• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nelayan Multietnik melalui Tradisi Petik Laut

Dalam dokumen KAUM MUDA DAN BUDAYA MARITIM NUSANTARA (1) (Halaman 160-182)

Putu Chelsea Brelian

akan menjadi “jalan terjal” sekaligus sebagai wujud “keindahan” warna-warni bahari Indonesia. Artinya, keanekaragaman masyarakat yang ada di Indonesia, dapat menjadi suatu yang berbahaya, namun dapat pula mempercantik Negara Indonesia itu sendiri. Fenomena- fenomena seperti konflik antarwarga yang berbeda kepercayaan atau pun diskriminasi antara budaya satu dengan budaya yang lain, dapat dikategorikan sebagai suatu ancaman bagi integritas negara ini. Namun, adanya keanekaragaman ini tidaklah selamanya juga menjadi ancaman bagi negara atau pun menjadi “jurang pemisah” untuk mencapai kedamaian dan keharmonisan.

Sebagai contohnya, ada beberapa daerah maritim di Indonesia yang telah berhasil menghadirkan kondisi yang jauh lebih baik daripada sekadar mencari pendapatan di bidang bahari. Sebut saja salah satunya, yakni di Desa Pekutatan, Kecamatan Jembrana, Provinsi Bali. Daerah ini tidak hanya terkenal dengan potensi lautnya yang luar biasa, tetapi juga terkenal akan keharmonisan para nelayannya yang multietnik. Meski berada dalam masyarakat heterogen (beragam etnik), para nelayan di sana tetap dapat menjaga kerukunan, bahkan bergotong royong untuk melakukan profesi kelautannya tersebut. Pertanyaannya sekarang, kira-kira apa yang menjadi rahasia masyarakat di sana dapat menjaga keharmonisannya? Apakah ada trik khusus? Atau itu hanya kebetulan semata? Inilah yang seharusnya menjadi tugas bagi semua masyarakat Indonesia untuk ikut secara aktif menemukan solusi atas permasalahan yang terjadi di negara ini, khususnya permasalahan akibat perbedaan etnik, budaya, dan agama khususnya di bidang maritim di Indonesia.

Ritual Budaya Bahari Indonesia

Sejak zaman nenek moyang, masyarakat Indonesia telah melakukan kegiatan menangkap ikan di laut dan berlayar. Kegiatan berlayar dan menangkap ikan yang diwariskan secara turun- temurun oleh nenek moyang tersebut, memiliki suatu kepercayaan

yang khas di setiap daerahnya. Itu semua tidak terlepas dari adanya kepercayaan masyarakat Indonesia yang masih erat dengan hal- hal gaib. Koentjaraningrat menyatakan bahwa kekuatan gaib yang dianggap memiliki kedudukan lebih tinggi, dapat menjadi suatu alasan bagi manusia untuk melakukan berbagai hal dengan cara yang beragam guna berkomunikasi dan berhubungan dengan kekuatan-kekuatan yang bersifat magis.1 Pernyataan itu

mengindikasikan bahwa kentalnya hal gaib atau magis di Indonesia dapat menjadi salah satu alasan masih bertahannya ritual atau tradisi dalam kehidupan bahari Indonesia.

Umumnya, ritual bahari tersebut dilakukan atas dasar memohon keselamatan atau sebagai bentuk syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kekayaan laut yang melimpah. Atau dengan kata lain, ritual bahari tersebut mampu mengungkapkan keyakinan atas eksistensi kekuatan supra-indrawi, rasa syukur, permohonan keselamatan, dan upaya konservasi mempertahankan kehidupan.2 Bentuk upacaranya pun beragam.

Jika ditelisik lebih dalam, tradisi dalam bahari Indonesia yang dimaksud tersebut di antaranya, petik laut, duata sanggal, parika,

maduai pinah, sedekah laut, upacar segara kertih, dan masih

banyak lagi yang lain.

Ritual bahari yang ada di setiap daerah di Indonesia memang berbeda. Akan tetapi, tujuannya tetaplah sama, yakni sebagai bentuk syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, kepercayaan, budaya, dan agama yang ada di Indonesia ini diharapkan dapat saling melengkapi satu sama lain agar masyarakat yang berbeda tersebut bisa hidup berdampingan di dalam profesi yang sama, yakni sebagai nelayan. Pekerjaan sebagai nelayan menuntut adanya suatu kerja sama untuk memperoleh penghasilan yang maksimal, misalnya dengan membentuk suatu kelompok nelayan yang di

1 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta, 2009,

hlm. 294.

2 Sartini, Ritual Bahari di Indonesia: Antara Kearifan Lokal dan Aspek

dalamnya terdiri atas berbagai nelayan multietnik, sehingga bisa bekerja sama dalam berlayar dan mencari penghasilan. Sebagai contohnya, dapat dilihat pada masyarakat nelayan di Provinsi Bali. Bali mempunyai ritual bahari yang berhubungan dengan penduduk yang tinggal di dekat pantai dan menggantungkan hidupnya pada segara kertih (laut). Bali yang notabene merupakan daerah mayoritas umat Hindu, masih kental akan konsep Tri Hita

Karana. Kentalnya konsep Tri Hita Karana pada masyarakat

Hindu di Bali, menghadirkan suatu bentuk ritual sebagai peng- hormatan kepada Tuhan, lingkungan, dan sesama manusia. Tradisi yang dikenal dengan upacara Segara Kertih merupakan salah satu contoh ritual bahari yang dilakukan oleh umat Hindu untuk mengungkapkan syukur dan memohon keselamatan di laut maupun untuk menjaga harmonisasi dengan alam.

Terlepas dari semua itu, datangnya etnis lain ke Bali yang juga menggantungkan hidupnya pada laut, tentunya membawa tradisi bahari yang berbeda dengan tradisi lokal. Dalam hal ini, tradisi yang berbeda tersebut ternyata dapat dipadukan oleh penduduk setempat dan penduduk pendatang. Hal itu terjadi di Desa Pekutatan yang mana nelayan Hindu dan Islam bersama-sama melakukan tradisi

petik laut sebagai bentuk syukur kepada Tuhan.

Potret Kesenjangan dalam Tradisi Bahari Indonesia

Masuknya etnik lain ke suatu daerah yang juga menggantungkan hidupnya pada laut, tentunya akan memberikan pengaruh pada tradisi nelayan setempat. Pengaruhnya dapat berupa penghilangan budaya nelayan lokal, pendominasian budaya oleh kelompok nelayan mayoritas, atau berupa penggabungan antara budaya nela- yan lokal dan budaya nelayan luar. Apabila tradisi yang dibawa oleh nelayan luar dapat sinkron atau berpadu dengan tradisi nelayan setempat, hal itu tidak akan menjadi masalah, bahkan menjadi berkah. Akan tetapi, apa yang akan terjadi jika keduanya tidak dapat menyatu? Sudah jelas, akan terjadi persaingan ketat yang membuat

salah satu kelompok nelayan menjadi kesulitan atau mungkin kehilangan sumber penghidupannya. Bahkan, kemungkinan yang lebih parah lagi adalah terjadi konflik antar-nelayan yang berbeda etnik. Ironis memang mendengar semua hal itu. Kendati demikian, peluang terjadinya hal ini tidak dapat kita hapuskan. Pada dasarnya, dalam masyarakat yang terdiri atas berbagai etnik, kecenderungan akan terjadinya hubungan yang tidak harmonis sulit untuk dihindari.3 Schweitzer juga menyampaikan bahwa di mana pun

manusia berada di dunia ini, selalu terjadi hubungan-hubungan yang harmonis atau bermusuhan antar-kelompok warganya.4

Kita lihat saja salah satu contohnya seperti, konflik antara etnik Dayak dan Madura di Kalimantan Barat. Awal mula munculnya konflik tersebut, ditandai dengan kedatangan orang Madura ke Kalimantan Barat kira-kira pada tahun 1902-1942 dari Bangkalan dengan menggunakan perahu layar tradisional dan mendarat di Kerajaan Sukadana (Kabupaten Ketapang) pada tahun 1902, kemudian ke kota Pontianak pada tahun 1910 dan pada tahun 1930 ke Kabupaten Sambas.5 Hasil penelitian Arkanudin yang berjudul

“Menelusuri Akar Konflik Antar Etnik Khususnya Dayak dengan Madura Di Kalimantan Barat” menyebutkan bahwa konflik antara kedua etnik tersebut, umumnya lebih disebabkan oleh masalah perbedaan sosial budaya.6 Selain itu, masih banyak lagi contoh

nyata mengenai konflik yang disebabkan oleh perbedaan budaya. Kesenjangan tersebut semestinya tidak harus terjadi karena bukan hanya satu pihak saja yang akan dirugikan, melainkan

3 Arkanudin, Perubahan Sosial Masyarakat Peladang Berpindah, Studi Kasus

Pada Orang Dayak Ribun yang Berada di Sekitar PIR-Bun Kelapa Sawit Parindu Sanggau Kalbar (Bandung: Pascasarjana Universitas Padjadjaran, 2005), hlm. 122.

4 Arkanudin, Menelusuri Akar Konflik Antar Etnik Khususnya Dayak dengan

Madura Di Kalimantan Barat (Pontianak: Universitas Tanjungpura Pontianak, 2012), hlm. 2.

5 Hendro Suroyo Sudagung, Migrasi Swakarsa Orang Madura ke Kalimantan

(Yogyakarta: Program Pascasarjana UGM, 1983), hlm. 76.

semua pihak yang akan merugi, sepeti peribahasa menang jadi

arang kalah jadi abu. Mengapa tradisi yang berbeda tersebut tidak

dipadukan saja? Bukankah dengan perpaduan tradisi, kita dapat membangun kerja sama yang lebih baik dalam memperoleh hasil laut? Pertanyaan seperti ini adalah hal yang perlu dipikirkan dan dijawab oleh kita semua, terutama bagi nelayan yang multietnik. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, “Tradisi memang berbeda, tetapi tujuan tetaplah sama”. Dengan kata lain, tradisi yang berbeda tersebut tentunya memiliki tujuan yang sama untuk memohon atau mengucapkan syukur kepada Tuhan. Hendaknya, tradisi yang berbeda-beda ini tidak perlu diagungkan atau pun dibanding- bandingkan dengan tradisi yang lain. Menyikapi pernyataan tersebut, kelompok masyarakat yang dapat dikatakan rentan terjadi konflik, semestinya bercermin pada beberapa daerah yang mampu menjaga keharmonisan masyarakatnya. Dengan bekerja sama dalam membangun kelompok kerja (kelompok nelayan) dan memadukan tradisi yang berbeda, kiranya tidak hanya pendapatan ekonomi masyarakat yang akan meningkat, kemungkinan akan tercipta keharmonisan di dalam kelompok masyarakat yang heterogen tersebut.

Tradisi yang Menjaga Keharmonisan Nelayan

Tradisi dapat dikatakan sebagai “tanda pengenal” suatu kelompok masyarakat. Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa suatu kelompok masyarakat dapat memperlihatkan identitas dirinya dengan menunjukan tradisi yang mereka yakini. Tradisi yang berbeda-beda, etnik yang berbeda, itu semua adalah hal yang wajar dan patut dihargai keberadaannya. Namun, perlu diingat juga bahwa tradisi yang berbeda, atau etnik yang berbeda bukanlah alasan untuk menciptakan permusuhan antar-kelompok masyarakat. Jika memungkinkan, tradisi tersebut hendaknya menjadi pemersatu antar-kelompok masyarakat yang berbeda etnik. Dengan kata lain, latar belakang yang berbeda, tidak menutup kemungkinan bagi

masyarakatnya untuk menjalin hubungan kemasyarakatan dengan rukun. Menyikapi hal tersebut, salah satu desa di Bali, tepatnya di Desa Pekutatan, telah berhasil menciptakan kondisi yang harmonis dalam kehidupan masyarakat yang berbeda. Di desa tersebut, nelayan yang berbeda agama secara bersama-sama, melakukan ritual bahari sebagai bentuk syukur atas hasil laut yang telah diberikan Tuhan.

Meskipun nelayan setempat (nelayan umat Hindu) telah mempunyai ritual khusus atau tradisi untuk menghormati alam yakni upacara Segara Kertih, mereka tetap menghormati tradisi yang dibawa oleh penduduk luar Bali. Bentuk penghormatan tersebut tampak jelas pada pelaksanaan upacara petik laut yang merupakan tradisi nelayan luar Bali. Dalam ritual petik laut di Desa Pekutatan, nelayan umat Hindu dan nelayan umat Islam secara berasama-sama melaksanakan ritual tersebut, tanpa meninggalkan tradisi bahari sebelumnya. Pelaksanaannya pun dapat dikatakan berjalan dengan lancar.

Sesungguhnya, tradisi petik laut tersebut juga dilakukan di daerah-daerah lain, seperti, Madura, Muncar, Banyuwangi, dan masih banyak daerah yang memiliki upacara semacam ini.7 Akan

tetapi, perbedaan tradisi petik laut di Desa Pekutatan dengan daerah yang lainnya adalah tradisi petik laut di Desa Pekutatan ini dilakukan oleh dua umat yang berbeda agama, yaitu umat yang beragama Hindu dan umat yang beragama Islam. Bisa dikatakan tradisi petik laut di Desa Pekutatan menjadi sarana untuk melakukan komunikasi antar-nelayan yang punya keyakinan yang berbeda.

Kondisi geografis Desa Pekutatan yang memiliki potensi laut yang cukup baik, yaitu langsung berbatasan dengan laut selatan, kiranya dapat menjadi alasan masyarakat nelayan di sana untuk menyelaraskan dan mempersatukan diri dalam pelaksanaan

7 Ida Ayu Komang Sintia Dewi, Pemertahanan Tradisi Budaya Petik laut oleh

Nelayan Hindu dan Islam Di Desa Pekutatan, Jembrana Bali (Singaraja: Jrusan Pendidikan Sejarah Undiksha, 2014), hal. 3

profesinya sebagai nelayan guna memaksimalkan pendapatan mereka. Dengan menyatukan diri, akan memungkinkan masyarakat di sana untuk berpikir cara yang terbaik dalam memetik kekayaan laut. Dampaknya, sudah sangat jelas, yakni penghasilan masyarakat nelayan di sana kiranya semakin meningkat. Berdasarkan hasil wawancara dengan I Ketut Gamias (79 Tahun) selaku tokoh masyarakat menyatakan bahwa dengan terlaksananya tradisi petik

laut, telah mengubah kehidupan ekonomi masyarakat di Banjar

Dauh Pangkung (Desa Pekutatan), seperti bertambahnya hasil tangkapan ikan di laut. Karena hal ini pula, tidak hanya warga di Banjar Dauh Pangkung yangmelaksanakan tradisi petik laut tersebut, tetapi juga masyarakat Banjar Pasar ikut berpartisipasi dalam melaksanakan tradisi petik laut. Selain itu, hubungan antar-etniknya pun semakin harmonis.8 Oleh karena itu, tidak salah jika tradisi petik laut ini, telah dilestarikan secara turun temurun oleh warga pesisir pantai Desa Pekutatan demi menciptakan hubungan yang harmonis antar-agama, dan kelancaran melaut, serta memperoleh hasil laut yang melimpah.

Tradisi yang dilaksanakan pada setiap bulan muharam

atau bulan suro dalam penanggalan Jawa tersebut, memiliki beberapa tahapan ritual. Berdasarkan hasil wawancara dengan ketua kelompok nelayan Desa Pekutatan, Saiful Badri (40 tahun), menyatakan bahwa tradisi petik laut memiliki tiga tahap yaitu, persiapan, pelaksanaan, dan penutup.9 Tahap persiapan dilakukan

dengan menyiapkan sarana dan prasana yang diperlukan nantinya dalam pelaksanaan petik laut. Pada hari pertama, akan dilakukan penyembelihan hewan berkaki empat (sapi atau kerbau). Selain itu juga, dilaksanakan doa bersama dengan tujuan untuk memohon kelancaran prosesi petik laut yang akan dilaksanakan keesokan harinya. Acara doa besama ini biasanya dihadiri oleh Bupati, Camat,

8 Wawancara dengan I Ketut Gamias, tanggal 1 Juni 2015 di Kantor Desa Banjar

Dauh Pangkung.

9 Wawancara dengan Saiful Badri, tanggal 1 Juni 2015 di pesisir Pantai Banjar

perangkat desa, dan masyarakat Desa Pekutatan, terutama yang berprofesi sebagai nelayan. Tahap pelaksanaan dilakukan pada hari kedua. Tahap ini merupakan inti dari pelaksanaan tradisi petik laut

karena pada tahap inilah dilaksanakan pelarungan sesaji berupa kepala hewan berkaki empat, ke tengah laut dengan menggunakan iring-iringan perahu atau jukung. Tradisi petik laut ini dilaksanakan pada pagi hari setelah matahari terbit sekitar jam 07.30 WITA. Pelaksanaan ritualnya dilakukan di pesisir Pantai Pangkung Jukung. Untuk pelarungan sesaji, dilaksanakan secara bersama-sama oleh kedua umat agama yang ada di Desa Pekutatan, dengan diwakili oleh masing-masing tokoh masyarakat. Setelah itu dilanjutkan pada tahap penutup. Dalam kegiatan penutup ini, masyarakat melakukan syukuran dengan memanjatkan doa bersama, serta acara makan bersama karena prosesi petik laut sudah berjalan dengan lancar tanpa ada hambatan yang berarti.

Tradisi petik laut yang dilaksanakan di Desa Pekutatan ini, tujuannya tidaklah jauh berbeda dengan ritual bahari di daerah- daerah lain, yakni sebagai perwujudan rasa syukur nelayan atas berbagai limpahan hasil laut, dan memohon keselamatan bagi para nelayan dan masyarakat yang tinggal di pesisir pantai. Menurut pernyataan salah seorang warga, H. Misrin (41 tahun), apabila tradisi petik laut tidak dilaksanakan oleh para nelayan, maka akan terjadi suatu kendala dalam melautdan akan sering terjadi konflik antar-umat beragama. Begitu pula sebaliknya, jika dilaksanakan, ritual tersebut akan membawa rezeki dalam menangkap ikan dan terhindar dari konflik orang-orang pesisir yang berbeda beragama.10

Upacara petik laut ini juga dipercaya sebagai simbol tolak bala agar para nelayan bisa terlepas dari marabahaya di laut.

Keyakinan atau kepercayaan masyarakat tersebut menjadi salah satu faktor penting atas masih bertahannya tradisi petik laut di Desa Pekutatan. Bahkan, masyarakat pesisir Desa Pekutatan tidak

10 Wawancara dengan H. Misrin, tanggal 1 Juni 2015 di Kantor Desa Banjar Dauh

berani mengubah atau memotong setiap bagian dari tradisi tersebut. Hal ini terkait asumsi bahwa suatu tradisi yang dilaksanakan oleh umat manusia tentunya didasari oleh kepercayaan atau keyakinan masyarakat setempat yang melaksanakan tradisi tersebut.

Terlepas dari keyakinan dan kepercayaan masyarakat menge- nai mitos ritual petik laut ini, adanya tradisi yang dilakukan bersama-sama oleh masyarakat yang berbeda keyakinan tersebut, dapat memberikan beberapa keuntungan. Satu di antaranya, dapat menumbuhkan rasa kebersamaan dan rasa kepercayaan, serta rasa saling memiliki antar-umat beragama. Tradisi petik laut juga memegang peranan penting dalam menjaga kerukunan antar-umat beragama di Desa Pekutatan karena di Desa Pekutatan, khususnya Banjar Dauh Pangkung di mana terdapat dua umat yang berbeda agama (umat Hindu dan umat Islam). Upacara petik laut tersebut juga dijadikan sebagai ajang silaturahmi dalam menjalin hubungan yang harmonis antar-umat beragama. Maka dari itu, tradisi petik laut

ini wajib dilaksanakan setiap 1 tahun sekali oleh kelompok nelayan utamanya. Selain itu, tradisi petik laut ini dapat menjadi wadah atau sarana bagi Pemerintah Daerah dalam melakukan komunikasi dengan masyarakatnya, sekaligus dalam rangka memajukan taraf hidup para nelayan di sekitar Desa Pekutatan tersebut.11

Sampai saat ini, tradisi petik laut masih bertahan dan mampu menjadi pemersatu antara nelayan Hindu dan nelayan Islam dalam menjalankan profesinya sebagai pencari ikan. Melalui fenomena ini, kita dapat melihat bahwa hasil perpaduan tradisi yang berbeda dapat menjadi pemersatu kelompok-kelompok yang berbeda etnik, di samping meningkatkan pendapatan para nelayan tersebut. Oleh sebab itu, tradisi petik laut atau yang sejenisnya, hendaknya dapat diterapkan pula pada daerah-daerah lain di Indonesia guna meminimalisir terjadinya konflik antar-etnik dan menciptakan masyarakat yang harmonis, sekaligus meningkatkan taraf ekonomi masyarakat di daerah tersebut.

Mengingat begitu pentingnya ritual petik laut ini, masyarakat Desa Pekutatan juga perlu memberikan perhatian lebih terhadap eksistensi ritual bahari di daerah bersangkutan agar keharmonisan antar-umat beragama dapat terjaga dan semakin kuat. Oleh karena itu, ritual petik laut tersebut perlu kiranya diperkenalkan kepada generasi muda agar mereka mengetahui secara langsung prosesi

petik laut dan dapat memetik makna yang terkandung di dalamnya.

Bahkan, dengan mempertahankan tradisi petik laut ini, lingkungan laut juga akan lebih terjaga dari “tangan-tangan nakal” nelayan yang tidak bertanggung jawab, seperti menangkap ikan dengan bom yang dapat merusak biota laut. Rusaknya biota laut tentunya akan mengurangi populasi biota laut dan memperburuk perekonomian Indonesia dari sektor maritim.

Bercermin pada penjelasan di atas, kita sebagai warga negara yang baik, hendaknya tidak hanya menunggu woro-woro peme- rintah, baru kita peduli akan tradisi dan lingkungan sekitar. Akan tetapi, kita harus mampu bersikap mandiri untuk ikut serta dalam menemukan solusi terkait masalah konflik antar-etnik yang belakangan ini kerap terjadi. Apabila semua orang mampu berpikir seperti itu, fenomena multietnik tidak lagi menjadi kambing hitam

atas munculnya konflik antar-warga dan diskriminasi. Namun, multietnik akan menjadi suatu keindahan dalam lingkungan bahari Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Arkanudin. 2005. “Perubahan Sosial Masyarakat Peladang Berpindah, Studi Kasus Pada Orang Dayak Ribun yang Berada di Sekitar PIR-Bun Kelapa Sawit Parindu Sanggau Kalbar”. Disertasi (tidak diterbitkan). Bandung: Pascasarjana Universitas Padjadjaran.

Arkanudin, 2012. Menelusuri Akar Konflik Antar Etnik Khususnya

Dayak dengan Madura Di Kalimantan Barat. Pontianak:

Dewi, Ida Ayu Komang Sintia. 2014. “Pemertahanan Tradisi Budaya Petik laut oleh Nelayan Hindu dan Islam Di Desa Pekutatan, Jembrana Bali”. Skripsi (tidak diterbitkan). Singaraja: Jurusan Pendidikan Sejarah Undiksha.

Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Sartini, 2012. Ritual Bahari Di Indonesia: Antara Kearifan Lokal

dan Aspek Konservasinya. Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM.

Sudagung, Hendro Suroyo. 1983. “Migrasi Swakarsa Orang Madura ke Kalimantan”. Disertasi (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Program Pascasarjana UGM.

I

ndonesia merupakan negara yang terbentuk dari gugus-gugus pulau yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Hal inilah yang membuat Indonesia menjadi negara kepulauan terbesar di dunia dengan panjang garis pantai lebih dari 95.000 km dan juga memiliki lebih dari 17.504 pulau. Keadaan ini menjadikan Indonesia menyimpan kekayaan perairan yang sangat tinggi dan beraneka ragam. Luas perairan laut Indonesia yang mencapai 3,1 juta km2 ini

secara langsung “mengaruniakan” Indonesia potensi kelautan hayati dan nonhayati yang berlimpah ruah. Kuantitas potensi kekayaan dan hasil laut serta perikanan Indonesia setiap tahun mencapai 3000 triliun, akan tetapi yang dimanfaatkan secara optimal terhitung hanya 225 triliun, atau jika dipersentasekan menjadi hanya 7,5% saja.1 Untuk mengoptimalkan pemanfaatan potensi kekayaan laut

ini dan menjadikan sektor ini sebagai main factor pembangunan ekonomi nasional Indonesia, maka tata kelola potensi bahari yang baik merupakan suatu qonditio sine quanon, suatu syarat mutlak.

Terlepas dari berbagai potensi serta kekayaan laut yang tersimpan dalam perut perairan Nusantara, negara kita tengah

1 http://www.Trazo212.com, diakses pada tanggal 25 April 2015. Yeremias Apriliano Santoso

menghadapi suatu masalah pelik, yaitu maraknya cara penangkapan ikan yang menghancurkan keseimbangan ekosistem laut. Belakangan ini, dunia kelautan kita kerap “dihirukpikukkan” oleh

destructive fishing, seperti penangkapan dengan menggunakan

bahan peledak, zat beracun, dan yang tak kalah ekstrimnya adalah penggunaan pukat harimau. Ketiga cara ini dilarang dan ditentang, sebab dapat menimbulkan kerugian besar bagi potensi kekayaan laut Indonesia.

Menarik bahwa di tengah maraknya destructive fishing,

Nusantara justru memendam sejuta kearifan lokal bahari yang sudah diwariskan oleh para leluhur sejak era klasik tempo dulu.

Ironis bukan? Bahkan para penyair pun sempat melukiskan

kearifan budaya Nusantara melalui sastra-sastra klasik. Sebuah lagu klasik yang bersyairkan “Nenek moyangku seorang pelaut. Gemar

mengarungi luas samudera,” mengindikasikan sebuah kehidupan

masa lampau para leluhur kita, di saat budaya maritim sungguh “mengurat nadi” dalam kehidupan masyarakat Nusantara.

Bertolak dari gagasan di atas, penulis coba mengangkat salah satu kearifan lokal bahari di suku Rongga-Manggarai Timur-NTT,

Dalam dokumen KAUM MUDA DAN BUDAYA MARITIM NUSANTARA (1) (Halaman 160-182)