• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

SISTIM PENDUKUNG NEGOSIASI;

F. Penyelesaian Konflik Di Dalam UU Tata Ruang

Orientasi penyelenggaraan tata ruang dipengaruhi oleh ideologi hukum tata ruang yang memayunginya (McAuslan, 1980) yaitu:

1) Private Interest Ideology – keberadaan hukum untuk melindungi hak dan kemerdekaan individual (common law perspective)

2) Public Interest (Orthodox public administration) Ideology – keberadaan hukum untuk memfasilitasi pengamblan keputusan oleh birokrasi (statutory perspective), dan

3) Public Participation Ideology – keberadaan hukum untuk menyediakan partisipasi publik secara lebih luas dalam pembuatan keputusan penataan ruang.

Konsensus pilihan terhadap salah satu ideologi hukum penataan ruang tersebut akan berimplikasi pada jawaban atas “apa, kenapa, bagaimana, kapan, dan oleh siapa” yang dipertanyakan dalam penataan ruang.

Menurut Andi Oetomo (2006), secara hukum, di Indonesia, khususnya untuk ‘ruang darat/tanah’ berangkat dari “public interest ideology” (kepentingan umum di atas kepentingan privat), sehingga:

• Selain UUPA (UU No. 5/60) juga terdapat UU No. 20/1961 tentang “Pencabutan Hak Hak Tanah Dan Benda Benda Yang Ada Diatasnya”, disertai dengan Inpres No. 9 tahun1973 yang kemudian diganti dengan Keppres No 55 tahun 1993 dan akhirnya diganti kembali dengan Perpres 36 tahun 2005.

• UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang juga menganut “public interest ideology”, termasuk dengan kelengkapannya seperti PP No. 69 Tahun 1996 Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang dan Permendagri No. 8 Tahun 1998 Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah.

Berdasarkan hal tersebut yang di atas, nampak bahwa kebijakan penataan ruang di Indonesia secara de jure mengindikasikan pemihakan pada “public interest ideology”. Namun dalam fakta penyelenggaraan penataan ruang yang justru dapat berjalan selama ini adalah apabila dilaksanakan secara “partisipatif” dan hal ini dapat dibuktikan dengan adanya PP No.69 Tahun 1996. Walaupun di dalam PP tersebut partisipasi masyarakat masih terbatas sebagai penyedia indormasi, secara de facto dapat dinyatakan bahwa kebijakan penataan ruang Indonesia menuju pada ideologi ke tiga, yaitu public participation ideology dimana pada prinsipnya digunakan proses negosiasi dan musyawarah dalam perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang (kepentingan publik dan privat dari masyarakat sama-sama dipertimbangkan).

Wacana konflik penataan ruang perlu ditinjau dari tipologi konflik di sektor ini. Menurut (Minnery, 1985), tipologi konflik dalam penataan ruang terdiri atas: 1) Konflik terhadap (over) penataan ruang; mencakup konflik dalam dimensi

manusia, konflik dalam konteks sosial, dan konflik dalam konteks negara- bangsa,

2) Konflik mengenai (of) penataan ruang; mencakup metoda (pendekatan), sistem dan desain, dan aspek politik,

3) Konflik dalam (in) penataan ruang; mencakup konflik sumber daya (alam, fisik, informasi, dll)), dan

4) Konflik melalui (through) penataan ruang; mencakup konflik akibat profesi, konflik antar organisasi (pemerintah versus organisasi profesional, dll.), konflik akibat alat dan teknik.

Berdasarkan tipologi konflik tersebut, dapat diidentifikasi bahwa konflik lingkungan di dalam penataan ruang kawasan hutan di Indonesia mencerminkan semua tipologi, contohnya:

• Konflik hutan adat dan wilayah masyarakat adat merupakan contoh tipologi konflik terhadap penataan ruang dalam konteks pranata sosial kelembagaan masyarakat adat. Di dalam UU No.41 tentang Kehutanan, masyarakat adat diakui apabila kelembagannya masih berlangsung dan diakui oleh peraturan daerah. Hal ini tentunya amat absurd untuk didapati di lapang karena kelembagaan masyarakat adat sudah terleburkan oleh keluarnya Undang- undang No.5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Selain itu, peraturan derah tentang masyarakat adat pada umumnya berisi dinamika masyarakat adat dalam hal budaya (customary ceremony) dan bukan dalam hal hak atas sumberdaya alam. Di Propinsi Lampung misalnya, pada tahun 1978 terjadi “penyerahan” secara masal oleh Kepala Negeri untuk melaksanan sistem penyelenggaraan pemerintah desa dan meninggalkan sistem pemerintahan negeri. Hal ini kemudian memicu konflik batas desa yang telah memecah unit social masyarakat adat secara geografi termasuk negeri-negeri yang berada di sekitar kawasan hutan.

• Tumpang tindih klaim atas kawasan hutan yang dipicu karena perbedaan antara metode teknis penunjukkan kawasan (iklim, fisik lahan, kepentingan stratgeis) yang dipakai oleh Departemen Kehutanan dengan pendekatan sejarah dan batas-batas alam yang dipakai secara tradisional oleh masyarakat setempat, merupakan contoh dari konflik mengenai penataan ruang.

• Tipologi konflik dalam tata ruang dapat dicontohkan oleh konflik yang terjadi karena kompetisi terhadap penguasaan sumberdaya alam dan ini kerap terjadi pada sector-sektor pembanguan berbasis lahan sekala besar seperti pembukaan perkebuna kelapa sawit oleh swasta.

• Konflik melalui tata ruang yang ditimbulkan dari perbedaan kepentingan profesi dan lembaganya dapat dicontohkan bagaimana saat ini terdapat

banyak konflik yang terjadi antara sektor pertambangan dan sektor kehutanan.

Penyelesaian konflik penataan ruang di dalam kawasan hutan pada dasarnya sudah menjadi agenda politis oleh siapa saja yang memimpin kedua sektor tersebut. Pada tahun 2003 pada Rapat Kerja Nasional Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN), Menteri Permukiman Dan Prasarana Wilayah selaku Ketua Tim BKTRN menyatakan bahwa dalam melaksanakan otonomi daerah dijumpai berbagai isu dan permasalahan pembangunan yang bersifat strategis yang membutuhan suatu pendekatan atau instrumen yang mampu menterpadukan kebijakan dan strategi pembangunan, serta mensinergikan pemanfaatan sumberdaya secara optimal bagi kepentingan masyarkat luas. Beberapa isu dan permasalahan dimaksud antara lain (1) terjadinya konflik penataan ruang lintas sektor dan lintas wilayah, (2) terjadinya percepatan kerusakan lingkungan hingga taraf yang mengkhawatirkan, (3) terjadinya kesenjangan tingkat perkembangan antar wilayah di berbagai bagian wilayah nasional, serta (4) lemahnya koordinasi dalam penyelenggaraan penataan ruang, baik di pusat dan daerah. Sementara itu, Menteri Kehutanan Kabinet Bersatu Jilid-2. Zulkifli Hasan, menegaskan, dalam Program 100 Hari kepemimpinannya, pihaknya akan segera menyelesaikan konflik tata ruang kehutanan (Tempo interaktif, 16 November 2009)

Komitmen-momitmen serupa acapkali dilakukan namun sejarah menunjukan bahwa yang diselesaikan hanya simpton-simpton dari suatu peristiwa konflik tanpa diikuti perubahan kebijakan secara sistemik dan siginifikan yang menjadi penyebabnya. Dengan mengambil contoh penetapan TGHK (Tata Guna Hutan Kesepakatan), sejauh ini yang bersepakat hanya kepentingan antar sektor dan/atau antara tataran pemerintah, tanpa kesertaan masyarakat secara aktif apakah mereka menjadi bagian yang turut menyepakati TGHK tersebut.

Pengaturan penyelesaian konflik penataan ruang sedikit sekali disinggung di dalam undang-undang Penataan Ruang yang terbaru yaitu UU NO.26 Tahun 2007. Di dalam Pasal 67 tentang Penyelesaian Sengketa hanya dijelaskan bahwa:

1) Penyelesaian sengketa penataan ruang pada tahap pertama diupayakan berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat (Ayat 1).

2) Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperoleh kesepakatan, para pihak dapat menempuh upaya penyelesaian

sengketa melalui pengadilan atau di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan (Ayat 2).

Namun pada kenyataannya, apabila masyarakat tidak menyepakati pelaksanaan kebijakan penataan ruang, pada kasus pembebasan tanah misalnya, maka pemerintah cukup meninggalkan kompensasi uang ganti rugi di Pengadilan Negeri setempat yang dihitung perdasarkan estimasinya sendiri, sementara di lapangan pengambil alihan lahan dan pencabutan hak masyarakat atas tanah yang akan dijadikan untuk kepentingan umum terus dilakukan dan bahkan secara paksa 3/. Artinya, ketika pemerintah menafsirkan kepentingan publik atas perspektif development right, maka kebijakan pemerintah cenderung menganut

public interest ideology dimana pembangunan adalah domain publik (pemerintah) dan ia berhak mengambil hak privat. Padahal, di dalam suatu kewenangan dimana didalamnya hak dan kewajiban melekat satu sama lain (Bagir Manan dalam Ridwan HR, 2006), maka pemerintah wajib menghargai hak privat warga negara terutama jika hak privat tersebut sebelumnya sudah diakui oleh negara. Apabila kecenderungan tersebut terus berlangsung, maka konflik penataan ruang termasuk kawasan hutan dan dampak lingkungan yang ditimbulkan akan terus terjadi. Ke depan, selain dibutuhkan perubahan kebijakan secara sistemik, ideologi hukum penataan hutan yang sepatutnya ditempuh dengan public participation ideology secara utuh.

.