• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan Penggunaan Lahan Di Kecamatan Sumberjaya dan Deforestasi Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis.

DAFTAR LAMPIRAN

SISTIM PENDUKUNG NEGOSIASI;

III. METODE PENELITIAN

4.4 Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis, Kecamatan Sumberjaya Kabupaten Lampung Barat.

4.4.3 Kecamatan Sumberjaya dan Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis

4.4.3.3 Perubahan Penggunaan Lahan Di Kecamatan Sumberjaya dan Deforestasi Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis.

Di samping tanahnya yang subur bagi kegiatan pertanian, letak geografis wilayah yang amat strategis diduga menjadi faktor penarik pesatnya laju pertumbuhan di Kecamatan Sumberjaya yang memiliki wilayah seluas 54.194 hektar (Tabel 4.9).

Tabel 4.9 Penggunaan lahan di Kecamatan Sumberjaya, Tahun 2000

Penggunaan lahan Luas (ha) Persen

Sawah 2447 4.52 Sawah berpengairan 2060 Teknis 0 Setengah teknis 0 Sederhana 445 Non PU 1615 Tadah hujan 387 Pasang surut 0 Lebak, polder 0 Pekarangan 2051 3.78 Tegalan/kebun 2150 3.97 Ladang/huma 1835 3.39 Padang rumput 0 0.00 Bera 753 1.39 Hutan rakyat 0 0.00 Hutan negara 31571 58.26 Perkebunan 12449 22.97 Rawa-rawa 0 0.00 Tambak 0 0.00 Kolam 216 0.40 Lain-lain 722 1.33 TOTAL 54194 100.00

Sumber: Monografi Kabupaten Lampung Barat, 2001

Dari total luas wilayah kecamatan tersebut, penggunaan lahan yang terbesar adalah kawasan hutan seluas 31.572 hektar (atau sebesar 58,26%), perkebunan

1

Pada tahun 2000, Kecamatan Sumberjaya dimekarkan menjadi dua yaitu Kecamatan Sumberjaya

di wilayah timur dan Kecamatan Way Tenong di wilayah barat. Masing-masing terdiri atas 14 desa. Hingga saat ini, data statistik yang tersedia masih belum dipisahkan sesuai dengan pemekaran

seluas 12.449 hektar (atau sebesar 22,97%), dan persawahan seluas 2.447 hektar (atau sebesar 4,52%).

Luas wilayah Kecamatan Sumberjaya identik dengan luas Sub-DAS Way Besay yang didalamnya terdapat beberapa kawasan Hutan Lindung yang fungsi ekosistemnya memiliki pengaruh peran terhadap fungsi perlindungan DAS (Gambar 4.8). Kawasan-kawasan hutan lindung tersebut yaitu:

(1) Register 39 Kota Agung Utara (Total luas 49.994 hektar membentang dari Kecamatan Sumberjaya hingga ke selatan ke Kecamatan Pulau Panggung Kabupaten Tanggamus),

(2) Register 44B Way Tenong Kenali (Total luas 14.000 hektar membentang dari Kecamatan Sumberjaya dan Kenali Kabupaten Lampung Barat hingga ke utara ke Kabupaten Way Kanan),

(3) Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis (Total 8.295 hektar dan seluruhnya berada di dalam Kecamatan Sumberjaya Kabupaten Lampung Barat), dan

(4) Register 46B Palakiah (Total luas 1800 hektar membentang dari Kecamatan Sumberjaya hingga ke Barat ke Taman Nasional Bukist Barisan Selatan Kabupaten Lampung Barat).

Dari keempat kawasan tersebut, Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis merupakan kawasan hutan yang ekosistemnya paling berpengaruh terhadap sub- DAS Way Besay karena letaknya berada di tengah-tengah tempat berasalnya anak- anak sungai yang mengalir ke Way Besay. Register tersebut ditetapkan sebagai kawasan hutan pada masa kolonialisasi Belanda melalui Besluit Residen No.117 tanggal 19 Maret 1935. Sebelum tahun tersebut, status lahan kawasan adalah tanah marga. Pada akhir tahun 2000, deforestasi di kawasan tersebut sudah mencapai tingkat amat kritis, diperkirakan seluas 6.000 hektar sudah tidak behutan lagi dan tercatat sebanyak 2000 KK petani yang bermukim di dalamnya (Dirpa, 2002). Sebagai ilustrasi visual, rona deforestasi kawasan tersebut seperti terlihat pada Gambar 4.9.

Gambar 4.8 Peta situasi beberapa kawasan hutan lindung di dalam Kecamatan Sumberjaya (Sumber: ICRAF).

Sebenarnya deforestasi di Sumberjaya sudah mulai terjadi sebelum Besluit Residen dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda. Pada tahun 1933, pelayanan

perluasan pertanian Kolonial menyatakan: “Sebagaimana Lampung tidak ada lagi

memiliki hutan yang berlimpah, sangatlah penting menciptakan manfaat ekonomi

dari lahan yang tersedia tanpa menghambat pengembangan budidaya kopi lokal”.

Hal tersebut tidak hanya merekomedasikan upaya peremajaan kebun kopi yang

sudah ada dengan coppicing, tetapi juga pembukaan lahan-lahan baru kawasan

Gambar 4.9 Kondisi deforestasi kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis awal Tahun 2000 (Sumber photo: ICRAF).

Deforestasi menjadi kebun kopi terjadi secara masif pada tahun 1976 – 1986, satu masa dengan datangnya migrasi spontan ke wilayah Sumberjaya (Kusworo, 2000). Deforestasi tersebut memicu keributan di Departemen Kehutanan. Persepsi umum para aparat kehutanan adalah penduduk setempat tidak dapat mengelola hutan secara berkelanjutan, sehingga area menjadi lebih cepat terdegradasi dan akan berdampak negatif pada fungsi perlindungan DAS Way Besay. Pada tahun 1978 (Tabel 4.10), semula wilayah yang masih tertutup oleh hutan sebesar 67%, pada tahun 1984 menurun menjadi sebesar 49%, dan sebesar 32% di tahun 1990 (Syam et all, 1997; dalam Verbist, 2001). Dilengkapi dengan hasil klasifikasi citra

satelit Landsat Enhanced Thematic Mapper (ETM) tahun 2000, Multi Spectral

Scanner (MSS) 1986 dan MSS 1973, data Tabel 4.10 tersebut kemudian dikaji ulang

dan diperoleh kenyataan bahwa tutupan hutan secara nyata menurun menjadi 12% di tahun 2000, sementara itu, kebun kopi (monokultur dan multistrata) menurun dari sebesar 40% pada tahun 1990 menjadi 52% (monokultur, multistrata, dan kopi tua bercampur semak-belukar) pada tahun 2000 (Verbist et al, 2004; Dinata, 2002).

Table 4.10. Presentasi perubahan penggunaan lahan di Sumberjaya tahun 1978 – 1990 .

Penggunaan lahan Perubahan (%)

1978 1984 1990

1. Pemukiman 1 2 2

2. Sawah 3 5 5

3. Pertanian (hortikultura) 2 1 0.1

4. Perladangan berpindah 5 .5 0

5. Kebun campuran ( tanaman pangan, sayuran, dan buah-buahan)

0 0 0

6. Kebun kopi monokultur 21 42 41

7. Kebun kopi multistrata 1 1 19

8. Hutan primer 33 21 13

9. Hutan sekunder 16 11 18

10. Semak belukar 18 17 1

11. Kolam 0.03 0.01 0.07

Sumber: Syam et all (1997) dalam Verbist (2001).

Pola serupa juga terjadi pada perubahan penggunaan lahan di dalam kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis yang direfleksikan oleh perubahan tutupan lahan antara tahun 1973 – 2002 di dalam kawasan yang dieroleh dari analisis citra satelit Land Sat (Tabel 4.11). Pada tahun 2002, hutan primer yang tersisa tinggal 1.782 hektar, kebun kopi (multistrata dan monokultur) meningkat menjadi 4276 hektar, sawah menurun menjadi 915 hektar, belukar menurun menjadi 374 hektar, dan tidak ada lagi tanah yang terbuka (bera). Hasil analisis poto satelit tersebut juga semakin mempertegas adanya areal permukiman seluas 187 hektar di dalam kawasan pada tahun 2002. Luas tersebut lebih kecil dibandingkan hasil pemetaan partisipatif yang pernah dilakukan oleh warga dan LSM Watala pada tahun 2003 yaitu seluas 302,5 hektar (Gambar 4.10), namun perbedaan tersebut diduga disebabkan adanya areal di dalam poto yang tertutup awan.

Berdasarkan peta BPN (Badan Pertanahan Nasional), sistem ladang berpindah sudah tidak ada lagi sejak awal tahun delapan puluhan. Pada tahun 1990 tidak ditemukan lagi padang alang-alang di wilayah ini, akan tetapi pada tahun 2000 padang alang-alang muncul kembali di beberapa tempat.

Evolusi deforestasi sejak tahun 1976 tersebut direspon oleh Pemerintah dengan suatu tindakan cepat untuk menghentikannya. Pemerintah kemudian membuat peta wilayah Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) pada tahun 1990 diikuti oleh pelaksanaan tata-batasnya yang ternyata kemudian memicu banyak

konfrontasi antara penduduk lokal dengan aparat pemerintah seperti pengusiran penduduk, intimidasi, dan lain-lain.

Tabel 4.11 Perubahan Sebaran Tutupan Lahan Hutan (forest land cover) di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis

No Penggunaan lahan Tahun

1973 (Ha) 1986 (Ha) 2000 (Ha) 2002 (Ha)

1 Hutan 2043 1982 1720 1782 2 Kebun Kopi 885 3390 4890 4276 3 Pemukiman 0 296 185 187 4 Pertanian 657 0 0 187 5 Sawah 1978 699 13 915 6 Belukar 897 1146 1024 374 7 Rumput 157 422 119 0 8 Tanah Terbuka 466 149 55 0 9

Tidak terdeteksi (poto

satelit tertutup awan) 1211 210 289 574

Total 8294 8294 8294 8294

Sumber: (1) Peta TGHK Kabupaten Lampung Barat, 1994; (2) Peta Topografi Bakosurtanal, 1999; (3) Poto satelit Land Sat MSS-ETM Tahun 1973, 1986, 2000, dan 2002; Data dan dijitasi diolah di laboratium GIS ICRAF – Bogor.

4.4.3.4 Konflik Tata Batas dan Status Lahan di Kawasan Hutan Lindung