• Tidak ada hasil yang ditemukan

Poros Maritim Nusantara

Dalam dokumen KAUM MUDA DAN BUDAYA MARITIM NUSANTARA (1) (Halaman 80-90)

Ledy Fitra Ramadhani

memaksimalkan potensi yang dimilikinya sebagai suatu bangsa yang besar. Sedangkan, banyak negara-negara dengan keterbatasan geografis dan potensi alamnya justru mampu mengatasi masalah permanen tersebut, contohnya Singapura, Jepang, dan Korea. Ironisnya, Indonesia yang kaya ini justru bergantung pada negara- negara tersebut. Hal ini merupakan tamparan bagi bangsa ini sebagai mantan ‘Macan Asia’ yang hanya tinggal nama yang dikenang dan diajarkan dalam pelajaran sejarah di bangku sekolah dasar. Inilah mengapa Indonesia harus bangkit dengan memaksimalkan kekuatan potensi alam yang dimiliki.

Pada kenyataannya, Indonesia memiliki potensi lengkap, yaitu kekayaan di daratan maupun di lautan. Itulah sebabnya Indonesia disebut sebagai Negara Agraris juga sebagai Negara Maritim. Suatu kekayaan langka yang jarang sekali ditemui dan dimiliki oleh setiap negara. Tak heran Indonesia menjadi ‘rebutan’ bangsa-bangsa asing di era kolonialisme. Bahkan hingga saat ini, investor-investor asing tak sepi menyerbu pasar Indonesia hingga harus mengorbankan satu per satu produsen asli Indonesia.

Terlepas dari itu, Negara Indonesia seharusnya lebih tepat dikatakan sebagai Negara Maritim. Mengapa? Secara geografis 2/3 atau sekitar 70% wilayah teritorial Indonesia adalah lautan. Dengan kata lain potensi kekayaan daratan Indonesia hanya 1/3 dari keseluruhan wilayah Indonesia. Namun, mengapa saat ini masyarakat lebih kental dengan penyebutan Indonesia adalah Negara Agraris daripada Negara Maritim? Hal ini merupakan bukti dari kemerosotan dan kurangnya perhatian terhadap sektor maritim jika berkaca dari sejarah Indonesia ratusan tahun yang lalu.

Jati Diri Bangsa, Berkaca pada Sejarah

Kejayaan Sriwijaya yang konon merupakan salah satu Kerajaan Maritim besar di dunia pada masa itu seharusnya mengingatkan bangsa Indonesia akan jati diri bangsa ini sebagai Negara Maritim. Selain Sriwijaya, kerajaan-kerajaan lain seperti Samudera Pasai,

Demak, dan Majapahit juga membuktikan bahwa bangsa ini memiliki kemampuan luar biasa dalam sektor maritimnya. Namun ‘kecelakaan sejarah’ seperti yang disebutkan seorang penulis buku dan pegiat kajian pendidikan asal Yogyakarta, Teguh Wiyono, yaitu terisolasinya bangsa ini di pedalaman pada masa pendudukan bangsa Eropa akibat kekalahan persaingan perdagangan rempah- rempah menyebabkan tertanamnya mindset sebagian besar masyarakat bahwa Indonesia sebagai Negara Agraris. Hal ini karena penjajah saat itu menguasai pelabuhan-pelabuhan, sehingga tertutuplah kesempatan pribumi untuk mengakses pergaulan global dan mengembangkan diri secara bebas selama ±300 tahun. Rakyat Indonesia yang terkungkung sekian tahun lamanya membuat jati diri sebagai Negara Maritim berbelok menjadi sepenuhnya Negara Agraris. Walaupun kini Indonesia sudah merdeka, mindset

Indonesia adalah Negara Agraris yang subur ditanamkan dari generasi ke generasi tersebut terbawa hingga saat ini, seakan lupa jati diri negara ini sebenarnya.

Masyarakat sudah terlanjur ‘nyaman’ dengan sektor agraris. Hal ini terbukti dari berbagai pengembangan dan riset-riset teknologi agraris. Sebaliknya, dalam sektor maritim masyarakat Indonesia dinilai kurang gereget atau tertarik. Padahal, secara logika potensi kekayaan maritim Indonesia jauh lebih besar daripada agraris. Seperti yang dicetuskan baru-baru ini oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, bahwa target pemerintah pada tahun 2015 ini Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor perikanan dan kelautan naik sebesar 508% menjadi Rp1,27 triliun.

Harus diakui bahwa kekayaan laut Indonesia merupakan investasi besar. Bukan hanya perikanan, namun kegiatan ekspor- impor dan sektor pariwisata adalah komponen penting dalam pembangunan maritim Indonesia. Sayang sekali, diperkirakan kerugian negara mencapai Rp300 triliun setiap tahunnya hanya dari

illegal fishing saja. Hal itu belum termasuk kerugian negara karena penyuapan dan transaksi ilegal lainnya.

Potensi kekayaan laut Indonesia perlu dilindungi oleh setiap lapisan masyarakat sebagai harta warisan dari nenek moyang dan anugerah Tuhan. Masyarakat harus sadar bahwa Indonesia adalah Negara Maritim bukan hanya soal laut yang luas dan pulau yang banyak, tetapi bagaimana mempertahankan kedaulatan negara ini dari tangan-tangan warga negara asing yang tidak bertanggung jawab. Pembenahan mindset masyarakat inilah yang menjadi tantangan dan tugas pemerintahan Presiden Joko Widodo yang bervisi menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Mengingat potensi alam sebesar apapun tidak akan terkelola dengan baik tanpa Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dan kompeten. Oleh karena itu, diperlukan suatu strategi jangka panjang yang optimal. Menyongsong kembali melalui penanaman pendidikan budaya maritim yang sudah terkubur sejak ratusan tahun yang lalu merupakan solusi dari keterpurukan bangsa ini. Pendidikan sebagai Faktor Perubahan

Apabila suatu bangsa mengalami keterpurukan, maka tidak ada pihak yang paling bertanggung jawab kecuali perguruan tinggi yang telah mendidik para pemikir dan pemimpin bangsanya.

Keterpurukan bangsa Indonesia, bisa jadi karena kesalahan pada sistem pendidikannya. Seperti yang telah diketahui, pembentukan karakter bangsa tak luput dari warisan pendidikan zaman dahulu. Untuk mengubah masa depan, diperlukan perubahan mendasar pada proses pendidikan sejak dini. Pendidikan karakter yang telah digalang sejak beberapa tahun silam dan ditekankan pada Kurikulum 2013 ini seharusnya dibarengi dengan Pendidikan Budaya Maritim. Sayangnya pendidikan Budaya Maritim yang juga merupakan karakter bangsa luput dari konsentrasi pemerintah. Hal ini menyebabkan para pemuda Indonesia terus terlarut dalam kungkungan paham masa lalu tanpa adanya tindakan secara konkret dalam usaha penuntasan masalah maritim di bumi pertiwi. Beruntungnya, berkat kecanggihan teknologi, krisis maupun

perkembangan tentang sektor maritim Nusantara dapat diakses sehingga masyarakat tidak sepenuhnya buta.

Pemerintah harus memanfaatkan jalur pendidikan di sekolah- sekolah yang memang ‘ampuh’ sebagai faktor perubahan bangsa. Hal ini karena para pemuda adalah agen perubahan bangsa. Sekolah adalah agen pembentuk karakter pemuda, calon pemimpin dan penyelenggara negara ini. Pemuda-pemuda harus memiliki karakter- karakter pembangunan dan kebudayaan yang kuat, sehingga tujuan dan cita-cita negara dapat tercapai. Pendidikan di sekolah mampu mewujudkan visi pemerintah saat ini, yaitu menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Revitalisasi budaya maritim dalam pendidikan Indonesia harus segera dilaksanakan, sebab tindak lanjut visi pemerintah ini memerlukan calon-calon yang siap dan mampu untuk mempertahankan dan mengembangkan visi tersebut ketika Indonesia sudah mampu mencapainya. Pemanfaatan jalur pendidikan ini dilaksanakan dengan mengetengahkan kembali budaya maritim di setiap aspek kurikulumnya.

Pendidikan sebagai Tonggak Poros Maritim Nusantara

Budaya diciptakan dari suatu kebiasaan-kebiasaan mendasar yang terus-menerus dilakukan secara teratur. Dalam pembelajaran, karakter Indonesia sebagai Negara Maritim harus ditanamkan secara konsisten. Hal ini dimulai dari pembangunan komitmen yang kuat baik dari pemerintah maupun seluruh masyarakat, khususnya tenaga pengajar dan peserta didik, dalam hal usaha mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Tanpa komitmen yang kuat penanaman dan pembiasaan budaya maritim tidak akan terlaksana secara optimal.

Selanjutnya adalah dengan membangun kebudayaan maritim di sekolah. Saat ini, banyak sekolah-sekolah menerapkan budaya adiwiyata, anti-narkoba, tertib lalu-lintas dan sebagainya. Tentunya budaya maritim juga bisa diterapkan di sekolah-sekolah. Walaupun tidak sedikit sekolah yang berada di daratan bahkan jauh di

pedalaman, tidak menjadi halangan dalam penerapan budaya maritim ini. Sebab, bagaimana pun Indonesia ini tetap negara kepulauan yang eksistensinya harus diakui setiap masyarakat baik masyarakat pesisir maupun pegunungan. Pembangunan kebu da- yaan maritim ini dapat dilakukan sesuai dengan kurikulum yang dijalankan, baik melalui kegiatan intrakurikuler maupun kegiatan- kegiatan ekstrakurikuler.

Dalam kegiatan intrakurikuler atau kegiatan belajar-mengajar di kelas, setiap mata pelajaran harus menjunjung karakter maritim sesuai aspek-aspek mata pelajaran tersebut. Misalnya, dalam pelajaran Bahasa Indonesia, membuat puisi tentang laut, mengarang tulisan tentang laut, bahkan di jenjang yang lebih tinggi dapat dilakukan debat-debat yang membahas tentang kelautan di Indonesia. Pada mata pelajaran Biologi, dapat mengkaji tentang biota laut dan teknologi-teknologi pengembangan sumber daya alam yang ada di laut Indonesia. Dalam pelajaran geografi, tidak hanya mempelajari bagaimana keadaan geografis secara umum, namun perlu diadakan penelitian-penelitian mendalam tentang wilayah kelautan di Indonesia. Tidak lupa yang paling penting dalam mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) sebagai pendidikan utama tentang kewarganegaraan pada pelajar, harus lebih ditekankan bahwa sebagai warga negara, para pemuda sebagai agen perubahan, memiliki tanggung jawab menjamin keberlangsungan Indonesia sebagai Negara Maritim. Tentunya untuk mata pelajaran lain dapat disesuaikan sesuai kebutuhan dengan disertai implementasi yang nyata, sehingga usaha penanaman budaya maritim tidak hanya sekadar teori.

Sedangkan dalam kegiatan ekstrakurikuler dapat dikembangkan kegiatan-kegiatan tambahan seperti penyelamatan terumbu karang dalam Pramuka dan Pecinta Alam. Mengadakan kompetisi-kompetisi antarsiswa yang bersifat kreasi inovatif maupun pengembangan- pengembangan sistem yang sudah ada dalam bidang maritim, mengajak peserta didik melakukan study tour ke museum-museum

maupun instansi pemerintah yang berhubungan dengan kelautan dan perikanan, dan sebagainya. Sekolah juga dapat menambahkan infrastruktur berupa ruangan maritim atau pameran-pameran yang pelaksanaannya diatur oleh siswa, sehingga siswa dapat menyalurkan kreativitasnya dengan tidak meninggalkan budaya maritim.

Penanaman pengetahuan akan budaya maritim akan menyegarkan pemahaman peserta didik tentang pentingnya peran kelautan bagi Indonesia. Hal-hal mendasar yang ditanamkan dalam setiap aspek pendidikan sejak dini dan konsisten dalam kerangka wajib belajar dapat membentuk karakter yang diinginkan. Karakter- karakter tersebut meliputi: mengakui wilayah laut Indonesia, mencintai, menjaga, dan melestarikan keberlangsungannya, melindungi kedaulatan dan ikut membangun dunia maritim Indonesia.

Ketika peserta didik yang juga calon penerus bangsa ini sudah tergugah rasa antusiasmenya terhadap sektor maritim, akan ada usaha untuk mendukung pemerintah dalam upaya menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia, bahkan ikut serta membantu dalam pengembangannya. Sinergi antara masyarakat dan pemerintah inilah yang dirindukan bangsa ini sejak lama. Ketika masyarakat sepenuhnya mendukung pemerintah, Indonesia akan menjadi Negara Maritim yang kuat, baik secara idealisme maupun penerapannya secara menyeluruh.

Usaha memasukkan karakter budaya maritim ke dalam sistem pendidikan nasional tidak memerlukan penggantian kuri kulum, hanya saja penanaman ini perlu disosialisasikan secara serius terutama kepada tenaga pengajar yang bertanggung jawab mem- bentuk karakter peserta didiknya. Tentu saja pengajar juga harus memiliki pemahaman tentang budaya maritim yang mendalam dan aktif. Dalam hal ini, yang bertanggung jawab adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai pembimbing tenaga pengajar tersebut.

Pembelajaran ini kemudian akan membentuk rantai siklus dari generasi ke generasi. Budaya maritim yang akan terbangun dalam pribadi anak-anak bangsa juga akan berdampak pada naiknya status sosial para nelayan yang menjadi perhatian khusus pemerintah, sehingga akan muncul rasa menghargai antara profesi satu dengan lainnya. Kemudian karakter ini akan berkembang di kalangan masyarakat. Sistem pendidikan seperti ini harus diterapkan secara serentak di seluruh wilayah Indonesia agar dunia maritim benar- benar bisa dibangkitkan kembali sebagai identitas bangsa.

Dalam pelaksanaannya dibutuhkan kontrol secara intensif dan kendali dari pemerintah secara langsung. Harus dilakukan

monitoring dan evaluasi secara terus menerus agar penanaman

budaya maritim bersamaan dengan usaha untuk memajukan pendidikan di Indonesia dapat berjalan secara maksimal. Dalam hal ini Dinas Pendidikan di tingkat kabupaten/kota dapat menjadi evaluator tingkat pertama yang bertanggung jawab kepada provinsi masing-masing, kemudian secara nasional diserahkan kepada pemerintah pusat.

Pemuda Indonesia Harus Bangkit

Saat ini dengan segala problematik pendidikan yang tak kunjung surut, Pemuda Indonesia dituntut harus mulai bergerak. Hal ini bukan hanya persoalan identitas dan jati diri bangsa, digagasnya pasar bebas menjadi alert bagi generasi penerus bangsa untuk mulai serius menjajaki dunia perekonomian dan persaingan kerja secara terbuka dan besar-besaran. Sistem pendidikan terdahulu yang membiasakan hafalan bukan pengembangan kreativitas dan pemecahan masalah telah ‘mendidik’ bangsa ini sebagai bangsa yang konsumtif bukannya produktif akan menjadi ancaman jika tidak diubah sejak saat ini. Jika sifat konsumtif ini terus- menerus membudaya, tak diragukan lagi Indonesia akan semakin dikendalikan seperti boneka oleh bangsa asing.

Indonesia dalam pembangunannya terus-menerus memper- baiki diri menuju arah yang lebih baik. Berbagai sektor kehidupan terus dikembangkan dan sudah mengalami perombakan-perom- bakan. Penegakan hukum yang ditegakkan salah satunya seperti penenggelaman kapal-kapal asing yang menangkap ikan di perairan Indonesia tanpa izin merupakan langkah pemerintah untuk menunjukkan keseriusannya dalam menjamin hak-hak nelayan Indonesia. Jangan sampai hal ini hanya sebatas seremonial belaka, sehingga pemberantasan mafia-mafia laut yang bahkan kejahatannya lebih besar dari nelayan-nelayan asing yang kapalnya ditenggelamkan itu lolos. Pemerintah juga harus selalu waspada.

Realisasi pendidikan sebagai tonggak poros maritim Nusantara harus disertai dengan peningkatan infrastruktur bagi pelabuhan- pelabuhan Indonesia yang masih belum memenuhi standar inter- nasional, serta pengadaan kapal-kapal ekspor-impor yang masih didominasi oleh investor asing. Tanpa adanya wujud nyata dari pembangunan usaha yang dilakukan tidak akan berjalan secara maksimal.

Indonesia sudah lama tenggelam dalam lautnya sendiri. Pendidikan budaya maritim secara intensif dan konsisten mampu membuka lembar baru dalam dunia maritim Indonesia. Inilah saatnya bangsa Indonesia kembali bangkit menjunjung nama maritimnya. Lautan tidak memecah belah bangsa ini, tapi lautanlah yang mempersatukan Indonesia. Pendidikan tidak untuk masa kini, tapi masa depan yang lebih cerah bagi kita semua.

DAFTAR PUSTAKA

Ramadhani, Ledy Fitra. 2013. “Sampah: Media Kreatif Belajar ala Sekolah Adiwiyata”. SMA Negeri 1 Probolinggo.

Hapsari, Adita Putri. 2013. “Korelasi Konstruksi Bambu Ramah Lingkungan dan Nasionalisme NKRI”. SMA Negeri 1 Probolinggo.

Redaksi. 2014. Jurnal Maritim Edisi 20. “Gebrakan dan Tantangan Kabinet Maritim” (http://jurnalmaritim.cpm/2014/12 gebrakan-dan- tantangan-kabinet-maritim/). Diakses Jumat, 08 Mei 2015.

Wiyono, Teguh. 2013. “Menggagas Kembalinya Pendidikan Maritim- Agraris-Niaga Indonesia Raya” (http://www,pendidikan-diy. go.id/dinas_v4/?view=v_artikel&id=26). Diakses Jumat, 08 Mei 2015.

L

aut merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang tak ternilai harganya. Keberadaannya sangatlah penting bagi seluruh kehidupan makhluk hidup. Laut tak hanya difungsikan sebagai ujung tombak mata pencaharian masyarakat nelayan yang hidup di pesisir pantai, namun juga sebagai jalur perdagangan dunia yang berpengaruh pada kemajuan globalisasi di berbagai macam sektor seperti pertukaran kebudayaan asing ke Indonesia, sampai pada penyelundupan barang-barang yang dapat mengancam kedaulatan NKRI. Dahulu hingga saat ini negeri-negeri mancanegara mengenal Indonesia sebagai bangsa dengan wilayah maritim yang besar, wilayah lautnya luas dan terbentang dari Sabang sampai Merauke. Menurut pakar hukum laut Indonesia, Dimyati Hartono, luas laut Indonesia adalah 60 persen, atau setara dengan 3.166.163 kilometer persegi (Gara-gara Indonesia, 2013:67). Pada kondisi inilah laut menjadi pemisah di antara 17.508 pulau yang satu dengan lainnya. Di antara pulau-pulau tersebut terdapat eksotika pantai yang memiliki karakteristik yang berbeda di setiap daerah. Indonesia memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia, yakni lebih dari 95.000 kilometer. Hal itu menandakan bahwa laut memiliki fungsi

Dalam dokumen KAUM MUDA DAN BUDAYA MARITIM NUSANTARA (1) (Halaman 80-90)