• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konflik Dalam Submodel Persepsi dan Ketimpangan Struktural

DAFTAR LAMPIRAN

SISTIM PENDUKUNG NEGOSIASI;

G. Pengaduan Perselisihan di Dalam UU Pelayanan Publik

5.3 Hasil dan Pembahasan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konflik Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung.

5.3.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konflik Dalam Submodel Persepsi dan Ketimpangan Struktural

Pada sub model persepsi dan ketimpangan struktural, terdapat dua persamaan jalur secara paralel, yang pertama yaitu sub-model ketimpangan struktural yang ditujukan untuk mengukur tingkat ordinasi responden (X10)

dengan melihat pengaruh dari peubah eksogen tingkat partisipasi responden (X7), tingkat kesejahteraan sosial responden (X8) dan tingkat keberdayaan

responden (X9) seperti terlihat pada Persamaan (22) dan Gambar 5.3.

X10 = 0,12*X7 + 0,18*X8 – 0,029*X9 ……….…………. (22)

Keterangan:

X10 = peubah akibat tingkat ordinasi responden

X7 = peubah tingkat partisipasi responden

X8 = peubah tingkat kesejahteraan sosial responden

X9 = peubah tingkat keberdayaan responden

Berdasarkan hasil analisis jalur diperoleh bahwa tingkat kesejahteraan sosial responden (X8) berpengaruh positif sebesar 0,18 terhadap tingkat

ordinasi responden (X10). Artinya semakin tinggi tingkat kesejahteraan sosial

responden maka akan semakin tinggi pula tingkat ordinasi responden. Tingkat ordinasi dinyatakan tinggi apabila dalam setiap perundingan, responden diajak bicara dan kepentingannya diperhatikan/dipenuhi oleh pemerintah atau pihak lain yang menjadi lawan konflik (Lampiran 8-A Tabel 6).

Gambar 5.3. Diagram Jalur Sub-model Tingkat Ordinasi Responden.

Tingkat partisipasi responden (X7) Tingkat kesejahteraan sosial responden (X8) Tingkat keberdayaan responden (X9) 0,12 0,18 -0,029 Tingkat ordinasi responden (X10)

Tingkat kesejahteraan sosial responden diukur dengan menggunakan baku pengukuran tingkat kesejahteraan sosial yang dipergunakan oleh BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional) yang menggolongkan kesejahteraan ke dalam kelompok: (1) Keluarga Pra Sejahtera, (2) Keluarga Sejahtera Tahap I, (3) Keluarga Sejahtera Tahap II, (4) Keluarga Sejahtera Tahap III, dan (5) Keluarga Sejahtera Tahap III Plus. Pada Tabel 5.3.4 terlihat bahwa hanya sebesar 12 persen responden masuk ke dalam kelompok Keluarga Pra-sejahtera, sisanya sebesar 88 persen adalah Keluarga Sejahtera.

Tabel 5.3.4. Analisis deskriptif peubah tingkat kesejahteraan sosial responden (X8)

Peubah

eksogen Skor Frekuensi Persen Deskripsi Skor

X8

1,00 12 12,0 SKOR = 1, jika responden adl Keluarga Pra Sejahtera

SKOR = 2, jika responden adl Keluarga Sejahtera Tahap I

SKOR = 3, jika responden adl Keluarga Sejahtera Tahap II

SKOR = 4, jika responden adl Keluarga Sejahtera Tahap III

SKOR = 5, jika responden adl Keluarga Sejahtera Tahap III Plus

2,00 50 50,0

3,00 31 31,0

4,00 7 7,0

Total 100 100,0

Sumber: Wawancara, data diolah dengan program SPSS 11.

Semakin tinggi status sosial responden semakin tinggi pula kepentingannya diperhatikan oleh pihak lain. Hal tersebut dapat ditafsirkan bahwa di dalam polarisasi konflik posisi tawar mereka akan cenderung bergeser manjadi pihak/kelompok yang powerful atau yang berkuasa. Kondisi tersebut merupakan suatu kekuatan/modal sosial yang dapat dipergunakan dalam memperjuangkan kepentingan mereka dalam setiap perundingan.

Lalu bagaimana dengan mereka yang status sosialnya rendah (dalam kasus ini adalah 12 persen responden yang masuk dalam kelompok Pra- sejahtera)? Apalagi kelompok tersebut umumnya powerless (lemah) dicirikan oleh berbagai karakter seperti (1) umumnya adalah kelompok yang marjinal dan rentan secara sosial-ekonomi, (2) hak untuk bersuaraa (right to voice) lemah dan cenderung diabaikan oleh pihak yang kuat (powerfull), dan (3) terbatasnya ruang politik bagi mereka untuk mewujudkan kepentingannya. Disinilah peran para responden yang masuk dalam kelompok Keluarga Sejahtera dan powerfull.

Responden yang powerfull dan powerless pada dasarnya memiliki keterikatan kepentingan yang sama, yaitu sama-sama sebagai kelompok masyarakat yang memiliki lahan garapan di dalam Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis. Sebagai sebuah kelompok yang saling berketerikatan, maka responden yang powerless akan menempatkan dirinya sebagai bagian dari responden yang powerfull dalam mencapai kepentingan bersama, sebaliknya responden yang powerfull setidaknya memegang posisi mewakili kepentingan responden powerless. Pada interaksi yang demikian akan terjadi kesepakatan- kesepakatan sosial seperti adanya (1) keterwakilan (representativeness), (2) mandatasi, dan (3) kekuatan monolitik sebuah kelompok untuk memperjuangkan kepentingan bersama dalam menghadapi konflik dengan pihak lain (Isenhart dan Spangle, 2000; Moore, 1996). Sebaliknya, apabila posisi responden yang

powerless terlepas dari ikatan kepentingan bersama dengan yang powerfull, maka peluang mereka untuk berhasil memperjuangkan kepentingannya akan kecil bahkan gagal. Hal tersebut sebagaimana dinyatakan oleh Robinson (1998) bahwa satuan organisasi masyarakat lapisan bawah (gassroot communities) harus berbentuk kelompok sebab komunitas masyarakat perdesaan tidak dapat berfungsi sebagai individual yang otonom. Ketika individu-individu direnggangkan dari komunitasnya (baik sosial dan lingkungan alam) mereka menjadi mudah digoyahkan oleh kekuatan luar sehingga menurunkan efektifitas mereka dalam mencapai kegiatan dan kepentingan kolektif yang pada akhirnya posisi tawar yang bersangkutan dalam memperjuangkan kepentingannya akan melemah.

Di Peubah tingkat partisipasi responden (X7) berpengaruh positif 0,12

terhadap tingkat ordinasi responden (X10). Artinya semakin tinggi tingkat

partisipasi responden akan semakin tinggi tingkat ordinasi mereka. Tingkat partisipasi dinilai dari tipologi partisipasi secara kualitatif yang selama ini selama ini diperankan oleh responden. Di dalam penelitian ini, tingkat kualitas tipologi partisipasi dari buruk ke baik secara hirarkis terdiri atas tujuh macam (Pretty dan Ward, 2000) yaitu (1) partisipasi manipulatif dan dekoratif, (2) partisipasi pasif, (3) partisipasi memberi informasi dan konsultasi, (4) partisipasi insentif material, (5) partisipasi fungsional, (6) partisipasi interaktif, dan (7) partisipasi self- mobilization/mandiri. Partisipasi manipulatif dan dekoratif yaitu keberadaan kelompok masyarakat atau perorangan dibentuk oleh pemerintah dan untuk kepentingan sesaat oleh pemerintah, misalnya kelompok dibentuk karena ada bantuan/distribusi bibit dari pemerintah dan kelompok hanya eksis selama proyek

berlangsung). Partisipasi self-mobilization/mandiri yaitu kegiatan diinisiasi oleh masyarakat sendiri; hubungan kerja dengan lembaga pemerintah dibangun oleh masyarakat berdasarkan kebutuhan mereka; pengelolaan sumberdaya alam (hutan) secara otonom diatur oleh masyarakat.

Berdasarkan hasil analisis deskriptif (Lampiran 8A Tabel 4), sebesar 41% responden bentuk partisipasinya adalah partisipasi insentif material. Responden berpartisipasi hanya dalam tahap pelaksanaan dengan memperoleh insentif material. Mereka disertakan untuk berpartisipasi menyediakan tenaga kerja dan untuk partisipasi tersebut mereka mendapat insentif berbentuk upah kerja atau bibit. Selain dari tahap pelaksanaan, mereka tidak disertakan dalam tahap perencanaan, pengorganisasian, dan pengendalian. Pada saat penelitian berlangsung setidaknya ada 3 buah kegiatan proyek pemerintah yang mencerminkan tipologi tersebut yaitu:

(1) Proyek Pengelolaan Lingkungan Hidup PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air) Way Besay. Proyek ini adalah proyek insentif yang disediakan bagi masyarakat oleh PLTA Way Besay untuk perlindungan bantaran sungai Way Besay yang bersumber di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis. Jumlahnya berkisar Rp.150 juta – Rp.200 juta per tahun. Proyek diserahkan ke Dinas Kehutanan dan Sumberdaya Alam Kabupaten Lampung Barat untuk kemudian dialokasikan ke masyarakat. Oleh Dinas kemudian dana tersebut diberikan kepada masyarakat berupa bibit dan upah kerja. Penerima umumnya masyarakat yang lahan garapannya berada di bantaran sungai. (2) Proyek Perlindungan DAS Way

Besay. Proyek ini adalah proyek dekonsentrasi yang sumber dananya berasal dari BPDAS (Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai) Seputih - Sekampung. Jumlah dana berkisar Rp.75 juta per tahun yang pengelolaannya dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan dan Sumberdaya Alam Kabupaten Lampung Barat. Dana tersebut kemudian dialokasikan ke masyarakat

Gambar 5.4. Kelompok petani hutan

memperoleh insentif material berupa pupuk dari Proyek Perlindungan DAS Way Besay. Petani kemudian menebarkan pupuk tersebut ke tanaman raboisasi di lahan garapan dalam kawasan dan untuk itu mereka memperoleh upah kerja. Lokasi: Dusun Rigis Jaya, Desa Gunung Terang, Sumberjaya, 3 Desember 2004. (Sumber photo: Peneliti)

berupa bibit, pupuk, dan upah kerja.

(3) Proyek GNRHL (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan). Proyek ini dicanangkan sejak tahun 2003. Tahap-1 Penanaman di tahun 2004, kelompok memperolah insentif senilai Rp.2.600.000,- per hektar untuk dipergunakan pengadaan pupuk, transportasi, dan upah tanam (Tabel 5.3.5). Seluruh insentif diberikan kepada kelompok melalui mekanisme BLM (Bantuan Langsung ke Masyarakat), namun kemudian pada pelaksanaan di lapangan banyak didapati kasus bahwa insentif untuk pengadaan pupuk, transportasi pupuk, transportasi bibit dan biaya perawatan bibit diambil-alih oleh oknum aparat lapangan yang persentasenya yang cukup besar yaitu 58,46 persen (dari Rp.2.600.000,- per hektar). Pada Tahap-2 Perawatan dan Penyulaman, total nilai insentif adalah Rp.700.000,- per hektar. Pada pelaksanaan proyek GNRHL tersebut sebenarnya kelompok calon penerima BLM turut partisipasi di dalam tahap perencanaan kebutuhan bibit terutama spesies tanaman yang diminta, yaitu spesies tanaman yang sesuai dengan persyaratan tumbuh dan kesesuaian terhadap agro-ekosistem lokal. Namun dalam pelaksanaannya, bibit yang dialokasikan berbeda dengan apa yang diusulkan. Belum diketahui mengapa hal ini bisa terjadi. Sebagai catatan, dengan dalih baku mutu bibit dalam

proyek tersebut pengadaan bibit masih menjadi kewenangan Departemen Kehutanan, sedangkan pengendalian kualitas bibit yang diberikan dilakukan oleh perguruan tinggi Universitas Lampung (UNILA). Ironisnya, hasil pengendalian kualitas bibit oleh UNILA hanya 60% bibit yang layak mutu, selebihnya tidak layak. Setiap hektar lahan GNRHL mendapat insentif berupa sebanyak 1100 bibit tanaman.

Di dalam sub-model perbedaan struktural ini, peubah tingkat keberdayaan responden (X9) memiliki pengaruh terendah terhadap peubah

Gambar 5.5. Insentif GNRHL berupa bantuan bibit yang diterima oleh kelompok HKm – MWLS sedang ditranspor menuju hamparan lahan di dalam kawasan hutan lindung Bukit Rigis. Lokasi: Desa Tugusari Sumberjaya, 20 Januari 2005. (Sumber photo: Peneliti)

tingkat ordinasi responden (X10) dan bahkan pengaruhnya adalah negatif

ditunjukkan oleh koefisien jalur yang dihasilkan yaitu – 0,029. Walapun pengaruhnya relatif kecil, namun hal ini perlu dicermati karena logikanya, semakin berdaya sebuah kelompok maka akan semakin baik tingkat ordinasinya.

Tingkat keberdayaan kelompok diukur dari keragaman responden dalam memperoleh (1) pendampingan hukum, (2) pengorganisasian kelompok, dan (3) penguatan usaha ekonomi rumah tangga baik yang diselenggarakan oleh LSM, perguruan tinggi, maupun instansi pemerintah. Berdasarkan hasil analisis deskriptif pada (Lampiran 8A Tabel 5) ditemukan bahwa hanya sebesar 31 persen responden yang pernah mendapat ketiga jenis pendampingan tersebut. Sebesar 29 persen pernah mendapat dua jenis pendampingan, dan sebesar 20 persen hanya pernah mendapat satu jenis pendampingan. Yang mengejutkan yaitu sebesar 20 persen responden tidak pernah mendapat pendampingan sama sekali yang setelah diteliti lebih jauh ternyata:

(1) Responden tersebut tidak menjadi anggota kelompok berkepentingan tertentu, misalnya menjadi anggota kelompok HKm dan kelompok tani lainnya.

Tabel 5.3.5. Daftar insentif material dan upah kerja dalam pelaksanaan Proyek GNRHL di Sumberjaya, 2004.

No Tahap

Insentif yang tetap dikelola oleh kelompok penerima BLM – GNRHL (*)

Bagian yang diambil kembali dan dikerjakan oleh aparat Dinas Kabupaten (**) 1 Tahap I Penanaman

- Pupuk XX

- Transportasi pupuk XX

- Upah kerja penanaman X

- Upah kerja pemupukan X

- Upah kerja pelubangan X - Upah kerja pelorongan X

- Biaya angkut bibit XX

- Biaya perawatan bibit XX

- Pembuatan papan naman X - Pembangunan gubug kerja X 2 Tahap II Perawatan dan

Penyulaman

- Upah kerja perawatan X

- Upah kerja penyulaman X

- Upah mandor X

Sumber: Wawancara dengan responden yang juga adalah anggota Kelompok HKm penerima bantuan GNRHL.

(2) Ada juga responden yang tidak pernah ikut dalam pendampingan karena selama ini diwakili oleh pengurus kelompoknya.

Pengaruh negatif peubah X9 terhadap peubah X10 tersebut amat penting

sebagai bahan refleksi bagi para pihak yang sering melaksanakan pendampingan di wilayah setempat diantaranya yaitu WATALA, ICRAF, YACILI, UNILA, dan beberapa unit teknis Pemerintah Kabupaten Lampung Barat (seperti Dinas Kehutanan dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, Dinas Perkebunan, Dinas Pertanian, Dinas Perindustrian dan Koperasi), terutama adanya kemungkinan- kemungkinan terdapatnya berbagai kelemahan pendamping/pendampingan yaitu:

(1) Pendampingan tidak pernah didahului oleh kegiatan analisa kebutuhan (need assessement)? Jika pernah, apakah analisa kebutuhan tersebut kontekstual? (2) Adanya indikasi bahwa kegiatan pendampingan tersebut bersifat project

driven oleh para pendamping.

(3) Materi pendampingan belum bisa dicerna oleh masyarakat baik secara budaya maupun bahasa.

(4) Kegiatan pendampingan tidak mampu mengantisipasi apakah responden pada tahap selanjutnya memiliki keberdayaan (sosial, ekonomi, dan politik) untuk menindak lanjuti hasil-hasil pendampingan.

(5) Proses pendampingan yang kurang memperhatikan kemungkinan kelompok masyarakat yang didampingi di kemudian hari menjadi lebih powerfull dari pihak lain yang menjadi lawan konflik sehingga melakukan gaya mengelola konflik secara represif (menekan pihak/lawan konflik)2.

Dari kemungkinan-kemungkinan tersebut, perlu dilakukan penelitian lebih jauh tentang efisiensi dan efektifitas kegiatan pendampingan yang dilakukan selama ini.

Persamaan kedua di dalam sub model persepsi dan ketimpangan struktural adalah sub-model persepsi yang ditujukan untuk mengetahui pengaruh antara kelompok peubah eksogen yang terdiri atas tingkat pendidikan responden (X16), lama tinggal di kawasan (X17), dan kosmopolitansi responden

(X18) terhadap kelompok peubah endogen yang terdiri atas persepsi tentang

status kawasan hutan negara (X12), persepsi tentang fungsi lingkungan dari

hutan (X13), dan persepsi tentang desentralisasi pengelolaan kawasan hutan

(X14) sebagaimana terdapat pada Persamaan 23 dan Gambar 5.6.

2

Pada kondisi demikian, pendampingan dalam penanganan konflik perlu dilakukan kepada semua pihak yang secara aktual di dalam konflik tersebut sehingga terlebih dahulu tercipta kondisi dimana semua pihak memiliki kesetaraan posisi dan kepentingan.

X12 = 0.24*X16 - 0.075*X17 + 0.41*X18 ……… (a23)

X13 = 0.23*X16 - 0.14*X17 + 0.36*X18 .……… (b23)

X14 = 0.26*X16 - 0.10*X17 + 0.36*X18 ……….. (c23)

Keterangan:

X12 = peubah akibat persepsi tentang status kawasan hutan negara

X13 = peubah akibat persepsi tentang fungsi lingkungan dari hutan

X14 = peubah akibat persepsi tentang desentralisasi pengelolaan kawasan hutan

X16 = peubah tingkat pendidikan responden

X17 = peubah lama tinggal di kawasan

X18 = peubah kosmopolitansi responden

Gambar 5.6. Diagram Jalar Sub-model Persepsi

Berdasarkan perncematan terhadap persamaan a23, b23 dan c23, diperoleh keserupaan pola pengaruh peubah eksogen terhadap peubah endogen, yaitu:

(1) Peubah eksogen kosmopolitansi responden (X18) memiliki nilai koefisien jalur

yang paling tinggi dan positif terhadap ketiga peubah endogen yaitu 0,41 terhadap persepsi tentang status kawasan hutan negara (X12), 0,36 terhadap

persepsi tentang fungsi lingkungan dari hutan (X13), dan 0,36 terhadap

persepsi tentang desentralisasi pengelolaan kawasan hutan (X14).

(2) Peubah eksogen tingkat pendidikan responden (X16), memiliki nilai koefisien

jalur pada posisi kedua dan positif terhadap ketiga peubah endogen yaitu 0,24 terhadap persepsi tentang status kawasan hutan negara (X12), 0,23

Persepsi tentang status kawasan hutan negara (X12) Persepsi tentang fungsi lingkungan dari hutan (X13) Persepsi tentang desentralisasi pengelolaan kawasan hutan (X14) Kosmopolitansi responden (X18) Lama tinggal di kawasan (X17) Tingkat pendidikan pesponden (X16) 0,36 0,41 0,36 - 0,075 0,24 -0,14 -0,10 0,26 0,23

terhadap persepsi tentang fungsi lingkungan dari hutan (X13), dan 0,26

terhadap persepsi tentang desentralisasi pengelolaan kawasan hutan (X14).

(3) Peubah eksogen lama tinggal di kawasan (X17), memiliki nilai koefisien jalur

terendah dan negatif terhadap ketiga peubah endogen yaitu -0,075 terhadap persepsi tentang status kawasan hutan negara (X12), - 0,14 terhadap

persepsi tentang fungsi lingkungan dari hutan (X13), dan – 0,10 terhadap

persepsi tentang desentralisasi pengelolaan kawasan hutan (X14).

Peubah eksogen kosmopolitan responden (X18) diukur dengan

keragaman sumber informasi dan pengetahuan responden dalam memahami Otonomi, status dan fungsi kawasan hutan lindung Bukit Rigis, yaitu bersumber dari (1) media masa/buku yang didapat secara mandiri, (2) teman dekat/tetangga/tokoh masyarakat setempat, (3) pendamping, (4) lembaga penelitian/perguruan tinggi/dinas pemerintah, atau (5) tidak pernah memperoleh informasi. Hasil analisis jalur menunjukkan bahwa semakin kosmopolitan responden, maka semakin baik persepsi dan pemahaman mereka tentang status kawasan hutan negara, fungsi lingkungan dari hutan, dan desentralisasi pengelolaan kawasan hutan. Hasil analisis deskriptif, hanya 7 persen responden yang menyatakan tidak/belum memiliki sumber informasi tentang status kawasan, fungsi hutan, dan desentralisasi pengelolaan kawasan hutan. Walau persentasi tersebut relatif kecil, hal tersebut tidak boleh diabaikan begitu saja. Ketidak-tahuan masyarakat mengenai ketiga hal tersebut justru yang mungkin menjadi penyebab benih-benih konflik pada di masa lalu, saat ini, dan bahkan di masa yang akan datang.

Peubah endogen X12, X13 dan X14 selanjutnya juga dipengaruhi secara

positif oleh peubah eksogen tingkat pendidikan responden (X16). Berarti dapat

ditafsirkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan formal responden, akan semakin baik persepsi dan pemahaman mereka tentang status kawasan hutan negara, fungsi lingkungan dari hutan, dan desentralisasi pengelolaan kawasan hutan. Peubah eksogen X16 tersebut diukur dengan lamanya pendidikan formal yang ditempuh dengan deskripsi seperti tertulis pada Lampiran 8A Tabel 10. Dari deskripsi tersebut, respoden terbesar berlatar pendidikan formal lulus Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah, atau setidaknya pernah mengenyam pendidikan formal tingkat dasar walau tidak tamat; yaitu sebesar 7 persen. Sebesar 16 persen responden tamat pendidikan formal SLTP Umum/Kejuruan/Madrasah Tsanawiyah atau pernah drop out. Lalu, sebesar 6

persen responden tamat pendidikan formal SMU/kejuruan/Madrasah Aliyah atau pernah drop out.

Peubah eksogen lama tinggal di kawasan (X17) meliputi kondisi-kondisi

sebagai berikut yaitu: (1) adalah lamanya mereka menetap di dalam kawasan, (2) lamanya mereka menguasai lahan garapan di dalam kawasan walaupun mereka tidak menetap di sana melainkan menetap di desa sekitar kawasan. Peubah tersebut diukur dalam satuan tahun, kemudian diberi skor yang nilainya mencerminkan periode-periode penting berkaitan sejarah mobilisasi penduduk setempat yang dapat mempengaruhi status lahan mereka seperti terlihat pada Lampiran 8 A Tabel 11. Periode-periode penting tersebut yaitu:

(1) Apabila berdasarkan lama tinggal mereka didapat bukti sejarah bahwa mereka mulai tinggal disana pada masa Transmigrasi BRN tahun 1951- 1953, (Skor = 2).

(2) Mereka yang mulai tinggal disana setelah masa Transmigrasi BRN (setelah tahun 1954) hingga tahun 1994 pada saat patok tata batas kawasan hutan lindung Register 45B mulai dikonstruksi (Skor = 3).

(3) Mereka yang mulai tinggal disana setelah tahun 1994, yaitu tahun ditetapkannya Berita Acara Tata Batas (BATB) Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis (Skor = 4).

Peubah eksogen lama tinggal di kawasan (X17) berpengaruh negatif

terhadap peubah endogen X12, X13 dan X14. Dengan demikian dapat ditafsirkan

bahwa semakin tinggi nilai skor X17 maka semakin rendah persepsi dan

pemahaman mereka terhadap status kawasan hutan negara, fungsi lingkungan dari hutan, dan desentralisasi pengelolaan kawasan hutan. Semakin tinggi nilai skor X17, mencerminkan semakin singkat lama tinggal responden di dalam

kawasan dan kondisi demikian amat memungkinkan menjadi penyebab bahwasanya pemahaman responden terhadap status kawasan hutan negara, fungsi lingkungan dari hutan, dan desentralisasi pengelolaan kawasan hutan pun akan semakin lemah.

Sejarah lama tinggal merupakan salah satu indikator penting terhadap menguat atau melemahnya status lahan garapan responden di dalam kawasan.

• Apabila responden menguasai lahan tersebut setelah BATB kawasan hutan lindung Register 45B ditetapkan, maka peluang status lahan garapan untuk diklasifikasikan sebagai lahan yang dapat di-enclave-kan adalah nil (=0). Berdasarkan fakta di lapangan, contoh lahan seperti ini adalah lahan yang

terletak di sekitar “Hutan Pinus” di Desa Sukapura yang konversinya terjadi pada era reformasi di awal tahun 2000-an. Bahkan disinyalir lahan-lahan yang terletak di tepi jalan raya tersebut adalah milik oknum pejabat pemerintah. Perlu penelitian lebih lanjut tentang ini. (Gambar 5.6.a)

• Apabila responden menguasai lahan tersebut antara masa transmigrasi BRN hingga saat sebelum BATB ditetapkan, atau, mereka menguasai lahan sejak masa transmigrasi BRN 1951-1953, maka lahan tersebut berpeluang untuk diklasifikasikan sebagai lahan yang dapat di-enclave-kan sehingga statusnya yang semula dikuasai berpeluang menjadi dikuasai dan dimiliki. Contohnya adalah beberapa bagian wilayah Desa Sukapura Kecamatan Sumberjaya (Gambar 5.7.b).

Gambar 5.7.a Gambar 5.7.b

Gambar 5.7. Areal penghijauan yang dahulunya dikenal dengan “Hutan Pinus” (Gambar 5.7.a, Juli 2006) kini telah terkonversi ke dalam bentuk penggunaan lain (Sumber photo: Nurka C. Ningsih, asisten peneliti). Gambar 5.7.b (Januari 2005) adalah rona fisik pemukiman penduduk Desa Sukapura yang berada di dalam Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis, mereka adalah bagian dari Transmigrasi BRN tahun 1951-1953 (Sumber photo: Peneliti).

Pada beberapa kasus tidak selamanya semakin singkat lama tinggal semakin lemah persepsi dan pemahaman responden. Sering juga ditemui sebaliknya justru semakin lama masa tinggal semakin lemah persepsi dan pemahaman responden tentang status dan fungsi kawasan hutan. Indikasi ini misalnya terjadi di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan di Tahura (Taman Hutan Rakyat) Wan Abdul Rahman – Gunung Betung, Propinsi Lampung. Hasil wawancara dengan beberapa pakar kehutanan di Propinsi Lampung, terjadinya kasus tersebut memperkuat teori weapon of the weak (senjatanya orang-orang yang kalah) (Scott, 1985; Peluso, 1992):

(1) Mereka pada dasarnya memiliki persepsi dan pemahaman yang baik, namun diduga berpura-pura tidak mengerti semata-mata untuk menghindari jeratan

hukum. Termasuk diantaranya pura-pura tidak tahu letak batas kawasan dan bukan kawasan hutan, merusak tanaman reboisasi karena mereka tidak memperolah manfaatnya, dan lain-lain. Tindakan-tindakan semacam itu merupakan contoh illustrasi visual seperti pada Gambar 5.8.

(2) Mereka semula memiliki persepsi dan pemahaman yang baik, namun kemudian berubah menjadi melemah dan bahkan kebingungan. Misalnya kasus di Dusun Pemerihan Desa Sukamarga Kecamatan Bengkunat Kabupaten Lampung Barat. Dusun tersebut berbatasan dengan kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Masyarakat semula mengerti bahwa lahan mereka berada dalam kawasan dan tidak boleh menggarap di dalamnya. Namun ada sebagian anggota masyarakat yang dengan tenaganya tetap menggarap karena disinyalir ternyata mereka memberi iuran tak resmi kepada oknum lapang. Akibatnya, kelompok masyarakat yang pertama jika ditanya apakah mereka paham tentang status lahan garapan mereka, mereka hanya menjawab dengan apatis “Embuhlah, aku ora ngerti!” (Bahasa Jawa yang artinya: “Entahlah, saya tidak tahu!”).

Gambar 5.8. Contoh “Weapon of the Weak” di Tahura Wan Abdul Rahman, Desember 2002. Pohon Sonokeling hasil reboisasi dikerat pangkal

batangya oleh orang tidak dikenal hingga akhirnya pohon tersebut mati secara perlahan. Semakin subur pohon tersebut, maka tanaman bertajuk rendah dibawahnya perlahan-lahan menjadi tidak produktif. Hal tersebut yang diduga menjadi penyebab. (Sumber Photo: Peneliti)

(3) Selain itu banyak kasus terjadinya “penghilangan” atau penggeseran (kedalam atau keluar) patok batas kawasan hutan yang dilakukan oleh

orang-orang yang tidak dikenal sebagai reaksi atas ketidakpuasan terhadap proses konstruksi tata batas kawasan hutan.

Pada tahap selanjutnya, sub-model Persepsi dan Ketimpangan Struktural kemudian dibangun dengan memadukan persamaan (22) dan (23) serta dengan penambahan peubah eksogen baru yaitu peubah tindakan represif oleh pemerintah (X11), Pada Sub-model ini, yang semula X10, X12, X13, dan X14 adalah

peubah endogen kemudian berubah menjadi peubah eksogen terhadap peubah endogen keterlibatan aktif responden dalam berdialog dan negosiasi (X15) seperti

terlihat pada Gambar 5.9 dan persamaan (24).

X15 = - 0.038*X10 + 0.25*X12 + 0.19*X13 – 0.078*X14 + 0.19*X11…(24)

Keterangan:

X15 = peubah akibat keterlibatan aktif responden dalam berdialog dan negosiasi

X10 = peubah akibat tingkat ordinasi responden

X11 = peubah tindakah represif oleh pemerintah

X12= peubah persepsi tentang status kawasan hutan negara

X13= peubah persepsi tentang fungsi lingkungan dari hutan

X14 = peubah persepsi tentang desentralisasi pengelolaan kawasan hutan

Gambar 5.9. Diagram jalur Submodel Persepsi dan Ketimpangan Struktural Berdasarkan hasil analisa jalur, dibandingkan dengan peubah eksogen lainnya, peubah persepsi tentang status kawasan hutan negara (X12) memiliki

Tindakan represif oleh pemerintah (X11)

Persepsi tentang status kawasan hutan negara (X12) Persepsi tentang fungsi lingkungan dari hutan (X13) Persepsi tentang desentralisasi pengelolaan kawasan