• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

SISTIM PENDUKUNG NEGOSIASI;

G. Pengaduan Perselisihan di Dalam UU Pelayanan Publik

5.3 Hasil dan Pembahasan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konflik Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung.

5.3.1 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konflik Dalam Submodel Eksternalitas

Pada submodel eksternalitas, peubah endogen motivasi keputusan konversi lahan kawasan oleh responden (X6) dipengaruhi oleh peubah-peubah

eksogen bencana alam antropogenik (X1), penerimaan kotor komoditas utama

yang dihitung setara dengan beras yang dikonsumsi responden (X2), informasi

pasar (X3), pengaruh pasar (X4), dan sarana pendukung (X5).

Dari hasil analisis jalur diperoleh koefisien pengaruh masing-masing peubah eksogen seperti pada Persamaan (21) dan Gambar 5.1 berikut.

X6 = - 0,058*X1 – 0,024*X2 + 0,041*X3 + 0.049*X4 + 0.036*X5 …… (21)

Keterangan:

X6 = peubah akibat keputusan konversi lahan kawasan oleh responden

X1 = peubah bencana alam antropogenik

X2 = peubah penerimaan kotor komoditas utama yang dihitung setara dengan

beras yang dikonsumsi responden X3 = peubah informasi pasar

X4 = peubah pengaruh pasar

X5 = peubah sarana pendukung

Gambar 5.1. Diagram Jalur Sub-model Eksternalitas.

Dari kelima peubah eksogen yang dianalisis, peubah bencana alam antropogenik (X1) berpengaruh negatif sebesar 0,058 dan jika dibandingkan

dengan peubah eksogen lainnya, merupakan akar konflik yang paling tinggi mempengaruhi motivasi responden memutuskan untuk mengkonversi lahan

Bencana alam antropogenik (X1) Penerimaan Kotor (X2) Informasi pasar (X3) Sarana pendukung (X5) Keputusan Konversi Lahan Kawasan Oleh Responden (X6) Pengaruh Pasar (X4) -0,024 0,041 -0,049 0,036 -0,058

hutan Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis menjadi bentuk penggunaan lahan lainnya. Bencana alam antropogenik diukur dari ragam bencana akibat ulah manusia yang pernah dihadapi responden dalam mengolah lahan garapan mereka di luar kawasan. Di dalam penelitian ini, bencana- bencana tersebut adalah: (1) kebakaran hutan, (2) erosi dan longsor, (3) banjir dan penggenangan, dan (4) serangan penyakit dan hama tanaman. Berpengaruh negatif menunjukkan bahwa semakin beragam bencana yang mereka hadapi di luar kawasan, maka motivasi keputusan responden dalam mengkonversi lahan kawasan akan semakin rendah.

Berdasarkan hasil analisis deskriptif peubah eksogen X1, sebesar 70

persen responden menyatakan menghadapi 3 jenis bencana alam antropogenik (Tabel 5.3.1). Sementara responden yang menyatakan menghadapi 4 jenis bencana adalah sebesar 16 persen, sedangkan responden yang menyatakan menghadapi setidaknya 1 hingga 2 jenis bencana adalah sebesar 13 persen. Tabel 5.3.1. Analisa deskriptif peubah bencana alam antropogenik (X1)

Peubah

Eksogen Skor Frekuensi Persen Deskripsi Skor

X1

,00 1 1,0 SKOR = 1, jika responden menyatakan tidak pernah ada bencana antropogenik. SKOR = 2, jika responden memilih satu buah

bencana antropogenik.

SKOR = 3, jika responden memilih dua buah bencana antropogenik.

SKOR = 4, jika responden memilih tiga buah bencana antopogenik .

SKOR = 5, jika responden memilih empat buah bencana antropogenik.

Bencana antropogenik: (1) Kebakaran hutan, 2) Erosi dan longsor, 3) Banjir dan penggenangan, 4) Serangan penyakit dan hama tanaman.

1,00 0 0 2,00 2 2,0 3,00 11 11,0 4,00 70 70,0 5,00 16 16,0 Total 100 100,0

Sumber: Wawancara, data diolah dengan program SPSS 11.

Berdasarkan analisis deskriptif tersebut dapat dinyatakan bahwa semakin banyak bencana alam yang dihadapi oleh responden di luar kawasan (yang dicerminkan oleh nilai skor yang semakin tinggi) maka motivasi keputusan responden dalam mengkonversi lahan kawasan akan semakin surut/rendah. Hubungan terbalik tersebut dapat ditafsirkan bahwa responden memiliki perhitungan kehawatiran akan terjadinya bencana serupa jika membuka lahan dan bertani di dalam kawasan hutan. Rendah tingginya motivasi responden dalam mengkonversi lahan dicerminkan oleh ragam motivasi yang dimiliki

responden. Semakin beragam motivasi responden, semakin tinggi nilai skornya (Tabel 5.3.2).

Penyelesaian konflik yang akan dilakukan adalah dengan mengintervensi akar konflik yang memiliki pengaruh terbesar baik berupa saran, rekomendasi, atau opsi. Di dalam sub-model ini, akar konflik X1 memiliki koefisien jalur X1 X6

sebesar – 0,058 dan merupakan yang terbesar dibandingkan dengan koefisien jalur peubah eksogen lainnya. Temuan tersebut bukan berarti menganjurkan agar bencana lebih banyak terjadi sehingga responden bermotivasi rendah dalam mengkonversi lahan. Temuan ini lebih mengartikan bahwa bencana alam antropogenik yang pernah dialami oleh responden merupakan faktor penghalang bagi responden untuk masuk dan dalam mengkonversi lahan kawasan hutan. Semakin beragam bencana yang dihadapi, semakin rendah motivasi mereka, maka akan semakin kecil investasi yang akan mereka curahkan ke lahan garapan di dalam kawasan. Dalam kondisi demikian maka perlu dilihat faktor eksogen lainnya yang pengaruhnya setingkat di bawah peubah X1, yaitu peubah pengaruh pasar X4.

Tabel 5.3.2. Analisa deskriptif peubah motivasi responden dalam memutuskan mengkonversi lahan hutan kawasan (X6)

Peubah

Endogen Skor Frukensi Persen Deskripsi Skor

X6

,00 2 2,0 SKOR = 5, jika responden memilih 1, 2, dan 3. SKOR = 4, jika responden memilih 1 dan 2. SKOR = 3, jika responden memilih 1 dan 3. SKOR = 2, jika responden memilih 2 dan 3 SKOR = 1, jika responden memilih 2 Ragam motivasi atau yang melatar-belakangi responden dalam mengkonversi lahan ke dalam bentuk penggunaan saat ini.

(1) Untuk dijual (berorientasi pasar)

(2) Untuk keperluan sendiri/keluarga (subsisten) (3) Atas saran/ajakan keluarga/kerabat/tetangga.

1,00 43 43,0 2,00 29 29,0 3,00 7 7,0 4,00 14 14,0 5,00 5 5,0 Total 100 100,0

Sumber: Wawancara, data diolah dengan program SPSS 11.

Peubah pengaruh pasar (X4) berpengaruh positif sebesar 0,049 dan jika

dibandingkan dengan peubah eksogen lainnya, merupakan akar konflik yang berada pada posisi terbesar kedua dalam mempengaruhi motivasi responden memutuskan untuk mengkonversi lahan hutan Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis menjadi bentuk penggunaan lahan lainnya. Pengaruh pasar di dalam hal ini diukur oleh banyaknya jumlah pembeli/penampung komoditas utama yang dihasilkan responden dari lahan garapan mereka di dalam kawasan.

Berpengaruh positif menunjukkan bahwa semakin banyak pasar komoditas maka akan semakin besar motivasi responden dalam mengkonversi lahan kawasan.

Analisis deskriptif menghasilkan bahwa sebesar 95 persen responden menyatakan komoditas hasil utama mereka, yang pada umumnya adalah kopi, dijual kepada pedagang pengumpul atau pasar desa (Tabel 5.3.3). Mereka menyatakan bahwa perbedaan harga jual yang diterima dari pedagang pengumpul lebih rendah sebanyak Rp.100,- per kilogram kopi dibandingkan jika mereka menjual langsung ke pasar desa. Kecenderungan menjual kepada pedagang pengumpul lebih disebabkan oleh biaya transportasi untuk mengangkut kopi mereka dari dalam kawasan ke pasar desa. Pada dasarnya responden dapat menjual sendiri ke pasar namun mereka tetap tidak memperoleh nilai tambah karena biaya transportasi tersebut, bahkan responden kehilangan waktu yang dipergunakan untuk membawa dan menjual kopi ke pasar. Selain itu antar responden dengan pedagang pengumpul telah memiliki hubungan sosial-ekonomi yang relatif lama. Tidak jarang berbagai sarana produksi pertanian dan bahkan kebutuhan rumah tangga responden dibeli/diperoleh dari pinjaman tunai dan/atau inatura dari pedagang pengumpul. Tabel 5.3.3. Analisa deskriptif peubah pengaruh pasar (X4)

Peubah

Eksogen Skor Frekuensi Persen Deskripsi Skor

X4

,00 1 1,0 SKOR = 5 (Pengaruh pasar amat kuat, regional, dan banyak pilihan pembeli), jika responden memilih keempatnya (1, 2 , 3 dan 4).

SKOR = 4 (Pengaruh pasar amat kuat dan

regional), jika responden memilih angka 1, 2, dan 3.

SKOR = 3 (Pengaruh pasar kuat dan regional), jika responden memilih angka 1 dan 2. SKOR = 2 (Pengaruh pasar amat kuat namun

lokal), jika responden memilih angka 2 dan 3.

SKOR = 1 (Pengaruh pasar kuat namun lokal), jika responden memilih angka 2 atau 3 saja. SKOR = 0 Tidak menjawab.

Para-pihak berpengaruh dan yang selama ini membeli/menampung komoditas utama: (1) Perusahan, (2) Pasar Desa, (3) Pedagang pengumpul, (4) Lainnya. 1,00 95 95,0 2,00 3 3,0 3,00 0 0 4,00 1 1,0 5,00 0 0 Total 100 100,0

Sumber: Wawancara, data diolah dengan program SPSS 11.

Hanya sebesar 3 persen yang menjual kepada pedagang pengumpul dan pasar desa. Pada umumnya lokasi lahan mereka relatif dekat dengan jalan desa.

Sebesar 1 persen di antara mereka menjual kopinya kepada perusahaan, pedagang pengumpul, dan pasar desa. Responden tersebut ternyata selain sebagai petani kawasan, juga menerima/membeli kopi dari petani lainnya. Sehingga apabila volume kopi yang akan dijual relatif banyak, maka ia akan menjualnya langsung ke perusahaan bermodal besar untuk menerima kopi dalam partai besar.

Pelaku pasar seperti perusahan, pasar desa, dan pedagang pengumpul yang membeli hasil-hasil perkebunan, terutama kopi, dari lahan kawasan merupakan aset pembangunan ekonomi perdesaan. Tentunya amat naif apabila dalam upaya menekan motivasi responden mengkonversi lahan kawasan maka para penampung/pembeli hasil perkebunan tersebut dikurangi jumlahnya, apalagi fakta sejarah memaparkan bahwa:

(1) Sejarah produksi kopi di Propinsi Lampung sama tuanya dengan sejarah pembentukan wilayah tersebut sejak masih berupa Kresidenan Lampung pada jaman kolonial Belanda hingga menjadi Propinsi Lampung pada tahun 1964.

(2) Demikian pula wilayah Sumberjaya, sejak jaman Belanda tahun 1933 merupakan bagian dari daerah sentra produksi kopi yang membentang dari selatan yaitu Kecamatan Kota Agung, Wonosobo, Talang Padang, Pulau Panggung, lalu menuju ke utara melewati Kecamatan Suoh, Sekincau, dan Sumberjaya, kemudian ke utara lagi hingga Kabupaten Way Kanan Propinsi Lampung hingga ke Perbatasan Propinsi Sumatera Selatan (Verbist, B. dan G. Pasya, 2004).

(3) Pada tahun 2003, Presiden Republik Indonesia, Megawati Soekarno Putri, mendeklarasikan bahwa Propinsi Lampung merupakan Beranda Kopi Nasional Indonesia.

(4) Demikian pula di dalam aspek kebijakan. Atas pertimbangan sejarah bahwa selain lada, produksi kopi adalah identitas mata pencaharian khas masyarakat Lampung, maka buah kopi di dalam kawasan hutan mendapat pengecualian dan diklasifikasikan sebagai Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dan tertuang di dalam Perda Propinsi Lampung No.7 Tahun 2000 tentang Iuran Hasil Hutan Bukan Kayu.

Adanya fakta sejarah tersebut bukan berarti sama sekali tidak tersedia upaya yang patut dipertimbangkan untuk ditempuh untuk mengintervensi X4 agar

motivasi mengkonversi lahan dapat ditekan. Beberapa upaya yang patut dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

(1) Pada tahun 2005, pasar kopi internasional hampir memboikot kopi asal Indonesia karena kopi-kopi tersebut ditengarai ditanam di dalam kawasan hutan sehingga menjadi salah satu penyebab degradasi hutan Indonesia saat itu. Walau hingga kini data statistik belum tersedia, kuat dugaan para pemerhati masalah kopi kawasan di Lampung menyatakan bahwa sebagian besar kopi Lampung berasal dari kawasan hutan. Pemboikotan tersebut akhirnya tidak terjadi, namun demikian ke depan resiko tersebut perlu diperdulikan. Salah satu langkah yang dapat ditempuh, yaitu melalui pengembangan dan penerapan sistem sertifikasi semacam green labelling

terhadap produksi kopi. Khusus terhadap kopi yang berasal dari kawasan hutan, pasar dikondisikan agar hanya menerima kopi yang sistem tanamnya benar-benar tidak mengganggu fungsi kawasan hutan sesuai peruntukkannya. Hal tersebut memerlukan dukungan pemerintah dalam regulasi tata niaga kopi. Menariknya, hasil wawancara pakar dengan WWF Lampung bahwa mereka sejak awal 2006 sudah mulai mempromosikan upaya tersebut dan secara positif direspon oleh pembeli (buyers) regional dan international untuk membeli kopi secara lacak produk yaitu tidak membeli kopi dari dalam kawasan terutama kawasan konservasi dan berupaya meyakini kopi yang dibeli berasal dari zona penyangga (buffer zone) kawasan hutan. Di samping itu, para pembeli dihimbau untuk berperan serta mendukung program-program pengentasan kemiskinan di zona penyangga sehingga secara ekonomis masyarakat tidak termotivasi masuk ke dalam kawasan.

(2) Pemberian hak akses (access right) berupa ijin mengelola lahan kawasan hutan bisa menjadi opsi yang baik. Di dalam hak akses biasanya selalui disertai dengan tanggung jawab dan sanksi. Tanggung jawab seperti wajib menerapkan teknik konservasi tanah, jarak tanam ideal, dan sistem tanam kopi multi-tajuk berkombinasi dengan MPTS (Multi Purposes Tree Species), dan lainnya, bisa menjadi pilihan sistem tanam kopi yang secara bersamaan dapat menyangga fungsi lindung sebuah kawasan. Sanksi berupa pencabutan ijin dapat menjadi alat penegakkan hak dan tanggung jawab tersebut. Bentuk hak akses yang dapat dipergunakan saat ini di dalam kebijakan Kehutanan Indonesia misalnya Ijin Hutan Kemasyarakatan (HKm)

yang diatur dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.31/Kpts-II/2001 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan yang memungkinkan masyarakat memperoleh manfaat HHBK dari kawasan hutan lindung.

(3) Secara simultan kedua upaya di atas perlu disinergikan dengan penguatan manajemen kawasan sehingga tidak terjadi perluasan areal deforestasi. Khusus areal yang sudah terdeforestasi perlu dilakukan upaya restorasi (tidak hanya flora namun bahkan fauna) melalui berbagai skema baik dengan dan/atau tanpa peran serta masyarakat. Pemberian hak akses seperti diuraikan sebelumnya, merupakan contoh skema restorasi dengan peran serta masyarakat reforestasi kawasan hutan.

Peubah informasi pasar (X3) berpengaruh positif sebesar 0,041 dan jika

dibandingkan dengan peubah eksogen lainnya, merupakan akar konflik yang berposisi ketiga paling mempengaruhi motivasi responden memutuskan untuk mengkonversi lahan hutan kawasan. Berpengaruh positif menunjukkan bahwa semakin banyak sumber informasi pasar maka akan semakin beragam keputusan responden dalam mengkonversi lahan kawasan. Sebesar 51 persen reponden memperoleh informasi harga pasar dari satu sumber saja, sementara sebesar 39 persen memperoleh dari 2 sumber informasi (Lampiran 8-A Tabel 1). Sumber-sumber informasi harga pasar tersebut adalah 1) perusahaan, (2) pedagang pengumpul, (3) pasar desa, dan (4) kerabat/tetangga. Pedagang pengumpul dan kerabat/tetangga merupakan dua sumber utama yang menjadi referensi responden dalam memperoleh informasi harga pasar. Hal tersebut diduga menunjukkan adanya hubungan kepercayaan yang telah terjalin relatif lama antara mereka dengan sumber informasi.

Peubah sarana pendukung (X5) berpengaruh positif sebesar 0,036

terhadap motivasi responden memutuskan untuk mengkonversi lahan hutan kawasan hutan lindung. Sarana pendukung diukur dengan jenis jalan untuk menuju lahan garapan di dalam kawasan. Pada umumnya jalan masuk menuju lahan garapan di kawasan adalah kombinasi (1) jalan desa yang bisa dilalui dalam segala cuaca bahkan oleh kendaraan roda empat, (2) jalan kering yang pada musim penghujan hanya bisa dilewati oleh ojeg dan (3) jalan setapak yang harus ditempuh dengan berjalan kaki. Namun demikian terkadang jalan setapak tersebut tetap bisa dilalui oleh ojeg yang umumnya adalah motor trail, walaupun di musim penghujan. Berdasarkan hasil wawancara, sebesar 60 persen responden menyatakan bahwa jalan masuk ke lahan garapan mereka adalah

kombinasi dari ketiga jenis jalan tersebut, sebesar 20 persen hanya jalan kering, dan sebesar 7 persen jalan segala cuaca (Lampiran 8-A Tabel 2).

Berdasarkan modal transportasi yang sering dipergunakan oleh responden khususnya dan masyarakat setempat pada umumnya, variasi jenis jalan dengan tingkat kesulitannya masing-masing tidaklah menjadi hambatan utama karena hampir semua lahan garapan yang telah memiliki jalan setapak dapat dijangkau dengan kendaraan roda dua terutama ojeg motor trail yang mampu membawa beban hampir mencapai 400 kilogram kopi sekali angkut (Gambar 5.2.).

Gambar 5.2.a., Tahun 2003 Gambar 5.2.b., Tahun 2005

Gambar 5.2. Kendaraan berpenggerak roda 4 seperti pada Gambar 5.2.a adalah jenis yang umumnya melayani transportasi hingga ke tepi bahkan hingga ke dalam kawasan hutan (Sumber photo: Kusworo). Sedang Gambar 5.2.b adalah ojeg motor trail yang mampu mengangkut kopi keluar dari lahan yang berada di jantung kawasan hutan (Sumber photo: Peneliti).

Peubah penerimaan kotor komoditas utama yang dihitung setara dengan beras yang dikonsumsi responden (X2) berpengaruh negatif sebesar

- 0,024 dan merupakan akar konflik yang paling rendah mempengaruhi motivasi responden memutuskan untuk mengkonversi lahan hutan kawasan. Namun demikian, peubah ini penting untuk dianalisis lebih seksama mengingat pengaruhnya yang justru negatif dapat ditafsirkan bahwa setiap kenaikan 100 persen penerimaan kotor reponden dari komoditas utama di dalam kawasan akan menurunkan motivasi responden untuk mengkonversi lahan sebesar 2,4 persen. Hal tersebut diduga disebabkan oleh beberapa hal yaitu:

(1) Status lahan garapan yang berada di dalam Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis walau bagaimanapun juga adalah lahan kawasan hutan milik1 negara.

(2) Sepanjang lahan tersebut adalah milik negara, maka responden tidak memiliki kepastian alas hak pemilikan atas lahan (land title) yang digarap mereka.

(3) Atas kondisi tersebut diduga setiap manfaat atau keuntungan yang diperoleh responden dari dalam kawasan akan diinvestasikan olehnya di luar kawasan.

Berdasarkan hasil perhitungan, sebesar 63% responden memperoleh penerimaan kotor senilai lebih besar dari total konsumsi beras rumah tangga per tahun (Lampiran 8-A Tabel 3). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sesungguhnya sebesar 63% responden berpeluang memperoleh kepastian cadangan pangan (food stock security) dari lahan kawasan yang dikelolanya, sehingga dapat dikatakan bahwa hal tersebutlah yang menjadi faktor penyebab mengapa responden makin termotivasi mengkonversi lahan. Disebut berpeluang karena masih ada beberapa informasi yang perlu diungkap lebih tuntas yaitu: (1) Peubah eksogen tersebut masih berupa penerimaan kotor dan belum

dikurangi biaya produksi.

(2) Nilai peubah yang diperoleh tidak mencerminkan produktifitas lahan per hektar.

(3) Adanya lahan responden yang belum berproduksi, dan

(4) Memang karena nilai penerimaan kotornya lebih rendah dari nilai konsumsi beras rumah tangga. Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa sebesar 34% responden memperoleh nilai penerimaan kotor komoditas utama lebih rendah dari nilai total konsumsi beras rumah tangga per tahun.

Terhadap keempat hal tersebut, perlu dilakukan penelitian lebih mendalam. Sebagai informasi pelengkap, umumnya komoditas utama yang diusahakan oleh responden di dalam mengkonversi lahan kawasan adalah dengan menaman kopi (Coffea robusta). Ditemui hanya satu responden yang menanam cabai (Fructesen Sp) dan itupun hanya seluas 0,04 hektar, penerimaan kotor reponden yang bersangkutan ternyata lebih besar dari nilai konsumsi berasnya. Harga kopi yang diterima di tingkat responden bervariasi antara Rp.3.900,- hingga Rp. 4.500,- per kilogram. Sedangkan harga beras yang

1

Ada pemahaman bahwa apabila lahan kawasan hutan statusnya belum dikukuhkan maka kawasan tersebut belum resmi disebut sebagai kawasan hutan negara.

dikonsumsi oleh responden berkisar antara Rp.2.800,- hingga Rp.3.600,- per kilogram.

5.3.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konflik Dalam Submodel