• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rumah Surga, Katanya

Dalam dokumen KAUM MUDA DAN BUDAYA MARITIM NUSANTARA (1) (Halaman 182-192)

Saiir Rohman

Terkadang mereka juga bercerita pengalaman seru saat berlayar bersama sang ayah. Mereka bercerita tentang gelombang samudera yang bergulung-gulung menghantam perahu mereka. Tetapi mereka tetap tenang, karena dahsyatnya keyakinan ayah mereka, bahwa laut adalah “hamparan surga yang tak membahayakan para tamu yang datang dengan rasa cinta”.

Benarlah pepatah Madura “abhental ombe’ asapo’ angin4”. Dalam istirahat pun, para nelayan masih terus berkorban dan berjuang. Tidur mereka (nelayan) tidak pernah benar-benar nyenyak, lantaran gelombang bertubi-tubi datang. Sebuah bentuk pengorbanan besar dari pejuang gizi bangsa yang kerap kali ter(di)- abaikan. Itulah memori saya bersama anak-anak pesisir sekitar tiga tahun silam.

Sekarang, tepatnya sejak tiga tahun lalu, saya dipertemukan dengan pulau yang sangat unik: Madura. Pulau tempatku menuntut ilmu saat ini. Sekitar 500 meter dari pesantren, sudah terlihat jelas gugusan gelombang, pemandangan pantai, hiruk-pikuk nelayan dan para petani garam yang terus bersemangat. Di saat-saat tertentu saya pun sering mencium aroma khas ikan asin yang berhembus dibawa angin laut.

Di sana, saya bertemu dengan lebih banyak anak-anak kepulauan. Berbagai cerita tentang laut mereka sampaikan. Hampir sama dengan teman-teman di SMP, mereka juga banyak bercerita tentang laut. Misalnya, tentang meriahnya suasana petiklaut, dan nuansa mistis upacara larungan. Mereka pun kerap menjadi tempat bertanya tentang apapun yang berkaitan dengan laut. Misalnya, bagaimana siasat nelayan dalam menghadapi paceklik yang sangat tidak bersahabat dengan perekonomian keluarga? Atau pun juga, bagaimana cara mereka untuk memaksimalkan hasil tangkapan?

Pada akhirnya, interaksi saya dengan mereka melabuhkan saya pada kesadaran bahwa sumbangsih laut pada kehidupan begitu

4 Petikan lirik lagu daerah Madura yang berjudul: Tanduk Majeng. Dalam bahasa

besar. Berbagai cerita mereka selalu menghantarkan saya pada debur laut yang agung. Laju perahu nelayan yang membelah ombak selalu membawa pesan-pesan luhur tentang makna pengorbanan serta dedikasi mendalam. Kokohnya karang yang bersemedi di lautan selalu mengingatkan saya pada ketangguhan, ketegaran serta ketabahan. Gulungan ombak yang menghantam bertubi-tubi mengingatkan saya akan sakal badai kehidupan yang juga datang tak henti-henti.

Berbicara soal kemaritiman adalah berbicara kesejahteraan Indonesia. Sebagai negara maritim dengan 17.508 pulau dan luas perairan (lautan) mencapai 3,1 juta kilometer persegi5 beserta

aneka kekayaan bahari yang melimpah, Indonesia seharus nya mampu menjadi negara maju yang kuat dan mandiri. Suhana (2011) mengatakan, letak wilayah kepulauan tersebut sangat memungkinkan bangsa Indonesia untuk membangun pereko- nomian yang didasarkan pada basis sumber daya kelautan. Lautan dapat berperan juga sebagai media pemersatu bangsa yang membentuk satu kesatuan pertahanan keamanan, politik, dan sosial. Di samping itu, pesisir, pulau-pulau kecil dan lautan beserta habitat-habitat di dalamnya merupakan wilayah yang menyediakan sumber daya kelautan dan jasa-jasa lingkungan yang menjadi modal dasar pembangunan ekonomi nasional.6

Namun sayang, kurangnya penguasaan keterampilan mana jerial, teknikal dan operasional yang dimiliki pengelola (masyarakat pesisir) serta dukungan sarana dan prasarana dalam mengelola sumber daya kelautan menghadirkan sejumlah fakta yang berkebalikan dengan misi nomor tujuh pembangunan nasional jangka panjang (2005- 2025) yang tertuang dalam UU No. 17 Tahun 2007 dengan bunyi, “mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional”.

5 http://www.kompasiana.com/agungharyoyudanto/wilayah-perairan-indonesia 6 Suhana. Ekonomi Politik Kebijkan Kelautan Indonesia. Malang: Intrans

Beragam polemik kemaritiman yang melanda Indonesia, mendorong semua pihak untuk berpikir keras demi memunculkan ide-ide yang solutif namun tetap aplikatif. Berbagai konsep dan terminologi pun bermunculan. Di antaranya yang paling terkenal adalah konsep “Pembangunan Ekonomi Archipelago”. Menurut Adisasmita (2006), pembangunan ekonomi archipelago dimaksudkan sebagai pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya ekonomi lainnya pada ruang wilayah daratan dan perairan (laut) dalam kawasan kepulauan secara efektif, efesien dan produktif melalui berbagai kegiatan pembangunan untuk kebutuhan pen- duduk dan bertujuan mencapai tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi.7

Di sini, posisi SDM sebagai “subyek” yang akan mengelola segala bentuk SDA kelautan menjadi sangat vital. Oleh karenanya, dukungan berupa pembekalan manajerial, teknikal, dan operasional dalam mengelola SDA juga sangat dibutuhkan dalam mencetak SDM yang andal dan profesional. Dengan demikian, tindakan serta sikap yang diambil dalam mengelola SDA tidak akan menimbulkan hal- hal yang tidak dikehendaki, seperti destructive-fishing dan berbagai bentuk kejahatan kelautan (perikanan) lainnya. Karena apa pun bentuk upaya kita adalah investasi yang dampaknya akan terasa oleh diri kita. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa “sikap dan prilaku kita (SDM) terhadap laut hari ini, adalah cerminan atas apa yang akan kita peroleh dari laut esok hari”.

Akan tetapi, hingga hari ini, beberapa nelayan atau justru bahkan kita, belum paham betul bagaimana seharusnya berbuat dan bersikap terhadap laut. Beberapa juga hanya berorientasi pada besarnya hasil tangkapan sehingga mudah sekali bertindak tanpa perhitungan. Cara-cara yang tidak ramah lingkungan bahkan cenderung membahayakan masih kerap kali dilakukan dengan dalih

7 Rahardjo Adisasmita. Pembangunan Ekonomi Marirtim. Yogjakarta. Graha

meningkatkan hasil tangkapan. Bom ikan dan pukat harimau yang digunakan di beberapa lokasi perairan merupakan bukti konkret akan adanya hal tersebut.

Kurangnya penghayatan akan fungsi ‘ke-khalifah-an’ manusia di muka bumi, juga kerap kali melemahkan bahkan mematikan kesadaran bahwa tugas utama manusia adalah mengolah dan mengelola bumi dan seisinya. Mengolahnya tidak berarti memper- lakukannya semena-mena lalu meniadakan haknya untuk mendapat perawatan dan pelestarian. Karena bumi bukanlah “adonan kue”. Begitu pun juga laut, sikap yang diambil dalam mengelolanya harus benar-benar hati-hati sehingga laut tidak hanya diambil manfaatnya, tetapi juga dijaga dan dilestarikan segala ekosistemnya.

Mengetengahkan soal tentang pengelolaan laut, saya kembali terkenang dengan cerita teman-teman sepondok maupun se-SMP dulu. Berdasarkan cerita mereka, para nelayan memiliki teknik dan cara yang beragam dalam meningkatkan hasil tangkapan. Salah satunya dengan rompong. Di Nusantara, rompong disebut dengan beragam istilah. Ada yang menyebutnya dengan unjam, rabo,

payao, tendak dan yang paling umum: rumpon. Bentuk dan bahan

pembuatnya pun beragam.

Secara garis besar, rompong yang mereka buat terdiri dari tiga bagian yaitu, pelampung, atraktor, dan jangkar. Pelampung biasanya dibuat dari bambu yang dirangkai kuat menyerupai rakit. Beberapa nelayan juga membuatnya dari jerigen-jerigen besar, karet busa dan benda lain yang bisa mengapung dan bersifat tahan cuaca. Bahkan di sebagian daerah di pesisir Nusantara, ia dibuat dari plat baja yang dibentuk menjadi balok, tabung, atau pun silinder dikarenakan memiliki ketahanan cuaca yang jauh lebih tinggi.

Fungsi pelampung setidaknya ada dua, yaitu sebagai tempat mengikat atraktor dan penanda lokasi pemasangan rompong. Biasanya, pelampung dipasangi bendera warna-warni yang akan memudahkan proses identifikasi. Dengan begitu, para nelayan dapat mengenal rompong masing-masing.

Bagian rompong kedua adalah atraktor atau dalam istilah lain disebut rumah sawat. Di Masalembu, bagian inti ini dibuat dengan bahan utama lerep8.Daun kelapa utuh dibuang bagian tengahnya

sehingga menyisakan dua bagian yang terdiri dari rentetan daun (janur) yang masih menyatu. Kemudian, bagian tersebut dilipat menjadi dua. Selanjutnya bagian tersebut ditumpuk menjadi satu lalu diikat dengan tali tradisional. Tumpukan lerep diikatkan lagi pada tambang inti dengan jarak 1-2 meter menjadi rentetan yang nantinya akan dibenamkan di lautan.

Bagian inilah yang menarik ikan untuk bergerombol. Ikan- ikan kecil senang berada di sekitarnya karena banyak plankton dan mikro-organisme yang menjadi makanan ikan-ikan kecil. Gerombolan ikan kecil itu pun mengundang spesies predator berupa ikan-ikan berukuran lebih besar. Beberapa jenis ikan yang bersifat fototaksis-negatif9 juga menggunakannya sebagai tempat kondusif untuk berteduh dari cahaya matahari. Beberapa ikan lain juga menjadikannya sebagai tempat berlindung diri yang cukup aman, dan sebagian lainnya menjadikannya sebagai tempat memijah dan menempelkan telur dalam proses berkembang biak.

Bagian rompong selanjutnya adalah jangkar atau pemberat. Fungsinya adalah membenamkan atraktor ke laut sekaligus mematenkan posisi rompong agar tidak bergeser. Untuk urusan ini, nelayan Masalembu biasa menggunakan batu gunung (cadas) sebagai pemberat. Selain karena mudah didapat, ia juga dinilai aman dan ramah lingkungan. Seiring berjalannya waktu batu tadi akan melapuk dan berubah bentuk menjadi pertikel-partikel kecil dan bercampur dengan pasir laut.

Di sini cukup jelas bahwa rompong dapat menjadi alternatif “rumah surga” baru bagi berbagai biota laut khususnya beragam spesies ikan yang pastinya ramah lingkungan. Rompong yang dibenamkan ke dalam laut akan menjadi habitat baru bagi ikan,

8 Daun kelapa (janur) yang mulai tua dan telah dibelah dua. 9 Reaksi negatif binatang terhadap pengaruh cahaya.

dan semakin tua usia rompong itu akan semakin disenangi. Karena selain menjadi lokasi berlangsungnya sebuah rantai makanan, ia juga mampu menjadi tempat kondusif untuk berlindung dan berkembang biak bagi ikan-ikan tertentu.

Bahan baku pembuatannya yang dapat dikategorikan sebagai bahan-bahan alami, menjauhkannya dari unsur kimiawi yang bersifat mencemari. Untuk itu, rompong dirasa layak dan cocok dijadikan sebuah ide solutif yang pelan-pelan akan menghapus kegusaran kita menyaksikan ragam kejadian yang melukai bangsa ini. Penerapannya yang ramah lingkungan adalah solusi tepat di tengah maraknya berbagai kejahatan perikanan dan kelautan.

Dengan adanya rompong, para nelayan hanya butuh melakukan survei di lokasi sekitar di pasangnya rompong tersebut. Rata-rata mereka sudah cukup ahli dan profesional dalam membaca tanda- tanda keberadaan ikan. Kemudian mereka hanya butuh menunggu dan menentukan waktu yang tepat untuk mulai menangkap. Di beberapa daerah rompong milik nelayan juga disewakan kepada para pemancing non-nelayan sebagai alternatif memancing dengan mudah.

Lebih dari itu, rompong juga sangat aplikatif. Bahan baku alaminya berupa daun kelapa dapat ditemui dengan mudah. Iklim tropis pesisir sangat cocok untuk membudidayakan pohon kelapa. Ia telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan keberadaan pantai di Nusantara. Berkah inilah yang memudahkan proses pembuatannya. Selain itu, rompong tidak memiliki spesifikasi lokasi dalam pemasangan, sehingga ia cocok dan dapat diterapkan di mana pun.

Rompong dapat menjadi investasi dengan wujud sederhana,

namun tetap bernilai mahal dan berdampak universal. Kemudahan dalam penerapannya juga sangat memungkinkan untuk diwujudkan.

Rompong yang dilepas akan menjadi terumbu karang buatan yang

menyenangkan bagi ikan. Mereka akan beranak-pinak dengan maksimal dan berujung pada peningkatan kuantitas ikan.

Harapan besar yang disisipkan dengan “sopan” ke dalam

rompong yang dilepas di lautan, tak akan pernah karam. Seluruh

hayati laut akan menemuinya di sela-sela karang, di tengah debur gelombang, di saat mereka berenang dan berinteraksi dengan tenteram. Mereka akan turut mendukung dan membantu mewujudkan upaya-upaya kita dengan cara mereka masing-masing. Mungkin dengan protein dan berbagai macam vitamin. Mungkin dengan aneka rupa corak, warna, dan bentuk yang menawan. Atau bahkan dengan dolar-dolar asing yang terselip dalam kaleng olahan ikan yang memungkinkan untuk diekspor dalam jumlah besar.

Penerapan rompong sebagai upaya solutif dan aplikatif juga dapat dikatakan sebagai bentuk terima kasih terhadap laut yang belakangan ini semakin sering ter(di)campakkan. Selama ini, egoisme pribadi lebih dominan dalam proses eksploitasi. Kecenderungan yang demikian kerap kali menyeret diri pada sebuah “miss-understanding”

akan tugas ‘ke-khalifah-an’ manusia di muka bumi.

Kesadaran bahwa laut bukanlah “budak” atau “adonan kue” yang bebas diperlakukan semena-mena tidak benar-benar atau bahkan tidak sama sekali timbul dalam benak. Sikap apatis tehadap laut mengaburkan pandangan serta pemahaman bahwa sebetulnya laut punya hak untuk diberi setelah ia memberi tak henti-henti. Akan tetapi kepelitan dan arogansi malah menjadi balasan akan dalamnya cinta laut pada kehidupan dan manusia. Bom-bom ikan yang dijatuhkan dan pukat harimau yang ditebar tanpa diinginkan merusak indahnya terumbu karang. “Rumah surga” beragam keluarga biota laut yang menawan pelan-pelan dihancurkan.

Selanjutnya yang perlu digarisbawahi adalah upaya kita tidak serta-merta selesai dengan membenamkan rompong ke dalam lautan. Melainkan dalam waktu yang bersamaan, upaya semua pihak untuk menjaga dan melestarikan serta turut andil dalam mendukung sangat dibutuhkan agar tidak terjadi kepincangan. Segala lapisan masyarakat harus bergerak bahu-membahu membangun dan memperbaiki laut.

Sosialisasi dari pemerintah kepada semua pihak terutama para nelayan tentang rompong beserta tutorial penerapan dan perawatannya juga perlu dilakukan. Setidaknya proses itu akan memberi wawasan baru bagi masyarakat, khususnya para nelayan dan masyarakat pesisir lain, bahwasanya rompong merupakan sebuah upaya model klasik dalam peningkatan produktivitas ikan dan benar-benar dapat menjadi ide solutif dan aplikatif yang sangat relevan dengan beragam tipikal problem yang dewasa ini melanda dunia kemaritiman Indonesia.

Tetapi rompong bukan sekadar masalah “hasil”. Lebih dari itu, ia adalah rasa syukur. Selama ini upaya laut dalam memberikan sumber dayanya selalu datang bertubi-tubi. Ikannya selalu ada untuk memenuhi kebutuhan protein dan gizi. Hembusan anginnya selalu ada untuk meniup dan mendorong perahu yang hilir-mudik silih berganti. Gas dan minyaknya selalu tepancar untuk mencukupi kebutuhan energi. Inilah kiranya yang menjadi dasar “rasa syukur” yang kemudian tercermin dalam beberapa ritual adat kelautan, seperti petik laut, rokat tasek, larungan dan juga dalam proses penerapan rompong.

Dengan rompong, kita berusaha hidup “makmur dan sejahtera” di atas laut. Rompong yang dilepaskan adalah upaya mengaktualisasi segala harapan. Dalam penerapannya, yang menjadi nilai lebih adalah adanya nilai berbagi yang cukup tinggi: berbagi tempat, berbagi makanan dengan sesama makhluk hidup, sehingga terjadi semacam simbiosis-mutualisme antara kita (SDM) dan laut (SDA). Filosofi berbagi ini dapat kita ambil dari bagian inti dari rompong,

yaitu atraktor sebagai “rumah berbagi”.

Selanjutnya, rompong juga mengandung nilai-nilai konsistensi dan keteguhan diri. Ia memiliki jangkar. Bagian inilah yang terus- menerus menahan rompong agar teguh dan tak bergeser dari posisi semula. Jikalau tidak, rompong akan mudah diombang-ambing ombak dan gelombang. Sama halnya dengan setiap prinsip hidup yang harus selalu didukung dengan konsistensi dan keteguhan.

Gelombang kehidupan bagaimana pun bentuknya akan terus menghalang-rintang. Tanpa konsistensi dan keteguhan memegang prinsip, mustahil kita akan sampai dan selamat dalam berlayar!

DAFTAR PUSTAKA

Adisasmita, Rahardjo. 2006. Pembangunan Kelautan dan

Kewilayahan. Yogyakarta: Graha Ilmu.

__________. 2013. Pembangunan Ekonomi Maritim. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Apindar, Muhammada Karim dan Suhana. 2011. Ekonomi Kelautan dan Pesisir. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Suhana. 2011. Ekonomi Politik Kebijakan Kelautan Indonesia. Malang: Intrans Publishing.

Yanto, Nur. 2014. Memahami Hukum Laut Indonesia. Jakarta: Mitra Wacana Media.

http://lalaukan.blogspot.com/2014/07/rumpon-atau-payao-alat- pengumpul-ikan.html, diakses pada 06/05/2015

http://mataairradio.com/berita-top/anggota-dprd-sumenep-minta- nelayan-rembang-miliki-tepo-seliro, diakses pada 03/05/2015 http://hermansetiawanbasel.blogspot.com/2014/07/rumpon-atau-

fish-aggregating-device-fad.html, diakses pada 06/05/2015 http://id.wikipedia.org/wiki/Rumpon, diakses pada 03/05/2015 http://www.kompasiana.com/agungharyoyudanto/wilayah-

Menongkah dan Identitas Suku Duano

"L

autan merupakan sumber penghidupan kami, tetapi semua-

nya masih bersandar pada pola tradisional," begitulah papar Hasanuddin, salah satu pengurus Keluarga Besar Duano Riau Cabang Indragiri Hilir yang mengungkapkan bahwa hubungan antara laut dan kehidupan Suku Duano tidak dapat dipisahkan.

Suku Duano atau Suku Kuala merupakan salah satu suku yang termasuk ke dalam kelompok suku Desin dolaq1 yang biasanya

berdiam di daerah pesisir pantai. Suku laut ini banyak ditemukan di daerah pesisir Kabupaten Indragiri Hilir, seperti di Kecamatan Reteh, Concong, Mandah, Tanah Merah, dan Kuindra yang memiliki ekosistem pantai yang berlumpur.

Nama Duano berasal dari kata “Duanu”, yang dalam bahasa Belanda berarti “Pajak”. Pajak melekat pada kelompok suku laut ini karena profesi yang sering dilakoni oleh setiap insan dalam suku ini ialah pemungut pajak yang diperintah langsung oleh para penjajah yang menguasai pesisir pantai bagian timur Pulau

1 Desin dolaq merupakan kelompok suku yang mendiami pesisir pantai.

Implementasi Keluhuran Budaya Bangsa

Dalam dokumen KAUM MUDA DAN BUDAYA MARITIM NUSANTARA (1) (Halaman 182-192)