• Tidak ada hasil yang ditemukan

Isu Penyelesaian Konflik dalam Pemberdayaan Masyarakat Setempat di Sektor Kehutanan.

DAFTAR LAMPIRAN

SISTIM PENDUKUNG NEGOSIASI;

D. Isu Penyelesaian Konflik dalam Pemberdayaan Masyarakat Setempat di Sektor Kehutanan.

Sejauh ini amat disayangkan tidak ada turunan dari UU Kehutanan No.41 yang secara spesifik mengatur bagaimana penyelesaian konflik status dan pemanfaatan kawasan hutan yang timbul dari sebuah pelaksanaan kebijakan sektor kehutanan diselesaikan, termasuk mekanisme pengaduan apabila klaim/tuntutan datang dari masyarakat setempat dari dalam dan atau sekitar kawasan hutan. Pada tahun 2008 dikeluarkan Permenhut No.48 tapi hanya mengatur tentang Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dengan Satwa Liar. Ada kesan bahwa pemerintah, dalam hal ini Departemen Kehutanan, meletakkan upaya penyelesaian sengketa/konflik ditempuh melalui jalur peradilan formal yang sulit diakses oleh masyarakat setempat, baik secara individu maupun kelompok, apalagi masyarakat di dalam dan/atau di sekitar hutan yang pada umumnya lemah secara sosial-politik.

Dalam pelaksanaan kebijakan hutan kemasyarakatan, terjadi kemunduran yang amat signifikan bagaimana Departemen Kehutanan

memberikan perhatian dalam penyelesaian konflik yang terjadi. Baik di dalam Permenhut No. 37 Tahun 2007 tentang Hutan Kemasyarakatan dan Permenhut No. 18 Tahun 2009 tentang Perubahan atas PP No.37 Tahun 2007, tidak ada satupun pasal yang mengatur bagaimana konflik diselesaikan oleh masyarakat setempat dan bagaimanai masyarakat luar bisa melakukan pengawasan publik. Padahal, dibandingkan dengan SK Menhut No.31 Tahun 2001 tentang Hutan Kemasyarakatan yang lahir di awal deade reformasi nasional, walau dirasa masih amat terbatas, diatur bahwa:

1) Dalam rangka kesiapan kelembagaan masyarakat setempat, terbentuknya kelompok Hutan Kemsyarakatan setidaknya memiliki aturan-aturan internal kelompok yang mengikat dalam pengambilan keputusan, penyelesaian konflik, dan aturan lainnya dalam pengelolaan organisasi (Pasal 12 Ayat 1.a).

2) Apabila pengelolaan hutan kemasyarakatan menimbulkan kerugian bagi kepentingan umum dari segi lingkungan hidup, masyarakat luas dapat melakukan gugatan perwakilan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota, dan; Apabila gugatan perwakilan diterima maka dapat dilakukan peninjauan kembali atas izin kegiatan hutan kemasyarakatan atau perubahan rencana pengelolaan (Pasal 54 Pengawasan oleh Masyarakat Luas, Ayat 1 dan Ayat 2). Implikasi dari pasal ini, masyarakat luas dapat melakukan kontrol publik, tidak hanya kepada masyarakat kelompok hutan kemasyarakatan namun juga kepada Departemen Kehutanan dan Pemerintah Daerah selaku penyelenggara kebijakan, termasuk kontrol terhadap penyelesaian konflik- konflik yang ditimbulkan.

Permasalahan pembangunan kehutanan secara umum disebabkan oleh lemahnya kapasitas Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, masyarakat termasuk dunia usaha. Juga belum tersedianya pra-syarat pemungkin seperti kepastian hak atas sumberdaya hutan, infrastruktur ekonomi, dan lain-lain. Untuk itu, Dewan Kehutanan Nasional (DKN) yang terbentuk pada September 2006 melalui Kongres Kehutanan Indonesia IV dengan 4 perangkat presidium yang terdiri dari lima kelompok konstituen yaitu, pemerintah, bisnis, masyarakat, LSM, dan akademisi pada tanggal bulan Mei tahun 2007 telah menginisisasi konsolidasi para pihak untuk mempercepat restrukturisasi kehutanan. Pada akhir tahun 2007, DKN dalam laporan tahunannya merancang berbagai gagasan bagaimana konflik kehutaan di Indonesia akan diselesaikan (DKN, 2007). Di

dalam 4 agenda DKN (Hutan dan Tata Kepemerintahan, Hutan dan Ekonomi, Hutan dan Kemiskinan, dan Hutan dan Lingkungan), isu-isu yang berkaitan dengan penyelesaian konflik (pendataan, pengembangan metodelogi, penyelesaian, dan transformasi kelembagaan) menjadi salah satu prioritas dalam masing-masing agenda tersebut. Sebagai langkah lanjut, pada tahun 2009 DKN membentuk Desk Resolusi Konflik untuk melaksanakan agenda tersebut. Kehadiran DKN dan Desk Resolusi Konflik memberikan secercah harapan bagi khalayak kehutanan tentang terselesaikannya konflik-konflik kehutanan yang banyak terbengkalai hingga saat ini. Walaupun keterlibatan pemerintah dalam lahirnya dan bagaimana DKN bekerja cenderung dominatif sehingga banyak pihak meragukan apakah DKN mampu mengemban prinsip-prinsip netralitas dalam penyelesaian konflik kehutanan, namun publik menunggu hasil-hasilnya. E. Penyelesaian Konflik Di Dalam Undang-undang Pemerintahan Daerah

Di dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, penyelesaian sengketa/konflik terdapat dalam Pasal 198 Ayat :

(1) Apabila terjadi perselisihan dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan antar kabupaten/kota dalam satu provinsi, Gubernur menyelesaikan perselisihan dimaksud.

(2) Apabila terjadi perselisihan antarprovinsi, antara provinsi dan kabupaten/kota di wilayahnya, serta antara provinsi dan kabupaten/kota di luar wilayahnya, Menteri Dalam Negeri menyelesaikan perselisihan dimaksud.

(3) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bersifat final. Pasal tersebut menggunakan istilah perselisihan dan yang diatur lebih pada fungsi pemerintahan. Selain itu pula ia mengandung makna bahwa yang diselesaikan lebih pada perselisihan kewenangan antar tataran pemerintah dan/atau lembaga pemerintah. Namun demikian, apabila di dalam perselisihan terdapat materi yang menyangkut pengaduan masyrakat, dapat ditafsirkan bahwa pasal ini dapat menjadi landasan hukum oleh masyarakat sebagai dasar untuk menyampaikan pengaduan dan penyelesaian konflik, terutama yang berkaitan dengan tumpang tindih kewenangan antar sektor (misalnya antara Departemen Kehutanan dan BPN dalam kasus status tanah di kawasan hutan) maupun antar tataran pemerintah (misalnya batas fisik di lapang antara kawasan hutan konservasi dengan wilayah administrasi pemerintah setempat). Hanya

mekanisme penyelenggaraannya di daerah, hingga kini tidak pernah jelas! Kebuntuan upaya penyelesaian konflik terbentur pada:

1) Tidak tersedianya mekanisme pengaduan dan penyelesaian konflik melalu jalur non-peradilan yang diterapkan oleh instansi pemerintah daerah paling terkait yaitu Bapedalda, Dinas Kehutanan, dan Kantor BPN, baik secara sektoral maupun lintas sektoral.

2) Terjadinya pluralisme penafsiran oleh instansi eksekutif pemerintah dan yudikatif di daerah dalam menilai bahwa apakah suatu peristiwa konflik disebabkan oleh tumpang tindih antar-kebijakan atau muncul dari sebuah klaim oleh masyarakat, atau murni disebabkan oleh pelanggaran hukum. Contohnya, sekelompok masyarakat yang memanfaatkan lahan di dalam kawasan karena keyakinannya bahwa lahan itu milik mereka, ditengarai sebagai perambah dan murni menjadi subyek pelanggaran hukum.

3) Kondisi butir (1) dan butir (2) tersebut mengakibatkan masyarakat melihat lembaga legislatif sebagai pintu alternative bagi mereka dalam menyampaiakn tuntutan serta upaya penyelesaian konflik lingkungan yang dihadapi. Banyak kasus diadukan ke DPRD, seperti kasus konflik status kawasan hutan lindung Registes 45B Sumberjaya kabupaten Lampung Barat yang telah diuraikan pada Bab-4, tapi kemudian itupun tidak menghasilkan opsi-opsi penyelesaian yang permanen dan bahkan hanya menjadi konsumsi kepentingan infrastruktur politik semata.