• Tidak ada hasil yang ditemukan

Desentralisasi Kebijakan Pengelolaan Kehutanan dalam Konteks Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat ( Community Based Forest

DAFTAR LAMPIRAN

PETA KONFLIK Fungs

II. KAJIAN PUSTAKA

2.4. Otonomi Daerah (Otda) dan Desentralisasi Kebijakan Pengelolaan Kehutanan di Indonesia

2.4.2. Desentralisasi Kebijakan Pengelolaan Kehutanan dalam Konteks Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat ( Community Based Forest

Management)

Seperti telah diuraikan pada Bab Pendahuluan, salah satu perubahan paradigma pembangunan kehutanan di Indonesia adalah lebih memberikan penekanan pada Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (community based

forest management), atau disingkat PHBM, untuk memperkuat perekonomian daerah dan memberdayakan masyarakat setempat/lokal. Seiring dengan proses desentralisasi kebijakan pengelolaan kehutanan dalam konteks OTDA yang momentumnya dimulai pada tahun 1995, PHBM dilakukan secara bersamaan dalam kerangka kebijakan Hutan Kemasyarakatan (HKm). Sejak tahun 1995, konsep dan kebijakan HKm telah mengalami evolusi dari model partisipasi rakyat dalam kegiatan reboisasi dan rehabilitasi hutan (1995), kemudian model pemberian hak pengusahaan hutan kemasyarakatan kepada koperasi (1998), lantas model pemberian ijin pemanfaatan hutan kepada kelompok-kelompok masyarakat setempat (1999) dan akhirnya menjadi model pengelolaan hutan desa oleh masyarakat setempat secara mandiri atau model pengelolaan hutan bersama masyarakat desa di kawasan hutan negara yang dikuasakan kepada swasta atau badan otorita lainnya (2000). Dasar kebijakan masing-masing model HKm seperti ditayangkan pada Tabel 2.3.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.677/Kpts-II/1998 tentang Hutan Kemasyarakatan, HKm didefinisikan sebagai hutan negara yang dicadangkan atau ditetapkan oleh menteri untuk diusahakan oleh masyarakat setempat dengan tujuan pemanfaatan hutan secara lestari sesuai dengan fungsinya dan menitik-beratkan kepentingan menyejahterakan masyarakat. Masyarakat pengelola HKm adalah kelompok-kelompok orang yang tinggal dalam di dalam atau di sekitar hutan dengan ciri komunitas.

Kebijakan HKm pada tahun 2000 dilakukan dalam merespon UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom. Kedua UU dan PP tersebut diikuti dengan perubahan kebijakan penyelenggaraan program HKM dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.31/Kpts-II/2000 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan. Beberapa perubahan penting yang berkaitan dengan otonomi daerah dan peluang masyarakat lokal untuk turut mengelola hutan negara diantaranya adalah:

• HKm diselenggarakan dengan azas kelestarian fungsi hutan, kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan, pengelolaan sumberdaya alam yang demokratis, keadilan sosial, akuntabilitas publik, serta kepastian hukum.

Tabel 2.3. Perkembangan Kebijakan Model Hutan Kemasyarakatan Tahun

Dasar Kebijakan (SK Mentri Kehutanan,

PP, dll)

Deskripsi Hutan Kemasyarakatan

1995 SK No.622/Kpts-II/1995 tentang Pedoman Hutan Kemasyarakatan

Model partisipasi rakyat dalam kegiatan reboisasi dan rehabilitasi hutan

1998 SK No.677/Kpts-II/1998 tentang Hutan Kemasyarakatan

Model pemberian hak pengusahaan hutan kemasyarakatan kepada koperasi

1999 SK No.865/Kpts-II/1999 tentang Penyempurnaan SK No.677/Kpts- II/1998 tentang Hutan

Kemasyarakatan

Model pemberian ijin pemanfaatan hutan kepada kelompok-kelompok masyarakat setempat

2000 SK No.31/Kpts-II/2001 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan

Model pengelolaan hutan desa oleh masyarakat setempat secara mandiri atau model pengelolaan hutan bersama masyarakat desa di kawasan hutan negara yang dikuasakan kepada swasta atau badan otorita lainnya

2007 Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan.

Pemberdayaan masyarakat setempat dapat dilakukan melalui :

a. hutan desa;

b. hutan kemasyarakatan; atau c. kemitraan.

2007 Permenhut Nomor: P.37/Menhut- II/2007 tentang Hutan

Kemasyarakatan

Model pemberian ijin pemanfaatan hutan kepada kelompok-kelompok masyarakat setempat, baik pemanfaatan hasil hutan non kayu (IUPHKm) pada hutan lindung dan hutan produksi, maupun hasil hutan kayu (IUPHHK HKm) pada hutan produksi. 2008 Permenhut No: P.49/Menhut-

II/2008 tentang Hutan Desa

Dalam rangka pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan serta mewujudkan pengelolaan hutan yang adil dan lestari, hutan negara dapat dikelola untuk kesejahteraan desa melalui Hutan Desa.

• Desentralisasi pengelolaan HKm, yang semula perijinan menjadi kewenangan Kanwil Kehutanan Propinsi dilimpahkan menjadi kewenangan Bupati/Walikota. Demikian pula kawasan HKm adalah kawasan yang diusulkan oleh Bupati/Walikota melalui Gubernur untuk ditetapkan oleh Menteri.

• Pemanfaatan hutan meliputi pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu, pemanfaatan hasil hutan non- kayu, pemungutan hasil hutan kayu, dan pemungutan hasil hutan non kayu; sepanjang tidak mengganggu fungsi pokok hutan tersebut.

Terlepas dari berbagai kemajuan, legitimasi SK No.31/Kpts-II/2000 digugat oleh banyak kalangan terutama praktisi hukum lingkungan karena jika dikaitkan dengan TAP MPR No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, SK tersebut tidak memiliki kekuatan mengatur. Karena hal tersebut, saat ini Pemerintah (dalam hal ini Departemen Kehutanan) sedang memproses legal draft HKm dalam bentuk Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) menjadi Peraturan Pemerintah (PP). Selain itu tidak semua pihak menerima program HKm, terutama pihak-pihak yang masih menyimpan konflik terhadap pemerintah akibat selesainya penanganan masalah gugatan status dan kepemilikan lahan dalam kawasan hutan. Pada awal tahun 2004, belum saja polemik kebijakan HKm selesai, Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan baru tentang Social Forestry.

Pemerintah, dalam hal ini Departemen Kehutanan, secara terus-menerus melakukan perbaikan kebijakan pengelolaan hutan bagi masyarakat. Kebijakan yang cukup monumental adalah diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. PP ini memandatkan bahwa, pengelolaan hutan oleh masyarakat setempat dilaksanakan dalam konteks pemberdayaan masyarakat (Pasal 84) melalui skim kebijakan: hutan desa, hutan kemasyarakatan; atau kemitraan. Secara kontinum, PP ini kemudian ditindak lanjuti dengan dikeluarkannya Permenhut Nomor: P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan yang memungkinkan pemberian ijin pemanfaatan hutan kepada kelompok-kelompok masyarakat setempat, baik pemanfaatan hasil hutan non kayu (IUPHKm) pada hutan lindung dan hutan produksi, maupun hasil hutan kayu (IUPHHK HKm) pada hutan produksi. Dimungkinkannya akses masyarakat terhadap hasil hutan kayu dalam skim kebijakan HKm merupakan sebuah kebijakan yang dinantikan sejak tahun 1995 ketika HKm saat itu pertama kali didesain sebatas dalam bentuk model partisipasi rakyat dalam kegiatan reboisasi dan rehabilitasi hutan. Kebijakan HKm yang dinantikan selanjutnya adalah bagaimana skim ini diterjemahkan pelaksanaannya di dalam kawasan hutan konservasi sebagaimana dimungkinakn oleh Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan.

Pembaharuan kebijakan tidak berhenti di HKm saja. Pada tahuan 2008, kemudian diterbitkan Permenhut No: P.49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa

dimana dalam rangka pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan serta mewujudkan pengelolaan hutan yang adil dan lestari, hutan negara dapat dikelola untuk kesejahteraan desa melalui Hutan Desa. Hadirnya skim kebijakan Hutan Desa bagi sebagian kalangan menjadi jalan tengah pengembangan akses secara komunal dalam bentuk komunitas desa atas belum terjawabnya bagaimana hutan adat diatur kemudian. Kalangan tersebut melihat, ketika bingkai kebijakan tentang hutan adat belum dicapai, maka kebijakan hutan desa bisa menjadi alternative masyarakat adat memiliki akses komunal melalui pemerintahan desa.