• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola Relasi Produksi dan Distribusi Masyarakat Pesisir Belitung

Dalam dokumen KAUM MUDA DAN BUDAYA MARITIM NUSANTARA (1) (Halaman 102-112)

Yonky Rizki Munandhar

paruh baya tersebut dinamakan berae.3 Pria paruh baya tersebut

dinamakan perae (tukang ngerai).4 Saya juga menanyakan kemana-

kah perginya perae setelah mendapatkan hasil laut dari nelayan. Guru saya menjawab, akan disalurkan ke pasar.

Memang fakta ini menunjukkan bahwa profesi seseorang yang paling dominan dipengaruhi oleh daerah geografisnya. Begitu pun pria paruh baya tersebut yang selalu mencari hidup di daerah pesisir, yang menunggu nelayan. Salah satunya adalah kepulauan Belitung yang dominan masyarakat pesisirnya bekerja sebagai nelayan. Kabupaten Belitung wilayahnya dikelilingi oleh perairan di mana di dalamnya terdapat 98 pulau besar dan kecil dan di sebelah timur berbatasan langsung dengan Kabupaten Belitung Timur. Secara geografis Kabupaten Belitung terletak antara 107°08' BT sampai 107°58' BT dan 02°30' LS sampai 03°15' LS dengan luas daerah lautan sebesar 6.363 km2. Sebagian besar penduduk

Belitung merupakan etnis Melayu dengan budaya yang mengalami akulturasi dan asimilasi, sehingga terlihat begitu banyak perubahan budaya yang terjadi walaupun tidak meninggalkan sepenuhnya budaya asli mereka. Hal ini disebabkan banyaknya etnis atau suku lain yang masuk ke Belitung, seperti etnis Bugis, China, dan lain- lain. Penduduk Belitung tinggal di wilayah pesisir, terutama yang pendidikannya masih tergolong rendah lebih memilih bekerja sebagai nelayan. Hal ini disebabkan karena pekerjaan nelayan diajarkan turun-menurun. Selain itu, nelayan bebas dan tidak diatur oleh orang lain, namun keuntungan yang didapat sangat bergantung pada kondisi alam, dan hasil yang mereka peroleh lebih banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Menariknya, ada hubungan simbiosis mutualisme antara masya rakat nelayan dengan perae, yakni adanya berae. Berae

adalah sistem distribusi yang digunakan untuk menjual hasil alam

3 Sistem berae merupakan pola distribusi, di mana nilai akan bertambah apabila

terdapat peningkatan secara fungsional dari fungsi yang sebelumnya.

untuk disalurkan ke pedagang lain, kemudian dari pedagang akan diolah menjadi produk yang bernilai jual lebih tinggi. Dalam sistem ini perae bertanggung jawab atas kualitas dan kuantitas bahan- bahan di pasar.

Dalam hal ini, sistem berae mendistribusikan hasil laut tangkapan nelayan untuk disalurkan ke pasar. Nilai tambah bisa muncul, jika terdapat sektor jasa lain yang memengaruhi produksi. Dengan kata lain, harga akan mengalami kenaikan, ketika barang mengalami peningkatan fungsional. Terdapat tiga sektor usaha yang memengaruhi nilai tambah. Pertama, lapangan usaha di sektor primer yaitu hasil yang didapat langsung dari alam. Kedua, lapangan usaha di sektor sekunder, yakni hasil sektor primer diolah dengan teknologi atau alat. Ketiga, lapangan usaha di sektor tersier, memperoleh nilai tambah dari jasa yang dihasilkan.

Berae sebagai Mata Pencaharian

Pada tahun 2013 jumlah penduduk Kabupaten Belitung adalah sebesar 167.602 jiwa. Dari 167.602 jiwa penduduk Belitung, yang berkerja sebagai nelayan kurang lebih 9.514 orang. Perbandingan jumlah nelayan dan perae di Kabupaten Belitung adalah 20:1, yang artinya satu orang perae dapat menampung dua puluh nelayan dalam satu hari kerja.

Dari jumlah hasil tangkapan yang diperoleh nelayan, otomatis memengaruhi kondisi perekonomian perae, produsen/lapangan usaha, dan nelayan itu sendiri. Penghasilan yang didapat oleh nelayan merupakan penghasilan sektor primer, karena dalam hal mencari nafkah, nelayan memanfaatkan lingkungan laut untuk menangkap biota laut. Dalam hal menangkap ikan, nelayan memerhatikan norma-norma yang berlaku, seperti tidak menggunakan alat yang dapat merusak terumbu karang seperti pukat, bom, racun, dan bius. Di samping itu, nelayan juga dilarang menggunakan kapal hisap, selain dapat menyebabkan rusaknya ekosistem laut, kerugian lainnya adalah hasil tangkapan laut nelayan dapat berkurang hingga

80%.5 Dalam aktivitas melaut yang dilakukan berhari-hari, apabila

cuaca tidak memungkinkan mereka untuk melanjutkan pelayaran, seperti gelombang besar atau pun badai, mengharuskan mereka untuk singgah di sebuah pulau dan menginap di pulau tersebut. Kebiasaan menginap ini disebut orang Belitung dengan ngetong. Setelah menyelesaikan pelayaran, nelayan kembali ke pesisir. Di sana sudah menunggu perae, untuk mengambil hasil tangkapan laut yang nelayan peroleh.

Perae berfungsi untuk memudahkan nelayan dalam menjual

dan mendistribusikan tangkapan hasil laut secara langsung, sehingga nelayan bisa mengurangi biaya dalam membayar jasa seseorang. Dalam melakukan aktivitas berae, perae biasanya menggunakan alat transportasi sepeda motor yang dilengkapi dengan ambong

pempang untuk memudahkan mereka membawa tangkapan hasil

laut yang dibeli dari nelayan. Perae bekerja secara perseorangan. Dalam mengambil hasil tangkapan laut dari nelayan, perae membeli semua tangkapan nelayan baik yang kualitasnya bagus, maupun yang kurang bagus. Kebanyakan perae merupakan penduduk asli Belitung. Proses mencari nafkah yang dilakukan oleh perae

ini termasuk ke dalam sektor primer, di mana penghasilan yang didapat diperoleh dari distribusi tangkapan hasil laut. Apabila hasil laut yang didapat oleh perae dari nelayan tidak habis terjual dikarenakan kondisi ikan yang kualitasnya kurang bagus atau tidak diminati oleh konsumen, perae berinisiatif untuk mengolah ikan dengan cara diasinkan atau dibuat kerupuk. Tetapi hasil olahan tersebut hanya untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri, tidak untuk dijual. Dari perilaku yang dilakukan oleh perae ini, secara tidak langsung perae berusaha untuk mengurangi biaya untuk kebutuhan hidup sehari-hari.

Produsen merupakan orang yang mampu mengolah produk bahan mentah, khususnya yang berasal dari alam untuk diubah menjadi produk yang yang memiliki fungsi berbeda dari fungsi

produk awal dan memiliki nilai tambah melalui peningkatan secara fungsional produk tersebut. Produsen di sektor sekunder biasanya mengolah langsung bahan yang didapat dari sektor primer. Contohnya, penggiling ikan yang membeli ikan dari perae, kemudian digiling dan menghasilkan daging ikan yang lembut. Kemudian daging ikan yang sudah dihaluskan tersebut, dijual kembali kepada konsumen dengan harga yang lebih tinggi daripada ikan yang dibeli dari perae. Berbeda dengan produsen di sektor sekunder, produk yang dihasilkan di sektor tersier merupakan barang siap saji, yang sesuai dengan selera pasar. Contohnya saja, pembuat kerupuk yang membeli daging ikan halus dari penggiling ikan, diolah lagi menjadi kerupuk ikan. Selanjutnya kerupuk ikan tersebut dijual kepada konsumen dengan harga yang lebih tinggi daripada bahan baku untuk membuat kerupuk ikan tersebut. Hubungan Sosial dalam Aktivitas Berae: Pola Relasi Distribusi dan Produksi

Dalam melakukan suatu aktivitas biasanya terdapat hubungan dengan pihak yang terkait. Hubungan tersebut merupakan hubungan yang bersifat timbal balik, yaitu hubungan yang saling memengaruhi satu dengan yang lainnya. Sama hal-nya dalam aktivitas berae, dalam aktivitas ini terdapat hubungan yang saling memengaruhi satu sama lain. Hubungan sosial itu muncul dikarenakan adanya permasalahan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, yakni nelayan, perae, dan produsen. Sehingga mengakibatkan ketiga pihak yang terkait tersebut memiliki rasa ketergantungan yang tinggi antara satu dengan yang lainnya.

Hubungan nelayan dan perae sangat erat dalam hal tingkat kepercayaan kedua belah pihak. Dalam hubungan yang terjadi antara nelayan dan perae, perae dapat menyiapkan modal dalam membantu nelayan, seperti membantu dana dalam membeli peralatan menangkap ikan dan renovasi kapal. Bahkan dalam hal di luar aktivitas berae-pun, apabila nelayan yang menjadi

langganannya tidak mempunyai uang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, perae biasanya memberikan pinjaman uang kepada nelayan tersebut. Di samping itu, terdapat pula hubungan yang terjadi antara perae dengan produsen di sektor sekunder dan tersier dapat dilihat dari permintaan hasil laut oleh produsen kepada perae. Hubungan ini memengaruhi tingkat kepercayaan antara perae dengan produsen dalam menyediakan bahan baku yang akan digunakan untuk mengolah hasil laut menjadi berbagai jenis produk yang akan dihasilkan oleh produsen. Pola produksi dan distribusi dalam aktivitas berae dapat dilihat pada skema di bawah ini:

Aktivitas Berae: Pendapatan Sektor Primer, Sekunder, dan Tersier Pendapatan yang dipengaruhi di sektor primer adalah pen- dapatan nelayan, perae, dan pedagang ikan. Karena nelayan merupakan sektor yang pertama kali menyalurkan hasil tangkapan laut ke masyarakat, maka yang memengaruhi jumlah pendapatan

adalah perilaku nelayan itu sendiri. Jika nelayan menjaga kelestarian laut dan menangkap ikan dengan tidak membahayakan terumbu karang sebagai tempat tinggal biota laut, maka pendapatan nelayan akan stabil bahkan meningkat. Terlepas apa yang dilakukan nelayan saat melaut, aktivitas berae juga ikut memengaruhi pendapatan

perae. Ini disebabkan karena perae mengambil semua tangkapan yang dibawa oleh nelayan, baik yang kualitasnya bagus atau kurang bagus. Tangkapan laut yang kualitasnya tidak bagus tidak dapat didistribusikan ke pasar, akibatnya berisiko mengalami kerugian. Di lain pihak, pedagang ikan bisa saja mendapatkan keuntungan yang sama dengan perae atau bisa saja lebih dari perae. Hal ini bisa terjadi karena pedagang ikan di pasarlah yang menentukan harga tangkapan hasil laut yang akan dijual kepada konsumen. Berikut jenis dan harga tangkapan hasil laut yang diperoleh dari nelayan kemudian diambil oleh perae dan dari perae disalurkan lagi pasar.

Tangkapan Nelayan jual ke perae (Rp/kg) Perae jual ke pasar (Rp/kg) Pasar jual ke konsumen (Rp/kg) Ikan pari 10.000 13.000 15.000 Ikan Ucul 7.000 9.000 12.000 Ikan Birai 8.000 10.000 15.000 Udang 80.000 85.000 90.000 Cumi 40.000 45.000 50.000

Yang termasuk dalam pelaku pasar di sektor sekunder adalah pelaku pasar yang mengolah hasil yang berasal dari sektor primer. Dalam sektor ini, meliputi penggiling ikan dan penjual ikan asin. Contohnya saja penggiling ikan, setelah membeli ikan dari pedagang ikan, dan menggilingnya menjadi daging ikan halus, ia dapat menjualnya kepada konsumen dengan harga yang lebih tinggi daripada ikan yang dibelinya dari pedagang ikan. Berikut tabel harga jual ikan giling dan ikan asin yang ditampilkan pada tabel di bawah ini:

Penggiling Ikan Penjual Ikan Asin Jenis Ikan Harga beli ikan dari perae (Rp/ kg) Harga jual setelah di- giling (Rp/ kg) Jenis Asinan Harga beli basah (Rp/kg) Harga jual setelah diasinkan (Rp/kg) Birai 15.000 30.000 Candang 12.000 50.000 Ucul 12.000 30.000 Cumi 50.000 120.000

Dalam sektor tersier, yang terjadi adalah bahan yang berasal dari sektor sekunder akan diolah menjadi produk yang memiliki nilai fungsional yang lebih tinggi daripada sektor sekunder. Misalnya daging ikan halus digunakan dalam membuat kerupuk ikan, kemudian kerupuk ikan tersebut dijual dengan harga yang lebih tinggi. Berikut tabel harga jual kerupuk ikan dan bakso ikan rata-rata yang ditampilkan dalam tabel di bawah ini.

Penjual Kerupuk Ikan Penjual Bakso Ikan

Jenis Ikan Harga beli daging ikan (Rp/kg) Harga Jual per bungkus Jenis Ikan Harga beli daging ikan (Rp/kg) Harga jual per porsi Tenggiri 30.000 30.000 Birai 30.000 10.000

Pada tabel di atas, terlihat bahwa harga beli daging ikan tengggiri halus per kilogram-nya adalah Rp 30.000,00 kemudian diolah menjadi kerupuk ikan tenggiri dengan harga jual Rp 30.000 per bungkus. Di samping itu, satu kilogram daging ikan tenggiri dapat menghasilkan kurang lebih 30 bungkus kerupuk ikan tenggiri. Maka, dapat disimpulkan bahwa uang seluruhnya yang dihasilkan apabila seluruh kerupuknya habis terjual kurang lebih Rp 900.000,00. Kemudian satu kilogram daging ikan birai seharga Rp 30.000,00, diproduksi menjadi bakso ikan yang dijual dengan harga Rp 10.000,00 per porsi. Satu kilogram ikan birai dapat menghasilkan kurang lebih 50 porsi bakso ikan. Apabila 50 porsi habis terjual, maka jumlah uang yang didapat adalah Rp 500.000,00.

Motivasi, Jujur, dan Peduli

Kearifan lokal dalam aktivitas berae, mengandung nilai- nilai seperti motivasi, bijak, dan peduli, yang merupakan pesan moral yang disampaikan dalam aktivitas berae. Perae memotivasi masyarakat untuk tidak mudah menyerah dan berusaha meminimalisir pengeluaran dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan menampilkan perilaku tidak membuang hasil tangkapan yang kualitasnya kurang bagus, namun memanfaatkan dan mengkonsumsi hasil olahan bahan tersebut dengan mengolahnya menjadi ikan asin atau pun kerupuk ikan. Selain itu, perae

menampilkan teladan bekerja keras, mereka dapat menampung kurang lebih 20 nelayan dalam sehari. Betapa melelahkannya pekerjaan tersebut, menimbang, mencatat, dan membawa hasil laut yang diperoleh dari nelayan ke pasar.

Di samping itu, dalam melakukan aktivitas berae masing- masing pihak harus berlaku jujur sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat agar tidak ada yang merasa dirugikan. Sehingga tidak mengakibatkan munculnya konflik di masyarakat berupa kecurangan yang dilakukan oleh nelayan, perae, maupun produsen dengan menaikkan harga hasil tangkapan laut sesuai dengan kehendak mereka sendiri tanpa mementingkan kondisi masyarakat, terutama masyarakat dari golongan ekonomi bawah. Untuk mewujudkan ekosistem laut dapat terjaga dengan baik, nelayan harus tetap menjaga kelestarian ekosistem laut dengan tidak melakukan hal-hal yang dilarang oleh pemerintah seperti pengeboman, pembiusan, racun ikan, dan memasang pukat. Penutup

Dari aktivitas berae yang dilakukan oleh nelayan, perae, dan produsen dalam memproduksi dan mendistribusikan hasil tangkapan laut kepada konsumen, secara tidak langsung terbentuk suatu sistem yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya di mana bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai peran dan

fungsinya masing-masing, sehingga aktivitas produksi dan distribusi dapat berjalan dengan lancar dan berbuah hasil. Agar aktivitas

berae tersebut tetap lancar, dibutuhkan hubungan sosial yang bersifat saling ketergantungan antara nelayan, perae, dan lapangan usaha di sektor primer, sekunder, dan tersier. Ketiga sektor ini akan memengaruhi jumlah pendapatan masing-masing pihak. Faktor utama untuk memperoleh hasil yang maksimal dalam produksi dan distribusi hasil laut adalah kondisi ekosistem laut, di mana apabila ekosistem laut terjaga maka biota laut dapat mudah tumbuh dan berkembang. Di samping itu, diperlukan keikutsertaan semua pihak dalam mengawasi jalannya aktivitas berae baik di sektor primer, sekunder, maupun tersier untuk mewujudkan kenyamanan dalam aktivitas berae.

DAFTAR PUSTAKA

Sancin, Ian (2009). Yin Kelana. Bandung: Mizan Media Utama. Munandhar, Yonky. Presentasi Jetrada 2015 di Pangkalpinang. http://www.bangka.go.id/content.php?id_content=sosek http://portal.belitungkab.go.id/ Daftar Informan No Nama Profesi 1 Budi Nelayan 2 Basri 3 Kulub Perae 4 Agung

5 Acing Pedagang Ikan

6 Jamik Penggiling Ikan

7 Suku Penjual kerupuk ikan

8 Erna Penjual ikan asin

I

ndonesia, negara dengan multikulturalisme terarah. Negara yang dahulu dikenal dengan sebutan Nusantara sebelum jaman orde bertahta. Negara maritim yang dibentuk melalui pemahaman agraris. Meskipun tidak dapat disangkal bahwa kodrat sejarah maritim Nusantara diawali jauh sebelum predikat agraris melekat. Kemaritiman Nusantara bermula dengan tumbuhnya kekuasaan kerajaan Buddha Sriwijaya pada abad ke-7 yang berkembang pesat di wilayah Sumatra. Rekam jejak I-Tsing menulis kerajaan dengan ibu kota pemerintahan di Palembang tersebut tahun 670 M mengalami puncak kejayaan dengan daerah kekuasaan dari Jawa Tengah hingga Kamboja (Sanel, 2012: 1-2). Pada abad ke-13, Singasari juga mampu berjaya melalui laut. Bersama dengan ekspedisi Pamalayu di bawah kekuasaan Kertanegara (Sri Maharajadiraja), upaya pemersatuan Nusantara seakan bukan hal mustahil. Selat Malaka, Pahang, Sunda, Bali, Bakulapura, dan Gurun menjadi daerah kekuasaannya. Jalinan persahabatan dengan Raja Champa pun berhasil didapatkannya (Arsyad, 2010: 1-2).

Di abad ke-14, dalam rekaman sejarah Pramoedya Ananta Toer dikatakan bahwa sejarah maritim Nusantara kembali merekam arus balik peradaban yang berlangsung dari wilayah Bawah Angin

di Pura Pakualaman:

Dalam dokumen KAUM MUDA DAN BUDAYA MARITIM NUSANTARA (1) (Halaman 102-112)