• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kristal Gurih Kusamba dalam Warna Tri Hita Karana

Dalam dokumen KAUM MUDA DAN BUDAYA MARITIM NUSANTARA (1) (Halaman 46-58)

Ni Kadek Sri Jayanti SMA Negeri Bali Mandara, Bali

Garam ternyata lahir dari hamparan pasir hitam yang luas. Salah satu pasir yang melahirkan garam adalah Kusamba. Kusamba adalah suatu desa yang terletak di Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung, Bali. Uniknya, pesisir Pantai Kusamba merupakan salah satu perkampungan komunitas Islam yang terdapat di Bali. Meskipun begitu, masyarakat pesisir Pantai Kusamba sangat meng- hargai perbedaan dengan memegang konsep menyama braya

atau bersaudara satu dengan yang lainnya dan Tri Hita Karana

khususnya dalam pawongan atau hubungan harmonis dengan sesama manusia. Hal ini dibuktikan dengan nama-nama orang muslim di sana yang menggunakan nama depan masyarakat Bali, seperti Putu, Kadek, Komang, dan Ketut. Daerah pertanian garam ini juga sering digunakan untuk upacara penglukatan gumi atau

melasti yang rutin dilakukan setahun sekali oleh masyarakat Bali,

dengan tujuan untuk menghilangkan segala unsur-unsur tidak baik yang ada di bumi. Penduduk yang bermukim di daerah pesisir sama sekali tidak keberatan, malah mereka sangat antusias dan toleran dengan pelaksanaan upacara melasti ini. Akulturasi yang berdasarkan toleransi membuat masyarakat pesisir Pantai Kusamba dapat hidup damai dalam harmoni.

Kusamba memiliki pantai yang indah dengan potensi garam yang luar biasa. Tidak seperti garam pada umumnya yang dibuat dengan bantuan mesin ataupun media tanah dan tambak, garam Kusamba masih menggunakan cara tradisional dan pasir hitam yang halus. Hal ini menunjukkan bahwa, selain memiliki rasa toleransi dan

menyama braya yang tinggi, para petani garam di Kusamba secara

tidak langsung juga menerapkan konsep Palemahan dalam Tri Hita Karana, yaitu berhubungan baik dan selalu menjaga alam seperti menjaga diri sendiri. Mulai dari penggemburan dan perataan lahan pasir dengan cangkul dan penggaruk pasir yang terbuat dari kayu.

Petak pasir yang akan digunakan untuk membuat garam mula- mula dibersihkan dahulu dari sampah organik maupun anorganik. Setelah itu, pasir digemburkan dan kemudian diratakan hingga

benar-benar datar, yang kemudian disiram dengan kurang lebih 40 kali dengan air laut, yang diciduk langsung dari pantai menggunakan pikulan bambu yang masih sangat sederhana. Tahap selanjutnya adalah pengeringan pasir yang membutuhkan waktu sekitar empat sampai lima jam (itu pun jika matahari terik). Setelah kering, pasir akan diangkut menuju ke tempat penyaringan, yang nantinya akan menghasilkan air yang mengandung garam. Air tersebut nantinya akan ditampung ke tempat yang mirip dengan lesung, namun terbuat dari kayu dan di atasnya telah dilapisi terpal yang memiliki cekungan di dalamnya. Air tersebut akan mengalami penguapan dan pengkristalan yang memakan waktu 5-6 hari hingga menjadi garam yang siap konsumsi.

Cara pembuatan yang tradisional dan masih bergantung pada alam membuat garam Kusamba memiliki rasa asin yang unik dan berbeda dengan garam lainnya. Jika dibandingkan, garam Kusamba memiliki rasa asin yang gurih serta butiran garam yang halus dan putih, sedangkan garam pabrik memiliki rasa pahit dan tidak ada esensi gurih di dalamnya. Hal ini tentu sudah menunjukkan kualitas yang ditawarkan oleh garam Kusamba, hingga menjadikannya sebagai sentral pembuatan garam di Klungkung dan Bali pada umumnya. Bahkan, garam Kusamba telah berhasil menembus pasar global dan saat ini telah melaut hingga ke negeri Jepang (detik.com, 2013). Hal ini menunjukkan bahwa meskipun cara pengolahan masih sangat tradisional dan hanya mengandalkan warisan pengetahuan dari nenek moyang, berhasil membawa nama Indonesia ke kancah internasional dengan berpegang teguh pada tradisi dan konsep Palemahan dalam Tri Hita Karana.

Sayangnya, ekspektasi terhadap pelestarian pembuatan garam tradisional ini belum terwujud.“... Hutan, sawah, gunung, lautan simpanan kekayaan. Kini Ibu sedang susah merintih dan berdoa”. Kutipan lirik lagu Kulihat Ibu Pertiwi tersebut benar-benar menggambarkan apa yang tengah dihadapi oleh para petani garam Kusamba. Potensi garam yang luar biasa ternyata belum diimbangi

dengan kualitas dari sumber daya manusia yang mengolahnya. Melihat potensi masyarakat yang multikultural, harmonis dan pekerja keras, tentu kelangsungan dari pembuatan garam tradisional Kusamba akan terjamin, namun minat masyarakat yang sangat rendah menyebabkan menurunnya jumlah petani garam tradisional Kusamba dan mengancam kelangsungan pengolahan potensi bahari di pantai Kusamba.

Potensi luar biasa yang tidak diimbangi dengan pengolahan dan pemanfaatan yang baik menyebabkan potensi garam tradisional yang ada di Kusamba disia-siakan. Padahal, garam tradisional Kusamba telah menembus pasar global. Petani garam di Kusamba juga menjadi contoh penerapan konsep menyama braya, yaitu saling membahu dalam pertaniannya dan Palemahan, sadar akan hubungan dengan lingkungan yang amat tinggi dalam pembuatan garamnya. Jika hanya menunggu dan acuh tak acuh, pastinya garam tradisional Kusamba hanya akan menjadi sejarah, layaknya armada laut Kerajaan Sriwijaya yang luar biasa hingga menguasai jalur perdagangan Asia Tenggara, tetapi harus runtuh dengan segala kejayaan yang pernah dibawa sebelumnya.

Peran petani garam Kusamba dalam mengembangkan potensi garam tradisional Kusamba tentunya amat penting. Sayangnya, masyarakat yang hidup di pesisir pantai Kusamba mulai acuh tak acuh pada pembuatan garam tradisional. Hal ini diakibatkan karena ketergantungan kepada alam yang berdampak pada produksi garam tradisional itu sendiri. Saat musim hujan tiba, hasil dari pertanian garam tradisional tentu tidak maksimal dan tidak menentu, karena terkendala pada proses pengeringan, penguapan, dan kristalisasi garam. Alat yang digunakan masih sangat sederhana, sehingga membutuhkan keterampilan dan kecermatan dalam penggunaannya. Selain itu, modal adalah hal yang sangat diperlukan oleh para petani garam Kusamba saat ini dalam mengembangkan usaha garam tradisionalnya. Padahal, dari segi kualitas, gurihnya garam tradisional Kusamba tidak diragukan lagi.

Kesejahteraan petani garam Kusamba yang belum jelas membuat masyarakat yang awalnya menjadi petani garam memilih untuk meninggalkan pekerjaannya dan mencari pekerjaan lain, buruh misalnya. Mereka beranggapan bahwa setidaknya ketika mereka menjadi buruh mereka akan mendapatkan penghasilan setiap harinya. Waktu mereka juga tidak akan terbuang, karena selama ini para petani garam Kusamba menganggap dirinya sebagai setengah menganggur, karena penggarapan garam yang tidak tentu waktu. Hal ini terbukti dengan penurunan jumlah petani garam Kusamba, yang hingga kini hanya sekitar 27 KK (tribunnews.com, 2014). Ini diakibatkan oleh pemerintah yang masih acuh tak acuh dengan produksi garam tradisional Kusamba dan maraknya garam impor yang mulai mengalahkan eksistensi dari garam tradisional Kusamba itu sendiri, meski dari kualitas dan rasa garam tradisional Kusamba masih jauh lebih baik dari garam impor.

Jika terus-menerus dibiarkan, maka tidak akan ada lagi garam tradisional Kusamba. Masyarakat pesisir Pantai Kusamba yang awalnya produktif karena potensi garam Pantai Kusamba akan kehilangan pekerjaan dan sulit mencari pekerjaan baru karena minimnya kemampuan yang mereka miliki. Tradisi pembuatan garam tradisional yang diwariskan turun-temurun oleh nenek moyang hanya tinggal sejarah. Budaya menyama braya dan Tri

Hita Karana yang terbentuk dan berkembang akibat interaksi

dengan alam dan sesama akan memudar.

Terakhir, Pantai Kusamba yang awalnya menjadi sentra pertanian garam di Klungkung dan Bali tidak akan produktif lagi. Pantai yang awalnya menjadi sentra pembuatan garam sekaligus wisata bahari dan akademik akan kehilangan jati dirinya. Potensi garam yang luar biasa akan terbuang sia-sia. Kekayaan yang seharusnya bisa dikembangkan untuk memperkaya bangsa akan terbengkalai. Jika tidak ada yang mengolah, bukan tidak mungkin Pantai Kusamba akan berubah menjadi kawasan perhotelan ataupun tempat pembuangan sampah dan limbah. Yang lebih parah lagi, potensi

garam tradisional di pantai Kusamba bisa saja diambil alih oleh investor asing. Jika sudah seperti itu, mulailah bentuk imperialisme modern di bidang garam tradisional. Indonesia kembali terjajah sampai ke budaya dan tradisinya. Sungguh disayangkan!.

Potensi laut perlu dimanfaatkan dengan baik untuk meng- optimalkan kekayaan bahari yang dimiliki oleh Indonesia. Pantai Kusamba merupakan salah satu kekayaan maritim yang dimiliki oleh Indonesia dengan potensi garam yang luar biasa. Masyarakat yang berada di pesisir Pantai Kusamba dapat disaring untuk mengikuti pelatihan pertanian garam tradisional tanpa menghilangkan tradisi dan budaya yang diwariskan oleh leluhur. Masyarakat yang tidak memiliki kemampuan khusus pun dapat bergabung. Otomatis, pengelolaan ini dapat membuka lapangan kerja dan mengurangi pengangguran di daerah sekitar. Pembuatan garam tradisional Kusamba dapat berkembang dan tetap berpegang pada nilai-nilai luhur agar tetap ajeg atau lestari.

Dengan menggunakan konsep dalam Program Simantri (Sistem Pertanian Terintegrasi), para petani garam tradisional Kusamba diharapkan mampu meningkatkan produksi garam dan kesejahteraan petaninya. Simantri adalah program Bali Mandara yang dicanangkan oleh Pemerintah Provinsi Bali yang digunakan untuk memberdayakan pertanian dengan teknologi terpadu dan terintegrasi. Secara umum, Program Simantri bertujuan untuk men dukung perkembangan diversifikasi usaha pertanian secara terpadu dan berwawasan agrobisnis. Simantri juga berfokus pada pengalihan teknologi ke pedesaan di Bali agar potensi sumber daya yang terdapat di desa tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal (Biro Humas Setda Provinsi Bali, 2013).

Program Simantri ini sebenarnya juga dapat diterapkan di pengelolaan garam tradisional. Dengan mengganti beberapa alat semi permanen menjadi permanen, seperti lesung kayu yang digunakan untuk menampung air yang mengandung garam, yang akan mengalami proses penguapan dan kristalisasi, penggaruk kayu

yang digunakan untuk meratakan pasir dapat mengoptimalkan produksi petani garam tradisional. Program Simantri juga dapat menyeimbangkan fokus pemerintah antara agraris dan maritim, tanpa mengurangi perhatian pada potensi agraris, yang nantinya akan mengoptimalkan segala sumber daya yang ada di wilayah bersangkutan.

Penerapan program Simantri dalam pertanian garam tentunya tidak sembarangan. Kerja sama antara masyarakat dan pemerintah haruslah terjalin dengan baik. Diawali dengan peninjauan oleh pemerintah Kabupaten Klungkung tentang kondisi petani garam tradisional Kusamba. Peninjauan ini nantinya akan ditindaklanjuti dengan penerapan konsep dari program Simantri. Hal pertama yang akan dilakukan oleh pemerintah adalah menginformasikan kepada para petani garam tentang penerapan program ini. Kemudian, akan dilakukan pelatihan-pelatihan khusus dari pemerintah yang dapat meningkatkan kemampuan dan produktivitas masyarakat di bidang pertanian garam tradisional. Selanjutnya, pemerintah akan memberikan modal awal bagi para petani garam tradisional untuk mengoptimalkan kinerja dari petani garam itu sendiri.

Modal tersebut nantinya akan dikembalikan, apabila pertanian garam tradisional yang dilaksanakan oleh para petani garam Kusamba telah berhasil. Dengan pemberian modal, tentunya para petani akan merasa diperhatikan dan didukung usahanya. Hal ini tentu juga akan menarik minat masyarakat untuk ikut dalam komunitas petani garam tradisional Kusamba. Adanya pengembalian modal juga akan memotivasi mereka untuk mengoptimalkan produksinya. Selain dari segi manusianya, pemerintah juga harus melindungi kawasan pertanian garam agar nantinya tidak dialihfungsikan menjadi kawasan industri ataupun pariwisata yang bisa menghalangi produktivitas petani garam. Selain itu, pemerintah, pelaku usaha, dan juga pelaku pariwisata yang ada di sekitar wilayah Kusamba dan Klungkung, dapat diwajibkan untuk menggunakan garam Kusamba untuk produk olahannya dan tidak lagi menggunakan

garam impor. Hal ini akan memudahkan pendistribusian garam tradisional Kusamba dan memiliki prospek yang cerah untuk para petani garam tradisional Kusamba.

Pengemasan dan pendistribusian dari garam tradisional Kusamba juga perlu inovasi lebih lanjut dan dikontrol agar dapat memberikan hasil yang optimal. Kemasan yang inovatif dan kreatif dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi garam tradisional Kusamba, misalnya membuat garam aneka rasa dengan mengadopsi sistem yang digunakan di Pemuteran, Buleleng, Bali. Komunitas petani garam yang ada di sana menginovasikan garam hasil produksi para petani di Pemuteran dengan berbagai rasa. Hal ini dilakukan untuk memenuhi permintaan pasar. Mereka juga sudah mulai menyasar pasar global, seperti Italia, Belgia, Inggris, Jerman, dan Belanda (radiosingarajafm.com, 2015). Jika garam Kusamba dapat diinovasikan seperti itu, bersenjatakan kegurihan dan keunikannya, otomatis garam tradisional Kusamba tidak akan kalah dari garam- garam laut lainnya, apalagi garam pabrik dan garam impor.

Ketidaktahuan masyarakat tentang potensi garam tradisional Kusamba terutama masyarakat di daerah yang dekat dengan pantai juga perlu dibenahi, agar semakin banyak masyarakat yang berminat untuk memproduksinya. Program KKN yang dilakukan oleh mahasiswa misalnya. Mahasiswa yang sedang melaksanakan KKN dapat terjun langsung ke masyarakat dan bekerja sama dengan pemerintah ataupun kepala daerah setempat untuk memberikan pengetahuan dan pelatihan dasar mengenai potensi kelautan. Utamanya, mahasiswa yang berasal dari Sekolah Tinggi Perikanan. Mereka dapat memberikan pembekalan tentang kekayaan, potensi, hal-hal yang dapat diolah dari laut, berbagai hal tentang garam, hingga potensi yang dimiliki oleh pantai Kusamba, terutama dalam bidang garamnya. Banyak hal yang dapat dilakukan oleh generasi muda sebagai tonggak awal untuk membalik badan, dan kembali menghadapi tantangan dari kekayaan maritim itu sendiri. Akan sulit jika kita hanya lari dari masalah dan tantangan, tanpa mencoba

untuk memecahkan dan menjawabnya. Indonesia sudah cukup dewasa untuk sadar dan bergerak. Indonesia harus bangun dan mulai untuk berlari.

Keberhasilan program ini dapat kita lihat pada program Simantri yang telah diterapkan pada pertanian di Bali. Hingga tahun 2013, kurang lebih 421 GAPOKTAN (Gabungan Kelompok Tani) yang telah dibiayai oleh pemerintah. Hal ini menyebabkan penurunan angka kemiskinan di Bali saat ini pada angka 3,95% dengan penu- runan penduduk miskin yang ada di desa sebesar 22.000 jiwa, dalam kurun waktu 3 tahun program Simantri ini dijalankan (Badan Pusat Statistik, 2012). Bisa dibayangkan bagaimana jadinya jika program Simantri ini juga diterapkan di bidang kelautan. Lambat laun kata miskin bisa jadi dihapuskan dari kosakata di dalam kamus.

Kontrol dari masyarakat dan pemerintah juga sangat diperlukan dalam kesuksesan dari penerapan program Simantri pertanian garam tradisional Kusamba. Pemerintah sebagai badan pengawas dan memberikan dukungan secara moral maupun finansial, akan mampu mendorong semangat masyarakat dalam mengolah garam Kusamba. Secara otomatis, potensi garam tradisional Kusamba yang dikelola dapat lebih baik. Masyarakat di pesisir pantai pun memiliki peluang yang besar untuk mendapatkan pekerjaan hingga mencapai kesejahteraan. Tradisi yang turun-temurun diwariskan oleh nenek moyang akan tetap ajeg, dan pengangguran serta kemiskinan dapat ditekan jumlahnya. Terlebih lagi, dengan pendistribusian yang baik, cap miskin dan kumuh bagi para pelaku bahari akan tiada, dan kemudian masyarakat akan sadar bahwa kekayaan Indonesia bukan hanya terletak di songket dan kayunya, melainkan juga pada pasir dan lautnya.

Pemanfaatan potensi bahari di Bali pada khususnya, sudah dilaksanakan sejak dahulu oleh nenek moyang. Hal ini juga ditunjukkan oleh lagu Juru Pencar yang berasal dari Bali. Lagu tersebut bercerita tentang kehidupan Juru Pencar atau nelayan yang ada di Bali. Lagu ini telah diwariskan secara turun-temurun

dan menjadi bagian dari masyarakat Bali, sama halnya seperti pertanian garam. Pertanian garam tradisional Kusamba yang telah diwariskan oleh leluhur tentu harus dijaga kelestariannya agar tidak punah. Jika punah, hilang sudah nilai leluhur. Sia-sia sudah laut dan pasir yang diwariskan oleh nenek moyang. Terbuang sudah kekayaan yang begitu luar biasa. Indonesia sudah memiliki sumber daya yang cukup untuk mengolah kekayaan maritim. Tinggal menentukan pola, merencanakannya dengan matang, setelah itu tinggal menunggu komando untuk bergerak.

Saat ini Indonesia memiliki potensi yang luar biasa dalam kemaritiman, utamanya pertanian garam tradisional. Jika bijak, garam tradisional Kusamba tak hanya sampai ke Jepang, namun seluruh dunia akan tahu bahwa Kusamba adalah sumber dari kenikmatan hidangan mereka. Garam tradisional Kusamba akan merajai perdagangan garam internasional, kemudian akan disusul oleh potensi bahari lainnya. Pada akhirnya, Indonesia akan menembus dunia dengan predikat maritim yang tersandang gagah di dadanya. Zaman Sriwijaya pun akan lahir kembali.

Optimalisasi peran petani garam tradisional Kusamba akan membuka era baru bagi pengelolaan kekayaaan maritim yang dimiliki oleh Indonesia. Konsep pawongan dari budaya Tri

Hita Karana yang ditawarkan dalam pengelolaannya membuat

keseimbangan antara manusia dan alam dapat terjaga dengan baik. Hal ini menjadi suatu bentuk awal gerakan menghadap laut sebagai apresiasi untuk kekayaan maritim yang terlalu lama dipunggungi oleh Indonesia. Petani garam tradisional Kusamba juga dapat menjadi cikal bakal pengelolaan dan motivasi bagi daerah-daerah di seluruh Indonesia yang memiliki potensi yang hampir sama dengan pantai Kusamba. Menjadi peluang lapangan kerja baru dengan tetap menjaga nilai-nilai tradisi akan menjadi nilai tambah bagi pengelolaan garam di Indonesia. Selain dapat memajukan potensi maritim di Indonesia, petani garam di Kusamba juga dapat menjadi contoh bagaimana seharusnya sebuah tradisi itu dijaga,

dan dapat menjadi panutan untuk menciptakan lahan-lahan dan petani-petani garam lainnya di seluruh Indonesia, hingga nantinya Indonesia tidak hanya bergantung pada predikat agraris dan mulai menghadapi laut sebagai tantangan yang patut untuk dihadapi.

DAFTAR PUSTAKA

Biro Humas Setda Provinsi Bali. 2013. Simantri. Bali

Kompas. 2013. “Jalan-jalan ke Desa Kusamba Desa Garam Laut Bali”. Diakses dari http://wisata.kompasiana.com/jalan- jalan-ke-desa-Kusambadesa-garam-laut-di-bali-529495.html (Diakses tanggal 6 Mei 2015).

Radio Singaraja. 2015. “Petani garam di Buleleng ekspor garam 13 rasa ke Mancanegara”. Diakses dari www.radiosingarajafm. com/2015/02/ petani-garam di-buleleng-ekspor-garam.html (Diakses tanggal 7 Mei 2015).

Tribun. 2014. “Sepuluh tahun lagi petani garam punah”. Diakses dari http://bali.tribunnews.com/2014/12/22/sepuluh-tahun- lagi-petani-garam-punah.html. (Diakses tanggal 7 Mei 2015).

“Ayam bertelur di lumbung padi mati kelaparan”

B

egitulah peribahasa yang merujuk pada kondisi ekonomi di Indonesia. Negeri yang menurut persepsi bangsa lain adalah negeri seribu pulau dengan sumber daya alam yang melimpah ruah. Tapi rakyatnya masih banyak yang kekurangan, bahkan mereka harus hidup dalam lilitan kemiskinan. Sungguh ironis, negeri yang katanya kaya ini kenyataannya tak mampu memakmurkan rakyatnya sendiri. Faktanya, Indonesia masih harus mengimpor hasil bumi untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Indonesia seharusnya malu dengan keadaan geografis yang menjadikannya kaya akan sumber daya alam, tetapi masih terbelit masalah pemenuhan kebutuhan pangan yang kronis. Kenapa dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan untuk negaranya sendiri Indonesia masih harus mengimpor hasil bumi dari negara lain?

Coba tengok negara tetangga kita, Singapura. Singapura memiliki luas wilayah yang jauh lebih kecil dibandingkan Indonesia. Singapura merupakan negara pulau dengan luas wilayah 697,1

sebagai Strategi Ketahanan Pangan

Dalam dokumen KAUM MUDA DAN BUDAYA MARITIM NUSANTARA (1) (Halaman 46-58)