• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mendo Khor Nanat di Jayapura

Dalam dokumen KAUM MUDA DAN BUDAYA MARITIM NUSANTARA (1) (Halaman 90-102)

Ahmad Irianto SMA Negeri 1 Jayapura, Papua

sebagai roda penggerak pada sektor pariwisata, pengembangan ilmu pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), sampai pada jalur lalu lintas yang berdampak pada kemajuan era globalisasi.

Namun, selama ini bangsa kita dihadapkan pada berbagai macam problem yang notabene disebabkan oleh lemahnya sistem koordinasi antar-instansi yang berkecimpung dalam birokrasi kelautan. Anggota DPD RI dari Maluku, Nono Sampono, ketika berdiskusi dengan wartawan beberapa waktu lalu, bercerita cukup banyak mengenai pengolahan laut nasional yang karut-marut. Nono mengetahui secara mendalam tentang laut, karena sejak kecil hidup di daerah kepulauan Maluku, dia juga sempat memangku jabatan petinggi TNI AL dengan pangkat terakhir letnan jenderal marinir, sebelum purnawirawan. Mantan Komandan Korps itu menilai kinerja Indonesia belum berjalan maksimal dalam hal mengusai dan mengolah potensi laut yang dimiliki. Menurutnya “Semua Undang- Undang (UU) Kelautan harus dilebur karena semua tumpang tindih”. Saat ini ada 13 UU tentang kelautan. Terlihat dari banyaknya UU dan instansi yang menangani laut seolah menggambarkan keseriusan, namun praktiknya bergerak sendiri-sendiri (Indonesia Kini, 11/III/10 Desember 2014, hlm. 07).

Presiden Republik Indonesia Ir. H. Joko Widodo berupaya untuk mengembalikan masa kejayaan Indonesia sebagai bangsa maritim. Presiden Jokowi mencanangkan sejumlah strategi guna menghidupkan kembali kejayaan maritim Indonesia. Hal itu dise- babkan oleh pembangunan yang lebih memfokuskan pada wilayah daratan (kontinental), sehingga presiden berusaha me ngim bangi pembangunan dari sektor laut (maritim). Presiden Jokowi menggagas “Pembentukan Poros Maritim Dunia”. Program ini perlu diapresiasi dan secara kontinu harus dikembangkan oleh seluruh elemen masyarakat melalui kerja sama antarlini pemerintah untuk berkomitmen agar visi besar ini dapat terwujud sebagaimana mestinya.

Jika beberapa gagasan atau program itu terwujud, bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi pusat pengolahan perikanan

dunia. Hal ini selaras dengan konsep Poros Maritim Dunia yang digaungkan oleh Presiden Jokowi sebagaimana dilansir melalui koran Indonesia Kini, “Kami optimis, dengan menjadikan Indonesia sebagai pusat pengolahan perikanan dunia, maka nilai ekspor nasional akan meningkat dari 4,1 miliar Dolar AS pada 2013, menjadi 40 miliar dolar AS pada 2019” (Indonesia Kini, edisi 19/ III/26 November 2014).

Provinsi Papua merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki kekayaan alam baik daratan maupun lautan yang besar. Jayapura sebagai ibu kota provinsi Papua tentunya mempunyai peranan penting dalam pembangunan di berbagai bidang. Pertumbuhan penduduk Kota Jayapura sangat pesat, berdasarkan hasil pendataan penduduk tahun 2010 tercatat sebesar 256.705 jiwa, sehingga dengan adanya jumlah penduduk yang begitu besar tersebut tentu memerlukan sumber daya alam yang banyak untuk kebutuhan hidup masyarakat. Salah satunya sumber daya laut, di mana yang paling pokok adalah ikan. Harga ikan di Kota Jayapura semakin tahun semakin mahal. Hal itu disebabkan karena kondisi laut saat ini sudah mulai tercemar akibat sampah. Ikan sudah cukup sulit untuk didapatkan di daerah dekat daratan, jadi nelayan harus berlayar cukup jauh.

Akhir-akhir ini sampah telah menjadi trending topic yang dibicarakan oleh masyarakat Nusantara. Sampah adalah bahan atau barang selain zat cair dan gas, yang sudah dibuang, karena tidak terpakai, tidak berguna atau tidak dikehendaki. Misalnya kertas, sisa makanan, botol, sampah dapur dan sampah pertanian. Sampah dianggap sebagai sumber polusi ketiga utama setelah polusi air dan udara yang mengancam lingkungan (Ensiklopedi Nasional Indonesia “14” hal 375).

Kondisi laut saat ini yang berada di Kota Jayapura cukup mengkhawatirkan. Penduduk Kota Jayapura setiap tahunnya mengalami peningkatan jumlah penduduk. Dari pesatnya jumlah penduduk berpengaruh pada produksi sampah yang dihasilkan

masyarakat itu sendiri. Hingga saat ini masalah bertambahnya volume sampah merupakan hal yang sulit diatasi. Merebaknya sampah yang mengalir melalui Kali Acai salah satunya, berujung hingga ke laut suku Tobati.

Berdasarkan permasalahan tersebut, masalah yang paling urgen adalah sampah. Sebab, sampah yang berada di laut Tobati sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat Tobati. Sampah yang mengapung adalah sampah anorganik yang bersumber tak hanya dari Kali Acai namun juga Kali Entrop dan Kali Hanyan yang dibuang oleh masyarakat kota. Sampah-sampah tersebut telah memengaruhi kondisi laut Tobati, misalnya berdampak pada produksi ikan yang menurun. Hal ini perlu ditinjau dari perspektif hukum adat Tobati, dengan harapan untuk memulihkan kondisi biota laut agar dapat menopang kebutuhan hidup suku Tobati.

Papua adalah salah satu daerah yang memiliki keanekaragaman budaya dan tradisi. Budaya menurut E.B. Taylor adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pola pikir, pengetahuan, kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum, adat istiadat serta kesanggupan dan kebiasaan yang dipelajari manusia sebagai anggota masyarakat (Parlemen Remaja, 2014). Tradisi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yakni aturan (perbuatan dan sebagainya) yang lazim dituruti atau dilakukan sejak dahulu kala. Di Papua terdapat sekitar 255 suku yang berbeda-beda. Dari keberagaman suku ini, lahirlah adat yang mengikat kuat anggota klannya (Marga/Fam) untuk selalu menaati hukum adat tersebut. Sebagian besar hukum adat mereka menjurus pada pelestarian alam karena kehidupan mereka bergantung dengan alam. Suku Tobati merupakan salah satu suku dari 255 suku yang ada di Jayapura. Kehidupan mereka selalu diwarnai oleh hukum adat. Hukum adat mampu mengantarkan mereka pada kehidupan yang harmonis, keserasiannya dengan alam serta sesama makhluk hidup lainnya. Kehidupan mereka bergantung pada kondisi wilayah masing- masing, contohnya suku Dani di Wamena memilih tinggal di darat

(hutan dan wilayah pegunungan), suku Marind di Merauke lebih memilih hidup di tengah hutan belantara. Namun, suku Tobati mereka lebih memilih menjalankan seluruh aktivitas kehidupan di pinggir laut. Kita dapat menempuh perjalanan dari Pantai Hamadi menggunakan speedboat dengan jarak tempuh lima menit untuk sampai di Kampung Tobati.

Saat ini kondisi laut Tobati mengalami degradasi karena sampah yang merusak kehidupan biota laut. Terutama sampah plastik yang tidak dapat terurai oleh air. Inilah yang kita kenal dengan sebutan sampah anorganik. Sampah anorganik disebut juga dengan sampah tidak terurai, karena terdiri dari bahan-bahan yang sulit terurai secara biologis, sehingga penghancurannya membutuhkan waktu yang sangat lama. Contohnya seperti kaleng bekas, pecah-pecahan beling, potongan-potongan logam. Sampah yang mendominasi di laut Tobati adalah sampah plastik, botol, dan bungkus makanan pabrik. Hal ini senada dengan pernyataan yang dikemukakan oleh tokoh Adat Tobati, Niko Hamadi.1

“Nenek moyang kami lebih memilih hidup di laut, karena laut mampu menjamin kehidupan masyarakat Tobati. Mayoritas pekerjaan yang dilakukan oleh suku Tobati untuk mencukupi kebutuhan hidup adalah nelayan. Selama ini kehidupannnya tidak mengalami kesusahan dan cukup baik.”

Saat ini kondisi laut telah berubah. Dahulu ketika mereka mencari ikan, dalam satu hari bisa mendapat ratusan ekor, namun sekarang tidaklah demikian. Penyebabnya adalah banyaknya sampah di laut Tobati yang berasal dari Kali Acai, Kali Entrop, dan Kali Hanyan. Sampah tersebut berupa sampah plastik yang dibuang oleh masyarakat Jayapura. Hal ini berdampak pada laut Tobati yang saat ini mulai tercemar.

Masyarakat Tobati memiliki hukum adat untuk menjaga laut yaitu “Mendo Khor Nanat” artinya, adat jaga laut dan sampai saat ini hukum adat tersebut masih dipegang teguh. Dalam hukum adat itu,

menjaga laut dilakukan dengan cara tidak boleh menangkap ikan menggunakan bom, racun, dan cara-cara lain yang dapat merusak laut. Jika hukum itu dilanggar, maka pihak yang melanggar akan dilaporkan ke kepolisian. Namun, jika menurut adat maka akan dikenakan denda yang harus dibayar dengan manik-manik berwarna putih, biru, dan kuning. Harga satu buah manik-manik harus mencapai nominal Rp 1.000.000,00. Menurut adat masyarakat Tobati, mereka dapat bekerja dari jam 6 pagi sampai jam 6 sore, ketika malam hanya dua jam saja atau pada saat pukul 19.00 (jam 7 malam).

Melalui hukum adat mereka selalu menjaga laut, karena bagi mereka laut merupakan sumber kehidupan, sedangkan yang dapat merusak adalah orang dari luar. Kendala yang mereka hadapi saat ini yaitu kurangnya alat untuk mencari hasil laut seperti jaring dan perahu. Namun, pemerintah telah memberikan bantuan berupa mesin jonson dan jaring. Harapan mereka terhadap pemerintah setelah beredarnya kasus pencurian ikan di laut Indonesia oleh warga negara lain adalah pemerintah harus menjaga laut dan bertindak lebih tegas.

Masyarakat Tobati berupaya menjaga lingkungan laut mereka melalui hukum adat Mendo Khor Nanat. Sebanyak 67 Kepala Keluarga (KK) yang berdomisili di Kampung Tobati bermata pencaharian sebagai nelayan untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Alat yang digunakan oleh masyarakat Tobati di saat melaut masih menggunakan alat tangkap tradisional. Seperti perahu kecil atau orang Papua menyebutnya kole-kole yang dikenal pula dengan sebutan sampan, lalu dayung, jaring, serta tombak.

Pengimplementasian hukum adat Mendo Khor Nanat telah terbukti. Hal tersebut dikemukakan oleh Niko Hamadi yang menceritakan bahwa dahulu ada suku Jawa dan suku Makassar menggunakan sebuah perahu masuk ke perairan Tobati untuk mencari hasil laut. Kejadian ini disaksikan oleh masyarakat Tobati, alhasil masyarakat menangkap kapal itu. Setelah itu kedua suku tersebut dikenakan denda, syarat denda tersebut harus memberikan

manik-manik. Harga satu buah manik-manik harus mencapai nominal Rp 1.000.000,00. Setelah urusan adat itu selesai maka mereka disuruh pulang dengan kondisi seluruh isi kapal disita.

Sejak kejadian itu, masyarakat dari kalangan lain tidak lagi berani mencari ikan dengan bebas di sekitar laut Tobati. Hukum adat itu mereka jalankan karena khawatir dengan maraknya penangkapan ikan menggunakan racun (tuba) dan juga bom. Selain itu, untuk melestarikan biota laut agar dapat hidup dan berkembang biak, sehingga dapat menopang kebutuhan hidup masyarakat Tobati.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa semua hal atau perilaku yang merusak laut di wilayah Tobati berarti telah melanggar hukum adat Mendo Khor Nanat. Hal itu, berarti pula penduduk Kota Jayapura secara tidak langsung telah melanggar hukum adat tersebut, karena telah membuang sampah ke sungai yang mengalir hingga ke wilayah laut Tobati.

Menyikapi situasi dan kondisi tersebut penulis berupaya memberikan solusi dengan harapan dapat diimplementasikan oleh seluruh elemen masyarakat, pemerintah serta suku Tobati guna memulihkan kembali kondisi biota laut seperti dahulu kala.

Pertama, diawali dari lingkungan keluarga. Peran serta kedua

orang tua sangatlah penting untuk mengajarkan kepada anaknya sejak dini agar tidak membuang sampah secara sembarangan. Sebab, jika hal kecil ini dilatih sejak dini, maka anak tersebut akan terbiasa dengan budaya bersih. Jadi setiap keluarga yang bermukim di sepanjang bantaran sungai harus memiliki tempat sampah.

Kedua, pemerintah hendaknya mampu melarang rakyat yang

akan mendirikan permukiman di sepanjang bantaran sungai. Pendirian permukiman di bantaran sungai meningkatkan risiko sungai menjadi tempat pembuangan sampah. Selain itu, juga berdampak pada penebangan pohon di sepanjang bantaran sungai. Fungsi akar pohon sebagai tempat penyimpanan air menjadi hilang. Jika larangan ini dilanggar oleh masyarakat, maka risiko lainnya adalah dapat memicu bencana banjir.

Ketiga, melihat kondisi masyarakat saat ini mengenai kurangnya kesadaran menjaga lingkungan, maka pemerintah harus gencar mensosialisasikan pembuangan sampah pada tempatnya. Tindakan itu ditujukan terutama kepada masyarakat yang berdomisili di sepanjang bantaran sungai. Sosialisasi dapat dilakukan dengan cara pemberitahuan secara langsung kepada masyarakat melalui tatap muka, memajang poster yang mampu mendoktrin pola pikir masyarakat untuk gemar membuang sampah pada tempatnya. Selain itu, keberpihakan media massa seperti media cetak maupun elektronik sangatlah berpengaruh pada program ini.

Keempat, setiap RT di sepanjang bantaran sungai harus menye-

diakan fasilitas tempat sampah agar para pejalan kaki dan masya- rakat sekitar tidak membuang sampahnya ke sungai.

Kelima, membuat program hari khusus untuk membersihkan

sungai, misalnya kegiatan Jumat bersih dan kegiatan ini harus berjalan secara berkesinambungan.

Keenam, kejadian yang sering terjadi biasanya masyarakat tidak berani membuang sampah di siang hari. Namun, ketika malam hari mereka melancarkan aksinya, kasus ini sering terjadi di bantaran Kali Acai. Jadi, pemerintah harus memasang penerangan, yaitu lampu di sepanjang bantaran sungai, sehingga membantu proses pengawasan.

Ketujuh, pemerintah harus melarang para pengusaha agar

tidak membuat pabrik di bantaran sungai. Jika pabrik itu telah beroperasi, maka pabrik tersebut tidak boleh membuang limbah- nya secara langsung ke sungai. Setiap pabrik diwajibkan membuat sumur resapan agar limbah tidak mengalir sampai ke sungai atau mengolah limbahnya terlebih dahulu sehingga aman untuk lingkungan. Jika hal tersebut tidak diindahkan oleh pihak pabrik, maka pemerintah memiliki kewenangan penuh untuk menghentikan pengoperasiannya secara paksa.

Kedelapan, mengenai masalah sampah yang sudah ada

dengan pemerintah untuk membersihkan sampah tersebut melalui program seperti Jumat bersih. Peran pemerintah juga diperlukan untuk membantu mayarakat Tobati seperti penambahan Armada

Jonson (perahu bermesin) dan mengutus petugas kebersihan untuk

membantu masyarakat Tobati.

Kesembilan, penulis menyarankan kepada pemerintah melalui

dinas terkait, seperti dinas kebersihan agar segera dibuat jaring- jaring dengan dua macam, yang pertama jaring-jaring penghalang berbentuk pagar besi dengan diameter lubang 2 cm, hal ini dimaksudkan agar sampah tidak dapat menembus jaring-jaring tersebut. Pemasangan jaring-jaring ini ditempatkan di setiap jarak 10 meter yang terbuat dari besi dengan diameter lubang hanya 2 cm dipasang di tempat yang padat penduduk sampai di muara. Kemudian jaring-jaring yang kedua ditempatkan di atas sungai, jadi dapat dikatakan sebagai payung pelindung. Diameter lubang jaring- jaring penghalang yang terbuat dari besi hanya 2 cm, dimaksudkan agar sampah tidak dapat melewati lubang jaring tersebut. Jaring- jaring pelindung ini dibuat dengan bentuk setengah oval serta dapat dibuka dan ditutup. Sehingga jika ada sampah yang masuk atau ketika warga sekitar ingin membersihkan kali, jaring-jaring ini tidak menjadi penghalang. Bentuk setengah oval dimaksudkan agar jaring-jaring ini tidak dipijak oleh masyarakat karena jika dibuat datar secara otomatis pasti akan menjadi tempat pijakan seperti untuk main oleh anak-anak sehingga akan mudah rusak. Bentuk setengah oval juga dimaksudkan agar ketika ada masyarakat yang membuang sampah ke sungai, sampah tersebut akan jatuh ke pinggir sungai sehingga dapat mudah dibersihkan oleh petugas atau masyarakat sekitar.

Pemaparan terkait beberapa solusi penanggulangan sampah yang penulis sajikan diharapkan mampu diimplementasikan sebagai mana mestinya. Selain itu, hukum adat sangat berperan untuk menjaga laut agar tidak rusak dan memiliki pengaruh yang sangat fundamental bagi masyarakat Jayapura, khususnya bagi

suku Tobati. Dengan demikian hukum adat ini harus lebih banyak berperan untuk mengembalikan kondisi laut seperti sedia kala.

Ketika sampah dapat teratasi dan hukum adat dapat ditegakkan, penulis yakin sumber daya laut dapat menghantarkan kemajuan taraf hidup masyarakat Tobati. Keberadaan laut bagaikan urat nadi tumpuan hidup masyarakat Tobati. Maka, ketika laut Tobati telah normal seperti sedia kala, laut akan mampu menyumbang penghasilan bagi masyarakat Tobati dan juga khususnya masyarakat Jayapura, sehingga hasil tangkapan ikan bertambah seperti dahulu yang dirasakan masyarakat Tobati dan nelayan tidak perlu lagi mencari ke laut yang jauh.

Setiap penduduk asli negeri ini, mereka pasti diwarisi oleh nenek moyang mengenai hukum adat menjaga laut. Jadi, penulis berharap besar kepada seluruh rakyat Indonesia agar dapat menegakkan kembali hukum adat mereka, guna kemajuan hasil laut yang dapat mencukupi kebutuhan rakyat. Seperti dijelaskan sebelumnya, jika pembentukan Poros Maritim Dunia berhasil dicapai, maka Indonesia pasti akan mampu menjadi pusat pengolahan perikanan dunia yang berdampak pada pendapatan devisa yang besar melalui target ekspor yang besar. Kita sebagai rakyat Indonesia mengemban peran besar terhadap seluruh aspek negara ini terlebih pada kekayaan alam yang dianugerahkan Tuhan kepada kita, maka sudah selayaknya dan sepatutnya kita rela mengorbankan jiwa raga demi mempertahankan kekayaan laut yang kita miliki.

DAFTAR PUSTAKA

Pribadi, Agung. 2013. Gara-gara Indonesia. Depok: AsmaNadia Publishing House.

Sekretariat Jenderal DPR RI-Direktorat Kemahasiswaan UI. Mei 2014, Bunga Rampai Pemikiran Pelajar SMA/SMK/MA dan Sederajat Tema: “Kenali Budayamu, Cintai Negerimu”,

https://www.papua.go.id/view-detail-page-80/kependudukan.html

Ensiklopedi Nasional Indonesia “14” hal 375

Indonesia Kini, edisi 19/III/26 November 2014

Indonesia Kini, 11/III/10 Desember 2014

Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2014. Jakarta: Erlangga

Hamadi Niko, (Wawancara Pribadi 4 Mei 2015). Tokoh Masyarakat Adat Tobati

Minggu pagi itu, sekitar tiga bulan yang lalu, saya hendak mengunjungi teman saya yang rumahnya berada di dekat pesisir pantai. Dari arah jalan yang berlawanan denganku, seorang pria paruh baya menaiki sepeda motor dengan ambong pempang1 yang membelakanginya. Pria itu menuju ke pantai Gayum2. Karena penasaran saya mengikutinya sampai ke pesisir. Pria paruh baya itu menunggu beberapa lama, sampai sebuah perahu berlabuh. Nelayan yang berlabuh tersebut mengikatkan tali tambang ke tiang beton untuk mempertahankan posisi perahu. Ia mengeluarkan hasil tangkapan laut yang diperoleh. Pria paruh baya tadi mendatangi nelayan kemudian menimbang dan mencatat hasil tangkapan yang dibawa oleh nelayan. Setelah itu, pria paruh baya memberikan uang kepada nelayan, dan memasukkan tangkapan laut yang dibeli ke ambong pempang. Pria paruh baya tersebut meninggalkan daerah pesisir.

Karena penasaran, saya menanyakan kejadian tersebut kepada guru saya, ia menjawab bahwa penyaluran hasil laut dari nelayan ke pria 1 Ambong pempang merupakan ambong berat terbuat dari bambu atau rotan

yang diletakkan di kendaraan atau sepeda motor. Awalnya di Belitung, secara tradisional digunakan masyarakat petani dan nelayan.

2 Pantai Gayum adalah pantai yang dikenal oleh masyarakat Tanjungpandan,

yang batasnya antara Desa Air Saga dan Desa Batu Itam.

Pola Relasi Produksi dan Distribusi

Dalam dokumen KAUM MUDA DAN BUDAYA MARITIM NUSANTARA (1) (Halaman 90-102)