kenikmatan mata pencaharian)

Amo pole bosie (Walau hujan datang) Amo pole pellae (Walau panas datang) Mattunru-tunru totoi (Bersemangat tiada tara) Sappai atuongenna (Mencari penghidupannya) Ase banda malunrae (Padi Banda yang nikmat) Ri lureng lao daerah (Diangkut ke suatu daerah) Ribawai ri wanuae (Dibawa ke satu daerah) Wanua kurangnge berrena (Daerah yang kekurangan beras)

(Elong Ogi, Mappadendang, anonim)

Saya adalah anak Bugis, tinggal di Leppangang, yakni satu desa di Kabupaten Pinrang. Bersama kakek yang asli seorang petani, saya tumbuh-kembang di antara ilalang, padi, dan bau sawah. Lalu petikan elong ogi (syair Bugis), yang saya petik di awal tulisan ini tentu memiliki makna, demikian mendalam tersuburi di relung- relung hati, dan demikian akrabnya di batin saya. “Mappadendang” seolah menyala, seolah menjadi pelita penerang ketika didengar, juga seolah hidup ketika dilagudendangkan di saat-saat padi dipanen-raya. Mengapa demikian? Baiklah, elong ogi yang saya tiada tahu siapa persis penulis dan penanggalan berapa diciptakan tertuang dalam tulisan sederhana ini. Pesan-pesan yang terkandung di dalamnya, sungguh bermakna dan penting ketika melihat situasi sekarang ini. Selamat membaca, ya!

Elong ogi sama juga seperti syair dari belahan daerah lain. Ia menjadi media hiburan, dan Indonesia sebagai negara agraris membutuhkan manusia-manusia penggerak, yaitu petani yang tetap memiliki semangat tinggi ketika menggarap sawah-kebunnya. Alasan ini, selain pada elong ogiMappadendang” di tanah Bugis, juga ditemukan sederatan syair-syair lain yang menyoal tentang

sawah-kebun di pelosok negeri Indonesia. Satu kewajaranlah ketika syair “Budak Angon” di Magelang bisa ditemukan. Isi

Budak Angon” tentang petani dan bocahangon (gembala)

ketika musim garap telah tiba (http://www.pikiran-rakyat.com/ seni-budaya/2014/11/05/). Lagu yang dinyanyikan ketika mulai

ngawuluku atau mencangkul sawah begitu hujan mulai turun, tentu

untuk hiburan untuk menaikkan semangat petani-petani agar tekun dan ulet ketika ‘berkubang’ di tanah sawah dan kebun. Atau isi lagu “Pajjhar”, yakni syair lagu daerah asal Madura yang berarti fajar, berisi tentang mengajak orang untuk bangun pagi-pagi dan segera bekerja di sawah atau ladang, bahwa semakin baik pagi pergi ke sawah atau ke ladang, semakin baik pula hasil pertanian yang sedang digarap (http://pusatbahasaalazhar/wordpress.com/ artikel/sastra).

Keberadaan elong ogi atau syair-syair bertema agraris lainya yang tumbuh adalah sugesti. Ia memiliki pengaruh, seolah-olah seperti ‘mantra’ agar tetap ulet bekerja menggarap tanah selama berbulan-bulan, bertahun-tahun, atau tiada ujung akhir membanting tulang untuk tetap mencari hidup dari tanah garapan. Dasarnya memang seperti itu, sebagaimana dikemukakan oleh Pujiyanti (2013), bahwa nyanyian-nyanyian yang tumbuh di masyarakat di masa lalu selain muncul karena ritual dan upacara, juga lahir untuk mengiring ketika melakukan pekerjaan, seperti membajak sawah atau menanam padi, yang dimaksudkan untuk memberikan dorongan semangat dan serentak dalam bekerja. Nyanyian-nyanyian tersebut, selain memberikan pengaruh kepada batin agar motivasi kerja tetap terjaga, juga seperti magis, bahwa ketika menyanyi sambil bekerja akan memberi dampak kepada kesuburan tanaman padi yang sedang diolah. Semacam hafalan syukur atau doa keselamatan kepada Tuhan.

Selain itu, elong ogi berjudul “Mappadendang” memiliki perbedaan dengan syair-syair bertema agraris lainnya. Ia selain menjadi hiburan, sugesti, dan magis kepada To Ogi (orang Bugis)

juga memiliki makna lebih, semacam peta geografi menyampaikan berita tentang peta luas lahan sawah di tanah Bugis. Isi syairnya,

galung temmakaloang dan paggalungna makaroa (sawah demikian

luas dan petani demikian banyak) dan ketika panen akan majjijireng

marengngala (berjejeran ketika memanen) pole tasseddi kampong

(terjadi hanya di satu kampung) menjelaskan tentang betapa luas sawah di tanah Bugis, dan sedemikian banyak petani yang menggarapnya. Memang abstrak jumlah yang disebutkan karena diciptakan dari masa lalu, akan tetapi angka terkini menunjukkan, Sulawesi Selatan yang dimukimi sebagian besar To Ogi memiliki 399.173 hektar luas tanah sawah, dan terbesar keempat dalam rata- rata penduduknya adalah bermata pencaharian sebagai petani.

Pertambahan penduduk yang semakin meningkat, dan areal sawah yang menjadi sasaran untuk membangun permukiman penduduk baru, lalu menjadi persoalan. Ilalang, padi, dan bau sawah yang masih akrab sekarang, tentu akan berubah di sepuluh atau dua puluh tahun ke depan. Petak-petak sawah di sekitar sawah kakek dalam tujuh tahun belakangan telah diubah menjadi bangunan rumah baru. Jika dulu menggarap dua hektar maka sekarang tersisa satu hektar. Belum lagi, bahwa SMA dan SMK yang telah dan marak dibangun di desa atau di kecamatan, ternyata telah mendorong pemuda-pemuda memiliki pilihan, bahwa pekerjaan bertani atau berkebun adalah satu dari di antara banyak pilihan untuk bekerja. Pekerjaan bertani atau berkebun, mulai ditinggalkan. Jika seperti ini, elong ogiMappadendang” sudah tidak cocok untuk masa-masa mendatang. Bisa berubah, galung temmaka cippi (sawah semakin sedikit) dan panggalunna ceddemi (petani semakin sedikit). Hal ini tentu menjadi persoalan umum, tidak saja dialami di Sulawesi Selatan sebagai lumbung pangan nasional juga telah lama dirasakan oleh provinsi lumbung pangan lainnya, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Mencermati rilis data Badan Pusat Statistik tahun 2013, terdapat 26 juta rumah tangga pertanian yang bekerja di sektor pertanian di

bawah garis kemiskinan, atau terdapat 34 juta orang dari total basis angkatan kerja yang bekerja di sektor pertanian berada di bawah garis kemiskinan (http:m.liputan6.com). Hal ini tentu menarik untuk dibicarakan.

Data yang disajikan dalam tulisan ini, akan berkaitan erat dengan Pinrang sebagai satu dari lima kabupaten di Sulawesi Selatan yang mengelola pertanian sebagai lapangan pekerjaan mencari nafkah. Intisari yang bisa dipetik adalah: membicarakan ketahanan pangan dan swasembada pangan—sebagaimana topik utama dari setiap pemerintahan, termasuk pemerintah sekarang— akan berkaitan erat dengan kesejahteraan para petani. Lahan sawah yang semakin sempit dan profesi petani menjadi satu dari beberapa alternatif tersebut berkaitan dengan minimnya kesejahteraan yang diperoleh di tiap panen raya, dari tahun ke tahun atau dari masa ke masa berikutnya. Dengan demikian, langkah penawar nan nyata perlu untuk segera dilakukan, antara lain dengan mempertahankan semangat dan etos kerja yang dimiliki petani-petani kita bahwa pekerjaan petani adalah pilihan mulia. Apabila demikian, amo pole

bosie (walau hujan datang), amo pole pellae (walau panas datang)

maka akan mattunru-tunru totoi (bersemangat tiada tara), sappai

atuongenna (mencari penghidupannya) sebagaimana tercantum

dalam elong ogiMappadendang” menjadi larik dengan gemilang makna. Ia adalah ‘reso’ yang menjadi sifat orang Bugis, memiliki makna kerja keras, tekun, dan pantang menyerah. Oleh karena menjadi watak maka bekerja di bawah tekanan, yakni ketika sawah diterpa terik matahari atau ketika hujan telah turun tiadalah menyurutkan semangat kerja, seperti filosofi ‘reso tamanginggi

naletei pammase puang’, bahwa kerja keras, tekun tanpa mengenal

pantang menyerah akan mendatangkan keberhasilan. Kegagalan panen terjadi apabila dipenuhi kekhawatiran dan bersikap berpangku tangan. Satu kegagalan panen adalah rintangan, maka itu perlu usaha keras agar dapat dirahmati oleh Tuhan Sang Pencipta. Jika tidak maka hal ini hanya akan menjadi kenangan, ketika reso

petani Bugis benar-benar diuji masa ‘hujan yang mendera’ dan di saat sawah kian sempit dan ‘musim panas yang menyengat’, ketika petani bukan lagi pilihan pekerjaan yang menarik. Dengan demikian, “Mappadendang” seolah menjadi ‘mantra’ kemiskinan karena selalu dinyanyikan setiap panen raya tiba. “Mappadendang” tiada lagi bermakna seperti sedia kala, yaitu sebagai obat penawar lelah setelah selesai turun dari sawah, melainkan juga telah menjadi nyanyian untuk menikmati takdir Tuhan atas kesejahteraan dan atas pilihan hidup sebagai petani.

Kemiskinan petani tentulah bersentuhan dengan situasi yang diciptakan. Bisa dilihat, bahwa persoalan lain yang dihadapi bukan lagi masa tanam, irigasi, atau hama. Musuh lain yang sedang dihadapi adalah harga gabah yang rendah dan dipermainkan setiap musim panen, dan harga pupuk yang tinggi ketika musim penanaman. Ketika panen tiba dan gabah selesai dijemur di bawah sinar matahari, di mana di syair disebutkan bahwa gabah atau beras itu ri lureng lao daerah (diangkut ke suatu daerah), ri bawai

ri wanuae (dibawa ke satu daerah) menuju wanua kurangnge

berrena (daerah yang kekurangan beras) adalah mesti menjadi

perhatian utama. Ketahanan beras nasional bisa terganggu apabila produksi beras sebanyak 748.000 ton yang dicapai di tahun 2014 lalu di Kabupaten Pinrang dan tersuplai ke 17 provinsi, akan bisa terganggu apabila posisi petani berada di dalam ‘arena permainan’ yang seolah-olah sengaja diciptakan. Sepantasnya petani dipandang penting, bak pahlawan masa kini di republik ini. Tiada pantas, dan sangat tidak pantas apabila gabah yang dijual dipermainkan harga oleh pengepul-pengepul yang datang ke rumah petani secara langsung, termasuk kelangkaan pupuk dan harga pupuk yang diperoleh petani di agen penyaluran pupuk.

Mengenai hal ini, “Mappadendang” adalah representasi dari keunggulan Petani Bugis karena petani adalah reso yang dinaungi oleh reso temmangingi naletei mappase dewata (atau kerja keras yang tiada putus akan diberi ganjaran besar dari Tuhan). Pilihan

petani dengan kondisi pupuk mahal atau harga minim adalah tantangan, bukan pemutus upaya sehingga berhenti bekerja. Karut marut yang terjadi di dunia pertanian sebagaimana dendang ala Bugis adalah satu nyanyian kegembiraan, dan bukan syair berisi duka berkepanjangan.

Agaknya pola distribusi menjadi kata kunci yang harus segera diubah. Ketika memanen, petani didatangi oleh pengepul, lalu ketika membutuhkan pupuk terlihat petani mendatangi penyalur pupuk. Terdapat biaya produksi yang menjadi perhitungan ekonomis dari pelaku di luar petani. Mereka datang langsung ke rumah petani karena pertimbangan ekonomis tinggi: harga, volume, dan waktu. Demikian pula kelangkaan pupuk, bahwa pelaku di luar petani memainkan laga dengan harga dan distribusi dengan kelangkaan. Artinya, menyoal tentang kesejahteraan maka distribusi adalah pilihan menggiurkan dan bersifat simbiosis mutualisme.

Di sinilah letak peran pemerintah, bahwa daerah yang mem- produksi beras melakukan kerja sama dengan daerah penghasil pupuk. Saling menggiurkan, bahwa beras akan disuplai secara rutin ke daerah penghasil pupuk. Pinrang misalnya karena membutuhkan pupuk, maka perlulah mencari daerah-daerah yang menjadi sentra pupuk, dan efesiensi biaya distribusi menjadi ringan. Cara mudah yang dilakukan adalah pemerintah menyediakan jalur distribusi agar pedagang yang membeli gabah atau beras haruslah bersama

truk besar yang membawa kebutuhan pupuk dan alat pertanian yang dibutuhkan di masa tanam berikutnya. Jika disebut barter, bisa jadi. Simpelnya adalah kewajaran apabila petani-petani bisa

pirasai nyamengna, nyamengna aresoa paggalung (merasakan

kenikmatan, kenikmatan mata pencaharian sebagai petani). Keberpihakan pemerintah tetaplah perlu dan penting agar menjadi pelecut semangat, sehingga agraria akan tetap menjadi pilihan meng- giurkan bagi masyarakat. Kesejahteraan menjadi idaman, sehingga petani tetap ‘digilai’, dan mereka akan berpikir dua kali apabila mendapat tawaran untuk menjual lahan pertaniannya.

Persoalan distribusi tak bisa dilepaskan dari peran pelabuhan, apabila hal ini menjadi jawaban atas resah-kesah petani. Distribusi beras yang dikirim, dan pupuk yang datang menyoal tentang kesiapan pelabuhan dalam mengelola niat baik tersebut. Distribusi beras asal Bugis, sebagaimana tertuang di syair, Parepare mana mita/ Bombang silacu-lacu/ Aganna lacu-lacu/ Lopi pallureng berre

(hanya di Parepare Anda akan melihat, ketika ada sesuatu yang berkejar-kejaran di pantai, maka ada pertanyaan yang muncul, apa itu yang berkejar-kejaran? Jawabannya adalah kapal pengangkut beras), menjadi menarik apabila dipersiapkan untuk mencapai swasembada beras.

Sejarahlah yang memberi jawaban, tentang ketakjuban Belanda ketika pertama kali mendaratkan kakinya (merebut) sekitar abad XV di Kerajaan Soreang yang berada di Parepare. Belanda melihat potensi Parepare dengan pelabuhan yang terlindung dari tanjung di depannya, dan telah ramai dikunjungi orang-orang. Belanda tanpa berpikir, langsung menjadikannya sebagai kota terpenting di wilayah bagian tengah Sulawesi Selatan, dan terbukti karena mereka bisa berhasil melebarkan sayapnya dan merambah seluruh dataran timur dan utara Sulawesi Selatan (Situs Resmi Pemkot Parepare, 2015).

Pelabuhan Cappa Ujung, Parepare di masa lalu sebagaimana tertuang dalam elong ogi memang sesak dan hiruk-pikuk dari

lopi pallureng berre yang hilir-mudik. Akan tetapi, menengok kondisinya sekarang, ditandai dengan usaha-usaha travel, jasa pengiriman barang, dan lalu lintas petikemas yang datang dan menuju Indonesia Timur maupun Barat telah demikian berkembang, maka Cappa Ujung bukan hanya menjadi pelabuhan beras, tetapi beragam fungsi telah tumbuh.

Imbasnya, distribusi pupuk atau beras telah terganggu. Jika seperti ini, ‘arena permainan’ sebagaimana diduga sebelumnya bukan semata-mata kesalahan pedagang. Beras atau gabah yang ditawar rendah berasal dari ketidaksiapan pelabuhan dalam melakukan distribusi, demikian pula dengan pupuk yaitu terjadi

permainan kelangkaan yang kemudian mengakibatkannya menjadi harga mahal. Oleh karena itu, kerja sama antarpemerintah menjadi ‘catatan di atas kertas’. Sebab apabila penanganan pelabuhan tiada juga dijamah atau ditangani secara baik, maka akan merugikan para petani. Di lain sisi, ada pelabuhan lain yang tidak diberdayakan, yakni Pelabuhan Garongkong di Barru dan pelabuhan Marabombang di Pinrang.

Intinya kemiskinan yang dialami petani disebabkan karena faktor pelabuhan yang terbengkalai. Berbagai pemberitaan menya- takan persoalan bahwa harga gabah atau beras menjadi turun, dan pupuk menjadi naik, akibat ketidaksiapan pelabuhan. Misalnya saja di awal tahun 2012, seorang direktur utama dari perusahaan pupuk terbesar di Indonesia mengeluh tentang pengiriman pupuk yang baru terdistribusi 3.400 ton, sementara 20 ribu ton lainnya tertahan sangat lama di laut karena pelabuhan di Parepare sudah tidak bisa mengikuti perkembangan volume kapal yang semakin banyak (makassar.newsberita.com). Apabila dulu melayani 20 kapal bongkar muat, maka tentu kapal-kapal yang telah banyak bersandar menyebabkan antrian dan mengganggu pengiriman pupuk dari Kalimantan. Artinya bahwa antrian yang terjadi tentu mengakibatkan pupuk yang dibutuhkan oleh petani di saat-saat masa tanam menjadi langka, dan melecutkan harga tinggi di pasaran.

Misalnya pula, pemberitaan 7 Maret 2015, ketika Perum Bulog Bangka Belitung meminta maaf kepada masyarakat karena distribusi beras yang berasal dari Sulsel terlambat karena persoalan pelabuhan (bangka.tribunnews.com). Artinya pula, keterlambatan beras yang terjadi akan membuat Bulog menjadi rugi, apalagi pedagang dan pengepul beras yang sangat mengandalkan sisi ekonomis dalam bisnisnya. Tentu saja segala upaya dilakukan agar keuntungan tetap diterima, sehingga harga gabah ‘diperas’ harganya.

Dua kemungkinan akan terjadi, yakni memajukan pelabuhan dan mematikan pelabuhan di sekitarnya. Pelabuhan Makassar,

misalnya, yang dibangun sekitar abad XIII yakni ketika 5 atau 30 kapal yang bersandar bersamaan dan antrian tidak dapat dihindari, menyebabkan pengalihan ke pelabuhan sekitarnya, misalnya Pelabuhan Cappa Ujung yang dibangun lebih belakang dari Pelabuhan Makassar tersebut. Oleh karena kesiapan sehingga pelabuhan lokal ini kemudian menjadi besar, dan sedemikian pesatnya sehingga muncul pemberitaan, yakni ketika kapal- kapal Pelni berukuran besar telah banyak di Cappa Ujung telah menyebabkan keterlambatan puluhan kapal-kapal lain yang mengangkut hasil-hasil bumi, terutama beras dan pupuk. Lalu kondisi pelabuhan lokal dengan fasilitas minim tentu tidak siap dan akan mengalami persoalan ‘mati suri’. Dianggap hidup karena memang di pelabuhan tersebut ada dermaga dan kapal-kapal yang bersandar, tetapi dianggap mati karena kapasitasnya yang kecil sehingga intensitas kurang, volume sedikit, dan kapal yang sandar sangat minim.

Jika melihat produksi beras Pinrang dan sekitarnya, pupuk yang mesti datang tepat waktu, maka sungguh menarik ketika dua pelabuhan di sekitar Cappa Ujung, yakni Pelabuhan Garongkong di Barru dan Pelabuhan Marabombang di Pinrang yang tidak berkembang, semacam kalah dalam persaingan, dapat diberdayakan untuk melepas beras, dan menerima pupuk dan alat pertanian. Keduanya yang memiliki akses sama seperti Pelabuhan Cappa Ujung yakni berada di sekitar jalan Trans-Sulawesi, dengan kedalaman air dan lebar sandaran kapal yang cukup bisa ditingkatkan fungsinya dengan mengalihkan kapal-kapal yang sedang antri, atau pupuk, beras, alat-alat pertanian, dan kekhususannya menjadi khas karena hanya melayani untuk kabupaten yang berada di bagian utara Sulsel. Potensi pelabuhan lokal diperhatikan terutama kapal yang memuati beras atau pupuk.

Kesejahteraan petani menjadi naik karena harga beras menjadi naik. Hal ini disebabkan menurunnya biaya distribusi. Demikian pula pupuk dan alat pertanian lainnya menjadi murah

dan terjangkau oleh petani karena distribusi yang lebih singkat masa angkutnya. Petani-petani yang sekian tahun berjuang dalam status pahlawan tanpa tanda jasa, benar-benar panen raya dan bisa dinikmati oleh banyak lapisan. Petani menikmati keringat kerjanya, pun demikian pula dengan pedagang yang dapat memanen untung tanpa lagi dituding sebagai ‘biang kerok’ dari permainan, termasuk pemerintah yang bisa menjaga stabilitas nasional karena terhindar dari rawan pangan, ketika pelabuhan-pelabuhan pendamping ditingkatkan akses dan tonasenya.

Namun ada alasan lain agar pelabuhan lokal segera dibangunkan dari ‘mati suri’. Selain kesejahteraan, swasembada, juga pengembangan pelabuhan lokal akan melesatkan gairah perekonomian. Perkembangan yang dimaksud, searah dengan pernyataan Murlina (2015: 14), bahwa pelabuhan akan mendukung pembangunan dan mengembangkan sebuah kawasan karena menjadi tempat bagi kapal-kapal bisa berlabuh dengan aman untuk bongkar muat barang, menaikturunkan penumpang, mengisi bahan bakar, melakukan reparasi, termasuk memiliki fasilitas untuk mereparasi kapal-kapal. Artinya, kondisi Pelabuhan Cappa Ujung, Parepare juga mewakili kondisi pelabuhan-pelabuhan lainnya di Indonesia, bahwa ketika pelabuhan menjadi sumbu utama bagi pelayaran suatu daerah, maka mesti terus mampu berbenah dan mengikuti mobilisasi kapal, barang, dan manusia yang terjadi dan terus meningkat. Hal inilah yang menjadi kewajiban utama, sehingga perlu segera memajukan pelabuhan lokal. Ia tidak lagi ditawar-tawar hanya gara-gara petani yang membutuhkan posisi tawar dihargai dengan distribusi pupuk dan beras dipersingkat, dengan diembeli kesejahteraan. Pengembangan pelabuhan lokal adalah geliat ekonomi yang tumbuh berkembang, dan akses barang yang demikian bergeliat sehingga alasan agar lelah, keringat, nasib, dan mata pencaharian yang sia-sia dari petani ternyata bukan semata-mata petani, karena manfaat lebih luas bagi peningkatan taraf hidup khalayak banyak ketika pelabuhan-pelabuhan yang ada

difungsikan dengan kekhasan masing-masing. Akhirnya, pengem- bangan pelabuhan lokal adalah kunci, dan penyediaan fasilitasnya menjadi pekerjaan utama.

DAFTAR PUSTAKA

Antaranews.com. 2012. “Keterlambatan Distribusi Pupuk Ganggu Produksi Beras Sulsel”, 17 Januari 2012. (Online: Makassar. antaranews.com, diakses tanggal 12 April 2015).

Bangka. Tribunnews.com. 2015. “Distribusi Raskin 2014 Terlambat, Kabulog Babel Minta Maaf. (online: Bangka.tribunnews.com, tanggal 20 April 2015)

Liputan 6. com. 2014. “Miskin, Pendapatan Petani Cuma Rp 1 Juta per Bulan. (Online.bisnis.liputan6.com, diakses 10 Mei 2015) Nurul Azhar, Iqbal. 2009. Karakter Masyarakat Madura dalam Syair- syair Lagu Daerah Madura. Jurnal Avatisme Volume 12 No.12, Desember 2009. Pusat Bahasa Surabaya. Depdiknas (online: http://pusatbahasaalashar.wordpress.com, diakses 5 Mei 2015).

Pikiran Rakyat Online. 2014. Sedekah Bumi Jatuhtujuh ingatkan kembali Lagu “Budak Angon” (online: http; //www.pikiran rakyat.com, diakses 15 April 2015).

Pujiyanti. 2013. “Mengidentifikasi Fungsi dan Latar Belakang Musik”. (Online: musikpuji.blogspot.com., diakses 12 April 2015). Situs Pemkot Parepare. 2012. “Sejarah Kota Parepare” (Online: www.

pareparekota.go.id/kominfo/profil.kota/sejarah.kotapare. pare, diakses 12 April 2015)

B

entuk rasa syukur seseorang atas segala limpahan dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, tentulah berbeda-beda dan banyak macamnya. Namun, bagi komunitas nelayan, cara menunjukan rasa syukur kepada Tuhan, mempunyai caranya tersendiri. Ada yang sekadar mengucapkan terima kasih kepada Tuhan dan ada yang mengadakan syukuran. Bahkan, ada pula yang melakukan ritual khusus, seperti melarung hasil bumi dan binatang berkaki empat ke laut sebagai bentuk penghormatan kepada Tuhan atas hasil yang melimpah.

Di Indonesia, bentuk-bentuk penghormatan dan budaya seperti itu tidak dapat dimungkiri lagi keberadaannya, khususnya dalam dunia bahari Indonesia. Terkait hal itu pula, tidak salah apabila Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan yang unik. Dikatakan unik, karena Indonesia masih kental akan hal-hal berbau magis, di samping terkenal akan kekayaan alam dan letaknya yang strategis. Bentuk penghormatan dan tradisi yang berbeda-beda tersebut, tidak lain disebabkan oleh kondisi masyarakat Indonesia itu sendiri, yang terdiri atas beragam etnik, budaya, agama, dan sebagainya.

Beraneka ragam etnik, agama, dan budaya yang ada pada setiap daerah di Indonesia, mulai dari Sabang sampai Merauke, seakan-

Nelayan Multietnik

Dalam dokumen KAUM MUDA DAN BUDAYA MARITIM NUSANTARA (1) (Halaman 148-160)